BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Kalah di Perang Dunia II, Jepang harus berada di bawah kendali Supreme Commander Allied Powers (SCAP) bentukan Sekutu selama bulan Agustus 1945 hingga April 1952 yang sepenuhnya dijalankan oleh ‘dedengkot’ sekutu yaitu Amerika Serikat (AS). Demi melancarkan upaya penaklukannya, SCAP pun mengubah konstitusi Jepang yang lama yaitu Konstitusi Meiji menjadi Konstitusi 1947. Konstitusi ini menjadi tenar sekaligus krusial bagi masa depan pertahanan Jepang karena mengandung Pasal 9. Pasal ini mengatakan bahwa Jepang tidak diperkenankan lagi memiliki angkatan bersenjata, anggaran pertahanannya dibatasi menjadi satu persen dari Gross Domestic Product (GDP) dan Jepang diharuskan bergabung dalam sebuah aliansi militer dengan AS. Dengan kata lain Jepang takkan lagi menjadi negara yang berkekuatan militer ataupun menjadi ancaman militer bagi negara-negara tetangganya. Angkatan bersenjata Jepang dirombak total menjadi Self-Defense Forces (SDF) atau Pasukan Bela Diri yang kekuatannya hanya setara dengan polisi dan berfungsi sebagai penjaga ketertiban. Kesemua aspek tersebut menyebabkan Jepang menjadi sangat bergantung pada AS. Begitu pula AS memperlakukan Jepang layaknya sebuah koloni. Keterbatasan
peran militer Jepang juga terlihat dalam keamanan regional maupun internasional, kecuali karena di-backing oleh AS. Namun lewat aliansi militer tersebut, Jepang akhirnya bisa berperan di dunia internasional meski hanya sebatas tentara perdamaian yang bergerak di bawah PBB maupun semacam ‘tentara kedua’ bagi AS. Setidaknya melalui sebuah joint statement antara Jepang dan AS, SDF dapat memainkan peranan yang lebih menonjol secara regional dan global seperti melalui partisipasi dalam pengembangan misil pertahanan, operasi keamanan laut, operasi bantuan kemanusiaan dan inisiatif lainnya. Upaya ini diharapkan akan menjadi penopang pertahanan Jepang dan mulai meningkatkan reputasi Jepang sebagai anggota masyarakat internasional yang bertanggung jawab, mengingat sebelum kalah di Perang Dunia II, militer Jepang menginvasi negara-negara di kawasan Asia Pasifik secara brutal. Seiring dengan perkembangan kerangka aliansi Jepang-AS tersebut, Jepang pun makin merasa bertanggung jawab untuk memelihara perdamaian dan stabilitas di Asia sekaligus merespon tekanan internasional bagi Jepang agar lebih menjadi ‘normal nation’ atau bangsa yang normal, pemimpinpemimpin Jepang pun mulai mempertimbangkan bahwa ‘kepentingan nasional mereka mungkin sesekali harus berada diarahkan jauh dari rumah dan tabu untuk mengirim tentara Jepang ke luar negeri sebenarnya bisa dihapuskan’. Akan tetapi untuk memecahkan tabu tersebut, mereka harus 2
meyakinkan publik Jepang yang skeptis terhadap kebutuhan strategis Jepang itu agar SDF memperoleh mandat yang luas demi menjaga keamanan unilateral Jepang, termasuk terkait dengan kredibilitas aliansi mereka dengan AS dan agenda diplomatik mereka sendiri1. Sebagai langkah awal, pada tanggal 9 Desember 2004, Jepang mengumumkan bahwa mereka mengadopsi garis pedoman kebijakan pertahanan baru, yang secara resmi disebut National Defense Program Outline dan mulai berlaku pada bulan April 2005. Ini adalah revisi kedua sejak kompilasi pertamanya yang dirilis pada tahun 1976 dan akan menggantikan pedoman tahun 1995 yang sebelumnya digunakan. Dalam pedoman yang memetakan kebijakan pertahanan Jepang untuk 10 tahun ke depan, NDPO 2004 memiliki garis besar di antaranya: 1).
Persepsi baru tentang ancaman. Hal ini menekankan pada kemunculan ancaman baru dalam situasi beragam seperti terorisme internasional, serangan misil balistik, perang gerilya, invasi terhadap pulau-pulau kecil nan terpencil, pengiriman kapal mata-mata dan bencana alam besar, dan lain-lain, khususnya di kawasan Asia Pasifik. Namun yang paling mengejutkan adalah untuk pertama kalinya Tokyo terangterangan menyebut DPRK (Democratic People’s Republic of Korea) alias Korea Utara dan China sebagai ancaman utama mereka.
