BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Agama Islam sebagai agama rahmatan lil ‘âlamîn, di dalamnya berisi ajaran dan tuntunan mengenai kehidupan manusia baik yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhannya (habl min Allâh) maupun hubungan manusia dengan sesama/lingkungannya (habl min an-nâss). Dalam rangka mengatur kehidupan umat manusia ini, agama Islam (sesuai dengan wasiat terakhir nabi Muhammad SAW kepada umat Islam ketika akan meninggal dunia) mendasarkan kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai pedoman hidup. Al-Qu’an dan As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam memuat pernyataan-pernyataan umum aturan mengenai tingkah laku manusia. Adapun mengenai aturan-aturan khusus yang menyangkut hukum syar’iah praktis harus digali dari nas-nas al-Qur’an dan as-Sunnah itu sendiri melalui metode yang dikenal dengan sebutan metode ijtihad dengan ketentuan yang telah disepakati oleh para ulama terdahulu. Nas-nas di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang murni merupakan wahyu Allah s.w.t disebut dengan istilah syari’at. 1 Syari’at sama sekali tidak dicampuri oleh daya nalar dan memiliki sifat yang tetap, tidak
1
Muh. Zuhri, Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), 2
1
2
bisa berubah dan tidak bisa diubah sepanjang masa.2 Di sisi lain, persoalan hidup manusia terus berkembang seiring dengan dinamika zaman yang tentunya tak terangkum dalam penjelasan umum nas. Untuk itu, agar hasil cipta, karsa dan karya manusia tidak bertentangan dengan apa yang dimaksud oleh al-Qur’an dan as-Sunnah, maka manusia harus melakukan upaya penggalian hukum terhadap nas-nas al-Qur’an dan as-Sunnah tersebut.
Sesuai dengan sabda nabi SAW
kepada Mu’âdh bin Jabal, apabila tidak menemukan suatu ketetapan hukum di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah maka umat Islam diberi solusi untuk melakukan ijtihad dengan metodologi yang telah ditetapkan dan disepakai ulama. Hasil-hasil ijtihad para ulama merupakan hukum-hukum syar’iah praktis yang dihasilkan dari dalil-dalil terperinci yang kemudian disebut dengan fiqih 3 . Dengan demikian karakteristik fiqih adalah fleksibel dan bisa berubah sesuai dengan kondisi manusia yang dipengaruhi oleh tempat, masa dan tingkat intelektual mujtahid itu sendiri 4 . Adanya karakteristik fiqih yang demikian ini kemudian menghasilkan produk fiqih yang beraneka ragam dan berbeda-beda meskipun masalah yang dibahas sama. Dalam masalah fiqih, dikenal adanya 4 imậm madhab yaitu imâm Abu Hanifah, imâm Mâlik bin Anas, imâm al-Shâfi’î dan imâm Ahmad Hanbâli yang kemudian populer dengan sebutan Mâdhâhib al-Arba’ah. Dalam bidang fiqih wakaf, salah satu perbedaan pendapat di kalangan imâm madhab adalah mengenai 2
Ibid. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, terj. Saefullah Ma’sum, et.al. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), 2 4 Ibid., 567 3
3
masalah wakaf tunai. Menurut al-Bakrî, imâm al-Shâfi’î tidak membolehkan berwakaf dengan uang tunai dengan alasan bahwa uang tunai akan lenyap ketika dibayarkan sehingga tidak ada lagi wujudnya 5 . Akan tetapi menurut pendapat sebagian ulama madhab ini sendiri, imâm al-Shâfi’î membolehkan berwakaf dengan dinar dan dirham karena keduanya masing-masing terbuat dari emas dan perak yang memiliki sifat tahan lama dan nilai intrinsik yang tinggi sehingga dinar dan dirham berbeda dengan bentuk uang yang sekarang ini ada. Sedangkan imâm Mâlik bin Anas membolehkan berwakaf dengan uang tunai karena menurut beliau esensi dari wakaf adalah nilai kemanfaatannya bukan wujudnya. Adapun imâm Abu Hanifah membolehkan berwakaf dengan uang tunai sebagai pengecualian atas dasar ‘urf, karena praktek wakaf tunai sudah banyak dilakukan oleh masyarakat pada zamannya6. Perbincangan tentang wakaf tunai mulai mengemuka dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini terjadi seiring dengan perkembangan sistem perekonomian dan pembangunan yang lazim memunculkan inovasi-inovasi baru. Wakaf tunai sebagai instrumen finansial (financial instrument), keuangan sosial dan perbankan sosial (social finance and voluntary sector banking) dipelopori oleh Prof. M.A. Mannan7 (2002), pakar ekonomi asal Bangladesh. Wakaf tunai yang digagas oleh Mannan ini telah menunjukkan keberhasilannya dalam mengentaskan kemiskinan di daerahnya. Keberhasilan inipun kemudian menjadi daya tarik berbagai Negara
5
Al-Bakrî, I’ânatu At-Tâlibîn (Kairo: Isa Halabi, t.t.), 157 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islâm wa Adillatuhû (Damsyik: Dar al-Fikr, 1984, Juz VIII), 154 7 Ibid. 6
4
berkembang khususnya, tak terkecuali di Indonesia untuk menjadikannya sebagai tauladan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan warganya. Seiring dengan kondisi perkenomian Indonesia yang lesu akibat dampak krisis moneter yang masih terasa, wakaf tunai kemudian menjadi helatan wacana yang menarik diperbincangkan disamping filantropi Islam lain seperti institusi zakat. Tepatnya pada tahun 2001, wakaf tunai mulai dibahas melalui seminar yang dimotori oleh Program Studi Timur Tengah dan Islam Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Wacana ini kemudian bergulir hingga pada tahun 2002, Pemerintah yang dalam hal ini Direktur Pengembangan Zakat dan Wakaf Depag RI melalui suratnya nomor Dt.1.IIU5/BA.03.2/2772/2002, tanggal 26 April 2002, meminta fatwa kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang legalitas wakaf tunai. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai wadah musyawarah para ulama dan cendekiawan muslim Indonesia yang telah melakukan kajian lebih mendalam terhadap teori wakaf merespon permasalahan wakaf tunai. Sebagai bentuk respon terhadap masalah tersebut, pada hari Sabtu, tanggal 23 Maret 2002 Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyebutkan perlu adanya peninjauan dan penyempurnaan (pengembangan) definisi wakaf yang telah umum diketahui (dengan memperhatikan maksud hadis nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ibn Umar)
5
8
HIOPQR LEM وHIJK اDEFا
Puncaknya pada hari Sabtu, tanggal 11 Mei 2002 bertepatan dengan 28 Safar 1423 H, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan fatwa tentang kebolehan berwakaf dengan uang tunai. Dalam ketetapan ini, yang dimaksud dengan wakaf tunai adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai yang didalamnya termasuk juga surat-surat berharga. Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI) wakaf tunai hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara shar’i dan nilai pokok wakaf ini harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai bahwa wakaf tunai memiliki fleksibilitas (keluwesan) dan kemaslahatan yang besar yang tidak dimiliki oleh benda lain. Sebagai pertimbangan dalam menetapkan fatwa tentang wakaf tunai ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengambil pendapat imâm az-Zuhrî (w.124 H) bahwa mewakafkan dinar hukumnya boleh, dengan cara menjadikan dinar tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya disalurkan kepada mauquf ‘alaih. Selain pendapat imâm az-Zuhrî di atas, pendapat lain yang digunakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah pendapat mutaqaddimîn dari ulama madhab Hanafi. mutaqaddimîn dari ulama madhab Hanafi membolehkan wakaf tunai dinar dan dirham sebagai pengecualian, atas dasar ‘urf,
8
As-Sindî, An-Nasâ’i (Beirut: Darul al-Fikr, 1995, juz III), 232-233
6
berdasarkan atsar Abdullâh bin Mas’ud r.a.: “Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk.” Sedangkan menurut pendapat sebagian ulama madhab al-Shâfi’î berdasarkan riwayat Abu Thaur, imâm al-Shâfi’î membolehkan berwakaf dengan dinar dan dirham karena keduanya merupakan bentuk uang yang terbuat dari emas dan perak yang memiliki sifat tahan lama sehingga bisa dijadikan sebagai obyek wakaf9. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini penting untuk dikaji mengingat fatwa ini dapat dikatakan sebagai pioner dalam aspek legal formal dalam mengadakan perubahan paradigma wakaf yang selama ini terjadi di Indonesia, terbukti fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini berlanjut pada prakarsa dan pembahasan Rancangan Undang Undang Wakaf hingga dua tahun kemudian berhasil disahkan Undang-Undang nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disusul peraturan-peraturan pelaksana dan teknis lainnya. Dengan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk meneliti bagaimana tinjauan maslahah terhadap metode istinbat dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang wakaf tunai. Ketertarikan ini kemudian penulis tuangkan dalam skripsi dengan judul: “TINJAUAN MASLAHAH TERHADAP METODE ISTINBAT FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG WAKAF TUNAI”. 9
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia (Jakarta: MUI, 2003), 85
7
B. Penegasan Istilah 1. Fatwa
:
Sebuah pendapat hukum yang dikeluarkan oleh seorang mufti atau sebuah lembaga hukum dalam rangka menjawab suatu persoalan yang diajukan oleh seorang hakim atau perorangan.
10
Fatwa adalah
jawaban atau penjelasan dari ulama mengenai masalah keagamaan dan berlaku untuk umum.11 Fatwa hanyalah berkenaan dengan masalah fiqh, yaitu hukum Islam yang merupakan hasil ijtihad para ulama dari nas yang zannî bukan nas yang qath’î. 2. Wakaf Tunai
:
Wakaf yang dilakukan oleh seseorang, kelompok orang, dan lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.12 Wakaf tunai populer dengan istilah Cash Waqf / Waqf al Nuqud yang diterjemahkan dengan wakaf uang.
10
Lutfi Hadi Aminuddin, “Kontroversi Status Hukum Ajinomoto : (Studi Komparatif Antara Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Fatwa Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur),”(Tesis Magister, IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2001), 3. 11 Lihat pasal 1 ayat 7 Ketentuan Umum Pedoman Penetapan Fatwa MUI (Jakarta, MUI, 2003),4 12 Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa-Fatwa, 86
8
C. Fokus Penelitian Dari uraian latar belakang di atas, penulis memfokuskan penelitian ini pada satu permasalahan yaitu: ”Bagaimanakah tinjauan maslahah terhadap metode istinbat fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang wakaf tunai?”
D. Tujuan Penelitian Mengacu pada fokus penelitian diatas, maka tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah: ”Untuk mengetahui tinjauan maslahah terhadap metode istinbat fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang wakaf tunai”.
E. Kegunaan Penelitian Dengan adanya tulisan ini, penulis berharap dapat memberikan manfaat hasil penelitian sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis a. Dapat digunakan sebagai bahan dan acuan bagi penelitian selanjutnya yang ada kaitannya dengan masalah ini sekaligus sebagai bahan telaah. b. Dapat memberikan sumbangan bagi pemikiran hukum Islam di Indonesia khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya. 2. Manfaat praktis a. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam bidang wakaf sehingga di Indonesia bidang ini bisa lebih dikembangkan dan lebih produktif.
9
b. Diharapkan kepada semua masyarakat khususnya lembaga pengelola wakaf mengetahui metode istinbat hukum wakaf tunai menurut fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sehingga masyarakat bisa menjadikannya sebagai pedoman.
