BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, salah satunya adalah meningkatkan mutu pelayanan di rumah sakit. Untuk menjamin mutu pelayanan kefarmasian kepada masyarakat,
pemerintah
telah
memberlakukan
suatu
standar
pelayanan
kefarmasian di rumah sakit dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Tujuan diberlakukannya standar tersebut adalah sebagai pedoman praktik apoteker dalam menjalankan profesi, untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional dan untuk melindungi profesi dalam menjalankan praktek kefarmasian (Kemenkes RI, 2014). Berdasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, disebutkan bahwa setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan rumah sakit, standar prosedur operasional yang berlaku, etika profesi, menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan pasien. Untuk dapat melaksanakan pelayanan farmasi yang paripurna, apoteker di Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus melaksanakan pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) yang meliputi: pelayanan farmasi non klinik (manajerial) dan pelayanan farmasi
1
2
klinik. Dispensing sediaan steril merupakan salah satu bentuk pelayanan farmasi klinik yang dilaksanakan di rumah sakit. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, dispensing steril harus dilakukan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit dengan teknik aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi petugas dari paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat. Salah satu kegiatan dispensing steril adalah penanganan sediaan sitostatika (Kemenkes RI, 2009). Obat sitostatika merupakan agen terapi untuk pengobatan kanker. Menurut data WHO tahun 2013, insiden kanker meningkat dari 12,7 juta kasus tahun 2008 menjadi 14,1 juta kasus tahun 2012. Sedangkan jumlah kematian meningkat dari 7,6 juta orang tahun 2008 menjadi 8,2 juta pada tahun 2012. Kanker menjadi penyebab kematian nomor 2 di dunia sebesar 13% setelah penyakit kardiovaskular. Diperkirakan pada 2030 insiden kanker dapat mencapai 26 juta orang dan 17 juta di antaranya meninggal akibat kanker, terlebih untuk negara miskin dan berkembang kejadiannya akan lebih cepat. Di Indonesia, prevalensi penyakit kanker cukup tinggi. Dewasa ini penyakit kanker menempati urutan ke-4 penyebab kematian. Berdasarkan estimasi Globocan, International Agency for Research on Cancer (IARC) tahun 2012, insiden kanker payudara sebesar 40 per 100.000 perempuan, kanker leher rahim 17 per 100.000 perempuan, kanker paru 26 per 100.000 laki-laki, kanker kolorektal 16 per 100.000 laki-laki. Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit 2010, kasus rawat inap kanker payudara 12.014 kasus (28,7%), kanker leher
3
rahim 5.349 kasus (12,8%). Berdasarkan data statistik tersebut, maka obat sitostatika menjadi semakin sering digunakan di berbagai tempat pelayanan kesehatan baik untuk pengobatan kanker maupun kondisi medis lainnya seperti rheumatoid arthritis, multiple sclerosis dan gangguan auto-imun. Obat sitostatika
dikenal sangat toksik terhadap sel, terutama melalui
aksinya pada reproduksi sel. Kemampuan obat sitostatika untuk merusak dan membunuh sel-sel sangat penting dalam pengobatan kanker, tetapi juga dapat menimbulkan potensi risiko bagi tenaga kesehatan yang menangani sediaan sitostatika selama pekerjaan tersebut (Public Health and Clinical Systems, 2012). Menurut National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) 2004 dan Guideline Safe Handling of Cytotoxic Drugs and Related Wastes: Guidelines for South Australian Health Services 2012, bekerja dengan atau dekat dengan obat-obat sitostatika dapat menyebabkan ruam kulit, kemandulan, keguguran, kecacatan bayi, dan kemungkinan terjadi leukemia serta kanker lainnya. Dari sejumlah penelitian menunjukkan bahwa obat sitostatika dapat menyebabkan peningkatan efek genotoksik pada farmasis yang terkena paparan di tempat kerja (Nguyen, dkk; 1982; McDiarmid, dkk; 1992). Hasil studi yang dilakukan pada tenaga kesehatan yang terlibat dalam penanganan sitostatika menunjukkan bahwa paparan obat sitostatika di tempat kerja dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan abnormalitas janin, keguguran, dan infertilitas (ASHP, 2006). Sementara, dalam hasil studi Harrison (2001) melaporkan bahwa ada enam obat berbeda (cyclophosphamide, methotrexate, ifosfamide, epirubicin dan