1
Lihat Nicholas Szechenyi. A Turning Point for Japan’s Self-Defense Forces. 2006, dalam < http://www.gees.org/documentos/Documen-01467.pdf> diakses 14 Juli 2010 3
Padahal dalam outline sebelumnya (1995), Jepang menghindari menunjuk negara tertentu secara spesifik. Guideline baru tersebut dilaporkan menggambarkan gerakan militer Korea Utara sebagai “sebuah faktor yang tidak stabil namun signifikan dalam keamanan regional dan sebuah masalah yang serius dalam upaya non-proliferasi. Sedangkan terkait dengan China, dokumen tersebut menekankan bahwa “China yang memiliki pengaruh signifikan dalam keamanan regional terus meningkatkan kapabilitas misil dan nuklirnya serta melakukan modernisasi terhadap angkatan laut dan udaranya” dan “negara tersebut juga mencoba untuk memperluas jangkauan dan aktivitas kelautannya sehingga perhatian harus diberikan pada perkembangan tersebut.” 2).
Jangkauan dan kodrat baru dari tanggung jawab pertahanan Jepang. Guideline baru tersebut menetapkan dua misi utama pertahanan Jepang yaitu membela tanah air dan melakukan aktivitas yang kooperatif bagi perdamaian internasional. Pesan yang dibawa guideline tersebut secara eksplisit kembali menjelaskan secara sekilas bahwa fokus kebijakan pertahanan Jepang telah meluas dari selfdefense menjadi salah satu aktor yang berperan memelihara keamanan internasional. Perwujudannya, outline tersebut menekankan Jepang akan mengambil peran aktif dalam aktivitas peacekeeping atau menjaga perdamaian internasional. 4
Guideline baru ini juga menekankan keinginan Jepang memperkuat aliansinya dengan AS sebagai pilar terpenting dalam upaya pertahanan mereka. Bahkan guideline ini pun mendeklarasikan “aliansi dengan AS sangat diperlukan oleh Jepang”. 3).
Modernisasi
angkatan
bersenjata
Jepang.
Guideline
baru
mengindikasikan bahwa SDF akan mengubah namanya dengan istilah yang lebih berbau tentara profesional sebagaimana yang ada di negara normal. Ini artinya pembatasan misi dan struktur SDF bisa jadi akan diubah sepenuhnya. Namun meski statusnya tak seformal tentara profesional, setiap personel SDF tetap diberi pelatihan tentang berbagai teknologi persenjataan yang mutakhir, termasuk senjata biologis dan kimia. Singkatnya, SDF akan menjadi angkatan bersenjata paling maju sekaligus paling efisien di dunia. Guideline itu pun kemudian dituangkan dalam Buku Putih Pertahanan Jepang2. Namun terkait kebijakan transformasi pertahanan Biro Pertahanan Jepang, yang menjadi sorotan adalah Buku Putih Pertahanan Jepang tahun 2006. Buku ini merangkum ada empat isu utama keamanan internasional bagi Jepang yaitu (i) terorisme internasional, (ii) penyebaran senjata
2
Buku Putih Pertahanan Jepang atau lebih dikenal dengan sebutan Defense of Japan (Annual White Paper) dirancang untuk memperoleh pemahaman tentang masyarakat Jepang dan negaranegara di luar Jepang yang relevan atau menjadi tren utama dan isu penting bagi pertahanan Jepang. 5
pemusnah massal, (iii) situasi di Irak, dan (iv) konflik regional3, sebagai respon kondisi keamanan internasional yang semakin tidak menentu. Buku Putih Pertahanan tersebut juga ikut mendorong SDF agar dapat memenuhi harapan untuk memperluas peran militer yang lebih dari Jepang guna menjaga keamanan internasional dan regional. Hal ini sebenarnya sudah dilakukan Jepang sejak tahun 1980-an melalui modernisasi dan peningkatan kapasitas dan perluasan peranan SDF4 yang tercantum dalam Mid-Term Defense Estimate for FY 1986-1990. Kebijakan tersebut mengerucut
melalui
keikutsertaan
Jepang
dalam
Operasi
Penjaga
Perdamaian PBB (Peacekeeping Operation). Dari situ, sejak bulan Agustus 1994, Tim Penasihat Pertahanan (Advisory Group of Defence) yang dibentuk
oleh
Perdana
Menteri
Morihiro
Hosokawa
(1993-1994)
3
Lihat, Alman Helvas Ali, Transformasi Badan Pertahanan Jepang, <www.sinarharapan.co.id/berita/0701/08/opi01.html>, diakses 28 Januari 2010.