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (library research)13 dengan menggunakan pendekatan metode penelitian kualitatif.14 Penelitian kepustakaan ini dilakukan dengan cara membaca, menelaah, atau memeriksa bahan-bahan kepustakaan seperti Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) 2003, buku Pedoman Penetapan Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan buku-buku yang membahas mengenai wakaf tunai serta data kepustakaan lain yang terkait dengan penelitian ini. Sedangkan metode penelitian kualitatif dilakukan dengan cara mengkaitkan data mengenai fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang wakaf tunai dan data tentang pedoman penetapan hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan teori
13
Penelitian kepustakaan adalah: penelitian yang dilakukan dengan cara membaca, meneliti atau memeriksa bahan-bahan kepustakaan yang terdapat di suatu perpustakaan. [Dudung Abdurrahman, Pengantar Metode Penelitian (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2003), 7] 14 Penelitian Kualitatif adalah: prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati [Lexy J.Moleong., Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung:Remaja Rosdakarya, 200), 3]
10
metode istinbat hukum Islam sehingga diperoleh suatu kesimpulan dalam bentuk deskriptif.15 2. Data Penelitian Data yang dipaparkan dalam penelitian ini terdiri dari: a. Data tentang gambaran umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang meliputi: latar belakang dan tujuan didirikannya Majelis Ulama Indonesia (MUI), konsep keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dasar umum dan sifat fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), serta metode istinbat fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). b. Data tentang struktur keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang wakaf tunai yang meliputi: konsideransi / dasar putusan fatwa dan substansi / isi putusan fatwa. 3. Sumber Data Penelitian Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua sumber data, yaitu: a. Sumber data primer Sumber data primer skripsi ini adalah buku-buku tentang objek penelitian yang berasal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), yaitu: (1)
Buku Kumpulan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).
(2)
Buku Pedoman Penetapan Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI).
15
106
P.Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2004),
11
b. Sumber data sekunder Sumber data sekunder skripsi ini meliputi buku-buku atau kitabkitab yang membahas masalah wakaf, wakaf tunai maupun istinbat hukum dalam Islam, yaitu: (1) H.Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia. (2) Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam. (3) Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh Terj. (4) Abdurrahman, Syari’ah Kodifikasi Hukum Islam. (5) Abu Bakar, Ahkâmul Auqâf. (6) Achmad Djunaidi, Thobieb al-Asyhar, Menuju Era Wakaf produktif. (7) Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Wakaf , Ijarah, Syirkah. (8) Al-Bakri, I’ânat at-Tâlibîn. (9) Al-Buthi’, al-Dawâbit al-Maslahah fi al-Shârî’ah al-Islâmiyyah. (10) Al-Syatiby, Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Ahkam. (11) H.Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh (Sebuah Pengantar). (12) H.Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1. (13) Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2. (14) Asy-Syarbini, Mughnî Muhtâj. (15) H.A.Syafi’i Karim, Fiqih Ushul Fiqih (16) Atabik Ali dan Ali Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer ArabIndonesia.
12
(17) Chairuman Pasaribu dan Surahwadi K.Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam. (18) Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Islam 2007, Fiqh Wakaf. (19) Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Islam 2007, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia. (20) Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Islam 2007, Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai. (21) Fathurrahman Jamil, Filasafat Hukum Islam. (22) Hasbi ash Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam. (23) Ibrâhîm al-Bâjûrî, al-Iqnâ’. (24) Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam. (25) Miftahul Huda, Filsafat Hukum Islam, Menggali Hakekat, Sumber dan Tujuan Hukum Islam. (26) Miftahul Huda, Ragam Argumentasi Ketentuan Wali Nikah dan Poligami di Negara Muslim Modern, Hasil Penelitian. (27) Mohd.Idris Ramulyo, Asas-asas Hukum Islam Sejarah
Timbul dan
Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia. (28) Muhammmad Abu Zahrah, Ushul Fiqih. (29) Muhammad Ismail Kahlany, Subulussalâm. (30) Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab.
13
(31) Muin Mutar, et.al, Ushul Fiqh 1. (32) Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif. (33) Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh. (34) Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah. (35) Syamsuddin, al-Mabsût. (36) Taha Jabir al-Alwani, Metodologi Hukum Islam Kontemporer. (37) H.Umar Syihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran. (38) Wahbah Zuhaily, al Fiqh Islâm wa Adillatuhu. (39) Yusdani,Peranan kepentingan Umum Dalah Reaktualisasi Hukum: Konsep-Konsep Hukum Islam Najmuddin Al-Thufi. (40) Zarkasji Abdul Salam dan Oman Fatkhurrahman SW, Pengantar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh 1. 4. Teknik Penggalian Data Teknik penggalian data penelitian ini adalah: dengan cara membaca, meneliti, dan mengkaji bahan-bahan kepustakaan yang telah dikumpulkan yang meliputi: sumber data primer dan sumber data sekunder. Penulis mengkaji sumber data primer yang meliputi: buku kumpulan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2003 dan buku pedoman penetapan hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sedangkan sumber data sekunder yang diteliti antara lain: kitab al Fiqh al Islam wa Adillatuhu, kitab al-Iqna, kitab Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Ahkam, buku pedoman pengelolaan wakaf tunai serta buku-buku ushul fiqih dan fiqih wakaf yang lain. Selanjutnya, penulis
14
mencatat dan mengelompokkan hasil yang telah diperoleh menurut kerangka yang sudah direncanakan dalam sistematika pembahasan. 5. Metode Pengolahan Data Setelah seluruh data terkumpul, selanjutnya penulis melakukan pengolahan data dengan tahapan sebagai berikut: a. Editing, yaitu memeriksa kembali semua data yang telah diperoleh dari segi kelengkapan, kejelasan makna, kesesuaian dan keselarasan satu sama lain. b. Organizing, yaitu menyusun dan mensistematiskan data-data yang diperoleh dalam kerangka paparan yang telah direncanakan sebelumnya. c. Penemuan hasil, yaitu melakukan analisis lanjutan terhadap hasil pengolahan data dengan menggunakan kaedah-kaedah, teori-teori, serta dali-dalil sehingga diperoleh suatu kesimpulan. 6. Metode Analisis Data Selanjutnya setelah data berhasil dikumpulkan, maka dilakukan analisa dengan menggunakan metode deskriptif, yaitu penulis memaparkan semua data yang meliputi konsep keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dasar umum dan sifat fatwa, metode istinbat hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI), konsidensi / dasar hukum dan substansi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang wakaf tunai secara sistematis, cermat dan faktual dengan pola deduktif, yaitu mengemukakan teori-teori atau dalil-dalil yang bersifat umum tentang maslahah kemudian melakukan analisis terhadap
15
data mengenai dasar hukum dan substansi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang wakaf tunai untuk memperoleh sebuah kesimpulan yang khusus.
G. Sistematika Pembahasan Agar pembahasan dalam skripsi ini terarah dan tersistematis, maka penulis memaparkan sistematika pembahasan sebagai berikut: Bab pertama merupakan pendahuluan. Bab ini merupakan gambaran umum dari seluruh isi skripsi yang ditulis yang meliputi: latar belakang masalah, penegasan istilah, fokus penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Bab kedua berisikan landasan teori tentang maslahah sebgai metode istinbat hukum yang meliputi pengertian maslahah, varian-varian maslahah, maslahah dan maqâsid al shârî’ah, maslahah dan nas, kehujjahan maslahah serta kriteria maslahah dan pandangan-pandangan ulama. Bab ketiga merupakan deskriptif data, berupa pemaparan tentang gambaran umum
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan penjelasan mengenai
struktur keputusan fatwa tentang wakaf tunai yang meliputi: gambaran umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), latar belakang dan tujuan didirikannya Majelis Ulama Indonesia (MUI), konsep keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dasar umum dan sifat fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), metode
16
istinbat fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), konsidensi / dasar hukum dan substansi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang wakaf tunai. Bab keempat merupakan analisis terhadap fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang wakaf tunai, yaitu mengenai tinjauan konsep maslahah terhadap metode istinbat yang digunakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwa tentang wakaf tunai. Dalam bab ini dilakukan pembahasan hasil-hasil penelitian Bab kelima merupakan penutup, berisikan kesimpulan dan saran sebagai implikasi dari penelitian.
17
BAB II MASLAHAH SEBAGAI METODE ISTINBAT HUKUM
A. Pengertian Maslahah Secara etimologi, maslahah berarti manfaat, kemanfaatan, atau pekerjaan yang mengandung manfaat. Sedangkan terminologi, al-Ghâzalî menyatakan bahwa maslahah pada prinsipnya adalah mengambil manfaat dan menolak madlarat untuk memelihara tujuan-tujuan syari’at.16 Menurut istilah umum maslahah adalah: mendatangkan segala bentuk kemanfaatan atau menolak segala kemungkinan yang merusak. Lebih jelasnya manfaat adalah ungkapan dari sebuah kenikmatan atau segala hal yang masih berhubungan dengannya, sedangkan kerusakan adalah hal-hal yang menyakitkan atau segala sesuatu yang tidak ada maslahah berkaitan dengannya.17 Pandangan terhadap maslahah terbagi menjadi dua bagian, yaitu pandangan maslahah menurut kaum sosialis materialis serta pandangannya menurut syara’(hakikat syara’). Dalam pembahasan pertama al Shatibî mengatakan: “ maslahah ditinjau dari segi sosialis materialis artinya adalah segala sesuatu yang menguatkan keberlangsungan dan menyempurnakan kehidupan manusia, serta memenuhi segala keinginan rasio dan syahwatnya secara
16
Atabik Ali dan Ali Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia”, (Cet. VIII: Yogyakarta: Multi Karya Grafika: Pondok Pesantern Krapyak, tt.), 1741 17 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta: PT.Ichtiar Van Hoeve, 1996, cet.I), 1039
18
mutlak”.18 Sedangkan menurut arti secara syara’ (hakikat) adalah segala sesuatu yang menguatkan kehidupan di dunia tidak dengan cara merusaknya serta mampu menuai hasil dan beruntung di akhirat, dalam hal ini al Shatibî mengatakan, “ menarik kemaslahatan dan membuang hal-hal yang merusak bisa juga disebut dengan melaksanakan kehidupan di dunia untuk kehidupan di akhirat”. 19 Sedangkan menurut al-Ghâzalî maslahah adalah: “memelihara tujuan daripada syari’at”. Sedangkan tujuan syara’ meliputi lima dasar pokok, yaitu: 1. Melindungi agama (hifdu al dîn), 2. Melindungi jiwa (hifdu al nafs), 3. Melindungi akal (hifdu al aql), 4. Melindungi kelestarian manusia (hifdu al nasl), 5. Melindungi harta benda (hifdu al mâl).20 Bukan hal yang diragukan lagi bahwa lafad al maslahah dan al mafsadah adalah berupa bentuk yang masih umum, yang menurut kesepakatan ulama adalah mengarah pada hal-hal yang berhubungan dengan dunia dan akhirat, sebagaimana yang ditulis oleh al Shatibî dalam kitabnya Al-Muwafaqat yang menyatakan “bahwa tujuan dari diturunkannya syari’at adalah untuk kemaslahatan di dunia dan akhirat secara bersamaan.”.21
18
Al-Syatiby, Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Ahkam (Beirut: Lebanon: Dar al-Fikr,tt), 7-9 Ibid. 20 Dahlan, Ensiklopedi,1039 21 Al-Syatiby, Al-Muwafaqat,10 19
19
Perlu diketahui bahwa kemaslahatan akhirat adalah hal yang paling penting dalam pandangan Islam, yaitu tercapainya keridhoan dari Allah s.w.t yang Maha Pemurah di akhirat nanti, karena dalam pandangan Islam hidup tidak hanya berhenti pada kehidupan di dunia saja. Dengan kata lain dapat dijelaskan bahwa keridhoan Allah s.w.t di akhirat tidak bisa terlepas dengan keridhoan-Nya di dunia dan bagaimana seseorang menentukan sikapnya di dunia. Dalam pendapat yang lain kemaslahatan dibagi dalam tiga macam, sebagaimana berikut : 1. Kemaslahatan yang ditegaskan dalam al Qur’an atau al Hadis. Kemaslahatan ini disepakati para ulama yang meliputi lima hal pokok, yaitu melindungi agama, melindungi jiwa, melindungi akal, melindungi kelestarian manusia dan melindungi harta benda. 2. Kemaslahatan yang bertentangan dengan nas syara’ qat’î. Jumhur ulama menolak kemaslahatan ini kecuali Najmuddin al-Tûfî dari madhab Mâliki, sedangkan dalam bertentangan dengan nas yang zannî para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. 3. Kemaslahatan yang tidak dinyatakan dalam syara’, tetapi tidak ada dalil yang menolaknya. Inilah yang dimaksud dalam mursalah. Para ulama memiliki perbedaan pendapat dalam hal ini. Para ulama yang menolak menggunakan istihsân juga menolak menggunakan maslahah mursalah.22
22
Al-Bûtî’, al-Dawâbit al-Maslahah fi al-Shârî’ah al-Islâmiyyah, cet.VI (Beirut: Muassasah alRisalah,1992), 25
20
Said Ramadhan al Bûtî, menjelaskan dengan panjang lebar kriteria maslahah menurut syari’ah. Beliau menyimpulkan bahwa maslahah mempunyai tiga kriteria: 1. Maslahah harus mengandung dua dimensi masa, yaitu dunia dan akhirat. Dalam istilah singkatnya bisa disebut sebagai maslahah yang berwawasan dunia dan akhirat. Bagi orang-orang yang tidak beriman, kehidupan akhirat dipandang absurd atau kadang-kadang dipahami sebagai kehidupan yang fatamorganik. Untuk itu mereka sering mengabaikan maslahah yang bersifat ukhrawi. Bagi orang-orang yang beriman, kehidupan akhirat dipandang sebagai kelanjutan dari kehidupan dunia. Karenanya mereka meyakini adanya maslahah atau manfaat yang bersifat ukhrawi, sebagaimana halnya mereka merasakan maslahah duniawi. 2. Maslahah tidak hanya terbatas pada sisi dan norma material semata, tetapi juga harus mengandung norma spiritual agar maslahah tersebut bisa memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani. Sebagian filosof menentang adanya maslahah rohaniah (yang bersifat spiritual). Karena maslahah rohani menurut pandangan mereka akan terwujud dengan sendirinya jika kebutuhan jasmani terpenuhi. 3.
