1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberadaan tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa memiliki peranan yang sangat penting dan sangat erat sekali hubungannya dengan kehidupan manusia. Tidak dapat kita pungkiri bahwa kebutuhan manusia terhadap tanah sangat besar. Kebutuhan tanah dewasa ini semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya penduduk, jumlah badan usaha, dan meningkatnya kebutuhan lain yang berkaitan dengan tanah.1 Karena keadaan tanah terbatas sedang penduduk berkembang terus dengan pesatnya, sehingga jumlah penduduk yang ingin mendayagunakan tanah menjadi tidak seimbang dengan keadaan tanahnya, dalam keadaan demikian tanpa adanya peraturan yang tegas, maka tanah sering menjadikan malapetaka bagi manusia, baik disebabkan karena: a.
Perebutan hak, yang menimbulkan perselisihan, ataupun
b.
Pendayagunaan yang salah.2 Untuk daerah perkotaan, tanah merupakan suatu kebutuhan yang paling
penting, dengan jumlah luas tanah yang semakin terbatas manusia terus berfikir bagaimana cara untuk mengoptimalkan jumlah luas tanah dengan kebutuhan akan tanah.
1
Florianus SP Sangsun, Tata Cara Mengurus Sertifikat Tanah, (Jakarta: Visimedia, 2007),
hlm. 1. 2
G. Kartasapoetra, R.G. Kartasapoetra, A.G. Kartasapoetra dan A. Setiady, Hukum Tanah Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), hlm. 133.
Universitas Sumatera Utara
2
Kota Batam adalah salah satu kota di Propinsi Kepulauan Riau. Kota Batam merupakan sebuah pulau yang terletak sangat strategis karena terletak di jalur pelayaran internasional. Kota ini juga begitu dekat dengan negara Singapura dan Malaysia. Kota Batam merupakan salah satu kota dengan pertumbuhan terpesat di Indonesia.3 Jumlah penduduk di Batam terus tumbuh. Dalam dua bulan, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disduk dan Capil) Kota Batam mencatat pertumbuhan penduduk Batam 7,68 (tujuh koma enam puluh delapan) persen. Jika akhir 2011 penduduk Batam 1.136.792 jiwa, per Februari 2012 naik jadi 1.146.231 jiwa.4 Data terakhir yang diperoleh dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Batam per Desember 2012 mencatat jumlah penduduk Kota Batam berjumlah 1.235.651 jiwa. Kalau dibandingkan dari data per Februari 2012 memperlihatkan kenaikan jumlah penduduk yang cukup signifikan. Semakin
tingginya
tingkat
populasi
manusia
dan
begitu
pesatnya
pembangunan dan perkembangan industri di kota Batam, menarik minat siapapun untuk datang ke kota tersebut. Hal ini menyebabkan manusia berfikir untuk mencari lahan atau daratan yang baru.
3
Profil Kota Batam, diakses dari http://aburifqi.wordpress.com/2007/12/29/profil-kotabatam/, pada tanggal 01 Juli 2012 4 Jumlah Penduduk Batam 1.146.231 jiwa, diakses dari http://www.jpnn.com/read/2012/03/07/11978, pada tanggal 01 Juli 2012
Universitas Sumatera Utara
3
Kota yang merupakan bagian dari Propinsi Kepulauan Riau ini memiliki luas wilayah daratan seluas 715 km² (tujuh ratus limabelas kilometer persegi) atau sekitar 115% (seratus lima belas persen) dari wilayah Singapura.5 “Pada dekade tahun 1970, dengan tujuan awal menjadikan Batam sebagai Singapura-nya Indonesia, maka sesuai Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam, Pulau Batam ditetapkan sebagai lingkungan kerja daerah industri dengan didukung oleh Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam atau lebih dikenal dengan Badan Otorita Batam (BOB) sebagai penggerak pembangunan Batam.”6 “Berdasarkan surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977 tentang pengelolaan dan penggunaan tanah di pulau Batam memutuskan : Memberikan Hak Pengelolaan kepada Otorita Pengembangan Daerah Industri Batam (selanjutnya disebut Otorita Batam) atas seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Batam termasuk areal tanah digugusan Pulau-pulau Janda berias, Tanjung Sau dan Ngenang dan Pulau Kasom, Kabupaten Kepulauan Riau, Propinsi Riau (sekarang Propinsi Kepulauan Riau). Hak Pengelolaan tersebut diberikan untuk jangka waktu selama tanah yang dimaksud dipergunakan untuk kepentingan penerima hak dan terhitung sejak didaftarkannya pada Kantor Pertanahan Kota Batam.”7 Seiring pesatnya perkembangan Pulau Batam, pada dekade 1980-an, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1983, wilayah kecamatan Batam yang merupakan bagian dari Kabupaten Kepulauan Riau, ditingkatkan statusnya menjadi Kotamadya Batam yang memiliki tugas dalam menjalankan administrasi pemerintahan dan kemasyarakatan serta mendukung pembangunan yang dilakukan Otorita Batam.8
5
Ibid. Kota Batam, diakses dari www.batam.go.id, pada tanggal 04 Juli 2012 7 Irsal Zeda, Model Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Pertanahan di Kota Batam, diakses dari http://irsal-zeda.blogspot.com/2007/03/model-pemberdayaan-masyarakat-di-bidang.html, pada tanggal 24 Oktober 2012 8 Ibid. 6
Universitas Sumatera Utara
4
Pada tanggal 4 Oktober 1999 Pemerintah Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Senggigi dan Kota Batam, dengan disahkan Undang-Undang tersebut maka Kotamadya Administratif Batam berubah statusnya menjadi daerah otonomi, yaitu Pemerintah Kota Batam untuk menjalankan fungsi pemerintahan dan pembangunan dengan mengikut sertakan Badan Otorita Batam. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah menegaskan kewenangan daerah dalam mengelola wilayah lautnya. Otonomi daerah sebagaimana yang tertuang dalam ketentuan Undang-Undang di atas merupakan landasan yang kuat bagi Pemerintah Daerah untuk mengimplementasikan pembangunan wilayah laut mulai dari aspek perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian. Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah tersebut, telah membuka kesempatan bagi daerah untuk mengelola rumah tangganya secara luas termasuk juga dalam pengelolaan pertanahan. Khususnya mengenai penguasaan tanah hasil reklamasi tersebut. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan: 1. Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. 2. Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Universitas Sumatera Utara
5
3. Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; b. pengaturan administratif; c. pengaturan tata ruang; d. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; e. ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan f. ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara. 4. Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk 16 provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. 5. Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi dimaksud. 6. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil. 7. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Otonomi daerah sebagaimana yang tertuang dalam ketentuan Undang-Undang di
atas
merupakan
landasan
yang
kuat
bagi
pemerintah
daerah
untuk
mengimplementasikan pembangunan kelautan secara terpadu mulai dari aspek perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan dalam upaya menerapkan pembangunan kelautan secara berkelanjutan.9 Implikasi langsung dari ketentuan Undang-Undang ini adalah beralihnya kewenangan dalam penentuan kebijakan pengelolaan dan pengembangan di daerah. Dengan demikian, luas wilayah kewenangan Pemerintah Daerah menjadi bertambah sehingga memberikan harapan yang prospektif dan merupakan peluang bagi daerah untuk mengatur urusannya sendiri. Selain itu, daerah memiliki kekuasaan khusus dalam hal:
9
Nurkhotimah, Penerapan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Dalam Mengembangkan Kawasan Bahari Terpadu Di Kabupaten Purworejo, Tesis, Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 2008, hlm. 16.