4
cisplatin/ carboplatin) terdeteksi dalam urin petugas yang terlibat dalam penanganan sediaan sitostatika yaitu sejumlah 13 dari 20 penyelidikan. Petugas yang terlibat dalam penanganan sediaan sitostatika memiliki potensi terpapar obat tersebut pada banyak titik selama manufaktur, transportasi, distribusi, penerimaan, penyimpanan, persiapan, administrasi, dan selama penanganan limbah serta pemeliharaan dan perbaikan peralatan. Kemungkinan pemaparan yang berulang terhadap sejumlah kecil obat-obat kanker akan mempunyai efek karsinogenik, mutagenik dan teratogenik yang tertunda lama terhadap petugas yang menyiapkan dan memberikan obat-obat ini. Adapun pemaparan obat kanker kedalam tubuh dapat melalui inhalasi (terhirup pada saat rekonstitusi), absorpsi (masuk dalam kulit jika tertumpah), dan ingesti (kemungkinan masuk jika tertelan) (Kemenkes RI, 2009). Atas dasar hal tersebut, maka penanganan sediaan sitostatika yang aman perlu dilakukan secara disiplin dan hati-hati untuk mencegah risiko yang tidak diinginkan, karena sebagian besar sediaan sitostatika bersifat karsinogenik, mutagenik dan teratogenik. Mengingat penggunaan sitostatika pada pengobatan kanker yang terus meningkat dan besarnya potensi resiko paparan terhadap petugas yang menangani sediaan sitostatika, maka perlu penanganan sediaan sitostatika yang sesuai dengan standar dan pedoman yang mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit dan Buku Pedoman Penanganan Sediaan Sitostatika serta Buku Pedoman Dasar Dispensing Sediaan Steril menurut Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI Tahun 2009 agar dapat meminimalisir resiko.
5
RSUP Dr.Sardjito merupakan rumah sakit negeri kelas A dan telah memiliki pelayanan kanker terpadu. Jumlah pasien penderita kanker di RSUP Dr.Sardjito dari tahun ke tahun semakin meningkat. RSUP Dr.Sardjito merupakan rumah sakit rujukan tertinggi untuk daerah DIY dan Jawa Tengah bagian Selatan. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui gambaran dan faktor yang menjadi kendala dalam penerapan penanganan sediaan sitostatika di RSUP Dr. Sardjito. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana gambaran penerapan penanganan sediaan sitostatika di RSUP Dr. Sardjito? 2. Faktor apa saja yang menjadi kendala dalam penerapan penanganan sediaan sitostatika di RSUP Dr. Sardjito? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui gambaran penerapan penanganan sediaan sitostatika di RSUP Dr. Sardjito. 2. Mengetahui faktor apa saja yang menjadi kendala dalam penerapan penanganan sediaan sitostatika di RSUP Dr. Sardjito. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi apoteker: diharapkan dapat meningkatkan peran apoteker pada aspek pelayanan farmasi klinik di Rumah Sakit, terutama dalam penanganan sediaan sitostatika. 2. Bagi rumah sakit: diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi kinerja apoteker ataupun petugas yang diberi kewenangan dalam penanganan sediaan
6
sitostatika dan dapat menjadi bahan evaluasi dalam rangka meningkatkan pelayanan pada aspek penanganan sitostatika. 3. Bagi pasien: diharapkan dapat meningkatkan kepuasan dan keselamatan pasien atas pengobatan yang aman. 4. Bagi masyarakat dan lingkungan : diharapkan tidak mendapatkan dampak buruk akibat kontaminasi atau paparan sediaan/limbah sitostatika 5. Bagi pemerintah: diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam mengevaluasi penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. 6. Bagi peneliti: diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan pengetahuan peneliti serta menjadi bahan acuan dan inspirasi untuk peneliti selanjutnya. E. Tinjauan Pustaka 1. Standar Pelayanan Kefarmasian Standar adalah suatu pernyataan yang dapat diterima (acceptable) dan disepakati tentang sesuatu (produk, proses, kegiatan, barang) yang dipergunakan untuk mengukur atau menilai mutu. Standar menunjukkan tingkat mutu yang relevan terhadap sesuatu yang akan dinilai. Dengan demikian standar mencakup beberapa pengertian antara lain dengan menjelaskan: a. Apa yang harus dicapai b. Tingkat yang harus dicapai c. Mencakup kegiatan, persyaratan atau kriteria tertentu yang harus dipenuhi agar dapat disebut bermutu (Hartini, 2008).