dalam
Secara lengkap, Buku Putih Pertahanan Jepang 2006 menyatakan isu-isu internasional yang penting bagi pertahanan Jepang adalah (1) terorisme internasional meliputi (i) fenomena terorisme pasca serangan 9/11, (ii) perlawanan terhadap terorisme di dalam maupun di sekitar Afghanistan, dan (iii) serangan terorisme di penjuru dunia; (2) penyebaran dan pengembangan senjata pemusnah massal meliputi (i) senjata nuklir, (ii) senjata kimia dan biologi, (iii) misil balistik (ballistic missiles), (iv) resiko penyebaran dan pengembangan senjata pemusnah massal, (v) kecurigaan terhadap pengembangan senjata nuklir Iran; (3) situasi di Irak meliputi (i) situasi keamanan pasca berdirinya pemerintahan transisi Irak, (ii) ketentuan keamanan bagi angkatan bersenjata Irak dan angkatan bersenjata multinasional, (iii) situasi keamanan di wilayah Al Muthanna, dimana Self-Defense Forces ditempatkan, (iv) kemajuan proses politik Irak, dan (iv) upaya komunitas internasional dalam proses rekonstruksi Irak; serta (4) konflik regional yang kompleks dan bervariasi. Lihat juga, Defense of Japan 2006, Chapter 1 Security Environment Surrounding Japan, Section 1. Issues in International Community, dalam
dan , diakses 24 Maret 2010 4
Lihat Ministry of Defense, dalam , diakses 24 Maret 2010 Sejak Uni Soviet menginvasi Afghanistan pada tahun 1979 dan pembangunan kekuatan militer di Soviet Timur, apalagi setelah munculnya konflik perebutan Kepulauan Kuril, Jepang meningkatkan kapasitas militernya, terutama pada pertahanan udara dan persenjataan submarine. 6
mempublikasikan Laporan Higuchi (Higuchi Report) yang berisi tentang tiga kebijakan mendasar SDF, yaitu: 1).
Memajukan kerjasama keamanan multilateral pada skala regional dan global.
2).
Meningkatkan fungsi perjanjian keamanan antara Jepang dan AS.
3).
Membangun kapabilitas pertahanan yang efisien dan dapat diandalkan berdasarkan upaya memperkuat kapabilitas informasi dan manajemen krisis5. Lebih jauh, pemerintah Jepang berinisiatif untuk memperluas
kebijakan pertahanan nasionalnya menjadi lebih defensif dan independen dengan transformasi Biro Pertahanan Jepang (Japan Defense Agency) menjadi Kementerian Pertahanan. Transformasi tersebut dikatakan sebagai momentum penting dalam perkembangan pertahanan Jepang. Dari situlah nantinya muncul berbagai kebijakan terkait perluasan peran dan kontribusi Jepang dalam stabilisasi kondisi keamanan nasional, regional, maupun internasional. Aktor yang berhasil merealisasikan perluasan kebijakan pertahanan nasional Jepang tersebut adalah Perdana Menteri Shinzo Abe. Sejak sebelum menduduki jabatan perdana menteri menggantikan Junichiro Koizumi (2001-2006), Abe telah menyerukan perluasan peran keamanan 5
Lihat subbab How to Address the New Regional Security Environment?, bab The International Environment and Japan’s Hard Power, dalam Reinhard Drifte, Japan’s Foreign Policy for the 21st Century. From Economic Superpower to What Power?, (New York: St Martin Press Inc, 1998), hal. 56 7
Jepang dalam isu keamanan global seperti pencanangan hukum tetap yang mengatur pengerahan SDF ke luar negeri karena peran militer Jepang di kancah internasional dianggap masih belum signifikan6. Upaya untuk mendirikan Kementerian Pertahanan Jepang itu sebenarnya telah lama dilakukan namun selalu gagal mengingat masa lalu Jepang7 dan demi menjaga hubungan dengan negara-negara tetangga yang mengaku masih trauma dengan masa lalu Jepang. Namun pada akhirnya transformasi tersebut disepakati oleh para anggota Diet (parlemen Jepang) sebagai bentuk tanggung jawab keamanan internasional. Transformasi Biro Pertahanan Jepang berhasil terwujud pada tanggal 9 Januari 2007 atau tepatnya 53 tahun setelah Biro Pertahanan Jepang berdiri di tahun 1954. Sebagai cikal bakal Kementerian Pertahanan, biro ini sebelumnya berada di bawah Kementerian Dalam Negeri meski kepala bironya bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri. Dengan perubahan status ini secara otomatis Kementerian Pertahanan Jepang yang baru diberikan otoritas penuh dan independen untuk menentukan anggaran dan kebijakan terkait keamanan dan pertahanan 6