Universitas Sumatera Utara
6
a.
b.
Memperoleh nilai tambah atas sumber daya alam hayati dan non hayati, sumber energi kelautan disamping sumber daya pesisir yang sangat memungkinkan untuk digali dan dioptimalkan serta pemanfaatannya. Keleluasaan dalam pengembangan/peningkatan dan pembangunan sarana dan prasarana di kawasan perbatasan antar propinsi, untuk mendukung perkembangan dan kemajuan daerah baik secara internal maupun eksternal dalam arti lintas wilayah antar kabupaten/kota maupun propinsi sehingga akan lebih memberikan kewenangan dalam pengaturan yang pada gilirannya akan memberikan nilai tambah dan peran strategis daerah.10 Agar otonomi daerah memberikan dampak positif terhadap pengelolaan
wilayah pantai, maka perlu adanya komitmen pemerintah daerah bersama masyarakat untuk mengelola kelautan yang berada dalam wilayah kewenangannya secara berkelanjutan.11 Termasuk dalam hal ini dapat kita ketahui dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah pada ayat (3) poin c diatur tentang kewenangan Pemerintah Daerah dalam pengaturan tata ruang dengan memanfaatkan segala potensi. Untuk mengatasi keterbatasan lahan di Batam, salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan melakukan kegiatan reklamasi di pesisir pantai yang diharapkan dapat memberikan manfaat sumber daya lahan baik secara lingkungan maupun sosial ekonomi budaya. Sekalipun Indonesia belum memiliki suatu Undang-Undang tersendiri yang secara khusus mengatur tentang reklamasi tetapi telah ada sejumlah peraturan yang
10
Rokhmin Dahuri, Otonomi Daerah Dalam Pengelolaan Sumberdaya Kelautan di Wilayah Pesisir, diakses dari fppb.ubb.ac.id/?Page=artikel_ubb&&Nama_menu...298, pada tanggal 22 Oktober 2012. 11 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
7
berkenaan
dengan
reklamasi
pantai
dan
laut,
walaupun
secara
partial,
peraturan-peraturan itu mencakup: 1. Pasal 34 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil melalui pasal ini diberikan: 1) kepastian terhadap pelaksana reklamasi pantai, yaitu reklamasi pantai merupakan pranata hukum yang sah, walaupun harus dengan memperhatikan sejumlah syarat; dan 2) kepastian hukum terhadap masyarakat yang terdiri dari masyarakat adat dan masyarakat lokal yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (Pasal 1 butir 32), berupa jaminan keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat (Pasal 34 ayat (2) huruf a), tidak tercakup dalam pasal ini masyarakat perkotaan. 2. Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah yang menentukan bahwa tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil reklamasi di wilayah perairan pantai, pasang surut, rawa, danau, dan bekas sungai dikuasai langsung oleh negara. Dalam pasal ini diberikan kepastian hukum terhadap keabsahan tanah hasil reklamasi, walaupun sampai pada ketentuan bahwa tanah itu dikuasai langsung oleh negara.12 Istilah reklamasi adalah turunan dari istilah Inggris reclamation yang berasal dari kata kerja reclaim yang berarti mengambil kembali, dengan penekanan pada kata “kembali”.13 Di dalam teknik pembangunan, istilah reclaim juga dipergunakan di dalam misalkan me-reclaim bahan dari bekas bangunan atau dan puing-puing, seperti batu dan kerikil dari bekas konstruksi jalan atau kerikil dari puing beton untuk dapat dipergunakan kembali.14
12
Flora Pricilla Kalalo, Implikasi Hukum Kebijakan Reklamasi Pantai & Laut di Indonesia Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.1, Edisi Januari-Maret 2009, hlm. 102-103. 13 A.R. Soehoed, Reklamasi Laut Dangkal, (Jakarta: Djambatan, 2004), hlm. 1. 14 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
8
Diantara proyek-proyek reklamasi yang telah dilakukan itu ada yang bertujuan untuk memperoleh lahan pertanian, ada pula yang bertujuan memperoleh lahan untuk pembangunan gedung atau untuk memperluas kota.15 “Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 mengatur bahwa reklamasi harus dapat menjamin keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat, menjamin keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil, serta menjamin bahwa teknis pengambilan, pengerukan dan penimbunan material dilakukan sesuai dengan persyaratan yang diperlukan. Reklamasi harus dapat menjamin keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat berarti bahwa upaya reklamasi harus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip pro job (pembukaan lapangan kerja), pro growth (pengembangan wilayah), dan pro poor (pengentasan kemiskinan).”16 Pembangunan
nasional
yang
berkelanjutan
(sustain
development)