7
Standar profesi menurut Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik. Dalam UU tentang Kesehatan disebutkan bahwa tenaga kesehatan sebagai salah satu sumber daya kesehatan yang bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan harus sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangan dari tenaga kesehatan yang bersangkutan. Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya dan dalam melakukan tugasnya berkewajiban memenuhi standar profesi dan menghormati pasien. Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan menyebutkan bahwa apoteker adalah tenaga kefarmasian yang merupakan salah satu tenaga kesehatan, maka hak dan kewajiban tersebut juga melekat pada penyandang profesi. 2. Pelayanan Farmasi Klinik Pelayanan farmasi klinik adalah penerapan pengetahuan obat untuk kepentingan penderita, dengan memperhatikan kondisi penyakit, penderita dan kebutuhannnya untuk mengerti terapi obatnya, dan pelayanan ini memerlukan hubungan profesional dekat antara apoteker, penderita, dokter, perawat, dan lain-lain yang terlibat memberikan perawatan kesehatan (Siregar, 2003). Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, pelayanan farmasi klinik meliputi:
8
a. Pengkajian dan pelayanan resep; b. Penelusuran riwayat penggunaan obat; c. Rekonsiliasi obat; d. Pelayanan Informasi Obat (PIO); e. Konseling; f. Visite; g. Pemantauan Terapi Obat (PTO); h. Monitoring Efek Samping Obat (MESO); i. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO); j. Dispensing sediaan steril; dan k. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD). Menurut Nicholas Barber dalam Charles (2003), tujuan filosofis farmasi klinis sama dengan peresepan yang baik, yaitu: a. Memaksimalkan efek terapetik; b. Meminimalkan resiko; c. Meminimalkan biaya; d. Menghormati pemilihan pasien. Adapun karakteristik praktek farmasi klinis diantaranya berorientasi kepada pasien, terlibat langsung di ruang perawatan di rumah sakit (bangsal), bersifat pasif dengan melakukan intervensi setelah pengobatan dimulai atau memberikan informasi jika diperlukan, bersifat aktif dengan memberikan masukan kepada dokter sebelum pengobatan dimulai atau menerbitkan buletin-buletin informasi obat atau pengobatan, bertanggung jawab terhadap
9
setiap saran atau tindakan yang dilakukan, dan menjadi mitra serta pendamping dokter (Aslam, 2003). Menurut
Buku
Saku
Tanggung
Jawab
Apoteker
terhadap
Keselamatan Pasien (patient safety) (2008), ada beberapa faktor yang berkonstribusi pada medication error antara lain: a. Komunikasi (mis-komunikasi, kegagalan dalam berkomunikasi ) Kegagalan dalam berkomunikasi merupakan sumber utama terjadinya kesalahan. Institusi pelayanan kesehatan harus menghilangkan hambatan komunikasi antar petugas kesehatan dan membuat SOP bagaimana resep/permintaan obat dan informasi obat lainnya dikomunikasikan. Komunikasi baik antar apoteker maupun dengan petugas kesehatan lainnya perlu dilakukan dengan jelas untuk menghindari penafsiran ganda atau ketidaklengkapan informasi dengan berbicara perlahan dan jelas. Perlu dibuat daftar singkatan dan penulisan dosis yang berisiko menimbulkan kesalahan untuk diwaspadai. b. Kondisi lingkungan Untuk menghindari kesalahan yang berkaitan dengan kondisi lingkungan, area dispensing harus didesain dengan tepat dan sesuai dengan alur kerja, untuk menurunkan kelelahan dengan pencahayaan yang cukup dan temperatur yang nyaman. Selain itu area kerja harus bersih dan teratur untuk mencegah terjadinya kesalahan. Obat untuk setiap pasien perlu disiapkan dalam nampan terpisah. c. Gangguan/interupsi pada saat bekerja
10
Gangguan/interupsi harus seminimum mungkin dengan mengurangi interupsi baik langsung maupun melalui telepon. d. Beban kerja Rasio antara beban kerja dan SDM yang cukup penting untuk mengurangi stres dan beban kerja berlebihan sehingga dapat menurunkan kesalahan. e. Edukasi Staf Meskipun edukasi staf merupakan cara yang tidak cukup kuat dalam menurunkan insiden/kesalahan, tetapi mereka dapat memainkan peran penting ketika dilibatkan dalam sistem menurunkan insiden/kesalahan. (Departemen Kesehatan RI, 2008) Sementara menurut Beso dalam Indraswari (2014), terdapat 2 faktor utama dalam pendekatan dari faktor manusia, yaitu active failure dan latent failure: a. Active failure Menggambarkan suatu tindakan yang dapat membahayakan pasien, atau setiap tindakan medik yang langsung beresiko untuk terjadinya efek samping. 1) Action slips Misalnya mengambil syringe injeksi yang salah 2) Cognitive failures Misalnya karena lupa atau kekeliruan dalam membaca suatu hasil pemeriksaan 3) Violations
