BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit infeksi penyebab kematian utama. World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa pada tahun 2013 ada 9,6 juta kasus TB baru dan 1,5 juta kematian akibat TB. TB menduduki peringkat sejajar dengan HIV sebagai penyakit penyebab kematian utama di dunia (WHO, 2015). Pada tahun 1993, World Health Organization (WHO) mencanangkan kedaruratan global penyakit TB dimana sebagian besar negara di dunia penyakit ini tidak terkendali. Hal ini disebabkan banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan, terutama penderita menular Basil Tahan Asam (BTA) positif (Depkes RI, 2003). Jumlah kasus terbesar TB pada tahun 2014 berdasarkan data dari WHO terjadi di wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat, yang mencapai 58% dari insiden kasus global, diikuti dengan wilayah Afrika dengan persentase 28%. Insidensi kasus lebih rendah pada wilayah Mediterania Timur (8%), Eropa (4%) dan Amerika (3%) (WHO, 2014). Tuberkulosis merupakan ancaman bagi penduduk Indonesia. Pada tahun 2004, seperempat juta orang menjadi penderita baru dan sekitar 140.000 kematian setiap
1
2
tahunnya. Sebagian besar penderita TB adalah penduduk yang berusia produktif antara
2
3
15-55 tahun, dan penyakit tersebut merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernafasan akut pada seluruh kalangan usia (Depkes RI, 2005). Tuberkulosis merupakan salah satu masalah kesehatan penting di Indonesia, Indonesia termasuk dalam negara dengan jumlah kasus terbanyak (India 23%, Indonesia 10%, dan China 10% dari total kasus global) (WHO, 2015). Di Indonesia, insidensi TB sejak tahun 1990 mengalami penurunan dari 343 kasus menjadi 185 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan kasus prevalensi menurun dari 442 kasus menjadi 297 kasus per 100.000 penduduk di tahun 2012 (Depkes RI, 2012) Walaupun di Indonesia telah banyak kemajuan yang diperoleh, yakni pencapaian penemuan kasus baru 51,6 % dari target global 70 % dibandingkan pencapaian 20 % pada tahun 2002 dan 37 % pada tahun 2003, juga penyediaan obatobat anti TB yang dijamin oleh pemerintah untuk sarana pelayanan kesehatan pemerintah mencukupi kebutuhan prakiraan kasus di seluruh Indonesia, TB tetap belum dapat diberantas, bahkan diperkirakan jumlah penderita TB terus meningkat (Depkes RI, 2005). Peningkatan jumlah penderita TB disebabkan oleh berbagai faktor, yakni kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat (seperti pada negara yang sedang berkembang), kegagalan program TB, perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur umur kependudukan, serta dampak epidemi HIV. Epidemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Koinfeksi dengan
4
HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Pada saat yang sama, resistensi ganda kuman TB terhadap obat anti tuberkulosis (multi drug resistance = MDR) semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya menyebabkan epidemi TB yang sulit ditangani (Kemenkes RI, 2011). Pada praktek sehari-hari, masih sering ditemukan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang kombinasinya tidak sesuai, misalnya Rifampisin, Isoniazid, dan Etambutol; Rifampisin dan Isoniazid; bahkan Isoniazid saja dengan berbagai paduan lain. Hal lain yang perlu dicermati adalah secara farmakologi, OAT umumnya mudah terganggu bioavaibilitasnya, terutama Rifampisin. Rifampisin sangat higroskopis dan sensitif terhadap sinar matahari (Setyanto dan Trastotenojo, 2008). Pada tahun 1995, program nasional pengendalian TB mulai menerapkan strategi pengobatan jangka pendek dengan pengawasan langsung (Directly Observed Treatment Short-course atau DOTS) yang dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Program DOTS (Directly Observed Shortcourse) yang direkomendasikan WHO mulai digunakan dengan alasan yaitu dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi dan paling efektif biayanya. Strategi DOTS terdiri atas lima komponen: komitmen politis dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan; penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya; pengobatan yang standar dengan supervisi dan dukungan bagi pasien; sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif; sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan yang
5
mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program (Kemenkes RI, 2014). Tingginya kasus TB yang terjadi, baik di Indonesia maupun di dunia maka perlu untuk mengetahui cara pengobatan yang dilakukan pada pasien TB di Instalasi Rawat Jalan di RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta periode tahun 2014. Penelitian dilakukan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dengan alasan untuk mengetahui pengobatan TB di rumah sakit pusat di daerah Yogyakarta. Selain itu, karena RSUP Dr. Sardjito merupakan rumah sakit rujukan dalam penanggulangan penyakit TB. Alasan lain perlu dilakukan penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta karena sangat sedikitnya peneliti yang melakukan penelitian mengenai pengobatan TB sehingga perlu adanya penelitian mengenai hal tersebut. Dengan adanya penelitian mengenai pengobatan TB, dapat dilihat pola pengobatan TB serta peningkatan maupun penurunan kasus TB yang terjadi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
6
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah gambaran penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) pada pasien TB di Instalasi Rawat Jalan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode tahun 2014? 2. Bagaimanakah tingkat kesesuaian penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) pada pasien dibandingkan dengan Pedoman Nasional Pengendalian TB tahun 2014?