Lihat Tobias Harris, Shinzo Abe and the Koizumi Revolution, 30 September 2006, dalam , diakses 28 Januari 2010 7
Pada masa Perang Dunia II Jepang dikenal sebagai imperial power yang menggunakan kekuatan militernya untuk menginvasi berbagai negara. Jepang dikenal sebagai negara penjajah yang sangat kejam, bahkan setelah Perang Dunia II berakhir gerakan anti-Jepang masih marak di beberapa negara. Sebagian besar korban kekejaman Jepang berada di kawasan Asia Pasifik, terutama negara tetangga Jepang sendiri seperti China, Korea Selatan, Korea Utara, dan Asia Tenggara. Permasalahan seperti kompensasi perang baik secara finansial maupun mental, jugun ianfu (wanita pemuas nafsu tentara Jepang), maupun kunjungan PM Junichiro Koizumi ke Kuil Yasukuni, tempat para jenderal penjahat perang Jepang dimakamkan, selalu menjadi kontroversi bagi Jepang dan negara-negara yang pernah terlibat dengannya. 8
Jepang. Kapasitas itu ditunjang dengan posisi Jepang sebagai salah satu raksasa ekonomi dunia, sehingga Jepang mampu meningkatkan anggaran pertahanannya disesuaikan dengan kondisi keamanan yang ada. Lagipula meski hanya memiliki ‘Pasukan Bela Diri’, namun sebenarnya Jepang adalah salah satu negara dengan anggaran pertahanan terbesar di dunia yaitu hampir mendekati 50 miliar dolar AS per tahunnya. Sebagai perbandingan tabel di bawah ini menunjukkan 10 peringkat teratas anggaran pertahanan negara-negara di seluruh dunia8. Tabel 1. Negara-negara dengan anggaran pertahanan terbesar di dunia Rank
Nama Negara
Total Anggaran
1
Amerika Serikat
$ 689,591,000,000
2
China
$ 129,272,000,000
3
Rusia
$ 64,000,000,000
4
Perancis
$ 58,244,000,000
5
Inggris
$ 57,875,170,000
6
Jepang
$ 54,529,000,000
7
Saudi Arabia
$ 46,219,000,000
8
India
$ 44,282,000,000
9
Jerman
$ 43,478,000,000
10
Italia
$ 31,946,000,000 Sumber: www.globalfirepower.com
8
Lihat Military Defense Spending and Budgets by Country, dalam , diakses 10 Januari 2014 9
Hal ini dipertegas pernyataan Menteri Pertahanan Jepang Shigeru Ishiba saat berkunjung ke Singapura dalam rangka pertemuan ASEAN Regional Forum (ARF)9 di tahun 2008. Ishiba menyatakan Jepang sebagai salah satu major power (kekuatan utama) dunia, keberadaannya bertujuan untuk mengurangi berbagai friksi dan konfrontasi serta mengedepankan kolaborasi di antara negara-negara yang berkonflik di dunia. Hal itu terangkum dalam tiga tanggung jawab utama yang harus diemban Jepang sebagai major power, yaitu: 1).
Meningkatkan kepercayaan diri di antara major powers dengan memajukan
kerjasama
pertahanan
pada
berbagai
level
dan
meningkatkan transparansi angkatan bersenjata. 2).
Mengadakan kerjasama untuk mengatasi tantangan keamanan global. Khusus negara pemilik kekuatan nuklir, mereka harus mengambil inisiatif untuk melakukan pelucutan kekuatan nuklir dan nonproliferasi.
9
ARF atau ASEAN Regional Forum merupakan forum yang dibentuk oleh ASEAN pada tahun 1994 sebagai wahana dialog dan konsultasi mengenai hal-hal yang terkait dengan politik dan keamanan di kawasan, sehingga bisa dikatakan bahwa ASEAN merupakan penggerak utama ARF. ARF adalah satu-satunya forum di level pemerintahan yang dihadiri oleh seluruh negaranegara kuat (major powers) di kawasan Asia Pasifik dan kawasan lainnya seperti AS, China, Jepang, Rusia, dan Uni Eropa. Pesertanya berjumlah 27 negara yang terdiri atas 10 negara anggota ASEAN, 10 negara Mitra Wacana ASEAN, dan beberapa negara lainnya di kawasan Asia Pasifik. ARF menyepakati bahwa konsep keamanan menyeluruh (comprehensive security) tak hanya mencakup aspek-aspek militer dan isu keamanan tradisional tetapi juga terkait dengan aspek politik, ekonomi, sosial dan isu lainnya seperti isu keamanan non-tradisional. Kinerjanya dilengkapi oleh aktivitas Track 2 yang dilakukan oleh entitas non-pemerintah dalam lingkup ARF. Lihat ASEAN Regional Forum (ARF) dalam , diakses 30 Maret 2010 10
3).