11
Violations yaitu jika pelaksanaan tindakan medik dari prosedur standar atau tidak sesuai Standar Prosedur Operasional (SPO). b. Latent failure Dikatakan laten failure bila kesalahan yang terjadi akibat system yang keliru, seperti beban kerja yang tinggi, lingkungan yang tidak nyaman (stressfull), dan sistem komunikasi yang tidak berjalan. Pendekatan sistem menerangkan bahwa penyebab insiden keselamatan tidak dapat dihubungkan secara langsung kepada staf yang terlibat. Semua insiden berkaitan juga dengan system tempat orang itu bekerja. 3. Dispensing Sediaan Steril Pencampuran sediaan steril harus dilakukan secara terpusat di Instalasi Farmasi Rumah Sakit untuk menghindari infeksi nosokomial dan terjadinya kesalahan pemberian obat. Pencampuran sediaan steril merupakan rangkaian perubahan bentuk obat dari kondisi semula menjadi produk baru dengan proses pelarutan atau penambahan bahan lain yang dilakukan secara aseptis oleh apoteker di sarana pelayanan kesehatan (ASHP, 1985). Aseptis berarti bebas mikroorganisme. Teknik aseptis didefinisikan sebagai prosedur kerja yang meminimalisir kontaminan mikroorganisme dan dapat mengurangi risiko paparan terhadap petugas. Kontaminan kemungkinan terbawa ke dalam daerah aseptis dari alat kesehatan, sediaan obat, atau petugas sehingga penting untuk mengontrol faktor-faktor ini selama proses pengerjaan produk aseptis. Pencampuran sediaan steril harus memperhatikan perlindungan produk dari kontaminasi mikroorganisme; sedangkan untuk penanganan
12
sediaan sitostatika selain kontaminasi juga memperhatikan perlindungan terhadap petugas, produk dan lingkungan (Kemenkes RI, 2009). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, dispensing sediaan steril bertujuan untuk: a. menjamin agar pasien menerima obat sesuai dengan dosis yang dibutuhkan; b. menjamin sterilitas dan stabilitas produk; c. melindungi petugas dari paparan zat berbahaya; dan d. menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat. Kegiatan dispensing sediaan steril meliputi : a. pencampuran obat suntik; b. penyiapan nutrisi parenteral; c. penanganan sediaan sitostatika. Berdasarkan pada Buku Pedoman Dasar Dispensing Sediaan Steril (2009), persyaratan umum untuk melakukan dispensing steril adalah sebagai berikut: a. Sumber Daya Manusia 1) Apoteker Setiap Apoteker yang melakukan persiapan atau peracikan sediaan steril harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
13
a) Memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang penyiapan dan pengelolaan komponen sediaan steril termasuk prinsip teknik aseptis. b) Memiliki kemampuan membuat prosedur tetap setiap tahapan pencampuran sediaan steril. Apoteker yang melakukan pencampuran sediaan steril sebaiknya selalu meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya melalui pelatihan dan pendidikan berkelanjutan. 2) Tenaga Kefarmasian (Asisten Apoteker, D3 Farmasi) Tenaga
Kefarmasian
membantu
apoteker
dalam
melakukan
pencampuran sediaan steril. Petugas yang melakukan pencampuran sediaan steril harus sehat dan khusus untuk penanganan sediaan sitostatika petugas tidak sedang merencanakan kehamilan, tidak hamil maupun menyusui (Kemenkes RI, 2009). b. Ruangan dan Peralatan Dalam melakukan pencampuran sedian steril diperlukan ruangan dan peralatan khusus untuk menjaga sterilitas produk yang dihasilkan dan menjamin keselamatan petugas dan lingkungannya. 1) Ruangan a) Tata letak ruang b) Jenis ruangan 2) Peralatan
14
Peralatan yang harus dimiliki untuk melakukan pencampuran sediaan steril meliputi : a) Alat Pelindung Diri (APD) Alat Pelindung Diri (APD) yang digunakan dalam pencampuran sediaan steril meliputi : (1) Baju Pelindung (2) Sarung tangan (3) Kacamata pelindung (4) Masker disposible b) Laminar Air flow (LAF) Laminar Air flow (LAF) mempunyai sistem penyaringan ganda yang memiliki efisiensi tingkat tinggi, sehingga dapat berfungsi sebagai : (1) Penyaring bakteri dan bahan-bahan eksogen di udara. (2) Menjaga aliran udara yang konstan diluar lingkungan. (3) Mencegah masuknya kontaminan ke dalam LAF. Terdapat dua tipe LAF yang digunakan pada pencampuran sediaan steril : (1) Aliran Udara Horizontal (Horizontal Air Flow). Aliran udara langsung menuju ke depan, sehingga petugas tidak terlindungi dari partikel ataupun uap yang berasal dari ampul atau vial. Alat ini digunakan untuk pencampuran obat steril non sitostatika.