C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui gambaran penggunaan Obat Anti Tubrkulosis (OAT) pada pasien TB di Instalasi Rawat Jalan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode tahun 2014. 2. Mengetahui tingkat kesesuaian penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT), yang dilihat dari indikasi, kondisi pasien, obat yang digunakan dan dosis obat dibandingkan dengan Pedoman Nasional Pengendalian TB tahun 2014.
7
D. Manfaat Penelitian 1. Sebagai sumber informasi bagi tenaga medik baik dokter maupun apoteker tentang penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) pada pasien TB di Instalasi Rawat Jalan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode tahun 2014. 2. Sebagai bahan evaluasi terhadap terapi TB di Instalasi Rawat Jalan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. 3. Sebagai masukan bagi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dalam meningkatkan pelayanan dan pengobatan bagi rumah sakit. 4. Menambah ilmu pengetahuan, wawasan dan pengalaman bagi peneliti.
E. Tinjauan Pustaka 1. Tuberkulosis Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis yang dapat menyerang berbagai organ, terutama paru-paru. Bila menyerang organ selain paru (kelenjar limfe, kulit, otak, tulang, usus, ginjal) disebut TB ekstra paru. M. tuberculosis merupakan sebuah bakteri aerobik, non spora yang tahan dekolorisasi oleh alkohol asam setelah pewarnaan dengan fuchsin dasar sehingga sering disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Bakteri ini juga berbeda dari organisme lain karena membelah perlahan sekali setiap 24 jam, bukan setiap 20 sampai 40 menit seperti halnya beberapa organisme lain. M.
8
tuberculosis tumbuh subur di lingkungan dimana tekanan oksigen relatif tinggi, seperti apeks paru-paru, parenkim ginjal dan ujung tumbuh tulang (Koda-Kimble et al., 2009). Penyakit TB adalah salah satu penyakit tertua yang diketahui menyerang manusia. Penyakit tersebut biasanya menyerang paru-paru (disebut sebagai TB Paru), walaupun pada sepertiga kasus organ-organ lain ikut terlibat. Jika diterapi dengan benar TB yang disebabkan oleh kompleks Mycobacterium tuberculosis, yang peka terhadap obat, praktis dapat disembuhkan, tanpa terapi TB akan mengakibatkan kematian dalam 5 tahun pertama pada lebih dari setengah kasus (Konstantinos, 2012). Kuman TB hidup di dalam sitoplasma makrofag jaringan sebagai parasit intraseluler. Hal tersebut disebabkan karena makrofag banyak mengandung lipid sehingga makrofag yang semula memfagositositasi justru disenangi oleh kuman TB (Tan dan Rahardja, 2007). Mycobacterium tuberculosis masuk ke dalam jaringan paru melalui saluran nafas sampai alveoli kemudian kuman TB dapat menyebar melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfa, saluran nafas, atau langsung ke bagian tubuh lainnya (Rab, 1996).
2. Patogenesis Penularan TB terjadi melaui udara yang mengandung basil TB dalam percikan ludah yang dikeluarkan oleh penderita TB paru pada waktu batuk, bersin atau pada
9
waktu bernyanyi. Petugas kesehatan dapat tertular pada waktu mereka melakukan otopsi, bronkoskopi atau pada waktu melakukan intubasi. Kontak jangka panjang dengan penderita TB menyebabkan risiko tertular, infeksi melalui selaput lendir atau kulit yang luka/lecet bisa terjadi. TB bovinum penularannya dapat terjadi jika orang terpajan sapi yang menderita TB, biasanya karena minum susu yang tidak dipastuerisasi atau karena konsumsi produk yang tidak diolah dengan sempurna (Kandun, 2000). Kuman M. tuberculosis bisa menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam tergantung ada tidaknya sinar ultraviolet, ada tidaknya ventilasi dan kelembapan. Keadaan yang gelap dan lembap menjadikan kuman TB tahan berhari-hari hingga berbulan-bulan. Kuman TB juga tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka waktu lama pada suhu antara 4◦ C sampai minus 70◦ C (Kemenkes RI, 2014). Sumber penularannya adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu bersin atau batuk, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi jika droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman TB masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernafasan, kuman TB tersebut menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Kemenkes RI, 2014).
10
Penderita TB paru sepanjang ditemukan basil TB di dalam sputum secara teoritis akan tetap menularkannya kepada orang lain. Penderita TB yang tidak diobati atau diobati secara tidak sempurna, dahaknya akan tetap mengandung basil TB selama bertahun-tahun. Tingkat penularan sangat tergantung kepada jumlah basil TB yang dikeluarkan, virulensi dari basil TB, terpejannya basil TB dengan sinar ultraviolet, bersin, bicara atau saat bernyanyi dan tindakan medik dengan risiko tinggi. Anak-anak dengan TB primer biasanya tidak menular (Kandun, 2000). Seseorang yang pernah terinfeksi oleh kuman TB biasanya memiliki peluang sebesar 5% untuk kembali mengalami infeksi aktif dalam 1-2 tahun. Perkembangan TB pada setiap orang bervariasi tergantung berbagai faktor seperti sistem kekebalan tubuh, usia, jenis kelamin, kemiskinan, gizi buruk, dan faktor toksis (merokok) (Anonim, 2012). Berdasarkan penularannya maka TB dapat dibagi menjadi : a. Tuberkulosis Primer Tuberkulosis primer dapat terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman M. tuberculosis. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus dan menetap di alveolus. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri, mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran limfe akan membawa kuman ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif
11
menjadi positif. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu (Depkes RI, 2007). Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, beberapa kuman akan tetap menetap sebagai kuman persisten atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita TB. Masa inkubasi yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit diperkirakan sekitar 6 bulan (Depkes RI, 2007).
