BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Penyakit Hirschsprung merupakan kelainan bawaan berupa aganglionosis usus ditandai tidak adanya sel ganglion parasimpatis pada pleksus submukosa Meissner dan pleksus mienterikus Aurbach dimulai dari sfinkter ani internus kearah proksimal dengan panjang bervariasi (Kartono, 2004) . Di kepustakaan insidensi Hirschsprung sekitar 1 diantara 5400 sampai 7200 perkelahiran hidup. Laki-laki lebih banyak terkena dibandingkan perempuan perbandingan 4:1 dengan terbanyak tipe segmen pendek yang terjadi sekitar 75% (Amiel et al., 1998). Tujuan utama
terapi pembedahan
Hirschsprung untuk mencapai
kontinensia dan membebaskan dari gejala konstipasi. Sedangkan prinsip pembedahan pada Hirschsprung ialah dengan membuang semua bagian yang aganglionik kemudian membawa kolon yang ganglionik ke anus dengan preservasi sfinkter ani. Sejak tahun 1940 Swenson mengenalkan operasi definitif yaitu prosedur Swenson, teknik operasi terus berkembang dan disempurnakan oleh ahli bedah anak di dunia melalui tahapan trial and error. Hingga saat ini setidaknya ada 5 operasi pull-through yang umum dan sering dikerjakan ahli bedah anak di dunia yaitu prosedur Swenson, Rehbein, Duhamel, Soave, dan TEPT (Torre, 2010). Perkembangan teknik bedah pada Hirschsprung tidak terlepas dari upaya meminimalkan komplikasi paska operasi yang menjadi perhatian serius ahli bedah 1
anak. Komplikasi paska operasi Hirschsprung terdiri atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut. Komplikasi dini di jelaskan dibeberapa kepustakaan berupa infeksi luka operasi, retraksi segmen pull-through dan kebocoran anastomosis sedangkan
komplikasi
lanjut
seperti
konstipasi,
soiling,
inkontinensia,
enterokolitis, striktur anastomosis dan kematian (Gosemann, 2013; Rochadi, 2012; Kartono, 2004). Operasi pull-through Soave mulai dikerjakan di RSUP Dr Sardjito sejak dikenalkan Soewarno tahun 1990 dan menjadi pilihan operasi definitif yang paling sering dikerjakan hingga saat ini (Rochadi, 2012). Pilihan operasi dua tahap berupa kolostomi terlebih dahulu lalu dilanjutkan tindakan definitif pullthrough menjadi pilihan utama pada pasien anak dan dewasa yang terlambat terdiagnosis, hal ini disebabkan kondisi kolon telah sangat terdilatasi sehingga terlalu besar untuk dianastomosiskan dengan rektum dalam bedah definitif. Selain itu, pasien dengan enterokolitis berat dan keadaan umum yang buruk tindakan ini dilakukan untuk mencegah komplikasi paska bedah (Kartono, 2004). Pada tahun 1998, De la Torre dan Ortega melaporkan prosedur Soave modifikasi satu tahap yaitu transanal endorektal pull-through. Dilaporkan teknik TEPT ini lebih aman, efisien dan memiliki kelebihan yaitu tidak perlunya kolostomi dan mobilisasi kolon perabdominal sehingga nyeri paska operasi, lama operasi, lama mondok dan risiko kontaminasi intraperitoneal, adhesi dan kerusakan struktur pelvis menjadi lebih rendah.
2
Dengan demikian, teknik TEPT telah menjadi pilihan yang semakin populer untuk mengobati penyakit Hirchsprung (Chen, et al., 2013; Torre, 2010; Sulkowski, et al., 2014; Langer J, et al., 2003). Hal yang menjadi perhatian pada teknik transanal endorektal pull-through ialah diseksi ektensif rektum dan kolon dapat menyebabkan peregangan dan kerusakan struktur sfinkter yang berakibat gangguan fungsi jangka panjang anorektum terutama inkontinensia dan konstipasi. Pada pasien Hirschsprung inkontinesia dianggap komplikasi iatrogenik akibat teknik operasi. Sehingga komplikasi ini masih menjadi perdebatan dan pada sebuah laporan melaporkan kejadian inkontinensia lebih sering pada TEPT dibandingkan Soave (Sawaf, 2007; Romero P et al, 2011). Akan tetapi, Stensrud (2010) dan beberapa laporan lain melaporkan tidak ada perbedaan kejadian konstipasi pada pasien usia lebih dari 3 tahun yang dikerjakan dengan teknik ini dibandingkan dengan Soave (Chen, et al., 2013; Stensrud, 2010). Enterokolitis Hirschsprung merupakan komplikasi serius pada penyakit Hirschsprung yang dapat terjadi sebelum maupun sesudah operasi definitif. Enterokolitis paska operasi dihubungkan dengan kejadian keberadaan kebocoran anastomosis atau striktur dan perkembangan obstruksi intestinal paska operasi dikarenakan adhesi yang dapat meningkatkan risiko relatif enterokolitis sebesar tiga kali lipat (Hackman et al., 1998). Puri dan Elke (2010) pada penelitian metaanalisis mereka melaporkan kejadian enterokolitis lebih rendah pada operasi TEPT dibandingkan teknik lain, tetapi penelitian metaanalisis Chen et al. (2013) melaporkan tidak ada perbedaan kejadian enterokolitis antara TEPT dan Soave. 3