membutuhkan tanah yang semakin hari semakin besar, baik sebagai wadah pelaksanaan pembangunan maupun sebagai faktor produksi untuk menghasilkan komoditas-komoditas perdagangan yang sangat diperlukan untuk meningkatkan pendapatan nasional.17 Adanya permintaan (demand) atas tanah yan semakin besar, khususnya di daerah-daerah perkotaan disebabkan beberapa faktor berikut ini: 1. Faktor sosial budaya dan politik meliputi : a. Pertambahan penduduk baik secara alamiah maupun karena imigrasi; b. Daya tarik perkotaan terhadap penduduk dari wilayah pedesaan; c. Adanya situasi gangguan keamanan di wilayah pedesaan; d. Adanya pembebasan tanah untuk kepentingan umum yang berskala besar di daerah perkotaan. 2. Faktor sosial ekonomi meliputi: a. Usaha pembangunan fisik yang terkonsentrasi di daerah perkotaan; 15
Ibid., hlm. 2. Redaksi Butari, Reklamasi Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, diakses di http://bulletin.penataanruang.net/upload/data_artikel/REKLAMASI%20WILAYAH%20PESISIR%20 DAN%20PULAU%20PULAU%20KECIL.pdf, pada tanggal 6 Desember 2012 17 Hasni, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah Dalam Konteks UUPA-UUPRUUPLH, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 345. 16
Universitas Sumatera Utara
9
b. Perkembangan kegiatan usaha/industri di wilayah perkotaan yang membuka kesempatan kerja; c. Berkurangnya lokasi pertanian di beberapa wilayah pedesaan. 3. Faktor prasarana fisik meliputi: a. Adanya usaha-usaha perbaikan kualitas lingkungan hidup di wilayah perkotaan yang menarik penduduk untuk berpindah ke kota besar; b. Adanya perbaikan utilitas umum dan fasilitas kota;18 Sementara itu, luas tanah (supply) relatif tidak bertambah bahkan cenderung berkurang. Kondisi seperti ini dapat menimbulkan hal-hal sebagai berikut: 1.
2.
Permasalahan-permasalahan yang muncul di bidang pertanahan akan semakin kompleks, sementara peraturan-peraturan yang mengatur bidang pertanahan masih belum sempurna (sebagai contoh : belum ada Undang-Undang yang mengatur hak milik). Usaha-usaha untuk menambah luas areal tanah/lahan tanpa menimbulkan ekses-ekses negatif dan atau konflik sosial/hukum perlu dilakukan, misalnya melakukan reklamasi di tepi pantai.19 Sebagai tanah baru muncul, maka tanah hasil reklamasi pantai tersebut dalam
kekuasaan negara.20 Sedangkan pasal 2 ayat 1 UUPA menyatakan : 1)
Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.21 Maka atas dasar ketentuan tersebut, negara berwenang untuk menentukan
hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh dan atau diberikan kepada perseorangan dan badan hukum yang memenuhi persyaratan yang ditentukan. 18
Ibid., hlm. 346. Ibid., hlm. 347. 20 Sebagaimana di atur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan : “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” 21 A.P.Parlindungan [1], Hak Pengeloaan Menurut Sistem UUPA, (Bandung : CV.Mandar Madju, 1989), hlm. 3. 19
Universitas Sumatera Utara
10
Dengan berkembangnya hukum tanah nasional lingkup tanah-tanah yang dalam UUPA disebut tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara, yang semula disingkat dengan sebutan tanah negara itu mengalami juga perkembangan, semula pengertiannya mencakup semua tanah yang dikuasai oleh negara, diluar apa yang disebut tanah hak. Sekarang ini, hukum tanah di Indonesia dari segi kewenangan penguasaannya ada kecenderungan untuk lebih memperinci status tanah yang semula tercakup dalam pengertian tanah Negara menjadi : a. Tanah waqaf , yaitu tanah-tanah hak milik yang sudah diwaqafkan; b. Tanah-tanah hak pengelolaan, yaitu tanah-tanah yang dikuasai dengan hak pengelolaan yang merupakan pelimpahan pelaksanaan sebagian kewenangan hak menguasai dari negara kepada pemegang haknya; c. Tanah-tanah hak ulayat yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat teritorial dengan hak ulayat; d. Tanah-tanah kaum yaitu tanah-tanah bersama masyarakat-masyarakat hukum adat genealogis; e. Tanah-tanah kawasan hutan yang dikuasai oleh Departemen Kehutanan berdasarkan Undang-Undang Pokok Kehutanan. Hak penguasaan ini pada hakekatnya juga merupakan pelimpahan sebagian kewenangan hak menguasai dari negara; f. Tanah-tanah sisanya yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh negara yang bukan tanah hak, bukan tanah waqaf, bukan tanah hak pengelolaan, bukan tanah hak ulayat, bukan tanah-tanah kaum dan bukan pula tanah-tanah kawasan hutan.22 Tanah-tanah ini tanah-tanah yang benar-benar langsung dikuasai oleh negara untuk singkatnya dapat disebut tanah negara.23 Tanah negara itu dapat dibedakan menjadi: a. Tanah negara, yaitu tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam pengertian hak menguasai dari negara untuk mengatur bumi, air dan ruang angkasa kekayaan alam yang terkandung didalamnya pada suatu tingkatan
22 B.F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum Tanah Indonesia, (Jakarta : PT Toko Gunung Agung Tbk, 2005), hlm. 79. 23 Boedi Harsono [1], Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: DJambatan, Cetakan ke enam (edisi Revisi), 1995), hlm. 241.