b. Tuberkulosis Post Primary (Tuberkulosis Pasca Primer) Tuberkulosis pasca primer merupakan reaktivasi infeksi TB primer, reaktivasi terjadi terutama setelah 2 tahun dari terjadinya infeksi primer. TB pasca primer terjadi karena imunitas menurun yang disebabkan oleh malnutrisi, pecandu alkohol, Acquired Imunodeficiency Syndrome (AIDS), dan gagal ginjal. Kuman TB disebarkan melalui hematogen ke bagian segmen apical posterior atau melalui metastatis hematogen ke berbagai jaringan tubuh. Ciri khas TB pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura (Rab, 1996).
12
3. Klasifikasi Tuberkulosis Penemuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita penting dilakukan dalam menetapkan panduan OAT yang sesuai dan dilakukan sebelum pengobatan dimulai. Ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan definisi-kasus, yaitu (Depkes RI, 2005): a. Organ tubuh yang sakit : paru atau ekstra paru. b. Hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopik langsung : BTA Positif atau BTA Negatif. c. Riwayat pengobatan sebelumnya : baru atau sudah pernah diobati d. Tingkat keparahan penyakit : ringan atau berat. Menurut Kemenkes RI (2014), klasifikasi penyakit TB berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit dibagi sebagai berikut: a. Tuberkulosis Paru Tuberkulosis paru adalah TB yang terjadi pada jaringan parenkim paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB paru dibagi menjadi: 1) TB Paru BTA Positif (+) a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS (Sewaktu – Pagi – Sewaktu) hasilnya BTA positif
13
b) Satu spesimen dahak SPS (Sewaktu – Pagi – Sewaktu) hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran TB aktif c) Satu spesimen dahak SPS (Sewaktu – Pagi – Sewaktu) hasilnya BTA positif dan biakan kuman positif d) Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT. 2) TB Paru BTA Negatif (-) a) Pada pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran TB aktif b) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT c) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberikan pengobatan. Tuberkulosis Paru BTA negatif rontgen positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto rontgen dada memperlihatkan gambar kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced” atau
14
milier), dan atau keadaan umum penderita buruk (Kemenkes RI, 2014).
b. Tuberkulosis Ekstra Paru Tuberkulosis Ekstra Paru adalah TB yang menyerang organ tubuh selain paru, misalnya pleura (selaput pleura), selaput otak, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain, TB Ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu (Depkes RI, 2005): 1) Tuberkulosis Ekstra Paru Ringan Klasifikasi ini terdiri dari TB kelenjar limphe, pleuritis, eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal. 2) Tuberkulosis Ekstra Paru Berat Klasifikasi ini terdiri dari meningitis, pericarditis, peritonitis, pleuritic eksudativa duplex, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin. Bila seorang pasien TB Paru juga mempunyai TB Ekstra Paru, maka untuk kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB Paru. Bila seorang pasien dengan TB Ekstra Paru pada beberapa organ, maka
15
dicatat sebagai TB Ekstra Paru pada organ yang penyakitnya paling berat (Depkes RI, 2005). Berdasarkan riwayat pengobatan penderita, dapat digolongkan atas tipe yaitu (Kemenkes RI, 2014): 1) Pasien baru TB : pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (< dari 28 dosis harian). 2) Pasien yang pernah diobati TB : pasien yang sebelumnya pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis). Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu: a) Pasien kambuh (relaps) : pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi). b) Pasien yang diobati kembali setelah gagal : pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir. c) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up) : pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to
16
follow-up
(klasifikasi
ini
sebelumnya
dikenal
sebagai
pengobatan pasien setelah putus berobat/default) d) Pindahan atau transfer in : pasien yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Pasien pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/ pindahan. e) Lain-lain : pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
Sedangkan klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV yaitu (Kemenkes RI, 2014) : a. Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV) : pasien TB dengan hasil tes HIV positif sebelumnya/sedang mendapatkan ART atau hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB. b. Pasien TB dengan HIV negatif : pasien TB dengan hasil tes HIV negatif sebelumnya atau hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TB dengan catatan yaitu apabila pada pemeriksaan selanjutnya ternyata hasil tes HIV menjadi positif maka pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya sebagai pasien TB dengan HIV positif.
17
c. Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui : pasien TB tanpa ada bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan.