15
(2) Aliran Udara Vertikal (Vertical Air Flow). Aliran udara langsung mengalir kebawah dan jauh dari petugas sehingga memberikan lingkungan kerja yang lebih aman. Untuk penanganan sediaan sitostatika menggunakan LAF vertikal Biological Safety Cabinet (BSC) kelas II dengan syarat tekanan udara di dalam BSC harus lebih negatif dari pada tekanan udara di ruangan. (Kemenkes RI, 2009) 4. Penanganan Sediaan Sitostatika Penanganan sediaan sitostatika merupakan penanganan obat kanker secara aseptis dalam kemasan siap pakai sesuai kebutuhan pasien oleh tenaga farmasi yang terlatih dengan pengendalian pada keamanan terhadap lingkungan, petugas maupun sediaan obatnya dari efek toksik dan kontaminasi, dengan menggunakan alat pelindung diri, mengamankan pada saat pencampuran, distribusi, maupun proses pemberian kepada pasien sampai pembuangan limbahnya (Kemenkes RI, 2014) Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, kegiatan dalam penanganan sediaan sitostatik meliputi: a. melakukan perhitungan dosis secara akurat; b. melarutkan sediaan obat kanker dengan pelarut yang sesuai; c. mencampur sediaan obat kanker sesuai dengan protokol pengobatan; d. mengemas dalam kemasan tertentu; dan e. membuang limbah sesuai prosedur yang berlaku.
16
Adapun faktor yang perlu diperhatikan: a. ruangan khusus yang dirancang dengan kondisi yang sesuai; b. lemari pencampuran Biological Safety Cabinet; c. HEPA filter; d. Alat Pelindung Diri (APD); e. sumber daya manusia yang terlatih; dan f. cara pemberian obat kanker. Menurut Kemenkes RI (2009), penanganan sediaan sitostatika yang aman perlu dilakukan secara disiplin dan hati-hati untuk mencegah risiko yang tidak diinginkan, karena sebagian besar sediaan sitostatika bersifat : a. Karsinogenik yang berarti dapat menyebabkan kanker. b. Mutagenik yang berarti dapat menyebabkan mutasi genetik. c. Teratogenik yang berarti dapat membahayakan janin. Kemungkinan pemaparan yang berulang terhadap sejumlah kecil obat-obat kanker mempunyai efek karsinogenik, mutagenik dan teratogenik yang tertunda lama di terhadap petugas yang menyiapkan dan memberikan obatobat ini. Adapun mekanisme terpaparnya obat kanker ke dalam tubuh adalah: a. Inhalasi : terhirup pada saat rekonstitusi. b. Absorpsi : masuk dalam kulit jika tertumpah. c. Ingesti : kemungkinan masuk jika tertelan. Risiko yang tidak diinginkan dapat terjadi dalam transportasi, penyimpanan, pendistribusian, rekonstitusi dan pemberian sediaan sitostatika (Kemenkes RI, 2009).