Kebanyakan filosof tidak mempercayai maslahah yang bersifat spiritual ini. Karena itu setiap maslahah atau manfaat yang tidak bisa dinikmati secara material tidaklah disebut sebagai maslahah. Sejak jaman dulu semua orang mengerti bahwa riba itu tidak dilegalkan oleh agama. Tapi setelah mereka
21
tahu bahwa ternyata riba mendatangkan keuntungan (kemaslahatan material), maka akhirnya mereka membolehkan riba demi untuk memenuhi kebutuhan jasmani yang bersifat material. 23 Norma maslahah yang ditetapkan oleh agama merupakan dasar pijakan bagi maslahah lainnya. Semua maslahah harus menginduk pada norma agama. Dan apabila pertentangan antara suatu kemaslahatan dengan kemaslahatan agama, maka maslahah agama harus didahulukan demi menjaga dan melestarikan eksistensi agama. Pertentangan dimaksud tentunya berupa pertentangan antar norma. Norma atau nilai yang terdapat dalam maslahah agama berorentasi pada pandangan-pandangan yang telah digariskan oleh Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Sedang norma kemaslahatan non agama tentu terlepas dari pandangan-pandangan keagamaan.24
B. Varian-varian Maslahah Ditinjau dari materinya, para ulama ushul fiqih membagi maslahah menjadi dua25 : 1. Maslahah al ’âmmâh Maslahah al ’âmmâh
adalah kemaslahahan umum yang menyangkut
kepentingan orang banyak. Kemaslahahan umum ini tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat. 23
Dahlan, Ensiklopedi, 1040 Ibid. 25 Ibid. 24
22
Misalnya ulama memperbolehkan membunuh penyebar bid'ah yang dapat merusak akidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak. 2. Maslahah khassah Maslahah khassah adalah kemaslahatan pribadi. Maslahah khassah ini sering terjadi dalam kehidupan kita seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang. Pembagian kemaslahatan di atas sangat urgen, karena berkaitan dengan prioritas yang harus diambil ketika terjadi benturan antara kemaslahatan umum dan kemaslahatan yang bersifat indivual. Dalam pertentangan keduanya, Islam mendahulukan kemaslahatan umum dari kemaslahatan pribadi. Sementara dilihat dari berubah atau tidaknya maslahah , Muhammad Mustafa al-Halabî membagi maslahah menjadi dua : 1. Maslahah al Tâbitâh, yaitu kemaslahatan yang bersifat permanen (tetap) dan tidak berubah sampai akhir zaman. Maslahah ini berkait dengan aspek ibadah seperti salat, puasa, zakat, haji dsb. 2. Maslahah Mutaghâyyirâh, yaitu kemaslahatan yang selalu berubah sesuai dengan perubahan situasi, kondisi, dan subyek hukum. Kemaslahatan ini berkaitan erat dengan interaksi sosial ( muamalah ) dan adat kebiasaan.26 Dan dilihat dari segi keberadaan maslahah itu sendiri, syari’at membaginya atas tiga bentuk yaitu:
26
Al-Syatiby, al-Muwafaqat,16
23
1. Maslahah Mu’tabarâh, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syari’at. Maksudnya, ada dalil khusus yang menjadi bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Contohnya adalah seperti maslahah menjaga agama, nyawa, keturunan, akal dan harta. Syara’ telah mensyariatkan jihad untuk menjaga agama, qisas untuk menjaga nyawa, hukuman hudud kepada pelaku zina dan penuduh untuk menjaga keturunan, hukuman sebatan kepada peminum arak untuk menjaga akal, dan hukuman potong tangan ke atas pencuri untuk menjaga harta. 2. Maslahah al Mulghâh, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syari’at karena bertolak belakang dengan ketentuan syari’at. Misalnya, syara’ menentukan bahwa orang yang melakukan hubungan seksual di siang hari bulan Ramadhan dikenakan hukuman dengan memerdekakan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin.27. Terkait dengan kasus ini al Laith Ibnu Sa'ad langsung menetapkan dengan hukuman berupa puasa dua bulan berturut-turut bagi seorang penguasa yang melakukan hubungan seksual di siang hari bulan Ramadhan . Dalam kasus ini, para ulama memandang putusan hukum yang diberikan oleh al Laith tadi bertentangan dengan hadis Rasulullah S.A.w di atas, karena bentuk-bentuk hukum itu menurut mereka harus diterapkan secara berurutan. Oleh sebab itu ulama ushul fiqih memandang mendahulukan puasa dua bulan berturut-turut daripada memerdekakan seorang budak dengan dalil kemaslahatan hukum, 27
H.R. Bukhari.
24
merupakan kemaslahatan yang bertentangan dengan kehendak syara’, sehingga dengan sendirinya putusan itu menjadi batal. Kemaslahatan semacam ini, menurut kesepakatan mereka disebut maslahah al mulghâh dan tidak bisa dijadikan sebagai landasan dalam memproduk hukum. 3. Maslahah yang keberadaannya tidak didukung oleh syara’ dan tidak pula ditolak melalui dalil yang detail (rinci). Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi menjadi dua, yaitu : a. Maslahah al-Ghâribah, yaitu kemaslahatan yang asing, atau suatu kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara’, baik secara rinci maupun secara umum. Ironisnya, para ulama ushul fiqih sendiri tidak dapat mengemukakan contohnya yang pasti. Bahkan imâm al Shatibî menyatakan, kemaslahatan jenis ini tidak ditemukan dalam praktik, sekalipun ada secara teori. b. Maslahah al Mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung oleh dalil syari’at atau nas secara rinci, namun ia mendapat dukungan kuat dari makna implisit sejumlah nas yang ada.28
C. Maslahah dan Maqâsid al Shârî’ah Maqâsid al Shârî’ah sebagaimana telah disepakati oleh para ulama, adalah menjaga lima aspek yang sangat vital dalam kehidupan manusia. Kelima aspek itu ialah memelihara agama jiwa, akal, keturunan dan harta. Sedangkan hubungan 28
Al-Syatiby, al-Muwafaqat,17
25
antara maqâsid dengan maslahah adalah hubungan simbiosis. Artinya, segala sesuatu yang bertujuan menjaga maqâsid al shârî’ah dapat disebut maslahah. Dan sebaliknya, segala sesuatu yang mengarah kepada pelecehan maqâsid al shârî’ah disebut mafsadah. Maqâsid al shârî’ah selalu sejalan dan beriringan dengan maslahah. Di mana maqâsid al shârî’ah ditemukan, di situ pula terdapat maslahah. Maqâsid al shârî’ah sesuai dengan tingkat urgensinya terbagi menjadi tiga macam yaitu zârurîyyât, hâjîyyât dan tâhsînîyyât. Zârurîyyât, yaitu sebagaimana telah disinggung pada uraian di atas, yaitu memelihara lima hal yang kemudian dalam terminologi ushul fiqih disebut dengan kullîyah al khâmsah. Hâjîyyât yang dalam ushul fiqih merupakan far' dari zârurîyyât. Karenanya, hâjîyyât lebih cenderung bersifat komplementer mengingat bahwa maqâsid al shârî’ah sebenarnya bisa terwakili oleh zârurîyyât. Akan tetapi bila maqâsid al shârî’ah hanya terbatas pada zârurîyyât maka seorang mukalaf akan merasa sangat berat dan selalu diliputi kondisi yang sulit lagi sempit. Agar perasaan sempit dan berat ini bisa dijauhkan maka syari’ah menetapkan maqâsid kedua yaitu hâjîyyât. Dengan kata lain hâjîyyât merupakan suatu unsur untuk memperingan taklif yang termaktub dalam zârurîyyât. Untuk menjaga eksistensi agama, zârurîyyât menetapkan kewajiban beribadah. Kemudian agar seorang mukalaf tidak merasa sempit dan berat, hâjîyyât menetapkan rukhshâh (dispensasi) dalam ibadah, seperti dibolehkannya berbuka puasa ketika bepergian atau sakit.
26
Demikian juga untuk memelihara kelangsungan hidup (hifd al nafs), hâjîyyât membolehkan berburu dan memakan hewan-hewan yang halal dan untuk menjaga harta, hâjîyyât membolehkan akad salam (pesanan), qirad (memutar modal dengan membagi keuntungan bersama). Bagian ketiga dari maqâsid al shârî’ah adalah tâhsînîyyât. Menurut ulama ushul, tâhsînîyyât ini sering disebut sebagai penghias atau sesuatu yang memperindah hukum-hukum Islam. Karena tâhsînîyyât itu didasarkan pada nilai etika dan pertimbangan adat yang positif, maka tâhsînîyyât yang ada hubungannya dengan masalah agama adalah tâhsînîyyât yang berupa hukumhukum yang menyangkut barang-barang najis dan suci dan hukum-hukum yang menetapkan tentang kewajiban menutup aurat. Sedangkan tâhsînîyyât yang berhubungan dengan masalah jiwa adalah menjauhi makanan-makanan yang khâbith (tidak layak untuk dimakan). Dan tâhsînîyyât yang berhubungan dengan masalah harta adalah seperti larangan untuk menjual barang-barang najis dan berlebih-lebihan dalam menggunakan air.29 Adapun dalam kaitannya dengan maqâsid al shârî’ah, maslahah itu terbagi menjadi dua macam yaitu, maslahah yang sesuai dengan maqâsid al shârî’ah dan maslahah yang tidak sesuai dengan maqâsid al shârî’ah. Maslahah yang sesuai dengan maqâsid al shârî’ah itu disebut dengan maslahah hakikiyah
29
Ibid.