Berkontribusi membangun kapasitas regional untuk menanggulangi berbagai situasi, salah satunya melalui ARF dan kerangka kerjasama multinasional lain, termasuk mendukung proses capacity-building bagi setiap negara yang terlibat dalam kerjasama tersebut10. Tanggung jawab tersebut memang akan terlaksana dengan lebih
mantap melalui kebijakan berupa peningkatan status atau transformasi Biro Pertahanan Jepang menjadi Kementerian Pertahanan Jepang. Tidak dapat dipungkiri hal ini juga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu kanal untuk meningkatkan bargaining position Jepang di kawasan Asia Timur. Hanya saja setelah Kementerian Pertahanan Jepang resmi berdiri, belum banyak yang memahami bagaimana postur pertahanan Negeri Matahari Terbit itu kini, apakah eksistensi kementerian itu dapat meningkatkan posisi tawar Jepang dalam konstelasi keamanan regional maupun global, atau hanya sekadar sebagai lembaga yang bersifat formalitas saja.
10
Lihat Defense Minister Mr. Shigeru Ishiba speech at the 7th IISS Shangri-La Dialogue, Singapore, "The Future of East Asian Security", 31 Mei 2008, dalam <www.mod.go.jp/e/publ/lastest/press06.html>, diakses 28 Januari 2010 11
1.2. RUMUSAN MASALAH Dari pemaparan latar belakang di atas, maka penelitian skripsi ini akan merumuskan permasalahan yaitu setelah transformasi Biro Pertahanan Jepang tercapai dengan terbentuknya Kementerian Pertahanan, lalu bagaimana postur pertahanan nasional Jepang pasca perubahan status tersebut?
1.3. KERANGKA KONSEPTUAL Untuk menjelaskan perubahan sejumlah aspek yang terjadi pada perubahan status Biro Pertahanan Jepang menjadi Kementerian Pertahanan, maka penulis menggunakan dua konsep, yaitu Organizational Process Model dalam Decision Making Process serta Neoralisme.
Organizational process model dalam decision making process Berbeda dengan ’rational actor model’, aktor dalam proses pembuatan keputusan bukan lagi negara melainkan organisasi yang menduduki fungsi eksekutif suatu pemerintahan, serta bukan berbentuk unit kesatuan atau monolitik. Pembuatan kebijakannya didasarkan pada SOP (standard operating procedures), termasuk dalam mengidentifikasi masalah yang dihadapi. Mengapa SOP? Pasalnya organisasi-organisasi ini beranggapan dari waktu ke waktu, mereka akan menghadapi situasi yang sama, sehingga ketika mereka menemukan cara yang nyaman, dirasa pas dan berhasil mengatasi 12
masalah yang terjadi berulang kali itu, maka mereka pun merangkumnya menjadi SOP. Itulah mengapa, alih-alih memformulasikan respons yang spesifik pada situasi baru, organizational process model berargumen bahwa pembuat kebijakan (decision-makers) bertindak berdasarkan bagaimana mereka menyikapi situasi atau masalah baru dengan pola yang telah mereka pelajari dari situasi yang sebelumnya pernah terjadi. Kelebihan SOP adalah efisiensi dalam pengambilan keputusan, termasuk menghemat waktu karena organisasi senantiasa dihadapkan pada beberapa masalah sekaligus, serta mengurangi ketidakpastian ketika mereka dihadapkan pada situasi yang kompleks karena SOP biasanya berisi kebijakan yang bersifat jangka pendek. Setidaknya bila ada SOP maka kinerja organisasi akan jauh lebih efektif ketimbang jika setiap masalah yang datang disikapi satu-persatu11. Kelemahannya, SOP tentu tidak memberikan solusi bagi adanya situasi atau masalah baru. Malahan setiap organisasi hanya bisa memilih SOP mana yang harus mereka pakai untuk mengatasi masalah baru tersebut. Akibatnya solusi yang diajukan organisasi cenderung kurang tepat atau semacam dipaksakan. Kelemahan lainnya, organisasi yang hanya mengandalkan SOP mempunyai 11
Lihat Kevin Dougherty, The Organizational Process Model dalam Military Decision-Making Processes: Case Studies Involving the Preparation, Commitment, Application and Withdrawal of Force, 2014, (North Carolina: McFarland & Company Inc Publishers), hal. 66 13
prioritas, persepsi dan isu yang parokial (sempit), bahkan kerapkali mereka
dihadapkan
pada
masalah
saat
mengimplementasikan
kebijakan tersebut karena SOP itu sendiri. Belum lagi kalaupun organisasi terpaksa harus menangani masalah baru, mereka cenderung menanggapinya dengan lamban. Organisasi semacam ini juga lambat dalam mempelajari kesalahan. Bahkan mereka baru mau belajar bila dihadapkan pada dua situasi saja; 1). Ketika situasi yang mereka hadapi mengalami kegagalan; dan 2). Kekurangan ataupun kelebihan anggaran.