17
Berdasarkan pada Buku Pedoman Penanganan Sediaan Sitostatika (2009), penanganan sediaan sitostatika terdiri dari: a. Penyiapan 1) Memeriksa kelengkapan dokumen (formulir) permintaan dengan prinsip 5 benar (benar pasien, obat, dosis, rute dan waktu pemberian) 2) Memeriksa kondisi obat-obatan yang diterima (nama obat, jumlah, nomor batch, tanggal kadaluarsa), serta melengkapi form permintaan. 3) Melakukan konfirmasi ulang kepada pengguna jika ada yang tidak jelas/tidaklengkap. 4) Menghitung kesesuaian dosis. 5) Memilih jenis pelarut yang sesuai. 6) Menghitung volume pelarut yang digunakan. 7) Membuat label obat berdasarkan: nama pasien, nomer rekam medis, ruang perawatan, dosis, cara pemberian, kondisi penyimpanan, tanggal pembuatan, dan tanggal kadaluarsa campuran. 8) Membuat label pengiriman terdiri dari: nama pasien, nomor rekam medis, ruang perawatan, jumlah paket. 9) Melengkapi dokumen pencampuran 10) Memasukkan alat kesehatan, label, dan obat-obatan yang akan dilakukan pencampuran kedalam ruang steril melalui pass box. b. Pencampuran 1) Memakai APD sesuai prosedur tetap 2) Mencuci tangan sesuai prosedur tetap
18
3) Menghidupkan biological safety cabinet (BSC) 5 menit sebelum digunakan. 4) Melakukan dekontaminasi dan desinfeksi BSC sesuai prosedur tetap 5) Menyiapkan meja BSC dengan memberi alas sediaan sitostatika. 6) Menyiapkan tempat buangan sampah khusus bekas sediaan sitostatika. 7) Melakukan desinfeksi sarung tangan dengan menyemprot alkohol 70%. 8) Mengambil alat kesehatan dan bahan obat dari pass box. 9) Meletakkan alat kesehatan dan bahan obat yang akan dilarutkan di atas meja BSC. 10) Melakukan pencampuran sediaan sitostatika secara aseptis. 11) Memberi label yang sesuai pada setiap infus dan spuit yang sudah berisi sediaan sitostatika. 12) Membungkus dengan kantong hitam atau aluminium foil untuk obatobat yang harus terlindung cahaya. 13) Membuang semua bekas pencampuran obat kedalam wadah pembuangan khusus. 14) Memasukan infus untuk spuit yang telah berisi sediaan sitostatika ke dalam wadah untuk pengiriman. 15) Mengeluarkan wadah untuk pengiriman yang telah berisi sediaan jadi melalui pass box. 16) Menanggalkan APD sesuai prosedur tetap. c. Cara Pemberian
19
1) Injeksi Intravena (i.v.) Injeksi intravena dapat diberikan dengan berbagai cara, untuk jangka waktu yang pendek atau untuk waktu yang lama. 2) Injeksi bolus Injeksi bolus volumenya kecil ≤ 10 ml, biasanya diberikan dalam waktu 3-5 menit kecuali ditentukan lain untuk obat-obatan tertentu. 3) Infus Infus dapat diberikan secara singkat (intermittent) atau terus-menerus (continuous). a) Infus singkat (intermittent infusion) Infus singkat diberikan selama 10 menit atau lebih lama. Waktu pemberiaan infus singkat sesungguhnya jarang lebih dari 6 jam per dosis. b) Infus kontinu (continuous infusion) Infus kontinu diberikan selama 24 jam. Volume infus dapat beragam mulai dari volume infus kecil diberikan secara subkutan dengan pompa suntik (syringe pump), misalnya 1 ml per jam, hingga 3 liter atau lebih selama 24 jam, misalnya nutrisi parenteral. 4) Injeksi intratekal Injeksi intratekal adalah pemberian injeksi melalui sumsum tulang belakang. Volume cairan yang dimasukkan sama dengan volume cairan yang dikeluarkan.