Universitas Sumatera Utara
11
tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat yang mempunyai kewenangan untuk: 24 a.1. mengatur dan meyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; a.2. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa; a.3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa;25 b. Tanah negara, tanah-tanah yang dimiliki oleh pemerintah yaitu tanah-tanah yang diperoleh pemerintah pusat maupun daerah berdasarkan nasionalisasi, pemberian, penyerahan sukarela maupun melalui melalui pembebasan tanah dan berdasarkan akta-akta peralihan hak.26 c. Tanah negara, adalah tanah yang tidak dimiliki atau dikuasai oleh masyarakat, badan hukum swasta dan badan keagamaan atau badan sosial serta tanahtanah yang dimiliki oleh perwakilan negara asing.27 Sebagai tanah negara, maka negara memiliki kewenangan sebagai pengatur, perencana, pelaksana dan sekaligus sebagai pengawas pengelolaan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam nasional.28
24
B.F. Sihombing, Loc. Cit. Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) Pasal 2 ayat (2) 26 Peraturan Menteri Negara Agraria /Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 95 dan Pasal 96 27 B.F. Sihombing Op.Cit., hlm. 80. 25
Universitas Sumatera Utara
12
“Tanah Negara yang di atasnya ada hak pengelolaan yang dipunyai oleh Pemerintah Daerah/Kota, Perum Perumnas, Pertamina, Bulog, Badan Otorita Khusus, seperti Badan Otorita Batam(di Pulau Batam), Kawasan Industri, PDAM, PLN, PT. INKA/PJKA, dan Badan-Badan Pemerintah atau Pemerintah. Berikutnya hak pengelolaan ini adalah sepanjang diperlukan oleh pemegangnya. Pemegang hak ini diberikan kewenangan oleh negara untuk memberikan sebagian tanahnya kepada pihak ketiga seperti kita dengan seijin pemerintah (dalam hal ini kepala BPN) untuk menjadi hak milik.”29 “Hak menguasai Negara atas tanah bersumber pada hak bangsa Indonesia atas tanah, yang pada hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan tugas kewenangan bangsa yang mengandung unsur hukum publik. Tugas mengelola seluruh tanah bersama tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh seluruh bangsa Indonesia, maka dalam penyelenggaraannya, bangsa Indonesia sebagai pemegang hak dan pengemban amanat tersebut, pada tingkatan tertinggi dikuasakan kepada negara Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (Pasal 2 ayat(1) UUPA).”30 Untuk saat ini, yang sudah diatur adalah lembaga hak atas tanah yang meliputi permukaan bumi, dengan ruang di bawahnya, serta di atasnya sekadar diperlukan. Di luar strata itu, maka konsisten dengan konsep hak menguasai negara, maka ruang di bawah tanah dan ruang udara adalah hak negara.31 Bagaimana luasnya hak menguasai dari negara itu tercantum dalam pasal 2 ayat 2 UUPA, yaitu: a. Mengatur dan menyelenggarakan perutukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut. b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
28
Winahyu Erwiningsih [1], Hak Menguasai Negara Atas Tanah, (Yogyakarta: Total Media, 2009), hlm. 101. 29 Herman Hermit dalam Suhanan Yosua, Hak Atas Tanah Timbul (Aanslibbing) Dalam Sistem Hukum Pertanahan Indonesia, (Jakarta: Restu Agung, 2010), hlm. 54. 30 Urip Santoso, Hukum Agraria: Kajian Komprehensif, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 79. 31 Maria S.W. Sumardjono [1], Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, ( Jakarta: Kompas, 2007), hlm. 131.
Universitas Sumatera Utara
13
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.32 Penguasaan
ini
akan
berimplikasi
dalam
hal
hak
pengelolaannya.
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, maka Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.33 Hak pengelolaan ini banyak sudah diterbitkan kepada daerah-daerah otonom, pelabuhan, badan-badan otorita, seperti Otorita Pulau Batam, dan sebagainya.34 “Istilah ”Hak Pengelolaan” satu di antara jenis hak-hak atas tanah, sama sekali tidak disebut di dalam UUPA. Istilah ”Hak pengelolaan”, demikian pula pengertian dan luasnya terdapat di luar ketentuan UUPA. Istilah ”Hak pengelolaan” ini untuk pertama kalinya disebut oleh Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 yang mengatur tentang Pelaksanaan Konversi Hak Atas Tanah Negara dan Kebijaksanaan (Selanjutnya disebut PMA Nomor 9 /1965).”35 Dalam hukum tanah dikenal ada hubungan yang abadi antara tanah dengan warga negara Indonesia, dan ini menjadi hubungan yang sangat sakral sehingga menjadi lahirlah hubungan magis antara tanah dengan pemiliknya dalam masyarakat.36 Penguasaan tanah yang dilakukan secara terus-menerus menimbulkan hubungan nyata manusia dengan tanah, sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan 32
A.P.Parlindungan [1], Op.Cit., hlm. 4. Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah Pasal 1 butir 2. 34 A.P.Parlindungan [2], Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hlm. 267. 35 Ramli Zein, Hak Pengelolaan Dalam Sistem UUPA, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 48 36 Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, (Medan: Pustaka Bangsa, 2003), hlm. 17. 33
Universitas Sumatera Utara
14
dan tindakan pengolahan nyata atas tanah adalah unsur utama lahirnya hak atas tanah.37 “Tanah-tanah reklamasi dinyatakan sebagai tanah yang dikuasai oleh negara dan pengaturannya dilaksanakan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Pihak yang melakukan reklamasi dapat diberikan prioritas pertama untuk mengajukan permohonan hak atas tanah reklamasi tersebut.38 Demikian berdasarkan surat yang dikeluarkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tertanggal 9 Mei 1996, Nomor 410-1293, Perihal penertiban status tanah timbul dan tanah reklamasi.” Dalam prinsip “negara menguasai” maka dalam hubungan antara negara dan masyarakat, masyarakat tidak dapat disubordinasikan kedudukannya di bawah negara, karena negara justru menerima kuasa dari masyarakat untuk mengatur tentang peruntukan, persediaan dan penggunaan tanah, serta hubungan hukum dan perbuatan hukum yang berrsangkutan dengan tanah.39 Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam diketahui bahwa pemegang hak pengeloaan atas daratan Pulau Batam adalah Otorita Batam atau sekarang disebut dengan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. “Hal itu berkenaan dengan ditetapkannya Kota Batam sebagai daerah pengembangan dan pembangunan industri berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 74 tahun 1971 juncto Nomor 41 Tahun 1973, maka kedudukan Pulau Batam mendapat tempat dan perlakuan istimewa dibanding daerah-daerah lain di Indonesia, yakni dengan adanya lembaga khusus yang mengelolanya dan penetapan status hukum dari tanahnya dengan hak pengelolaan.”40 37
Muhammad Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Bandung : Mandar Maju, 2008), hlm. 234. 38 Hasni, Op.Cit., hlm. 349. 39 Maria S.W. Sumardjono [2], Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, ( Jakarta: Kompas, 2001), hlm. 47. 40 Juliani Libertina Nasution, Hak Kepemilikan Dan Penguasaan Atas Tanah Di Wilayah Pulau Batam (Studi : Di Pulau Sekikir Dan Pulau Bulat), Tesis, Program Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2011, hlm. 136.