Neorealisme Dasar daripada teori neorealisme sebenarnya sama dengan realisme, namun penganut neorealisme mengesampingkan level analisis individu dan negara. Neorealisme justru menegaskan bahwa sistem globallah yang dapat menjelaskan alasan di balik tindakan yang diambil suatu negara. Dan seperti halnya realisme, neorealisme juga percaya bahwa anarki atau tidak adanya institusi sentral di atas negara merupakan hal penting demi mempertahankan properti struktur itu sendiri12.
12
Lihat Charles W. Kegley Jr; Eugene R. Wittkopf. World Politics: Trend and Transformation. 2001. (Boston: Bedford/St Martin’s), hal. 35-38 14
Negara tetap menjadi aktor utama, bertindak dengan memegang teguh prinsip ’self-help’13 dan memastikan mereka bisa survive atau bertahan hidup. Tapi yang dibedakan neorealis bukanlah masalah yang dihadapi suatu negara, melainkan kapabilitas mereka untuk menanganinya. Kapabilitas itu nantinya menentukan posisi negara bersangkutan
dalam sistem global
dan
distribusi
kapabilitas
menunjukkan struktur dari sistem itu sendiri yang membentuk bagaimana unit-unit di dalamnya berinteraksi antara satu sama lain. Power atau kekuasaan juga menjadi konsep sentral dari neorealisme, namun bukan sebagai bagian dari nature mereka melainkan menjadi sarana bagi negara untuk bertahan hidup. Pencetus neorealisme, Kenneth N. Waltz dalam bukunya Theory of International Politics (1979) menerangkan ”sarana itu sendiri terbagi ke dalam dua kategori: upaya internal (peningkatan kapabilitas ekonomi, penambahan kekuatan militer, atau mengembangkan strategi yang lebih baik) dan upaya eksternal (memperkuat dan memperbesar aliansinya atau melemahkan musuh)”. Akan tetapi karena insting untuk bertahan hidup dari masingmasing negara itulah, maka neorealisme menegaskan nantinya balance of power atau perimbangan kekuasaan akan terbentuk secara otomatis, terlepas dari apakah satu atau beberapa negara sengaja 13
Di dalam buku World Politics: Trend and Transformation dipaparkan bahwa self-help pada dasarnya adalah konsep dalam realism yang menunjukkan bahwa dalam situasi internasional yang anarki, setiap aktor harus bisa bergantung pada dirinya sendiri. 15
menciptakan atau mempertahankan perimbangan, atau satu dan beberapa negara lain bertujuan untuk melakukan dominasi secara universal. Selain itu, kendati neorealis mengakui bila tujuan negara seringkali harus berubah-ubah karena perubahan pola politik domestik, pemimpin, ideologi atau hal lainnya, namun itu tetap takkan berpengaruh terhadap proses yang dilakukan negara untuk mengejar perimbangan kekuasaan dengan power yang mereka miliki karena yang menjadi acuan mereka hanyalah sistem global yang ada. ”In its stress on the structure of the international system, that is, the state of anarchy among sovereign states, (neo)realism attaches little or no importance of what is going on inside states –what kind of regimes are in power, what kind of ideologies prevail, what kind of leadership is provided. According to (neo)realists, the foreign policies of all states are basically driven by the same systemic factors –they are like so many billiard balls, obeying the same laws of political geometry and physics.” (Owen Harries, 1995, Realism in a New Era, Quadrant 39/April, p.13). Teori neorealisme juga membantu menjelaskan mengapa prospek kerjasama internasional begitu kecil dan mengapa banyak negara yang cenderung curiga antara satu sama lain serta saling berkompetisi. Struktur anarkis dari sistem yang ada di sekitar merekalah yang membuat negara-negara ini menjadi sensitif, terutama 16