20
5) Injeksi subkutan Injeksi subkutan adalah pemberian injeksi di bawah kulit. d. Penanganan tumpahan Membersihkan tumpahan dalam ruangan steril dapat dilakukan petugas tersebut atau meminta pertolongan orang lain dengan menggunakan chemotherapy spill kit yang terdiri dari: 1) Membersihkan tumpahan di luar BSC dalam ruang steril a) Meminta pertolongan, jangan tinggalkan area sebelum diizinkan. b) Beri tanda peringatan di sekitar area. c) Petugas penolong menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) d) Angkat partikel kaca dan pecahan-pecahan dengan menggunakan alat seperti sendok dan tempatkan dalam kantong buangan. e) Serap tumpahan cair dengan kassa penyerap dan buang dalam kantong tersebut. f) Serap tumpahan serbuk dengan handuk basah dan buang dalam kantong tersebut. g) Cuci seluruh area dengan larutan detergent. h) Bilas dengan aquadest. i) Ulangi pencucian dan pembilasan sampai seluruh obat terangkat. j) Tanggalkan glove luar dan tutup kaki, tempatkan dalam kantong pertama. k) Tutup kantong dan tempatkan pada kantong kedua.
21
l) Tanggalkan pakaian pelindung lainnya dan sarung tangan dalam, tempatkan dalam kantong kedua. m) Ikat kantong secara aman dan masukan dalam tempat penampung khusus untuk dimusnahkan dengan incenerator. n) Cuci tangan. 2) Membersihkan tumpahan di dalam BSC a) Serap tumpahan dengan kassa untuk tumpahan cair atau handuk basah untuk tumpahan serbuk. b) Tanggalkan sarung tangan dan buang, lalu pakai 2 pasang sarungtangan baru. c) Angkat hati-hati pecahan tajam dan serpihan kaca sekaligus dengan alas kerja/meja/penyerap dan tempatkan dalam wadah buangan. d) Cuci permukaan, dinding bagian dalam BSC dengan detergent, bilas dengan aqua destilata menggunakan kassa. Buang kassa dalam wadah pada buangan. e) Ulangi pencucian 3 x. f)
Keringkan dengan kassa baru, buang dalam wadah buangan.
g) Tutup wadah dan buang dalam wadah buangan akhir. h) Tanggalkan APD dan buang sarung tangan, masker, dalam wadah buangan akhir untuk dimusnahkan dengan incenerator. i) Cuci tangan. e. Penanganan kecelakaan kerja
22
Dekontaminasi akibat kontak dengan bagian tubuh: 1) Kontak dengan kulit: a) Tanggalkan sarung tangan. b) Bilas kulit dengan air hangat. c) Cuci dengan sabun, bilas dengan air hangat. d) Jika kulit tidak sobek, seka area dengan kassa yang dibasahi dengan larutan Chlorin 5 % dan bilas dengan air hangat. e) Jika kulit sobek pakai H2O2 3 %. f) Catat jenis obatnya dan siapkan antidot khusus. g) Tanggalkan seluruh pakaian alat pelindung diri (APD) h) Laporkan ke supervisor. i) Lengkapi format kecelakaan. 2) Kontak dengan mata a) Minta pertolongan. b) Tanggalkan sarung tangan. c) Bilas mata dengan air mengalir dan rendam dengan air hangat selama 5 menit. d) Letakkan tangan di sekitar mata dan cuci mata terbuka dengan larutan NaCl 0,9%. e) Aliri mata dengan larutan pencuci mata. f) Tanggalkan seluruh pakaian pelindung. g) Catat jenis obat yang tumpah. h) Laporkan ke supervisor.
23
i) Lengkapi format kecelakaan kerja. 3) Tertusuk jarum a) Jangan segera mengangkat jarum. Tarik kembali plunger untuk menghisap obat yang mungkin terinjeksi. b) Angkat jarum dari kulit dan tutup jarum, kemudian buang. c) Jika perlu gunakan spuit baru dan jarum bersih untuk mengambil obat dalam jaringan yang tertusuk. d) Tanggalkan sarung tangan, bilas bagian yang tertusuk dengan air hangat. e) Cuci bersih dengan sabun, bilas dengan air hangat. f) Tanggalkan semua APD. g) Catat jenis obat dan perkirakan berapa banyak yang terinjeksi. h) Laporkan ke supervisor. i) Lengkapi format kecelakaan kerja. j) Segera konsultasikan ke dokter. f. Pengelolaan limbah sitostatika Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1204 Tahun 2004 tentang Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, limbah sitotoksis adalah limbah dari bahan yang terkontaminasi dari persiapan dan pemberian obat sitotoksik untuk kemoterapi kanker yang mempunyai kemampuan untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan sel. Limbah sitotoksik dikumpulkan dalam wadah yang kuat, anti bocor, dan diberi label bertuliskan “Limbah Sitotoksik”.