27
atau mu'tabarâh (sesuai dengan pandangan syari’ah). Sedangkan maslahah yang tidak sesuai dengan maqâsid al shârî’ah disebut maslahah mulghâh.30 Maslahah mulghâh ini mempunyai dua bentuk. Pertama, maslahah yang secara esensi bertentangan dengan maqâsid al shârî’ah seperti maslahah atau kenikmatan yang dihasilkan dari hubungan intim di luar nikah (zina), meminum minuman keras dan lain-lain. Kedua, maslahah yang secara esensi tidak bertentangan dengan maqâsid al shârî’ah tetapi nilai maslahah menjadi hilang dikarenakan oleh niat yang salah. Shadaqah misalnya, adalah perbuatan terpuji yang mempunyai nilai maslahah. Tapi nilai maslahah ini akan hilang begitu saja apabila pelaku shadaqah tidak berangkat dari niat yang sesuai dengan syari’at. Demikian juga dalam satu hadis dikatakan apabila seorang pemuda yang gagah berperang demi membela dirinya dan bukan untuk membela kepentingan orang banyak, maka sesungguhnya ia berperang di jalan Allah. Apabila ia berperang untuk membela kedua orang tuanya atau keluarganya yang lemah dan bukan untuk membela kepentingan umat, maka sesungguhnya ia berperang di jalan Allah s.w.t. Akan tetapi apabila ia berperang hanya untuk membanggakan keperkasaannya, maka sesungguhnya ia berperang membela shaitan.31 Jadi secara esensi shadaqah itu memiliki nilai maslahah, tapi nilai maslahah ini hilang karena niat yang salah. Demikian juga perang secara esensi tidak bertentangan dengan
30 31
Ibid. Ibid.
28
maslahah, tapi karena ada niat yang salah maka nilai maslahah itu menjadi sirna.32
D. Maslahah dan Nas Setiap kali membahas hubungan antara maslahah dengan nas, maka pertanyaan yang muncul adalah, apa yang terjadi seandainya maslahah bertentangan dengan nas? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita cukup dengan mengatakan bahwa selama maslahah itu mu'tabarah menurut syari’ah maka pertentangan antar keduanya tidak pernah terjadi. Lain halnya jika maslahah itu bukan maslahah mu'tabarâh (maslahah mulghâh), maka keduanya bisa saja saling bertentangan.33 Nas itu sendiri menurut ulama ushul fiqih mempunyai tiga pengertian. Pertama, nas berarti suatu lafad yang menunjukan maknanya secara pasti karena lafad itu hanya mempunyai satu makna. Kedua, nas berarti dalil-dalil yang berada dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah. Dalam pengertian ini, nas memiliki pengertian yang lebih umum. Ketiga, nas berarti suatu kondisi yang oleh Al-Qur’an dan asSunnah dijadikan sebagai illat hukum.34 Dari ketiga pengertian ini maka nas yang kita maksudkan dalam kontek di atas adalah nas sebagaimana dalam pengertian pertama, yaitu suatu lafad yang
32
Yusdani,Peranan kepentingan Umum Dalah Reaktualisasi Hukum: Konsep-Konsep Hukum Islam Najmuddin Al-Tûfî , (Yogyakarta: UII Press., 2000), 31 33 Ibid. 34 Al-Syatiby, al-Muwafaqt,20
29
dilalahnya menunjukkan makna secara pasti, seperti pada surat al Baqarah ayat 275, "Tuhan menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ". Dalam ayat ini Allah membedakan antara jual beli dan riba sebagai perbandingan antara sesuatu yang halal dan yang haram. Lafad jual beli yang ada dalam ayat tersebut merupakan kata yang mempunyai satu makna saja yaitu tukar menukar barang dengan cara-cara yang ditentukan oleh syara’. Dua, lafad jual beli disebut nas karena dilalah maknanya sudah jelas dan pasti serta tidak mempunyai kemungkinan makna yang lain. Demikian pula lafad riba dalam ayat di atas juga disebut nas karena maknanya hanya satu dan tidak mengandung makna yang lain. Riba itu sendiri maknanya ialah setiap pinjaman yang menghendaki atau mewajibkan adanya interes (bunga). Secara keseluruhan ayat itu disebut nas karena ia mempunyai dilalah makna yang pasti (qat’î) yaitu penegasan tentang dibolehkannya jual beli dan dilarangnya riba. Pada zaman ini telah muncul suatu anggapan bahwa riba itu maslahah dan melarang riba akan menyebabkan datangnya mafsadah. Pandangan tersebut sudah tentu bertentangan dengan nas yang menetapkan bahwa riba adalah haram (tidak mendatangkan maslahah). Menanggapi permasalahan pertentangan antara maslahah dan nas, ulama ushul memberikan pendapat bahwa maslahah yang bertentangan dengan nas tersebut ada dua macam. Pertama, maslahah mawhumah yaitu maslahah yang tidak disandarkan pada nas atau hukum yang telah baku. Kedua, maslahah yang disandarkan dengan nas. Maslahah yang kedua ini nilai kemaslahatannya ditentukan oleh nas melalui cara analogi (qiyas).
30
Pertentangan antara maslahah mawhumah dengan nas pada dasarnya merupakan pertentangan antara analisa yang tidak berdasar (wahm) dengan dalildalil syara’ yang qat’î (pasti). Menganggap riba sebagai maslahah tentunya merupakan pandangan yang bersifat wahm. Ketika terjadi pertentangan antara maslahah mawhumah dengan nas, maka nas tetap diutamakan karena dilalah nas itu qat’î sedang dilalah maslahah mawhumah itu zannî. Sedangkan bentuk pertentangan yang kedua, adalah pertentangan antara nas dengan maslahah yang disandarkan pada nas. Pertentangan semacam ini, pada hakikatnya, merupakan pertentangan antara nas dengan qiyas (analogi). Maslahah yang disandarkan pada nas nilai kemaslahatannya ditetapkan melalui proses qiyas (analogi), karenanya analogi ini tidak bisa terlepas dari nas. Mengingat nas dalam proses analogi menjadi bagian penting yang sering diistilahkan dengan asl, maka ulama ushul menyimpulkan bahwa pertentangan seperti ini hanyalah pertentangan yang bersifat juz’iyyah (parsial), sebagaimana pertentangan antara 'âam dengan khass atau antara mutlaq dengan muqâyyad. Bentuk pertentangan kedua ini berbeda dengan pertentangan yang pertama.35 Kalau pada bentuk pertama telah terjadi pertentangan antara nas dan maslahah mawhumah (maslahah yang tidak disandarkan pada syara’), maka pada pertentangan kedua telah terjadi pertentangan antara nas dengan qiyas atau
35
Ibid.
31
pertentangan antara nas dengan nas (dalam bentuk pertentangan parsial). 36 Bentuk pertentangan yang terakhir ini sering ditemukan dalam Islam. la masuk pada ruang lingkup ijtihad, sehingga setiap mujtahid pasti akan berbeda satu dengan lainnya dalam mentarjih dua dalil yang bertentangan tersebut, sesuai dengan kaedah-kaedah ushul dan kepekaan ijtihad masing-masing.37 Contoh dari pertentangan kedua ini ialah, QS. 4-29: ”Hai orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil kecuali dengan perniagaan yang berlaku secara suka sama suka di antara kamu”. Secara lahir ayat ini tidak membolehkan seseorang memakan harta orang lain secara batil, baik dalam keadaan terpaksa (idtirâr) atau dalam keadaan normal (ikhtiar).38 Hukum yang terdapat pada ayat ini ternyata bertentangan dengan hukum yang menetapkan dibolehkannya seseorang memakan harta orang lain walaupun dengan cara batil pada saat ia dalam keadaan terpaksa. Hukum kedua ini tentunya merupakan suatu hukum yang ditetapkan melalui proses analogi atau qiyas, yaitu menganalogikan antara memakan harta orang lain dalam keadaan darurat (terpaksa) dengan memakan bangkai, juga di saat darurat. Oleh karena memakan bangkai di saat darurat itu boleh, maka memakan harta orang lain meskipun
36
Muhammad Abid Al-Jabiri,al-Din Wa al-Daulah Wa Tatbiq al-Shârî’ah, terj. Mujiburrohman,Agama Negara dan Penerapan Syari’ah (Yogyakarta: Fajar Pustama Baru,mmmmmm 2001),39 37 Ibid., 41 38 Ibid.
32
dengan batil itu juga boleh. Illat al-jami'ah yang ada pada analogi ini ialah darurat.39 Pertentangan dua dilalah dari dua dalil syara’ atau lebih seperti itu, oleh para ulama ushul telah dibahas secara panjang lebar dalam pembahasan 'âam dan khâss. Dan yang patut dicatat adalah bahwa pertentangan ini bukan merupakan pertentangan yang saling menafikan secara keseluruhan, tapi hanya menafikan sebagian dilalah saja (parsial), sehingga pertentangan ini dalam ushul fiqih tidak disebut sebagai pertentangan hakiki (ta'arud), melainkan sering diistilahkan dengan takhsîs al-'âam bi al-khâss.40
E. Kehujjahan Maslahah Ulama ushul fiqih sepakat menyatakan bahwa maslahah mu’tabarâh dapat dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam. Sedang maslahah al mulghâh dan maslahah al ghâribah dianggap tidak dapat digunakan untuk menetapkan hukum Islam. Pada prinsipnya, semua ulama madhab menerima maslahah al mursalah sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syari’at sekalipun mereka berbeda pendapat dalam peristilahan, menentukan syarat, penerapan, dan penempatannya.
39 40
Ibid., 45 Ibid.
33
Menolak kemadlaratan, merupakan tujuan syara’ yang wajib dilakukan. Ia termasuk dalam konsep maslahah al mursalah. Atas dasar itulah ulama hanafiah menerima maslahah al mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, dengan syarat bahwa kemaslahatan tersebut terdapat dan didukung oleh nas dan ijma'. Penerapan konsep maslahah al mursalah di kalangan hanafiah terlihat sangat luas dalam metode istihsân. Maslahah
ini
yang
menyebabkan
Sayyidina
Abu
Bakar
Ra
mengumpulkan lembaran-lembaran al-Quran yang berserakan sehingga dalam perkembangannya menjadi satu mushaf. Sebelumnya, kodifikasi ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dengan dasar maslahah pula Sayyidina Umar Ra. membentuk kota-kota administrasi, membangun penjara, dsb. Selain hanafiah, madhab Mâliki dan Hanbâli adalah madhab yang menerima maslahah mursalah sebagai landasan hukum, bahkan kedua madhab ini dianggap sebagai ulama fiqih yang paling banyak dan luas dalam menerapkannya. Menurut mereka maslahah mursalah adalah hasil induksi dari logika sekumpulan nas, akan tetapi bukan dari nas-nas yang rinci sebagaimana dalam qiyas. Alasan-alasan yang digunakan jumhur ulama untuk menjadikan maslahah sebagai pijakan hukum, antara lain : 1. Kesimpulan mereka atas sejumlah ayat dan hadis yang menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia sebagaimana disinyalir firman Allah s.w.t “dan tidaklah kami mengutus mu (Muhammad) melainkan sebagai Rahmat bagi semesta alam”. Menurut mereka, Rasulullah
34
SAW tidak akan menjadi rahmat apabila bukan dalam rangka memenuhi kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. 2. Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi oleh dimensi ruang dan waktu, serta subyek hukum. Apabila syari’at Islam hanya dibatasi pada hukum-hukum yang sudah ada saja, padahal problematika dan kemaslahatan selalu muncul dan berkembang, maka akan membawa kesulitan bagi umat manusia. 3. Penggunaan maslahah mursalah ini juga didasarkan pada beberapa atharus sâhabah .