berkaitan dengan posisi relatif mereka dalam distribusi kekuasaan. Dalam bukunya, Waltz menegaskan ketika dihadapkan pada kemungkinan untuk melakukan kerjasama dengan negara lain, meski demi keuntungan bersama, negara yang merasa insecure pasti akan bertanya-tanya bagaimana keuntungan itu akan dibagi; apakah kedua negara akan diuntungkan atau siapakah yang akan memperoleh keuntungan lebih. Jadi misalkan keuntungannya sudah dibagi menjadi 2 banding 1, maka negara yang insecure tadi akan menggunakan perolehannya yang tidak sebanding itu untuk sengaja membuat kebijakan yang dapat menghancurkan negara lainnya. Bahkan Waltz menduga meski keduanya memiliki prospek keuntungan yang sama besarnya bukan berarti kerjasama akan berlangsung lama karena satu sama lain takut membayangkan bagaimana pihak lainnya akan memanfaatkan penambahan kapabilitas mereka itu. Kalaupun mereka terpaksa melakukan kerjasama dengan negara lain, itu bukanlah didasari oleh adanya potensi negara yang diajak kerjasama, melainkan lebih dikarenakan sikap insecurity mereka terhadap kondisi sistem internasional yang anarkis. Kata Waltz, insecurity, setidaknya pada ketidakpastian tentang niat dan aksi yang akan dilakukan negara lain di masa depan, begitu juga dengan ketakutan mereka bila harus bergantung pada negara lain tentu membuat mereka sulit bekerjasama. 17
1.4. HIPOTESIS Mengacu pada Buku Putih Pertahanan Jepang tahun 2006, Jepang dihadapkan pada beberapa persoalan keamanan regional dan internasional. Dibarengi dengan perspektif personal dari Perdana Menteri Shinzo Abe yang nasionalis kemudian muncul inisiatif bagi Jepang untuk kembali menjadi ‘normal nation’14 tanpa dibayangi oleh pasifisme sebagai refleksi dari Pasal 9 Konstitusi 1947 lagi maka Jepang memutuskan perlunya suatu tindakan nyata dalam meningkatkan posisi tawar Jepang di kancah keamanan nasional, regional, maupun internasional. Tindakan yang dimaksud adalah adanya remiliterisasi dan perubahan status Biro Pertahanan Jepang menjadi Kementerian Pertahanan yang berotoritas penuh terhadap kebijakan-kebijakan pertahanan Jepang. Upaya transformasi Biro Pertahanan Jepang merupakan momentum awal Jepang dalam menegakkan kedaulatan bangsa Jepang melalui konsep ‘normal nation’ sekaligus menjadi aktor keamanan internasional yang bertanggung jawab. 14
PM Yasuhiro Nakasone merespons adanya pembatasan kekuatan militer dan anggaran pertahanan Jepang oleh Pasal 9 Konstitusi 1947 dengan menggagas konsep ‘normal nation’. Hal ini ditujukan untuk menormalisasi imej Jepang sebagai negara yang unik berkat pembatasan Konstitusi 1947. Nakasone berharap dengan upayanya tersebut, Jepang mampu mencapai keseimbangan tujuan di bidang ekonomi dan politik serta mendudukkan posisi Jepang setara dengan negara-negara lainnya dalam sistem internasional melalui peranan politik dan penyebaran pengaruh kekuatan ekonomi Jepang. Inisiatif tersebut secara khusus bertujuan untuk memperkuat hubungan Jepang dengan Amerika Serikat dalam kerangka yang lebih seimbang (tidak ada dominasi salah satu negara). Lihat S. Javed Maswood, Japanese Defence. The Search for Political Power, (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 1990), hal. 3-9. Sejak PM Yasuhiro Nakasone memerintah, pemerintah AS pun mulai mengevaluasi kembali pentingnya posisi Jepang dalam kebijakan global atau sistem internasional. Lihat juga, Japan’s Place in the World, dalam Shibusawa Masahide, Japan and the Asian Pacific Region. Profile of Change, (London: Routledge, 1984), hal 168 18
Namun tampaknya aspek yang paling kentara perubahannya seiring dengan peningkatan status Biro Pertahanan Jepang menjadi kementerian adalah aspek struktural dan anggaran pertahanan. Aspek struktural merujuk pada perubahan struktur organisasi dan proses pembuatan keputusan dari Biro Pertahanan Jepang ketika ditingkatkan statusnya menjadi kementerian. Di samping itu peningkatan status ini memberikan wewenang bagi departemen yang bersangkutan untuk mengurus anggarannya sendiri. Ini artinya masing-masing aspek tampak mengalami perubahan yang signifikan. Bahkan bisa jadi dengan adanya perubahan ini maka peranan militer Jepang, baik secara nasional, regional maupun internasional bisa lebih diakui, kendati revisi konstitusi masih belum bisa dicapai sepenuhnya.