Universitas Sumatera Utara
15
Hak pengelolaan merupakan bentuk khusus dari hak menguasai negara. Perbedaannya adalah hak menguasai negara itu mempunyai kewenangan untuk seluruh wilayah Indonesia, sedangkan hak pengelolaan hanya mengandung kewenangan pada lingkup yang terbatas yaitu seluas tanah yang diberikan. Pemerintah Kota Batam melaksanakan kewenangan bidang pertanahan melalui Dinas Pertanahan berdasarkan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Dibidang Pertanahan yang menyebutkan tentang bagian kewenangan pemerintah dibidang pertanahan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota yang dijabarkan lebih lanjut dalam Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah dibidang pertanahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.41 “Kewenangan tersebut antara lain : pemberian izin lokasi, penyelenggaran pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, penyelesaian tanah garapan, penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan, penetapan subjek dan objek redistribusi tanah serta penetapan ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee, penetapan dan penyelesaian tanah kosong, pemberian izin membuka tanah, perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota.”42 Berkaitan dengan adanya hak pengelolaan yang dimiliki oleh Otorita Batam atas seluruh tanah di Pulau Batam, kewenangan Pemerintah Kota Batam yang diselenggarakan oleh Dinas Pertanahan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Nasional di bidang pertanahan dalam hal ini izin lokasi menjadi tidak berlaku.43 Namun, kewenangan lainnya di luar pemberian izin lokasi tersebut tetap dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Batam berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 yang dijabarkan lebih lanjut dalam Keputusan Kepala Badan 41
Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 176. 42 Ibid. 43 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
16
Pertanahan Nasional Nomor 2 tahun 2003 tentang Norma dan Standar Mekanisme ketatalaksanaan kewenangan pemerintah dibidang pertanahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.44 Sebagai tanah yang baru muncul, tanah hasil reklamasi yang terdapat di kota Batam perlu diteliti lebih lanjut regulasi juga pengaturannya. Reklamasi ditinjau dari sudut pengelolaan daerah pantai, harus diarahkan pada tujuan utama pemenuhan kebutuhan lahan baru karena kurangnya ketersediaan lahan darat. Harus diadakan ketentuan yang jelas mengenai pengertian pengelolaan itu, terutama seberapa jauh wewenang yang diberikan kepada subyek pemegang haknya agar tidak melebihi batas, termasuk menghindari tumpang tindih kewenangan dengan pemerintah setempat, khususnya mengenai perencanaan dan peruntukannya, sehingga pelaksanaannya sesuai dengan apa yang diharapkan Pemerintah.45 “Pesatnya pertumbuhan dan perkembangan kota-kota di tepi pantai akan berimbas pada daerah sekitarnya termasuk kawasan reklamasi pantai sebagai perluasan kota tersebut. Hal ini tentu saja akan menimbulkan berbagai persoalan kompleks sehingga diperlukan pengaturan terhadap kawasan reklamasi pantai dimaksud. Dalam rangka menata pembangunan kawasan reklamasi pantai diperlukan suatu pedoman teknis yang operasional bagi pemerintah, masyarakat, dan swasta dalam penyelenggaraan penataan ruang di kawasan reklamasi pantai.”46 Berdasarkan hal-hal yang diuraikan diatas maka penting untuk dilakukan penelitian terhadap hal tersebut. Untuk itu dilakukan penelitian dalam bentuk Tesis dengan Judul Penelitian “Tinjauan Yuridis Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Batam 44
Ibid., hlm. 177 Soemardijono, Analisis Mengenai Hak Pengelolaan, (Jakarta: Lembaga Pengkajian Pertanahan, 2006), hlm. 40. 46 Kawasan Reklamasi Pantai, diakses dari http://www.penataanruang.com/reklamasipantai.html, pada tanggal 22 Oktober 2012 45
Universitas Sumatera Utara
17
atas Tanah Hasil Reklamasi (Studi pada HPL yang dikelola Pemerintah Kota Batam)”.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut : a. Bagaimana dasar hukum pengaturan dalam penyelenggaraan reklamasi pantai di Kota Batam? b. Bagaimana hubungan hukum dan kewenangan Pemerintah Kota Batam sebagai pemegang Hak Pengelolaan atas tanah reklamasi pantai yang di perlakukan sebagai kawasan HPL Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (Otorita Batam)? c. Apa kendala-kendala bagi Pemerintah Kota Batam sebagai pemegang Hak pengelolaan
dalam
penyelenggaraan
reklamasi
pantai
dan
upaya
penanggulangannya? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan diatas, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah: a. Untuk
mengetahui
serta
menjelaskan
dasar
hukum
pengaturan
dalam
penyelenggaraan reklamasi pantai di Kota Batam. b. Untuk mengetahui serta menjelaskan hubungan hukum dan kewenangan Pemerintah Kota Batam sebagai pemegang Hak Pengelolaan atas tanah reklamasi
Universitas Sumatera Utara
18
pantai yang diperlakukan sebagai kawasan HPL Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (Otorita Batam). c. Untuk mengetahui serta menjelaskan kendala-kendala bagi Pemerintah Kota Batam sebagai pemegang Hak pengelolaan dalam penyelenggaraan reklamasi pantai dan upaya penanggulangannya.