F. Kriteria Maslahah dan Pandangan-Pandangan Ulama Untuk menjadi pijakan hukum, ulama menetapkan beberapa kriteria yang harus dipenuhi. Beberapa syarat maslahah tersebut adalah : 1. Kemaslahatan sejalan dengan maksud syari’at. 2. Kemaslahatan itu harus bersifat rasional, bukan sekadar perkiraan 3. Kemaslahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Madhab Shâfi'î pada dasarnya juga menjadikan maslahah mursalah sebagai salah satu dalil syari’at. Akan tetapi beliau lebih cenderung memasukkannya ke dalam bagian qiyas. Misalnya, beliau mengqiyaskan hukuman bagi peminum arak pada hukuman orang yang menuduh orang berzina,
35
yaitu berupa dera sebanyak 80 kali, karena orang yang mabuk diduga kuat akan menuduh orang lain berbuat zina. Tidak dipungkiri bahwa kebanyakan hukum yang dilahirkan dari qaul jadid imâm Shâfi'î di Mesir didasarkan pada adat penduduknya. Ini tidak lain hanyalah untuk kemaslahatan penduduknya. Al-Ghâzalî juga membahas maslahah mursalah dalam kitab alMushtashfâ. Menurutnya, syarat untuk menjadikan maslahah mursalah sebagai argumen untuk mengambil hukum sama dengan tiga poin di atas walaupun sedikit berbeda pada poin kedua dan ketiga, yatiu: 1. Maslahah itu sejalan dengan syari’at. 2. Maslahah itu tidak bertentangan dengan nas syari’at. 3. Maslahah tersebut masuk dalam kategori maslahah zârurîyyât (kebutuhan yang sangat mendesak), baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kepentingan orang banyak. Untuk yang terahir ini, al-Ghâzalî mengatakan bahwa hâjîyyât (kebutuhan biasa), apabila menyangkut kepentingan orang banyak bisa menjadi zârurîyyât . Selanjutnya beliau menambahkan, jika yang dimaksudkan dengan maslahah mursalah adalah untuk mewujudkan moralitas universal syari’at maka dalil ini tidak perlu diperselisihkan lagi dan harus diikuti. Namun, jika terjadi pertentangan antara dua maslahah, maka harus dilakukan tarjîh . Senada dengan itu Al-Qurtubî menyatakan bahwa dengan adanya batasanbatasan itu maka dalil ini tidak seharusnya diperselihkan eksistensinya. Walaupun
36
para ulama fiqih mengemukakan syarat-syarat yang sangat ketat dalam menggunakan maslahah sebagai pijakan hukum, namun pada kenyataannya, para sahabat yang memenuhi semua syarat tersebut. Mereka hanya menjaga kemaslahatan meskipun sifatnya hanya parsial, teka-teki, atau zannî (praduga). Hal ini pernah dilakukan oleh Sayyidina Umar Ra ketika menghukumi talak terhadap seorang wanita yang suaminya hilang selama empat tahun. Keputusan Sayyidina Umar Ra ini adalah untuk melindungi kemaslahatan si istri tersebut dan menghindarkannya dari bahaya meskipun tidak ada kejelasan mengenai kematian sang suami. Pendapat Sayyidina Umar Ra di atas disepakati oleh Sayydina Utsman Ra, Sayyidina Ali Ra, Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan sejumlah tabi'in. Keputusan seperti ini juga banyak diambil oleh para sahabat pada kasuskasus yang berbeda . Oleh karenanya, imâm al Shatibî dalam memberlakukan maslahah mursalah tidak menetapkan syarat sebagaimana yang dilakukan oleh alGhâzalî, khususnya poin pertama dan kedua. Hanya saja beliau memberikan tiga hal yang perlu diperhatikan ketika menggunakan dalil maslahah , yaitu : 1. Bersifat logis, dan bukan masalah ta'abbudi (ibadah) karena hal-hal yang bersifat ta'abbudi adalah sesuatu yang harus diterima; 2. Berhubungan
dengan
tujuan
syari’at
secara
global
dengan
tidak
menghilangkan hukum dari asalnya, serta tidak ada dalil yang menunjukkan secara qat'î ;
37
3. Penggunaan dalil tersebut untuk menjaga sesuatu yang mendesak (zârurî) atau menghilangkan kesulitan dalam agama. Dasar penggunaan dalil maslahah untuk menghilangkan kesulitan adalah untuk meringankan dan mempermudah. Oleh karena itu, tidak harus memenuhi beberapa syarat yang dikemukakan olah al-Ghâzalî. Sebab, kemaslahatan ada kalanya bersifat mendesak. Tidak menjadi keharusan pula bahwa sesuatu yang menyeluruh itu meliputi kepentingan umum. Sedangkan memelihara maslahah pribadi dan kelompok-kelompok yang berbeda diakui oleh syari’at. Maslahah yang dapat dijadikan sebagai pijakan hukum itu tidak harus berupa dalil qat'î (pasti). Zannî yang rajih pun dibenarkan dalam hukum derivasi. Tokoh lain yang berbicara tentang maslahah ini adalah Najm al Din alTûfî. Dia memandang bahwa inti ajaran Islam yang terkandung dalam nas adalah maslahah bagi umat manusia. Karenanya, seluruh bentuk kemaslahatan disyari’atkan. Kemaslahatan tidak perlu mendapat dukungan dari nas , baik literal atau tersirat.. Menurutnya, maslahah merupakan dalil kuat yang secara mandiri dapat dijadikan alasan dalam menentukan hukum syari’at. Pandangan al- Tûfî ini tentu bertentangan dengan paham yang dianut oleh mayoritas ulama ushul fiqih di zamannya yang memandang bahwa maslahah harus didukung syari’at, baik literal atau tersirat. Karena pandangan ini juga, alTûfî termarginalkan dari forum-forum ulama ushul fiqih di jamannya. Akan tetapi, pemikirannya tentang maslahah ini kemudian banyak dikaji oleh ulama ushul sesudahnya, terutama oleh pemikir kontemporer.
38
Alasan al- Tûfî dalam menjadikan maslahah sebagai hujjah adalah sebagai berikut: 1. Akal bebas menentukan maslahah dan mafsadah. 2. Maslahah hanya berlaku dalam mu'amalah dan adat, sedangkan ibadah merupakan hak Allah s.w.t semata. 3. Maslahah adalah dalil yang mandiri dalam menetapkan hukum syari’at, tidak butuh dukungan nas. Oleh karenanya, jika terjadi pertentangan dengan nas maka maslahah harus dimenangkan dengan cara mentakhsis nas dan bayan. Walupun secara sepintas orang akan mengklaim pandangan al- Tûfî ini sangat radikal, namun menurut penulis, pandangan al- Tûfî sebenarnya tidak jauh berbeda al-Ghâzalî atau al Shatibî. Hal itu karena pandangan al- Tûfî mengenai maslahah ini lebih menekankan pada sejumlah kasus yang bersifat zârurî . Sehingga menurut beliau, ketika maslahah berseberangan dengan nas maka yang dimenangkan adalah maslahah.
39
BAB III GAMBARAN UMUM MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI), DAN STRUKTUR KEPUTUSAN FATWA TENTANG WAKAF TUNAI
A. Gambaran Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) 1. Latar Belakang dan Tujuan Didirikannya Majelis Ulama Indonesia (MUI) Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdiri setelah 30 tahun Indonesia merdeka, tepatnya pada tanggal 26 Juli 1975. Dengan dilatarbelakangi terbentuknya Dewan Ulama di berbagai negara terutama Asia Tenggara sebagai penasehat tertinggi di bidang keagamaan, maka para ulama berjuang agar wadah semacam ini bisa terwujud di Indonesia. 41 Berdirinya lembaga ini bermula dari kesadaran para ulama Indonesia bersama-sama dengan para cendekiawan muslim Indonesia untuk turut serta memajukan masyarakat dan menyukseskan pembangunan melalui suatu wadah yang dinamakan Majelis Ulama Indonesia.42 Para ulama dan cendekiawan muslim Indonesia juga menyadari adanya hubungan timbal balik antara agama Islam dan negara Indonesia. Agama Islam memerlukan negara Indonesia sebagai wahana untuk memujudkan nilai-nilai universal Islam, sedangkan negara Indonesia
41 42
Majelis Ulama Indonesia, Buku Panduan MUI (Jakarta: MUI, 2002), 15 Ibid., 4
40
memerlukan Islam sebagai landasan bagi pembangunan masyarakatnya yang maju dan berakhlak.43 Majelis Ulama Indonesia (MUI) didirikan salah satunya untuk membantu pemerintah dalam memberikan fatwa-fatwa keagamaan dalam pelaksanaan pembangunan. 44 Dalam memberikan fatwa-fatwa keagamaan tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) harus mewakili aspirasi umat Islam Indonesia yang beragam aliran paham serta organisasi keagamaan.45 2. Konsep dan Dasar Hukum Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga pemberi fatwa, mendasarkan penetapan fatwanya kepada al-Qur’an, al-Hadis, ijma’ dan qiyas. Penetapan fatwa oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersifat responsif, proaktif dan antisipatif serta dilakukan secara kolektif oleh suatu lembaga yang dinamakan “Komisi Fatwa”.46 Majelis Ulama Indonesia (MUI) berwenang dalam menetapkan fatwafatwa keagamaan secara umum, terutama masalah hukum (fiqih) dan masalah akidah yang menyangkut kebenaran dan kemurnian ajaran Islam.47 Secara umum, keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dirumuskan dengan menggunakan bahasa hukum yang mudah dipahami oleh semua lapisan masyarakat serta ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris 43
Ibid., 5 Ibid., 15 45 Ibid., 10 46 Ibid., 67 47 Ibid., 70 44
41
Komisi. Keputusan fatwa memuat judul dan nomor keputusan fatwa; konsideran yang memuat latar belakang, alasan dan urgensi penetapan fatwa, dasar hukum dan pendapat-pendapat yang mendukung penetapan fatwa; diktum yang memuat substansi hukum yang difatwakan serta rekomendasi dan / atau jalan keluar, apabila dipandang perlu; penjelasan berisi uraian dan analisis secukupnya tentang keputusan fatwa; terakhir lampiran-lampiran, jika dipandang perlu.48 3. Metode Istinbat Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sesuai dengan Keputusan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tertanggal 2 Oktober 1997 No. U-596/MUI/X/1997 tentang Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dijelaskan tentang dasardasar umum penetapan fatwa bahwa dasar keputusan fatwa secara hierarki adalah Kibabullah, Sunnah mu'tabarâh, Ijma'. Qiyas yang mu'tabar dan dalildalil hukum yang lain semisal istihsân, maslahah mursalah dan sad al-dari'ah, juga hendaknya meninjau pendapat-pendapat para imâm madhab. 49 Sebelum Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan suatu fatwa, Komisi Fatwa terlebih dahulu meninjau pendapat para imâm madhab tentang masalah yang akan difatwakan tersebut, secara seksama beserta dalil-dalilnya. Terhadap masalah yang telah jelas hukumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) 48
Ibid., 69 Departemen Agama, Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (Jakarta: MUI, 2005), 4-5 49
42
menyampaikannya sebagaimana adanya. Namun dalam masalah khilafiah, penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu diantara pendapat-pendapat imâm madhab melalui metode al-jam’u wa al-taufiq. Jika usaha penemuan titik temu tidak berhasil dilakukan, penetapan fatwa didasarkan pada hasil tarjih melalui metode muqârânah al-madhâhib dengan menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqih Muqaran. Sedang dalam yang tidak ditemukan hukumnya dikalangan madhab, penetapan fatwa didasarkan pada hasil ijtihad jama’i (kolektif) melalui metode bayani, ta’lili (qiyasi, istihsani, ilhaqi), istihsani dan sad al-dariah. Penetapan fatwa harus senantiasa memeperhatikan kemaslahatan umat (masâlih ‘âmah) dan maqasid alshari’ah.50
B. Struktur Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Wakaf Tunai Apabila keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang wakaf uang ini dipetakan, maka struktur keputusan tersebut terdiri atas dua hal penting yakni konsideransi (dasar putusan) dan subtansi putusan. Masing-masing struktur keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
50
Majelis Ulama Indonesia, Buku Panduan MUI, 67-68
43
1. Konsideransi / Dasar Putusan Dasar hukum wakaf tunai menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah sebagai berikut:51 a. Dasar Putusan Yuridis Sosiologis Dasar
putusan
yuridis
sosiologis
dapat
dilihat
pada
klausul
“mempertimbangkan” yang menyebutkan: 1) Bahwa bagi mayoritas umat Islam Indonesia, pengertian wakaf yang umum diketahui, antara lain, yakni "menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tesebut, disalurkan pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada" (al-Ramli, 1984:357 dan al-Syarbini, tt: 376) atau "Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam" dan "Benda wakaf adalah segala benda, baik bergerak atau tidak bergerak, yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam" (Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Buku III, Bab I, Pasal 215, (1) dan (4)) sehingga atas dasar pengertian tersebut, bagi mereka hukum wakaf uang (waqf al-nuqud, cash wakaf) adalah tidak sah; 51
Himpunan Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia (Jakarta: MUI, 2003), 81-84
44
2) Bahwa wakaf uang memiliki fleksibilitas (keluwesan ) dan kemaslahatan besar yang tidak dimiliki oleh benda lain; 3) Bahwa oleh karena itu, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum wakaf uang untuk dijadikan pedoman oleh masyarakat b. Dasar Putusan Yuridis Normatif Dasar putusan yuridis normatif dibedakan menjadi 2 yaitu: 1) Sumber hukum primer (al-Qur’an dan al-Hadis) Sumber hukum primer tercantum dalam Klausul “mengingat” sebagai berikut: a) Al-Qur’an
tu sن ا ّ qr op cl اejkfO Hlن وeّEnO HّQl اejkfO hّiF Pّ Edا اedHfO cd vwJx “Kamu sekalian tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imron [3]: 92)52
LuHfM EM }iE~} اEF LyQ آs اLwEM hr vIdاelن اejkfz cz{d اLyl . vwJx M واsء واHz cQd xHz s} واEF }l }JEfM L آhr
وHfl اejk~ اHl نeEiz
vR s اLwEM hr vIdاelن اejkfz cz{dا نe~nz v و
هvIwJx فe
وvIu رfx vهP اvId اذي “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan 52
Al-Qur’an, 3:92.