4. Tanda dan Gejala Tuberkulosis Gejala TB pada orang dewasa umumnya penderita mengalami batuk dan berdahak terus-menerus selama 3 minggu atau lebih, batuk darah atau pernah batuk darah. Adapun gejala-gejala lain TB orang dewasa adalah sesak napas dan nyeri dada, badan lemah, nafsu makan dan berat badan menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, dan demam lebih dari sebulan (Kemenkes RI, 2014). 5. Diagnosis Tuberkulosis a. Pemeriksaan dahak mikroskopis Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksan dahak untuk penegakkan diagnosis dilakukan dalam 2 hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu – Pagi – Sewaktu (SPS). 1) S (Sewaktu) : dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
18
2) P (Pagi) : dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri pada petugas di Unit Pelayanan Kesehatan (UPK). 3) S (Sewaktu) : dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. b. Pemeriksaan Biakan Peran biakan dan identifikasi M. tuberculosis pada penanggulangan TB khususnya untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka terhadap OAT yang digunakan. Selama fasilitas memungkinkan, biakan, identifikasi kuman dan tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi (Kemenkes RI, 2014): 1) Pasien TB Ekstra Paru 2) Pasien TB anak 3) Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif. c. Pemeriksaan Uji Kepekaan Obat Tes ini bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi M. tuberculosis terhadap OAT. Tes kepekaan tersebut hanya bisa dilakukan di laboratorium yang mampu melaksanakan biakan, identifikasi kuman, dan tes resistensi sesuai standar internasional, serta telah mendapatkan pemantapan
19
mutu (Quality Assurance) oleh laboratorium supranasional TB. Hal ini bertujuan agar hasil pemeriksaan tersebut memberikan simpulan yang benar sehingga kemungkinan kesalahan dalam pengobatan Multi Drug Resistance (MDR) dapat dicegah (Kemenkes RI, 2014).
a. Anamnesis Anamnesis yaitu untuk mengetahui secara langsung melalui ada/atau tidaknya gejala-gejala yang biasa mengiringi penyakit TB pada pasien. Gejala klinis yang tampak tergantung tipe infeksinya. Pada tipe infeksi yang primer dapat tanpa gejala dan sembuh sendiri atau dapat berupa batuk, nyeri pleura dan sesak napas. Sedangkan pada TB pasca primer terdapat gejala berkeringat dingin pada malam hari, badan menjadi kurus, batuk berdahak lebih dari 2 minggu, sesak napas, dan batuk berdarah (Rab, 1996). b. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik pertama terhadap keadaan umum pasien dapat ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam, dan berat badan menurun (Anonim, 2001a). Tempat kelainan lesi TB paru paling dicurigai adalah bagian apeks (puncak paru) karena bila terdapat infiltrat yang agak luas maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara nafas bronkial. Infeksi TB paru
20
dengan fibrosis yang luas sering ditemukan paru yang sehat menjadi lebih hiperinflasi. Pengecilan daerah aliran darah paru, peningkatan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi pulmonal) dan gagal jantung kanan dapat terjadi bila infeksi jaringan fibrosis amat luas yakni lebih dari setengah jumlah paru (Anonim, 2001a). c. Pemeriksaan Radiologis Gambaran yang menunjang diagnosis TB adalah infiltrasi atau nodular, terutama pada paru, kavitas, kalsifikasi, efek Ghom, sitotoksisitas, milier atau tuberkuloma (Rab, 1996). d. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium dibagi menjadi : 1) Darah Hasil pemeriksaan tidak sensitif dan juga tidak spesifik. Pada saat TB baru aktif akan didapatkan jumlah leukosit dan laju endap darah yang meningkat, sedangkan jumlah limfosit masih di bawah normal. Bila penyakit tersebut mulai sembuh, jumlah leukosit dan laju endap darah mulai kembali normal, sedangkan jumlah limfosit masih tinggi (Anonim, 2001a). 2) Sputum
21
Diagnosis TB paru pada orang dewasa yakni dengan pemeriksaan sputum atau dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya 2 dari 3 spesimen SPS BTA hasilnya positif. Apabila hanya 1 spesimen yang positif maka perlu dilanjutkan dengan rontgen dada dan atau pemeriksaan sputum ulang. Pemeriksaan sputum penting karena pada sputum ditentukan bakteri
M.
tuberculosis, sehingga diagnosis TB sudah dapat dipastikan (Depkes RI, 2005). 3) Tes tuberkulin Pemeriksaan dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis TB terutama pada anak-anak (balita). Biasanya dipakai tes Mantoux yakni dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin Purified Protein Derivate (P.P.D) intrakutan berkekuatan 5 T.U (intermediate strength). Kekuatan 5 T.U dapat diulangi dengan 250 T.U (second strength) bila masih memberikan hasil negatif (Anonim, 2001a). Tes tuberkulin menyatakan apakah seseorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi M.tuberculosis, M.bovis, vaksinasi BCG dan Mycobacteria patogen lainnya. Reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi seluler dan antigen tuberkulin, dapat timbul setelah 48 -72 jam setelah disuntikkan (Anonim, 2001b).
22
Pada orang dewasa, uji tuberkulin tidak memiliki arti dalam diagnosis, hal
tersebut
disebabkan
suatu
uji
tuberkulin
positif
hanya
menunjukkan bahwa yang bersangkutan pernah terpapar dengan M. tuberculosis. Selain itu, hasil uji tuberkulin dapat negatif meskipun orang tersebut menderita TB. Misalnya pada penderita Human Immunodeficiency Virus (HIV), malnutrisi berat dan TB milier (Depkes RI, 2005). 4) Pemeriksaan Foto Toraks Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun, pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut : a) Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus tersebut pemeriksaan foto toraks dada perlu dilakukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif. b) Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT. c) Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus (seperti : pneumotoraks,
23
pleuritis eksudativa, efusi pericarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptysis berat (untuk menyingkirkan bronkoektasis dan aspergiloma) (Depkes RI, 2005).