D. Manfaat Penelitian Berdasarkan dari permasalahan-permasalahan diatas hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1.
Secara teoritis akan memberikan penjelasan dan menambah wawasan bagi masyarakat khususnya masyarakat kota Batam terhadap Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Batam atas tanah hasil reklamasi dan penelitian ini juga dapat menjadi
sumbangsih
bagi
ilmu
pengetahuan
hukum
umumnya
dan
pengembangan hukum agraria pada khususnya. 2.
Secara praktis penelitian ini diharapakan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi kalangan akademisi, praktisi maupun masyarakat umumnya serta dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang ingin melakukan penelitian dibidang yang sama.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap hasil penelitian yang sudah ada, maupun yang sedang dilakukan, khususnya dilingkungan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul “Hak Pengelolaan Pemerintah Kota
Universitas Sumatera Utara
19
Batam atas Tanah Hasil Reklamasi (Studi pada HPL yang dikelola Pemerintah Kota Batam)”, belum ada yang membahasnya. Penelitian yang pernah dilakukan dilingkungan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara dimana objeknya adalah tanah yang ada di Kota Batam ada beberapa yaitu : 1. Hak Kepemilikan Dan Penguasaan Atas Tanah Di Wilayah Pulau Batam (Studi : Di Pulau Sekikir Dan Pulau Bulat), penelitian ini dilakukan oleh Juliani Libertina Nasution. Hasil penelitiannya yaitu tentang pola kepemilikan dan penguasaan atas tanah di pulau-pulau yang berada di wilayah Pulau Batam khususnya di Pulau Sekikir dan Pulau Bulat sama dengan pola kepemilikan dan penguasaan tanah pada umumnya di wilayah Indonesia yang didasarkan pada penguasaan fisik bidang tanahnya oleh penduduk setempat dan kepemilikan tersebut tetap diakui oleh aparat pemerintah daerah dan masyarakat setempat. 2. Aspek Hukum Pemberian Tanah Untuk Fasilitas Umum Di Atas Hak Pengelolaan (Studi Terhadap Pengembang Perumahan Di Kota Batam), penelitian ini dilakukan oleh Candy Desita. Hasil penelitiannya membahas aspek hukum pemberian tanah untuk keperluan fasilitas umum yang berada diatas hak pengeloaan. Umumnya banyak terdapat pada komplek perumahan yang dikembangkan oleh developer. 3. Kewenangan Pemerintah Daerah di Bidang Pertanahan Berdasarkan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Analisis Terhadap Kewenangan Bidang Pertanahan Antara Pemerintah, Kota Batam dan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam), penelitian ini dilakukan oleh
Universitas Sumatera Utara
20
Novlinda. Hasil penelitiannya yaitu tentang penyerahan kewenangan bidang pertanahan kepada Pemerintah Daerah Kota Batam sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 belum dapat terlaksana sepenuhnya, karena UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah itu, tidak mengatur secara jelas dan terperinci mengenai kewenangan pemerintah Kota Batam dalam pelayanan bidang pertanahan tersebut. Apabila dilihat dari judul penelitian tersebut diatas jelas menunjukkan perbedaan dengan demikian penelitian ini adalah asli dan bukan hasil ciplakan dari penelitian atau penulisan lain. Oleh karena itu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara akademis. F.
Kerangka Teori dan Konsepsi
1.
Kerangka Teori Perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas
penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.47 Ciri umum dari hukum yang paling menonjol di sepanjang masa dan tempat adalah bahwa eksistensinya berarti bahwa jenis-jenis tertentu perilaku manusia tidak lagi bersifat pilihan (opsional), melainkan dalam pengertian tertentu bersifat wajib.48 Teori adalah suatu kerangka pemikirian atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahn (problem) yang dijadikan bahan
47 48
Soerjono Soekanto [1], Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 6. H.L.A Hart, Konsep Hukum (The Concept Of Law), (Bandung: Nusa Media, 2009), hlm. 9.
Universitas Sumatera Utara
21
perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.49 “Satjipto Rahardjo menyebutkan bahwa hukum berfungsi sebagai salah satu alat perlindungan bagi kepentingan manusia. Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut hak. Tetapi tidak disetiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang.”50 Dengan demikian kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis dalam penelitian.51 Penelitian ini menyangkut tentang Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Batam atas Tanah Hasil Reklamasi, yang tentu saja membahas tentang tanah hasil reklamasi dan status hukumnya dengan diberikan Hak Pengelolaan kepada Pemerintah Kota Batam. Hasil Reklamasi atas tanah itu di harapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat, namun dibutuhkan suatu kepastian hukum dan keadilan bagi pemegang hak atas tanah hasil reklamasi tersebut, maka teori yang dipakai dalam penelitian tesis ini adalah teori Gustav Radbruch yang dikenal dengan Vereniging Theory yang isinya tentang keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
49 50
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Madju, 1994), hlm. 80. Satjipto Rahardjo [1], Ilmu Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, Cetakan ke – V, 2000),
hlm. 53. 51
M. Solly Lubis, Op.Cit., hlm. 23.
Universitas Sumatera Utara
22
Hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri melainkan untuk manusia dan masyarakat. Diproyeksikan kepada tuntutan keadilan dan kemanfaatan. Meneruskan pendapat Radbruch, maka dalam hukum tidak hanya ada satu logika, yaitu logika hukum, melainkan logika filosofis, dan sosial.52 Bagi hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu perubahan peraturan. Gagasan hukum progresif bertolak dari dua komponen basis dalam hukum, yaitu peraturan dan perilaku (rules and behavior). Hukum ditempatkan sebagai aspek perilaku sekaligus peraturan. Peraturan akan membangun hukum positif, sedangkan perilaku akan menggerakkan peraturan dan sistem yang telah terbangun itu.53 Hak Pengelolaan (HPL) sejatinya merupakan “hak yang menguasai dari negara
yang
kewenangan
pelaksanaannya
sebagian
dilimpahkan
kepada
pemegangnya” telah mengalami pergeseran makna dari yang semula berkedudukan sebagai “fungsi” pengelolaan, kemudian bergeser ke arah “hak” yang lebih menonjolkan sifat keperdataannya dan kemudian bergeser kembali kearah sifat publiknya.54
52
Satjipto Rahardjo [2], Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, (Jakarta: Kompas, 2007), hlm. 87. 53 Satjipto Rahardjo [3], Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2008), hlm. 265. 54 Winahyu Erwiningsih [1], Op.Cit., hlm. 182.