45
sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir ada seratus biji, Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki dan Allah Maha Luas (karuniaNya lagi Maha Mengetahui). Orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka berselisih.” (QS. al-Baqarah [2]: 261-262).53 b) Al-Hadis
تHl إذا: لH vJM وtwJx s اhJK sل اeMن ر ّ ة أPzP هhu أcx , tu kifz vJx أو, }zرH }K : ثR cl
ّ إtJQx j~ دم اcuا (vJ l رى وHEd ل)روا اexz dHK dأو و “Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa rasululloh SAW bersabda: apabila anak adam meninggal dunia maka terputuslah segala bentuk amalannya (karena ia telah mati) kecuali tiga perkara (yang pahalanya tetap mengalir walau ia telah tiada), yaitu shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang sholeh yang senantiasa mendoakannya”. (H.R. Bukhari Muslim).54
PEwu H¢ أرPQx بHK أ: لH HQIfx s¡ ا¢ رPQx cu اcx sل اeM رHz : لHjr HIwr Pl¤i z vJM وtwJx s اhJK ¡Efd اhO¤r HQr tfl ىfx Dk~ أe§ ه ّ
Hl ¦K أvd PEwu H¢ أر¥EK أhّ~إ ¥p إن, vJM وtwJx s اhJK sل اeM رtd لHjr tu ونPl¤O
ع وHEO
HIّ~ أPQx HIu ¨ّقir HIu ¥ّ¨O وHIJK أ¥ EF hr وhuPjd اhrء وPjkd اhr HIu ¨ّقOل وH. رثeO
و, ¦هeO cl hJx حHf
wd واLwEّ d اcu واs اLwEM hrب وHّPdا (vJ l ّل) رواeQil Pw¬ vzروف و¤QdHu HIfl Lآ¤z أنHIّwdو
53 54
Al-Qur’an, 2:261-262. H.R. Bukhari - Muslim
46
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. dikatakan bahwasanya Umar r.a. telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar kemudian Umar r.a. menghadap rosululloh S.A.W untuk meminta petunjuk. Umar berkata:”wahai Rosululloh, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan tanah sebaik itu, maka apakah perintahmu kepadaku berkenaan dengan tanah yang saya punya ini?”. Lalu Rosululloh S.A.W menjawab:” Jika engkau suka tahanlah tanah itu (asalnya) dan engkau sedekahkanlah hasilnya. Kemudian Umar r.a. mensedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak pula menghibahkan, dan mewariskannya. Ibnu Umar r.a. berkata:”Umar r.a. mensedekahkan (hasil pengolahan tanah) kepada orangorang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nadzir) wakaf itu makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta. "(H.R Muslim).55
vIM }Hl ان: vJM وtwJx s¡ اJK ¡EfJd LQx لH PQx cu اcx اردت انHIfl ¡d®¦ اx
§ اHl ¦K ااvd PEw ¡r ¡d ¡idا HIJK اDwF ا: vJM وtwJx s¡ اJK ¡Efdل اH ؛ وHIu ¨قOا (H fd) روا اHIOPQR LwMو “Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a.: ia berkata bahwasanya Umar r.a. bercerita kepada nabi SAW ,”saya mempunyai seratus saham (tanah, kebun) di Khaibar, belum pernah saya mendapatkan harta yang lebih saya kagumi melebihi tanah itu ; saya bermaksud menyedekahkan”. Nabi SAW berkata “Tahanlah pokoknya dan sedekahkan hasilnya pada sabilillah”.(H.R.al-Nasa' i)..56
Jabir r.a. berkata:
رةjl td vJM وtwJx s¡ اJK sل اeMب رHnK اcl F¡ اjz Hl Hkا
و و 55 56
H.R. Muslim H.R. al-Nasa’i
47
“Tak ada seorang sahabat Rasulpun yang memiliki kemampuan kecuali berwakaf” ." (al-Zuhaili, 1997: 7603 dan al-Syarbini, tt: 376).
2) Sumber hukum sekunder (hasil ijtihad ulama) Sumber hukum sekunder terdapat dalam klausul “memperhatikan” yang menyebutkan: a) Pendapat imâm az-Zuhrî bahwa mewakafkan dinar hukumnya boleh, dengan cara menjadikan dinar tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya disalurkan kepada mauquf ’alaih. b) Mutaqaddimin dari ulama madhab Hanafi membolehkan wakaf uang dinar dan dirham sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan bi al-'Urfi, berdasarkan atsar Abdullah bin Mas'ud r.a "Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk". c) Pendapat sebagian ulama madhab al-Shâfi'î yakni Abu Thaur meriwayatkan dari imâm al-Shâfi'î tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham (uang)". d) Pandangan dan pendapat rapat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada hari Sabtu, tanggal 23 Maret 2002, antara lain tentang perlunya dilakukan peninjauan dan penyempurnaan (pengembangan) definisi wakaf yang telah umum diketahui,
48
dengan memperhatikan maksud hadis, antara lain, riwayat dari Ibnu Umar (lihat konsideran mengingat (adillah) nomor 4 dan 3 di atas. e) Pendapat rapat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Sabtu, tanggal 11 Mei 2002 tentang rumusan definisi wakaf sebagai berikut: yakni "menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada". f) Surat Direktur Pengembangan Zakat dan Wakaf Depag RI, nomor Dt.1.IIU5/BA.03.2/2772/2002, tanggal 26 April 2002. 2. Substansi Putusan Berdasar pada konsideransi di atas, akhirnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) memutuskan fatwa tentang wakaf tunai dengan poin sebagai berikut: a. Wakaf Uang (Cash Wakaf atau Waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. b. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga. c. Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh). d. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar' iah.
49
e. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.