24
6. Tata Laksana Terapi Tuberkulosis Cara pengendalian atau penanggulangan TB yang terbaik adalah mencegah agar tidak terjadi penularan maupun infeksi. Pencegahan TB pada dasarnya adalah (Depkes RI, 2005): a. Mencegah penularan kuman dari penderita yang terinfeksi, b. Menghilangkan atau mengurangi faktor risiko yang menyebabkan terjadinya penularan. Tindakan mencegah terjadinya penularan dengan berbagai cara, yang utama adalah memberikan obat anti TB yang benar dan cukup, serta dipakai dengan patuh sesuai ketentuan penggunaan obat. Tujuan pengobatan TB yaitu (Kemenkes RI, 2014): a. Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup, b. Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk selanjutnya, c. Mencegah terjadinya kekambuhan TB, d. Menurunkan tingkat penularan TB, e. Mencegah terjadinya dan penularan TB resistan obat. Sesuai dengan sifat kuman TB untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip (Kemenkes RI, 2014):
25
a. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi. b. Pengobatan diberikan dalam dosis yang tepat. c. Obat ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan Obat) sampai selesai pengobatan. d. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap intensif (awal) serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan. 1) Tahap Intensif (awal) Pada tahap ini pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu. 2) Tahap Lanjutan Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting untuk membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya
26
kuman persister (dorman) sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan. Penggunaan obat anti TB yang dipakai dalam pengobatan TB adalah antibiotik dan anti infeksi sintesis untuk membunuh kuman Mycobacterium. Aktivitas obat-obat TB didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu aktivitas membunuh bakteri, aktivitas sterilisasi, dan mencegah resistensi (Depkes RI, 2005). Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian TB di Indonesia adalah (Kemenkes RI, 2014): Kategori 1
: 2HRZE/4H3R3
Kategori 2
: 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
Kategori anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S)/4-10HR Regimen pengobatan TB mempunyai kode standar yang menunjukkan tahap dan lama pengobatan, jenis OAT, cara pemberian (harian atau selang) dan kombinasi OAT dengan dosis tetap. Contoh : 2HRZE/4H3R3. Sedangkan angka yang ada dalam kode menunjukkan waktu atau frekuensi. Angka 2 di depan seperti pada „2HRZE‟, artinya digunakan selama 2 bulan, tiap hari satu kombinasi tersebut, sedangkan untuk angka di belakang huruf, seperti pada „4H3R3‟ artinya dipakai 3 kali seminggu (selama 4 bulan). Sebagai contoh, untuk TB kategori 1 dipakai 2HRZE/4H3R3, artinya tahap awal/intensif adalah 2HRZE: lama pengobatan 2 bulan, masing-masing
27
OAT (HRZE) diberikan setiap hari. Tahap lanjutan adalah 4H3R3: lama pengobatan 4 bulan, masing-masing OAT (HR) diberikan 3 kali seminggu (Depkes RI, 2005). Di samping ketiga kategori ini, disediakan panduan obat sisipan (HRZE). Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS, serta OAT line ke-1, yaitu Pirazinamid dan Etambutol (Kemenkas RI, 2014).
a. Kategori 1 Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan. Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan. Obat ini diberikan untuk pasien baru: 1) Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis 2) Pasien TB paru terdiagnosis klinis 3) Penderita TB Ekstra Paru. Tabel I. Dosis Panduan OAT-FDC/KDT untuk Kategori 1
Berat Badan
Tahap Intensif tiap hari selama 56 hari RHZE (150/75/400/275)
Tahap Lanjutan 3 kali seminggu selama 16 minggu RH (150/150)
30 - 37 kg
2 tablet 4KDT
2 tablet 2KDT
28
38 – 54 kg
3 tablet 4KDT
3 tablet 2KDT
55 – 70 kg
4 tablet 4KDT
4 tablet 2KDT
≥ 71 kg
5 tablet 4KDT
5 tablet 2KDT
Sumber : Pedoman Nasional Pengendalian TB tahun 2014. Tabel II. Dosis panduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1 Dosis per hari / kali Tahap Pengobatan
Lama Pengobatan
Tablet Isoniazid @ 300 mg
Kaplet Rifampisin @ 450 mg
Tablet Pirazinamid @ 500 mg
Tablet Etambutol @ 250 mg
Jumlah hari / kali menelan obat
Intensif
2 Bulan
1
1
3
3
56
Lanjutan
4 Bulan
2
1
-
-
48
Catatan : Dosis penduan ini untuk penderita dengan berat badan antar 33 – 50 kg 1 bulan = 28 blister (dosis) harian Satu paket kombipak kategori 1 berisi 104 blister harian yang terdiri dari 56 blister HRZE untuk tahap intensif, dan 48 blister HR untuk tahap lanjutan, masing-masing dikemas dalam 2 dos kecil dan disatukan dalam dos besar. Sumber : Pedoman Nasional Pengendalian TB tahun 2014.
b. Kategori 2 Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan HRZES setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu, diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Obat tersebut diberikan untuk penderita TB Paru BTA Positif yang sebelumnya pernah diobati atau pengobatan ulang, yaitu (Depkes RI, 2005): 1) Pasien kambuh (relaps).
29
2) Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya 3) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).
Tabel III. Dosis Panduan OAT FDC Kategori 2 Tahap Intensif tiap hari RHZE (150/75/400/275) + S Berat Badan
Tahap Lanjutan 3 kali seminggu RH (150/150) + E(400)
Selama 56 hari
Selama 28 hari
Selama 20 minggu
30 – 37 kg
2 tab 4KDT + 500 mg Streptomisin inj.