Universitas Sumatera Utara
23
Menurut A.P. Parlindungan hak pengelolaan itu sebenarnya suatu delegasi wewenang tanah kepada pemerintah daerah/lembaga tertentu.55 Yang berimplikasi terhadap tujuan akhir dari pemberian Hak Pengelolaan (HPL) yakni untuk mencapai sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.56 “Istilah “hak pengelolaan” semakin sering dijumpai dalam praktik, maupun teori hukum pertanahan. Sebagaimana ditemui dalam Pasal 1 ayat 3 Peraturan Menteri Negara Agaria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, yang memberi definisi Hak Pengelolaan adalah Hak Menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.”57
2. Konsepsi Konsep adalah bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi konkrit, yang disebut dengan operational definition.58 Dari pijakan kerangka teori hukum tersebut, maka konsepsi yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah dengan meninjau peraturan perundangundangan mengenai obyek yang diteliti dan menggambarkan kenyataannya di lapangan.
55
A.P. Parlindungan [3], Kapita Selekta Hukum Agraria, (Bandung: Alumni, 1981), hlm. l22. Arie Sukanti Hutagalung dan Oloan Sitorus, Seputar Hak Pengeloaan, (Yogyakarta: STPN Press, 2011), hlm. 26. 57 Elita Rahmi, Eksistensi Hak Pengelolaan Atas Tanah (HPL) dan Realitas Pembangunan Indonesia, diakses dari fh.unsoed.ac.id/sites/default/.../VOL10S2012%20elita%20rahmi.pdf, pada tanggal 24 Oktober 2012 58 Samadi Surya Barata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo, 1998), hlm. 28. 56
Universitas Sumatera Utara
24
Untuk menghindari perbedaan pengertian atau penafsiran dari suatu istilah yang dipakai maka dalam penelitian ini dirumuskan kerangka konsepsi sebagai berikut: c.
Hak Pengelolaan Hak pengelolaan adalah suatu hak atas tanah yang sama sekali tidak ada
istilahnya dan Undang-undang Pokok Agraria, dan khusus hak ini demikian pula luasnya terdapat diluar ketentuan dari UUPA.59 Hak pengelolaan atas tanah merupakan konversi dari hak penguasaan negara atas tanah. Sebelumnya hak pengelolaan itu berasal dari hak penguasaan (beheer). Hak penguasaan diberikan kepada departemen, jawatan, atau daerah swatantra guna memenuhi kebutuhan hukum terutama bagi lembaga-lembaga tersebut yang tidak dimungkinkan lagi sebagai pemilik (subyek hak milik) atas tanah sesuai dengan pendapat yang dimajukan Panitia Agraria Yogya (tahun 1951) bahwa azas domein harus hapus, padahal sebagai Negara yang baru merdeka sangat memerlukan dana untuk melaksanakan tugas-tugasnya.60 Hak Pengelolaan ini baik yang berasal dari Hak Penguasaan dan maupun hak-hak yang timbul dari PMDN 1 Tahun 1977, merupakan suatu hak atas tanah yang belum diatur dalam UUPA.61 d.
Pemerintah Kota Batam “Menurut ketentuan Pasal 1 butir 2 Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menyatakan bahwa pemerintah daerah adalah 59
A.P. Parlindungan [1], Op.Cit., hlm. 1. Tampil Anshari Siregar, Undang-Undang Pokok Agraria Dalam (Medan: Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, 2001), hlm. 265. 61 A.P. Parlindungan [2], Op.Cit., hlm. 272. 60
Bagan,
Universitas Sumatera Utara
25
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”62 Mengingat segala kekayaan alam Indonesia yang berada di wilayah Indonesia dikuasai oleh negara dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran seluruh bangsa Indonesia, maka segala kegiatan lainnya harus mendapatkan izin dengan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan Pemerintah Indonesia.63 Terbentuknya Pemerintah Kota Batam sebagai institusi Eksekutif yang melaksanakan roda pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, menjadi harapan untuk dapat menjawab setiap permasalahan maupun tantangan yang muncul sesuai dengan perkembangan Sosial Ekonomi, Sosial Budaya, Politik dan lainnya dalam masyarakat.64 Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tersebut, maka Kotamadya Administratif Batam berubah menjadi daerah otonom Kota Batam yang mana penyelenggaraan pemerintahan Kota Batam oleh Pemerintah Kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut azas desentralisasi. Wilayah Indonesia yang sedemikian luasnya dan ditempati berbagai suku bangsa yang beraneka ragam, corak pemerintahan yang berdasarkan sistem
62
Selanjutnya Pasal 1 butir 3 Undang-undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah 63 P. Joko Subagyo, Hukum Laut Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm. 30. 64 Batam In Figures 2009, diakses dari http://skpd.batamkota.go.id/bapeda/files/2010/01/6.pemerintahan.pdf, pada tanggal 6 Desember 2012
Universitas Sumatera Utara
26
pembagian kekuasaan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berdasarkan corak desentralisasi sebagaimana tercermin dalam pasal 18 UUD 1945. 65 e.