Striktur paska operasi sebagai komplikasi jangka panjang diduga disebabkan beberapa faktor seperti iskemi pada lokasi anastomosis, kebocoran anastomosis dan iskemia pada cuff. Gosemann (2013) melaporkan tidak ada perbedaan kejadian striktur paska Soave terhadap TEPT, selain itu pada pasien TEPT striktur paska operasi bisa disebabkan ketidakpatuhan orang tua pada businasi paska operasi. Di RSUP Dr Sardjito TEPT mulai dikerjakan sejak tahun 2005 sedangkan Soave sejak tahun 1990 tetapi belum ada laporan yang melakukan evaluasi perbandingan luaran tindakan TEPT terhadap Soave. Pada penelitian ini yang kami bandingkan ialah luaran dari tindakan pull-through sehingga kondisi awal pasien Soave dengan stoma atau pasien TEPT ialah sama yaitu kondisi optimal untuk dilakukan tindakan pull-through baik TEPT ataupun Soave. B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian diatas didapatkan perbedaan hasil pada beberapa penelitian mengenai evaluasi luaran penanganan pasien yang dikerjakan dengan teknik Soave dibandingkan TEPT yaitu ILO paska operasi, kebocoran anastomosis,
retraksi
segmen
pull-through,
konstipasi,
enterokolitis,
inkontinensia, soiling, striktur anastomosis paska operasi, kematian paska operasi maka timbul pertanyaan antara lain : 1. Apakah ada perbedaan komplikasi jangka pendek yaitu ILO, kebocoran anastomosis, retraksi segmen pull-through pada Soave dibandingkan TEPT ?
4
2. Apakah ada perbedaan komplikasi jangka panjang yaitu konstipasi, soiling, inkontinensia, enterokolitis, striktur anastomosis dan kematian pada Soave dibandingkan TEPT ? C.TUJUAN PENELITIAN Tujuan umum. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi, tata laksana operasi TEPT dan Soave pada penyakit Hirschsprung di RSUP Dr Sardjito. Tujuan
khusus.
Secara
khusus
penelitian
bertujuan
untuk
melakukan
perbandingan evaluasi luaran terhadap : 1. Komplikasi jangka pendek berupa ILO, kebocoran anastomosis, retraksi segmen pull-through pada Soave dibandingkan TEPT. 2. Komplikasi jangka panjang berupa konstipasi, soiling, inkontinensia, enterokolitis, striktur anastomosis dan kematian pada Soave dibandingkan TEPT. D. MANFAAT PENELITIAN 1. Bidang Akademik Diharapkan dari penelitian ini dapat mengetahui evaluasi luaran mengenai ILO,
kebocoran
anastomosis,
retraksi
segmen
pull-through,
konstipasi,
enterokolitis, inkontinensia, soiling, striktur anastomosis, kematian paska operasi yang dioperasi di Rumah Sakit Dr. Sardjito dengan terapi definitif TEPT terhadap Soave. 2. Kepada Masyarakat
5
Diharapkan dengan hasil penelitian ini menjadi acuan bagi ahli Bedah Anak dalam menentukan pilihan operasi yang akan dikerjakan guna meningkatkan pelayanan dan kualitas hidup pada pasien Hirschsprung. E. KEASLIAN PENELITIAN Berdasarkan penelusuran pustaka yang dilakukan, dengan kata kunci transanal versus open endorektal pull-through for Hirschsprung's disease, dengan menggunakan mesin pencari Clinicalkey, Pubmed didapatkan antara lain : Tabel 1. Daftar Artikel tentang Evaluasi Luaran Paska Pull-through No
Judul Penelitian
Jumlah Sampel
Desain
Persamaan
Perbedaan
1
Transanal
444 pasien TEPT dan
Metaanalisis
Komplikasi
Fokus
endorektal pull-
348 Transabdominal
Jangka
Penelitian
through versus
(Soave, Duhamel,
Panjang
TEPT
transabdominal
Rehbein, Swenson)
VS
Soave
approach for Evaluasi
Hirschsprung's
komplikasi
disease: A
Jangka
systematic review
Pendek and meta-analysis (Chen et al.,2013)
2
Outcome of
24 pasien TEPT dan
Cohort
Komplikasi
Fokus
transanal
29 Transabdominal
Retrospectif
Jangka
Penelitian
endorektal vs.
(Soave, Duhamel,
Panjang
TEPT VS
transabdominal
Swenson)
Soave
pull-through in
Evaluasi
patients with
komplikasi
Hirschsprung’s
Jangka
disease
Pendek
(Romero et al.,2011)
6