2 tab 4KDT
2 tab 2KDT + 2 tab Etambutol
38 – 54 kg
3 tab 4KDT + 750 mg Streptomisin inj.
3 tab 4KDT
3 tab 2KD + 3 tab Etambutol
55 – 70 kg
4 tab 4KDT + 1000 mg Streptomisin inj.
4 tab 4KDT
4 tab 2KDT + 4 tab Etambutol
≥ 71 kg
5 tab 4KDT + 1000 mg Streptomisin inj.
5 tab 4KDT ( > do maks)
5 tab 2KDT + 5 tab Etambutol
Sumber : Pedoman Nasional Pengendalian TB tahun 2014 Tabel IV. Panduan OAT Kategori 2 dalam Paket Kombipak Kaplet R @ 450 mg
Tablet Z @ 600 mg
Etambutol Tablet Tablet @ 250 mg @ 400 mg
S inj
Jumlah hari per kali menelan obat
-
0,75 gr
56
3
-
-
28
1
2
-
60
Tahap
Lama
Tablet H @ 300 mg
Tahap Intensif (dosis harian)
2 bulan
1
1
3
3
Dilanjutkan
1 bulan
1
1
3
Tahap Lanjutan (dosis 3 x seminggu)
5 bulan
2
1
-
Catatan : Dosis panduan berlaku untuk penderita dengan berat badan antara 33 – 50 kg Satu paket kombipak kategori 2 berisi 144 blister harian yang terdiri dari 84 blister HRZE untuk tahap intensif, dan 60 blister HRE untuk tahap lanjutan, masing-masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan dalam dos besar. Di samping itu, disediakan 29 vial streptomisin @ 1,5 g dan pelengkap (60 spuit dan aquabidest) untuk tahap intensif. Sumber : Pedoman Nasional Pengendalian TB tahun 2014.
30
31
c. Kategori Anak OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan serta dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak. Tabel V. Dosis OAT Kombipak pada anak Jenis Obat
BB <10 kg
BB 10-19 kg
BB 20-32 kg
Isoniazid
50 mg
100 mg
200 mg
Rifampisin
75 mg
150 mg
300 mg
Pirazinamid
150 mg
300 mg
600 mg
Sumber : Pedoman Nasional Pengendalian TB (Kemenkes RI, 2014) Tabel VI. Dosis OAT-KDT pada anak 2 bulan tiap hari
4 bulan tiap hari
RHZ (75/50/150)
RH (75/50)
5–9
1 tablet
1 tablet
10 – 19
2 tablet
2 tablet
20 – 32
4 tablet
4 tablet
BB (kg)
Sumber : Pedoman Nasional Pengendalian TB (Kemenkes RI, 2014)
7. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Jenis obat yang dipakai pada pengobatan tuberkulosis adalah obat primer (Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, Streptomisin, dan Etambutol) dan obat sekunder (para amino salisilat, sikloserin, amikasin, etionamid, ofloksasin, kanamisin, dll). WHO dan International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) menyatakan bahwa regimen pengobatan untuk tuberkulosis yang utama adalah kombinasi obat primer selama 6 bulan (Bahar dan Amin, 2001).
32
a. Isoniazid Isoniazid merupakan derivat asam nikotinat yang berkhasiat paling kuat terhadap M.tuberculosis dan bersifat bakterisid terhadap kuman yang sedang tumbuh pesat. Isoniazid aktif terhadap kuman yang berada di intraseluler dalam makrofag maupun luar sel (ekstraseluler). Obat tersebut praktis tidak aktif terhadap bakteri lain. Mekanisme kerjanya yakni dengan menghambat sintesis asam mikolat, yang merupakan komponen terpenting pada dinding sel bakteri (Tan dan Rahardja, 2007). Isoniazid masih merupakan obat kemoterapi terpenting terhadap berbagai tipe tuberkulosis dan selalu sebagai multiple terapi dengan rifampisin dan pirazinamid (Tan dan Rahardja, 2007). Resorpsi isoniazid di usus sangat cepat, berdifusi ke dalam jaringan dan cairan tubuh dengan baik sekali, bahkan menembus jaringan yang sudah mengeras. Penetrasi yang cepat ini sangat penting untuk pengobatan tuberkulosis meningitis (Tan dan Rahardja, 2007). Di hati, isoniazid diasetilasi oleh enzim astiltransferase menjadi metabolit inaktif. PP-nya ringan sekali, t1/2 plasma antara 1 dan 4 jam tergantung pada kecepatan asetilasi. Ekskresinya terutama melalui ginjal (75 – 95% dalam 24 jam) dan sebagian besar sebagai asetilisoniazid (Tan dan Rahardja, 2007).