Hak atas Tanah Tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas
tanah adalah hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar, adapun ruang dalam pengertian yuridis, yang berbatas, berdimensi tiga, yaitu panjang lebar, dan tinggi, yang dipelajari dalam Hukum Penataan Ruang.66 Menurut S. Chandra, tanah dimaksud merupakan daratan di lapisan kulit bumi nusantara yang dapat dipunyai dengan suatu pemilikan hak atas tanah oleh orang perseorangan atau badan hukum sesuai peraturan perundang-undangan berlaku.67 Konsisten dengan pengertian hak atas tanah dalam Pasal 4 UUPA, maka hak atas tanah itu dapat dilihat sebagai suatu strata yang terdiri dari tiga lapisan: pada permukaan bumi, di bawah tanah, dan di ruang udara, yang masing-masing dapat dipergunakan sesuai dengan keadaan serta sifat dari haknya.68 Yang dimaksud dengan hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk menggunakan dan/atau mengambil manfaat dari tanah yang di hakinya. Perkataan “menggunakan” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah itu digunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan, sedangkan perkataan “mengambil manfaat” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah itu digunakan untuk kepentingan bukan mendirikan bangunan, misalnya pertanian, perikanan, dan perkebunan.69
65
Faisal Akbar, Dimensi Hukum Dalam Pemerintahan Daerah, Cetakan Pertama, (Medan : Pustaka Bangsa Press, 2003), hlm. 43. 66 Urip Santoso, Op.Cit.,hlm. 10. 67 S. Chandra, Sertipikat Kepemilikan Hak Atas Tanah (Persyaratan Permohonan di Kantor Pertanahan), (Jakarta: Grasindo, 2005), hlm. 12. 68 Maria S.W. Sumardjono [1], Loc.Cit. 69 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
27
Menurut Ali Achmad Chomzah, yang dimaksud dengan Hak atas tanah sebagaimana yang ditetapkan Pasal 16 Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) khususnya hak atas tanah primer (Originair) yaitu hak atas tanah yang langsung diberikan oleh negara kepada subyek hak. 70
d.
Reklamasi Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka
meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.71 Reklamasi adalah suatu proses membuat daratan baru pada suatu daerah perairan/pesisir pantai atau daerah rawa. Hal ini umumya dilatarbelakangi oleh semakin tingginya tingkat populasi manusia, khususnya di kawasan pesisir, yang menyebabkan lahan untuk pembangunan semakin sempit. Untuk memfokuskan penelitian ini, maka perlu adanya batasan, yaitu Reklamasi yang dibahas dalam tesis ini selanjutnya adalah Reklamasi Pantai. Kawasan Reklamasi Pantai yang menjadi fokus penelitian ini berada kawasan pesisir Teluk Tering, dengan status Hak Pengelolaan yang dipegang oleh Pemerintah Kota Batam.
70
Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2002), hlm. 1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Pasal 1 butir 23 71
Universitas Sumatera Utara
28
G. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan mengkategorikan sebagai penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif. Bersifat deskriptif maksudnya penelitian yang bertujuan untuk melukiskan keadaan obyek atau peristiwanya.72 Sedang kualitatif diartikan sebagai kegiatan menganalisis data secara komprehenship, yaitu data sekunder dari berbagai kepustakaan dan literatur baik yang berupa buku, peraturan perundangan, disertasi, tesis dan hasil penelitian lainnya maupun informasi dari media massa. Metode yang dipakai untuk mengetahui isi dokumen tersebut adalah analisis (content analysis), sehingga dengan sifat penelitian ini dapat diperoleh gambaran yang seteliti mungkin tentang data faktual yang berhubungan dengan obyek yang diteliti tersebut.
2. Sumber Data Berdasarkan sifat penelitian tersebut di atas, maka data yang dikumpulkan berasal dari data sekunder. Data Sekunder dimaksudkan antara lain meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Untuk memperdalam data sekunder tersebut dilakukan wawancara terhadap responden yang ditentukan, yaitu pejabat pada Kantor Pemerintah Kota Batam, pejabat pada Kantor Otorita Batam (sekarang disebut Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam), dan Kantor Pertanahan Kota 72
Sutrisno Hadi, Metodologi Reseacht, (Yogyakarta : Andi Offset, 1989), hlm. 3.
Universitas Sumatera Utara
29
Batam. Teknik wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara. Wawancara dilakukan secara mendalam (depth interview).
3. Alat Pengumpulan Data Untuk mendapatkan hasil yang diinginkan dalam penelitian ini maka dipakailah alat pengumpulan data sebagai berikut : a. Studi dokumen, dilakukan untuk mendapatkan data sekunder yang relevan dengan masalah yang ditelti Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, dikaitkan dengan jenis penelitian hukum normatif, maka teknik pengumpulan data dimulai dengan menginventarisari peraturan perundangundangan di bidang pertanahan dengan pelaksanaan dan kenyataannya di lapangan dengan mengumpulkan dokumen yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti; b. Wawancara, dilakukan dengan cara wawancara langsung dengan menggunakan pedoman wawancara, sehingga diperoleh data yang dalam dan lengkap sehingga dapat digunakan untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan yang telah dirumuskan.
4. Analisis Data Sesuai dengan sifat penelitian ini yang bersifat deskriptif kualitatif. Maka setelah diperoleh data sekunder, dilakukanlah pengelompokan data yang sama sesuai dengan kategori yang ditentukan.
Universitas Sumatera Utara
30
Sebelum analisa dilakukan terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang dikumpulkan (primer, sekunder maupun tertier) untuk mengetahui
validitasnya.
disistematisasikan
Setelah
sehingga
itu
menghasilkan
keseluruhan
data
klasifikasi
yang
tersebut selaras
akan dengan
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang baik pula.73 Analisis data dilakukan dengan pendekatan kualitatif yang artinya penelitian ini akan berupaya untuk memaparkan sekaligus untuk melakukan analisis terhadap permasalahan yang ada dengan cara yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan jawaban yang jelas dan benar.74 Penelitian kualitatif jauh lebih subyektif daripada penelitian atau survei kuantitatif dan menggunakan metode sangat berbeda dari mengumpulkan informasi, terutama individu dalam menggunakan wawancara secara mendalam. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan mengungkapkan suatu masalah, keadaan, peristiwa sebagaimana adanya atau mengungkapkan fakta tersebut secara mendalam. Hasil penelitian ini kemudian dikonstruksikan dalam suatu kesimpulan yang ringkas dan tepat sesuai dengan tujuan dari penelitian ini.
73
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002),
hlm. 106. 74
Ibid., hlm. 107.
Universitas Sumatera Utara