50
BAB IV MASLAHAH SEBAGAI METODE ISTINBAT FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG WAKAF TUNAI
Perkembangan legal formal aturan perundang-undangan tentang wakaf di Indonesia bisa dikatakan mengalami stagnasi/ kemandegan. Legalitas formal peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perwakafan di Indonesia baru ada pada tahun 1960 ditandai dengan lahirnya Undang-Undang no 5 tahun 1960 tentang UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria). Dalam pasal 49 ayat 3 UndangUndang Pokok Agraria (UUPA) no 5 tahun 1960 dinyatakan bahwa pemerintah mengharuskan adanya pendaftaran tanah wakaf sesuai dengan PP no 10 tahun 1961. Hal ini merupakan upaya pemerintah untuk memberikan suatu bentuk perlindungan atas tanah wakaf agar tidak terjadi sengketa dikemudian hari. Setelah UUPA no 5 tahun 1960 tersebut, ada dinamika dengan terbitnya PP no 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik. PP no 28 tahun 1977 ini di dalamnya hanya mengatur tentang
wakaf
pertanahan
saja,
yang
diantara
pasalnya
menyebutkan
dimungkinkannya adanya pertukaran harta wakaf setelah mendapatkan ijin dari Menteri Agama. Baru kemudian setelah hampir 25 tahun muncul fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang wakaf uang tepatnya pada tanggal 11 Mei 2002. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang wakaf uang ini kemudian diperkuat dengan dikeluarkannya Undang-Undang no 41 tahun 2004 tentang wakaf yang
51
didalamnya menyebutkan bahwa yang dapat menjadi obyek wakaf tidak hanya aset tetap, akan tetapi juga dapat aset tidak tetap dan uang. Kemandegan legal formal aturan perundang-undangan tentang wakaf ini berdampak pada perkembangan bidang wakaf di Indonesia. Lambannya kemajuan pada bidang wakaf di Indonesia salah satu penyebabnya adalah karena terciptanya paradigma di masyarakat bahwa yang menjadi obyek wakaf hanyalah harta yang bersifat tetap (fix asset). Pola pemikiran dan mainstream yang tercipta pada saat itu bahwa wakaf identik dengan keabadian serta keterbatasan peruntukannya pada sarana kegiatan sosial keagamaan. Kondisi demikian ini didukung oleh latar belakang para penyiar agama Islam yang mayoritas bermadhab Shâfi’î sehingga sarana hukum tentang wakaf pun lebih terpola pada aturan fiqh syafi’iah. Oleh karenanya, legalitas formal dari peraturan perundangan yang berlaku pada saat itu sangat mendukung kondisi yang demikian. Gambaran kegiatan wakaf pada masa dahulu dapat kita lihat sejak masa awal penyiaran dan perkembangan Islam di Indonesia. Pada masa awal penyiaran dan perkembangan Islam di Indonesia wakaf hanya diperuntukkan untuk pembangunan sarana penunjang kegiatan dakwah berupa tempat ibadah. Pada saat itu, kegiatan wakaf yang ada di masyarakat hanya berorientasi pada bentuk tanah dan bangunan seperti untuk pembangunan masjid, musholla, langgar, sekolah, pondok pesantren, madrasah, yayasan, panti asuhan dan pekuburan. Bentuk kegiatan wakaf yang semacam ini berlangsung sangat lama dan relatif hampir sama di seluruh wilayah Indonesia. Keberadaan bangunan-bangunan tersebut pada masa itu memang sangat
52
dibutuhkan oleh masyarakat banyak karena pemerintah belum mampu menyediakan fasilitas-fasilitas tersebut. Untuk membangun bangsa yang besar ini, tentunya pemerintah juga butuh swadaya dari mayarakat. Dengan adanya bentuk wakaf yang ada pada saat itu, pemerintah sangat terbantu untuk menyediakan fasilitas sosial keagamaan bagi rakyatnya. Di lain pihak, rakyat juga merasakan manfaatnya karena kebutuhan mereka akan bangunan-bangunan tersebut dapat terpenuhi. Oleh karenanya bentuk wakaf tanah dan bangunan pada saat itu mampu memberikan kemanfaatan yang besar serta sudah memiliki nilai lebih, baik untuk rakyat maupun pemerintah. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan jaman, tanah dan bangunan wakaf tersebut dari tahun ke tahun semakin bertambah banyak jumlahnya namun tak terpelihara karena tidak adanya sumber finansial yang dapat digunakan untuk mengelola dan mengembangkan aset wakaf tersebut. Bahkan untuk sekedar biaya perawatan dan perbaikan saja hanya didapat dari kotak amal yang tidak seberapa jumlahnya dan masih harus mencarikan sumbangan dari para dermawan. Perkembangan ekonomi sosial masyarakat yang begitu pesat saat ini akan menuntut masyarakat terhadap aset wakaf yang lancar berupa uang tunai. Permasalahan wakaf seperti tersebut di atas, pada masa sekarang ini seyogyanya sudah dapat teratasi karena adanya kemajuan jaman yang di dalamnya diikuti masuknya ide-ide dari banyak negara yang dapat kita kaji dan kita jadikan bahan pemikiran untuk kemajuan bidang wakaf di Indonesia. Nampaknya, proses-proses kajian dalam bidang wakaf khususnya konsep wakaf produktif oleh para pakar ini di
53
Indonesia sudah mulai marak dilakukan sejak tahun 2001. Hal ini kemudian di respon oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan melahirkan fatwa tentang kebolehan berwakaf dengan uang (Waqf al Nuqud) pada tahun 2002. Dengan lahirnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang wakaf tunai tersebut sedikit banyak mendinamisasi perkembangan legalitas formal perwakafan di Indonesia yang telah lama mengalami stagnasi. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang wakaf tunai menyebutkan bahwa uang yang di dalamnya juga termasuk surat-surat berharga boleh dijadikan sebagai obyek wakaf. Penggunaan uang dan surat-surat berharga ini sebagai obyek wakaf, tentunya harus dengan syarat digunakan untuk kepentingan shari’ah dan kelestarian nilai pokoknya harus tetap dijamin serta tidak boleh dijual maupun dihibahkan. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang wakaf tunai merupakan solusi atas problem yang ada di masyarakat, di mana masyarakat maju menginginkan bentuk baru wakaf yang sesuai dengan kondisi kekinian akan tetapi keinginan tersebut tidak didukung oleh legalitas formal perundang-undangan yang ada. Oleh karenanya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang wakaf tunai membuka jalan bagi kemajuan bidang wakaf di masa yang akan datang terutama dalam legalitas formal aturan perundang-undangan serta merupakan awal dari pergeseran paradigma wakaf yang telah lama terpola di masyarakat. Hal ini merupakan salah satu bentuk capaian dalam mewujudkan kemaslahatan umat yang dituangkan dalam konsideran sebagai salah satu dasar pertimbangan putusan.
54
Hukum "boleh" terhadap wakaf tunai dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut merupakan hasil kompromi berbagai pendapat imâm madhab yang kelihatannya bertentangan, namun pada akhirnya berhasil disejalankan. Diriwayatkan oleh imâm Bukhâri bahwa imâm az-Zuhrî memberikan fatwanya untuk berwakaf dengan dinar dan dirham agar dapat dimanfaatkan sebagai sarana pembangunan, dakwah, sosial dan pendidikan umat Islam. Cara yang dilakukan adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha
(modal produktif) kemudian
menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Pendapat az-Zuhrî yang membolehkan wakaf dinar dan dirham dengan menjadikannya modal usaha yang hasilnya disalurkan untuk kegiatan keagamaan dan sosial menempati posisi penting dalam pertimbangan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang wakaf tunai tersebut. Pendapat kedua yang dijadikan sandaran atau rujukan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang wakaf tunai adalah pendapat para ulama hanafiah yang membolehkan wakaf tunai sebagai pengecualian atas dasar istihsân bi al-'urf. Kalangan ulama hanafiah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan. Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahwa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan wakif itu sendiri. Dengan artian, wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, sehingga perwakafan hanya terjadi atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk aset hartanya. Dapat dijelaskan di sini bahwa menurut Abu Hanifah sifat wakaf itu tidaklah tetap sehingga dapat dibatalkan kapan saja, atau batal sebab kematian sehingga menjadi
55
harta waris, oleh karena itu wakaf, dalam pandangan Abu Hanifah lebih dianalogikan (diqiyaskan) pada ijarah (sewa) dimana kepemilikan tidak berpindah alias tetap menjadi milik wakif. Pendapat ulama hanafiah yang membolehkan wakaf uang atas dasar istihsân bi al-'urf merupakan bentuk penolakan terhadap kemadharatan. Ulama hanafiah menerima maslahah sebagai metode penetapan hukum atas dasar menolak kemadharatan. Menolak kemadharatan, dalam konsep maslahah, merupakan tujuan syara’ yang wajib dilakukan. Ulama hanafiah menerima maslahah sebagai dalil dalam menetapan hukum, dengan syarat bahwa kemaslahatan tersebut terdapat dan didukung oleh nas dan ijma’. Penerapan konsep maslahah di kalangan ulama hanafiah dikenal dengan metode istihsân. Madhab Shâfi’î pada dasarnya menjadikan maslahah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan suatu hukum. Akan tetapi, dalam prakteknya mereka lebih cenderung memasukkannya ke dalam bagian qiyas. Berbeda dengan sifat wakaf yang dikehendaki oleh kalangan hanafiah, syafi’iah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh wakif untuk diserahkan kepada nadhir yang dibolehkan oleh syari’ah. Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan. Ulama syafi’iah memandang bahwa wakaf adalah perbuatan hukum yang mengikat sehingga menyebabkan kepemilikan berpindah. Oleh karena dalam wakaf terjadi pemindahan kepemilikan, maka menurut mereka wakaf lebih dekat
56
dianalogikan ke akad jual beli. Dalam teori hukum Islam, penganalogian wakaf ke hukum jual beli adalah lebih kuat daripada hukum wakaf dianalogikan ke hukum sewa, karena antara wakaf dan jual beli ada kesamaan illat yaitu terjadi pemindahan hak milik sedangkan antara wakaf dengan sewa ada kesamaan illat namun illat tersebut masih samar. Penganalogian wakaf ke hukum jual beli demikian dikenal dengan sebutan qiyas jalî karena ada kejelasan illat hukum, sedang penganalogian wakaf ke hukum sewa merupakan qiyas khâfî karena meskipun dalam sewa ada proses pemindahan hak akan tetapi hak tersebut adalah hak guna/pakai bukan hak milik. Di sini, Abu Hanifah lebih memilih qiyas khâfî daripada qiyas jalî dengan pertimbangan masyarakat telah mempraktikkannya karena kebutuhan. Dalam teori hukum Islam, cara berpikir demikian dikenal dengan istihsân bi al-'urf, yakni mengunggulkan atau mendahulukan qiyas khâfî atas qiyas jalî karena adanya dalil. Hukum asal wakaf yang lebih kuat adalah menghendaki keabadian (muabbad) sehingga tidak diperbolehkan mewakafkan harta bergerak yang cenderung binasa, sepertihalnya uang, namun kepentingan publik yang membutuhkan instrument wakaf uang ini dapat dijadikan alasan untuk beristihsan sehingga wakaf uang menjadi boleh. Pendapat ulama syafi’iah ini dituangkan pula pada substansi putusan selanjutnya yang menerangkan bahwa nilai pokok aset wakaf (uang) tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan sebagaimana hal ini berdasar pada riwayat Ibnu Umar tentang wakaf Umar atas tanah khaibar. Dalam teori fiqh, substansi putusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang wakaf tunai tersebut bisa dikatakan bertentangan. Putusan fatwa yang
57
menyebutkan tidak boleh adanya perbuatan hukum (menjual, menghibahkan dan mewasiatkan) terhadap harta wakaf jelas bertentangan dengan konsep fiqh wakaf ulama hanafiah yang membolehkan perbuatan hukum tersebut. Bagi ulama hanafiah wakaf merupakan bentuk penggunaan nilai manfaat saja yang bisa diibaratkan dengan hukum sewa bukan pemindahan hak milik sehingga wakaf merupakan bentuk kontrak yang tidak mengikat. Sedangkan bagi ulama syafi’iah adalah sebaliknya sehingga filosofi yang terkandung dalam menunaikan wakaf adalah ketika wakaf ditunaikan maka terjadi pemindahan kepemilikan, dari kepemilikan pribadi menuju kepemilikan masyarakat umum yang diharapkan abadi dan memberikan manfaat secara berkesinambungan. Oleh karenanya wakaf merupakan bentuk kontrak yang mengikat yang dianalogkan dengan hukum jual beli. Substansi putusan fatwa tentang wakaf tunai yang dimunculkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada dasarnya mengambil pendapat imâm az-Zuhri dan ulama madhab Hanafi yang ajarannya tidak begitu familier di Indonesia. Oleh karenanya untuk tetap menjaga keharmonisan keberagamaan agar tidak menuai kontra yang begitu kuat, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya tentang wakaf tunai memunculkan juga pendapat golongan madhab Shâfi’î yang ajarannya banyak diikuti oleh masyarakat muslim Indonesia. Berangkat dari adanya pendapat dari dua imâm madhab yang berbeda yang dimunculkan dalam substansi putusan tersebut, menjadikan aspek maqâsid al shârî’ah yang bermuara pada maslahah mursalah merupakan akar pertimbangan diputuskannya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang wakaf tunai tersebut.