33
Efek samping pada penggunaan isoniazid pada dosis normal (200 – 300 mg sehari) adalah jarang dan ringan (gatal-gatal, ikterus), tetapi efek samping lebih sering terjadi bila dosis melebihi 400 mg, yaitu polyneuritis (radang saraf dengan gejala kejang dan gangguan penglihatan). Penyebabnya adalah persaingan dengan piridoksin yang rumus kimianya mirip dengan isoniazid. Perasaan tidak sehat, letih dan lemah merupakan efek samping yang juga lazim terjadi. Untuk menghindari reaksi toksis ini biasanya diberikan piridoksin (vitamin B6) 10 mg sehari bersama vitamin B1 (aneurin) 100 mg (Tan dan Rahardja, 2007). Kadang-kadang terjadi kerusakan hati dengan hepatitis dan ikterus yang fatal, khususnya
pada orang-orang pengasetilir lambat
(slow
acetylators), terutama jika dikombinasi dengan rifampisin. Kecepatan proses asetilasi yang mempengaruhi kadar obat dalam plasma dan masa paruhnya, tergantung banyaknya asetiltransferase yang pada masing-masing orang berbeda secara genetis (Tan dan Rahardja, 2007). Isoniazid diabsorpsi dengan mudah pada pemberian oral. Absorpsi terganggu jika diminum bersama makanan terutama karbohidrat atau antasida yang mengandung aluminium (Myoek dkk., 1995). Resistensi dapat timbul agak cepat bila digunakan sebagai obat tunggal, akan tetapi resistensi silang dengan obat TB lain tidak terjadi. Perlu waspada
34
bila digunakan oleh penderita gangguan ginjal/hati dan mereka yang berusia di atas 45 tahun, karena risiko efek samping meningkat seiring dengan bertambahnya usia (Tan dan Rahardja, 2007). Dosis oral/ i.m isoniazid dewasa dan anak-anak adalah 4 – 8 mg/kg/hari atau 300 – 400 mg, bila digunakan sebagai single dose bersama rifampisin, pagi hari sebelum makan atau sesudah makan bila terjadi gangguan lambung. Profilaksis : 5 -10 mg/kgBB/hari (Tan dan Rahardja, 2007).
b. Rifampisin Antibiotika tersebut merupakan derivat semisintesis rifamisin B yang dihasilkan oleh Streptomyces mediteranei, suatu jamur tanah yang berasal dari Perancis Selatan. Zat merah bata tersebut bermolekul besar dengan banyak cincin (makrosilis), rifampisin bersifat bakterisid luas terhadap pertumbuhan M.tuberculose dan M.leprae, baik yang berada di dalam maupun di luar sel. Antibiotik tersebut juga mematikan kuman yang “dormant” selama fase pembelahan yang singkat dan sangat penting untuk membasmi semua basil guna mencegah kambuhnya penyakit tuberkulosis. Selain itu, rifampisin aktif terhadap kuman gram positif maupun gram negatif. Rifampisin bekerja dengan menghambat sintesis Ribonucleid Acid (RNA) bakteri (Tan dan Rahardja. 2007).
35
Resorpsi rifampisin di usus sangat tinggi, distribusi ke jaringan dan cairan tubuh juga baik, hal tersebut nyata sekali pada pewarnaan jingga/merah air seni, tinja, ludah, keringat, dan air mata. T1/2 plasmanya berkisar antara 1,5 – 5 jam dan meningkat bila ada gangguan fungsi hati. Di lain pihak, masa paruh ini akan turun jika digunakan bersamaan dengan isoniazid. Ekskresi rifampisin melalui empedu, sedangkan lewat ginjal berlangsung secara fluktuatif (Tan dan Rahardja, 2007). Efek samping dari rifampisin jarang terjadi jika diberikan sesuai dosis yang dianjurkan. Namun jika dikonsumsi dengan isoniazid maka dapat menimbulkan penyakit kuning (icterus). Pada penggunaan lama dianjurkan untuk memantau fungsi hati secara periodik. Obat tersebut agak sering menyebabkan gangguan saluran cerna, seperti mual, muntah, sakit ulu hati, kejang perut dan diare, begitu pula gejala gangguan SSP dan reaksi hipersensitivitas (Tan dan Rahardja, 2007). Interaksi rifampisin dengan obat lain, yaitu rifampisin mempercepat perombakan obat lain bila diberikan bersamaan waktu, karena rifampisin termasuk sebagai induktor enzim sitokrom P450 dalam hati (Tan dan Rahardja, 2007). Dosis oral rifampisin pada penderita TB adalah 450 – 600 mg sekaligus pada pagi hari sebelum makan, karena kecepatan dan kadar resorpsinya dihambat oleh isi lambung. Sering diberikan dalam kombinasi
36
dengan isoniazid 300 mg dan untuk 2 bulan pertama dikombinasi juga dengan pirazinamid 1,5 – 2 g setiap hari (Tan dan Rahardja, 2007). c. Pirazinamid Pirazinamid adalah analog pirazin sintetik dari nikotinamid. Obat tersebut tidak larut dalam air. Pirazinamid mengalami hidrolisis dan hidroksilasi oleh enzim pirazinamidase menjadi asam pirazinoat yang merupakan metabolit utamanya, sebagai tuberkulostatik hanya pada media yang bersifat asam dan diekskresi melalui filtrat glomerulus (Tan dan Rahardja, 2007). Pirazinamid bekerja sebagai bakterisida pada suasana asam (pH 5 -6), atau bakteriostatika tergantung pada pH dan kadarnya di dalam darah. Spektrum kerjanya sangat sempit dan hanya meliputi M. tuberculosis. Mekanisme kerja pirazinamid berdasarkan pengubahannya menjadi asam pyrazinamidase yang berasal dari basil TB (Tan dan Rahardja, 2007). Resorpsi pirazinamid cepat dan hampir sempurna, kadar maksimal dalam plasma dicapai dalam 1 – 2 jam, dengan t1/2 plasmanya 9 – 10 jam. Distribusi pirazinamid ke jaringan dan cairan serebrospinal baik. Lebih kurang 70% diekskresikan melalui urin, sebagian utuh dan sebagian besar sebagai produk hidrolisisnya, yakni asam pirazinat (Tan dan Rahardja, 2007).