24
1) Limbah sitotoksis sangat berbahaya dan tidak boleh dibuang dengan penimbunan (landfill) atau ke saluran limbah umum. 2) Pembuangan yang dianjurkan adalah dikembalikan ke perusahaan penghasil atau distributornya, insinerasi pada suhu tinggi dan degradasi kimia. Bahan yang belum dipakai dan kemasannya masih utuh karena kadaluarsa harus dikembalikan ke distributor apabila tidak ada incinerator dan diberi keterangan bahwa obat sudah kadaluarsa ata tidak lagi dipakai. 3) Insinerasi pada suhu tinggi sekitar 12000C dibutuhkan untuk menghancurkan semua bahan sitotoksik. Insinerasi pada suhu rendah dapat menghasilkan uap sitotoksisk yang berbahaya ke udara. 4) Insinerator pirolitik dengan 2 (dua) tungku pembakaran pada suhu 12000C dengan minimum waktu tinggal 2 detik atau suhu 10000C dengan waktu tinggal 5 detik di tungku kedua sangat cocok untuk bahan ini dan dilengkapi dengan penyaring debu. 5) Insinerator juga harus dilengkapi dengan peralatan pembersih gas. Insinerasi juga memungkinkan dengan rotary kiln yang didesain untuk dekomposisi panas limbah kimiawi yang beroperasi dengan baik pada suhu diatas 8500C. 6) Insinerator dengan satu tungku atau pembakaran terbuka tidak tepat untuk pembuangan limbah sitotoksis. 7) Metode degradasi kimia yang mengubah senyawa sitotoksik menjadi senyawa tidak beracun dapat digunakan tidak hanya untuk residu
25
obat tapi juga untuk pencucian tempat urin, tumpahan dan pakaian pelindung. 8) Cara kimia relatif mudah dan aman meliputi oksidasi oleh kalium permanganat (KMnO4) atau asam sulfat (H2SO4), penghilangan nitrogen dengan asam bromida, atau reduksi dengan nikel dan alumunium. 9) Insinerasi maupun degradasi kimia tidak merupakan solusi yang sempurna untuk pengolahan limbah, tumpahan atau cairan biologis yang terkontaminasi agen antineoplastik. Oleh karena itu, rumah sakit harus berhati-hati dalam menangani obat sitotoksik. 10) Apabila insinerasi maupun degradasi tidak tersedia, kapsulisasi atau inersisasi dapat dipertimbangkan sebagai cara yang dapat dipilih. 5. Profil RSUP Dr.Sardjito Merupakan rumah sakit pendidikan kelas Adengan 23 KSM (Kelompok Staf Medis) dan 29 instalasi. Jumlah SDM di RSUP Dr. Sardjito sebanyak 3015 orang dengan tenaga medis 389 orang, keperawatan 1202 orang, tenaga kesehatan lain 570 orang dan non medis 380 orang. RSUP Dr.Sardjito menjadi rumah sakit rujukan tertinggi untukdaerah DIY dan Jawa Tengah bagian Selatan. Rumah sakit yang diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 8 Februari 1982 ini memiliki visi menjadi rumah sakit pendidikan dan rujukan nasional terkemuka berstandar internasional pada tahun 2019. Adapun misi dari rumah sakit ini adalah memberikan pelayanan kesehatan yang prima, berstandar internasional dan terjangkau oleh semua
26
lapisan masyarakat melalui pembinaan akuntabilitas korporasi dan profesi; melaksanakan pendidikan dan pelatihan di bidang kesehatan untuk menghasilkan SDM yang berkualitas; menyelenggarakan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi kedokteran dan kesehatan (IPTEKDOKKES) yang berwawasan global; dan meningkatkan kesejahteraan karyawan (RSUP Dr. Sardjito, 2015). F. Keterangan Empiris Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran penerapan penanganan sediaan sitostatika di RSUP Dr.Sardjito, sehingga dapat dijadikan bahan evaluasi dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian di RSUP Dr. Sardjito dengan menilai kinerja petugas dalam praktek penanganan sediaan sitostatika. Penanganan sediaaan sitostatika yang aman dengan mengacu pada Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit dan Buku Pedoman Dasar Dispensing Sediaan Steril serta Buku Pedoman Penanganan Sediaan Sitostatika menurut Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI Tahun 2009 diharapkan dapat meminimalisir efek samping dan resiko paparan dari sediaan sitostatika.