58
Hal ini diperkuat oleh pandangan Setiawan Budi Utomo, anggota DSN yang telah mengikuti pembahasan awal BPH DSN-MUI, bahwa terdapat kecendrungan pendapat untuk mengakomodir kemaslahatan yang terdapat pada konsep wakaf tunai berdasarkan pendapat az-Zuhrî, ulama madhab Hanafi, Mâliki dan Hanbâli seperti Ibn Taymiyyah dan Ibnu Qudamah yang membolehkan wakaf Tunai. Adapun dalil-dalil qat’î yang menjadi dasar keputusan ini adalah ayat-ayat AlQur’an yang secara umum berisi tentang anjuran berinfaq ke jalan kebajikan, dan wakaf merupakan salah satu ibadah yang ada di dalamnya. Hal ini ini dapat dipahami karena dalam literatur-literatur fiqih wakaf yang kita jumpai adalah demikian adanya sebagaimana juga dinyatakan oleh al-Zuhayli. Begitupun juga hadis-hadis nabi yang dipakai sebagai legalitas normatif wakaf ini, adalah relatif minim sehingga legalitas formal mengenai kegiatan wakaf ini lebih banyak dihasilkan dari proses ijtihad para fuqaha' dengan instrument analisis seperti istihsân, istislâh, dan 'urf. Hal ini terlihat pada klausul memperhatikan dari keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang wakaf tunai yang antara lain mengambil pendapat az-Zuhrî yang membolehkan wakaf dinar dan dirham, sebuah pendapat yang kemudian menjadi rujukan utama dalam pembahasan-pembahasan tentang wakaf tunai. Hal menarik lain dari konsideransi yuridis ini adalah dicantumkannya pendapat sebagian ulama madhab Shâfi’î. Pencantuman pendapat ini mengesankan kehati-hatian komisi fatwa dengan mengakomodasi pendapat kalangan syafi’iah meskipun pendapat ini jarang sekali digunakan di kalangan mereka sendiri. Hal ini cukup beralasan karena madhab fiqih yang banyak dipedomani di masyarakat kita
59
adalah madhab Shâfi’î sehingga untuk meninggalkannya secara penuh dengan beralih pada pendapat madhab Hanafi adalah sesuatu yang sulit sehingga harus dilakukan secara hati-hati agar tidak menimbulkan konflik dan gejolak sosial keagamaan di masyarakat . Itu sebabnya riwayat Ibnu Umar tentang wakaf Umar atas tanah Khaibar juga dijadikan kajian yang lebih dalam oleh komisi fatwa. Riwayat ini populer dan lebih lekat sebagai dalil madhab syafi’iah maupun hanabilah yang menyifatkan wakaf sebagai perbuatan hukum yang tetap atau lazim, karena di sana ada pernyataan "lâ tubâ'u walâ tūhabu walâ tūratsu" yang mengindikasikan pada kelestarian dan keabadian harta benda wakaf yang menuntut pada sifat statis dan tetap. Ditinjau dari konsep maslahah, bentuk wakaf tunai mampu mendatangkan kemanfaatan yang sangat besar dalam segala aspek kehidupan. Wakaf tunai menurut kaum sosialis materialis mampu memenuhi segala keinginan rasio secara mutlak. Wakaf tunai dinilai mampu memaksimalkan sumber dana wakaf. Wakaf tunai juga dinilai mampu membukakan peluang bagi aset tetap untuk memasuki berbagai macam usaha investasi. Dari sinilah wakaf tunai dikatakan memiliki keluwesan dan tingkat kemaslahatan yang lebih tingi dibanding aset wakaf yang lainnya (aset tetap). Dilihat dari sudut pandang yang lain, wakaf tunai tidak hanya terbatas pada sisi dan norma material semata tetapi juga mengandung norma spiritual sehingga pensyariatan wakaf tunai tersebut bisa memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani. Dari segi norma material, wakaf tunai bisa dijadikan modal yang nanti dari hasil investasi tersebut hasilnya bisa disalurkan untuk berbagai pembiayan baik dalam bentuk fisik maupun non-fisik. Manfaat wakaf tunai mampu menguatkan keberlangsungan dan
60
menyempurnakan kehidupan manusia. Sedangkan dari segi norma spiritual, wakaf tunai mengandung dua dimensi masa, yaitu dunia dan akhirat. Oleh karenanya, keuntungan yang dituai dari hasil wakaf tunai tidak hanya dinikmati di kehidupan duniawi saja, akan tetapi akan dinikmati juga nanti di kehidupan akherat. Putusan
fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang wakaf tunai
merupakan suatu bentuk perlindungan terhadap keberlangsungan harta, di mana menjaga harta merupakan salah satu poin dari lima pokok tujuan syara’. Putusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang wakaf tunai menginduk pada norma agama yang tentunya berorentasi pada pandangan-pandangan yang telah digariskan oleh Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Menjaga kemaslahatan terhadap harta merupakan salah satu bentuk kemaslahatan yang telah ditegaskan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah serta disepakati oleh para ulama. Kesimpulan jumhur ulama atas sejumlah ayat alQur’an dan al-Hadis menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia sebagaimana terdapat dalam firman Allah s.w.t: “Dan tidaklah kami mengutusmu (Muhammad) melainkan rahmat bagi semesta alam”. Menurut mereka rasululloh S.A.W tidak akan menjadi rahmat apabila bukan dalam rangka memenuhi kemaslahatan umat manusia baik di dunia maupun di akherat. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang wakaf tunai telah memenuhi kriteria maslahah seperti yang telah disyaratkan oleh para ulama. Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi oleh dimensi ruang dan waktu serta subyek hukum. Apabila syari’at Islam hanya dibatasi pada hukum yang sudah ada saja, padahal problematika dan kemaslahatan selalu muncul dan berkembang, maka akan
61
membawa kesulitan bagi umat manusia. Kemaslahatan yang dipertimbangkan dalam putusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang wakaf tunai adalah kemaslahatan yang menyangkut kepentingan banyak orang di seluruh lapisan masyarakat, bukan kepentingan segolongan orang pada tingkat lapisan tertentu. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang wakaf tunai merupakan bentuk upaya mewujudkan tujuan syari’ah yang hampir tergilas oleh imbas dari adanya perubahan situasi, kondisi dan subyek hukum akibat perkembangan dan kemajuan jaman. Tujuan ditetapkannya fatwa tentang wakaf tunai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak awal sudah tentu sejalan dan relevan dengan tujuan syari’at Islam. Putusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang wakaf tunai didukung oleh dalil-dalil yang qat’î serta dikuatkan oleh pendapat para imâm madhab. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang wakaf tunai ditetapkan secara rasional artinya bersifat logis, dapat diterima oleh akal berdasarkan kajian yang panjang dan pertimbangan yang mendalam oleh berbagai pihak, bukan sekedar perkiraan dan tekanan semata. Pensyariatan wakaf tunai dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan respon terhadap kepentingan masyarakat luas yang bersifat kullî, bukan hanya menyangkut pada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Dengan demikian pensyariatan wakaf tunai dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan bentuk penyelesaian permasalahan umat yang bersifat zârurî yang secara pasti dan nyata dapat mendatangkan kemanfaatan serta menghilangkan kesulitan. Selanjutnya, dalam memutuskan fatwa tentang wakaf tunai, komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengambil berbagai pendapat para imâm madhab
62
dan mengkombinasikannya dengan menggunakan metode muqârânah al-madhâhib yang tentunya dengan senantiasa memperhatikan konsep kemaslahatan umat (masâlih ‘âmah) dan maqâsid al shârî’ah. Dengan demikian dalam memutuskan fatwa tentang wakaf tunai ini, komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggunakan teori maslahah sebagai metode istinbat hukum.
63
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian pada bab IV diatas maka penulis dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa dalam penetapan fatwa tentang wakaf tunai, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggunakan maslahah sebagai metode istinbat hukum yang didasarkan
pada
pendapat-pendapat
imâm
madhab
yang
cenderung
memperbolehkan wakaf tunai seperti az-Zuhrî dan para ulama mutaqaddimin hanafiah serta mempertimbangkan pendapat imâm Shâfi’î yang memperbolehkan wakaf dengan dinar dan dirham dengan tetap merujuk pada dalil qat’î, yaitu ayat al-Quran dan al-Hadis.
B. Saran Dari uraian di atas, penulis berharap tulisan ini bisa dijadikan sebagai rujukan dalam pengebangan keilmuan bagi para mahasiswa, kaum akademisi, maupun masyarakat umum. Dengan segala kerendahan hati demi sempurnanya pembahasan yang ada dalam tulisan ini penulis mengharapkan adanya penelitian lebih lanjut terkait dengan wakaf tunai.
64
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Dudung. Pengantar Metode Penelitian. Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2003. Ash-Shiddeqy, T.M. Hasby. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist. Jakarta: Bulan Bintang, 1980. Bâjûrî, Ibrâhîm. al-Iqnâ. Semarang: Toha Putra t.t. Bakrî. I'ânntu At-Tâlibîn. Kairo: Isa Halabi, t.t. Bakry, Nazar. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003. Classe, Cyril. The Concise Encyclopedia of Islam. San Fransisco: Harper Collins, 1991. Departemen Agama R.I. Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai. Jakarta: Direktorat PemberdayaanWakaf, 2007. ----------------------Strategi
Pengembangan
wakaf
Tunai
di
Indonesia,
Jakarta:Direklorat Pemberdayaan Wakaf, 2007 . Doi, Abdurrahm I. Syariah Kodifikasi Hukum Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 1993. Houtskma, M.Th. First Encyclopedia of Islam 1913-1936. Leiden: Ej.Brill's, 1987. Huda, Miftahul. Filsafat Hukum Islam Menggali Hakekat, Sumber dan Tujuan Hukum Islam. Ponorogo: Stain Po Press, 2006. -------------------- Ragam Argumentasi Ketentuan Wali Nikah dan Poligami di Negara Muslim Modern, Hasil Penelitian. P3M: Stain Po, 2007.
65
Jamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Karim, Syafi'i. Fiqh dan Ushul Fiqh.Bandung: Pustaka Setia, 1997. Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqih, Terj. Jakarta: Rineka Cipta, 1999. Koto, Alaiddin. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Majelis Ulama Indonesia. Buku Panduan MUI. Jakarta: MUI, 2002. -------------------------- Himpunan Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Jakarta: MUI, 2003. ---------------------------- Ketentuan Umum Pedoman Penetapan Fatwa MUI. Jakarta, MUI, 2003. ----------------------------------Panduan Penyelenggaraan Organisasi dan Manajemen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur. Surabaya: MUI propinsi JawaTimur,2002. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001. Mubarok, Jaih. Metodotogi Ijtihad Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press, 2002. Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera, 1996. Muhammad, Abubakar. terj. Subulussalam. Surabaya: Al-Ikhlas, 1992. Mutar, Mu'in, et.al., Ushul Fiqh l. Iakarta: Departemen Agama RI, 1985. Pasaribu, Chairuman dan Suhrawardi. Hukum Perjanjian Dalam Islam. Jakarta: Sinar Grafika 1993.
66
Qahaf, Mundzir. Manajemen Wakaf Produktif, terj. Jakarta: Khalifa 2005. Ramulyo, Moh.Idris. Asas-asas Hukum Islam Sejarah Timbul dan Berkembangnya Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 1995. Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah. Damsyik: Dâr al Fikr, 1992. Salam, Zarkasji Abdul dan Aman. Pengantar llmu Ushul Fiqih 1. Jogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1994. Sharbini, Mughnî Muhtâj. Kairo: Mushthafa Halabi, t.t. Sindî. An-Nasâ'i. Beirut: Darul al-Fikr, 1995. Subagyo, Joko. Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek. Jakarta:. Rineka Cipta 2004. Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqih Jilid 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqih Jilid 2. Jakarta: Logos Wacana Ilmu 1999.
Syihab, Umar. Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran. Semarang: Dina Utama 1996. Uman, Khairul dan Ahyar. Ushul Fiqih II. Bandung: Pustaka Setia 1989. Zahrah, Abu Muhammad. Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005. Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al- Islâm wa Adillatuhủ. Damsyik: Dar al-Fikr, 1 984. Zuhri, Muh. Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.