37
Efek samping pirazinamid yang sering sekali terjadi dan berbahaya adalah kerusakan hati dengan ikterus (hepatotoksis), terutama pada dosis di atas 2 g sehari. Pada hampir semua pasien, pirazinamid menghambat pengeluaran asam urat sehingga meningkatnya kadar asam urat dalam darah (hiperuresemia) dan menimbulkan serangan encok (gout). Obat tersebut dapat pula menimbulkan gangguan lambung – usus, fotosensibilitas dengan reaksi kulit (menjadi merah – coklat), arthralgia, demam, malaise, dan anemia, juga menurunkan kadar gula darah. Resistensi dapat terjadi dengan cepat apabila digunakan sebagai monoterapi (Tan dan Rahardja, 2007). Dosis pirazinamid oral sehari adalah 30 mg/kgBB selama 2 – 4 bulan, dosis maksimal 2 g, pada meningitis TB 50 mg/kgBB/hari (Tan dan Rahardja, 2007). d. Streptomisin Streptomisin merupkan suatu aminoglikosida yang diperoleh dari Streptomyces dan memiliki khasiat bakterisid terhadap kuman M.tuberculosis. Senyawa tersebut berkhasiat terhadap banyak kuman gram negatif dan positif, termasuk M. tuberculosis dan beberapa M. atipis. Streptomisin khusus aktif terhadap mycobacteria ekstraseluler yang sedang membelah aktif dan pesat (misalnya di dalam caverne) (Tan dan Rahardja, 2007).
38
Mekanisme kerjanya berdasarkan penghambatan sintesis protein kuman dengan jalur pengikatan pada RNA ribosomal. Antibiotik tersebut toksis untuk organ pendengaran dan keseimbangan, jadi sebaiknya jangan digunakan dalam jangka waktu yang lama, karena efek neurotoksis terhadap saraf kranial ke-8 dapat menimbulkan ketulian permanen (Tan dan Rahardja, 2007). Resorpsi streptomisin di usus buruk sekali, maka hanya diberikan sebagai injeksi intra muscular (i.m). Sejak adanya obat-obat ampuh lain, penggunaan streptomisin terhadap TB paru telah jauh berkurang. Obat ini masih digunakan bersama ketiga obat lain untuk TB otak yang sangat parah (meningitis). Dosis streptomisin intra muscular (i.m) 0,5 – 1 g tergantung dari usia (garam sulfat) selama maksimal 2 bulan (Tan dan Rahardja, 2007). e. Etambutol Etambutol
merupakan
derivat
etilendiamin
yang
bersifat
bakteriostatik. Mekanisme kerjanya berdasarkan penghambatan sintesis Ribonucleid Acid (RNA) pada kuman yang sedang membelah dan menghambat terbentuknya asam mikolat pada dinding sel bakteri (Tan dan Rahardja, 2007). Resorpsi etambutol baik (75 – 80 %) dan mudah menembus eritrosit yang berfungsi sebagai depot yang lambat laun melepaskan kembali obat ke
39
plasma. PP-nya 20 -30%, T1/2 plasmanya 3 – 4 jam dan dapat meningkat sampai dengan lebih kurang 8 jam pada gangguan ginjal. Ekskresi etambutol melalui ginjal (80 %) yang separuhnya dalam bentuk utuh dan 15 % sebagai bentuk metabolit non-aktif (Tan dan Rahardja, 2007). Efek
samping
yang
terpenting adalah
neuritis
optica
yang
menyebabkan gangguan penglihatan, yaitu kurang tajamnya penglihatan dan buta warna terhadap merah-hijau. Reaksi toksis baru timbul pada dosis besar (di atas 50 mg/kg/hari) dan bersifat reversible bila pengobatan segera dihentikan, tetapi dapat menimbulkan kebutaan bila pemberiaan obat dilanjutkan. Etambutol sebaiknya tidak diberikan pada anak-anak karena dapat mempengaruhi penglihatan yang sulit dideteksi. Etambutol juga dapat meningkatkan kadar asam urat dalam plasma akibat penurunan ekskresinya oleh ginjal (Tan dan Rahardja, 2007). Dosis harian etambutol yang diberikan adalah 20 – 25 mg/kg/hari, selalu dalam kombinasi dengan isoniazid. Dosis infus i.v adalah 15 mg/kg dalam 2 jam (Tan dan Rahardja, 2007).
F. KETERANGAN EMPIRIS Penelitian bertujuan untuk mengetahui demografi karakteristik pasien TB, mengetahui gambaran dan kesesuaian pengobatan pada pasien TB di Instalasi Rawat Jalan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode tahun 2014. Pelaksanaan penelitian
40
dilakukan pada 16 November 2015 – 16 Februari 2016, dengan tujuan mengambil data pasien TB rawat jalan periode tahun 2014. Data karakteristik yang diperoleh dari penelitian ini, meliputi jenis kelamin, usia, riwayat pengobatan TB pasien, kategori TB, penyakit penyerta serta obat yang digunakan. Sedangkan pengambilan data mengenai pengobatan pasien, baik dari segi penggunaan kombinasi maupun dosis akan dibandingkan dengan Pedoman Nasional Pengendalian TB Kemenkes RI tahun 2014 dan beberapa literatur terkait.