1.5. METODE PENELITIAN Berdasarkan identifikasi tingkat analisa yang dikembangkan R.F. Hopkins dan R.W. Mansbach15, unit analisa yang digunakan dalam tulisan ini adalah unit analisa kelompok, sedangkan unit eksplanasinya adalah unit eksplanasi kelompok pula sehingga merupakan analisa korelasionis. Unit analisa dalam tulisan ini adalah Jepang, sedangkan unit eksplanasinya adalah postur atau kondisi pertahanan Jepang pasca transformasi Biro Pertahanan Jepang dalam kurun waktu tahun 2004-2010.
15
Lihat Hopkins & Mansbach dalam Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi (Jakarta: LP3ES, 1990), hal 43-46. 19
Sebagai metode penelitian, beberapa langkah yang diambil adalah dengan melakukan konseptualisasi kemudian melakukan generalisasi. Konseptualisasi merupakan proses penyederhanaan fenomena dengan mengklasifikasikan
dan
mengkategorisasikannya16.
Data-data
yang
diperoleh melalui media dikategorisasikan dalam konsep-konsep yang telah dibahas dalam landasan konseptual. Setelah kategorisasi dilakukan, analisis difokuskan pada relasi antara konsep-konsep, apakah itu kondisional, kausalitas, atau tidak berhubungan sama sekali. Sedangkan generalisasi merupakan pernyataan tentang hubungan antara dua konsep atau lebih. Sebagai contoh, data-data yang diperoleh berkaitan dengan kebijakan peningkatan
status
Biro
Pertahanan
Jepang
menjadi
Kementerian
Pertahanan Jepang akan dikategorisasikan untuk kemudian ditarik generalisasi. Pengumpulan data-data dimaksudkan untuk menguatkan argumen yang dibangun. Penelitian skripsi yang akan dilakukan menggunakan sumber data sekunder berupa data kualitatif dengan mengumpulkan sejumlah literatur atau studi pustaka, jurnal, artikel-artikel terkait, baik dari media cetak maupun sumber online. Pengumpulan data ini ditujukan untuk mengetahui data berbagai aspek yang mendukung terkait kebijakan transformasi status Biro Pertahanan Jepang dan relevansinya dengan perkembangan pertahanan Jepang pasca implementasi kebijakan tersebut.
16
Ibid,. hal 198 20
1.6. SISTEMATIKA PENELITIAN Skripsi berjudul Postur Pertahanan Jepang Pasca Pembentukan Kementerian Pertahanan (2007-2013) ini akan dibagi menjadi 4 (empat) bab. Bab pertama berisi pendahuluan. Pada bab ini dijelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, kerangka konseptual mengenai proses
pembuatan
keputusan
(decision-making
process)
dan
teori
neorealisme yang sekiranya dapat menjelaskan perubahan postur pertahanan Jepang pasca pembentukan Kementerian Pertahanan. Dilanjutkan dengan hipotesis, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua akan membahas proses transformasi Biro Pertahanan Jepang hingga berhasil ditingkatkan statusnya menjadi Kementerian Pertahanan. Lalu membahas perubahan postur pasca pembentukan Kementerian Pertahanan, terutama aspek-aspek penting di bidang pertahanan yaitu kondisi struktural dan anggaran, serta paparan tentang perbandingan antara kinerja Biro Pertahanan Jepang dengan setelah menjadi kementerian. Bab ketiga akan berisikan tentang analisis perubahan beberapa aspek yang berkaitan dengan postur pertahanan Jepang pasca pembentukan Kementerian
Pertahanan,
termasuk
mendasarinya.
21
menelaah
faktor-faktor
yang
Bab keempat merupakan penutup yang berisi kesimpulan dari bab-bab sebelumnya. Pada bab terakhir ini akan diuraikan secara singkat jawaban dari rumusan masalah yang sudah dibahas dalam bab-bab sebelumnya, utamanya terkait kondisi postur pertahanan Jepang pasca pembentukan Kementerian Pertahanan, serta proyeksi tentang postur keamanan Jepang di masa yang akan datang, terutama setelah adanya Kementerian Pertahanan.
22