BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sindrom neurokutaneus merupakan sekelompok besar kelainan kongenital yang sangat bervariasi, tidak saling terkait, dengan karakteristik klinis, patologis dan genetik yang berbeda-beda tetapi mempunyai kesamaan perkembangan lesi yaitu lesi kulit dan sistem saraf pusat (SSP), serta dapat juga mengenai sistem saraf perifer dan organ lain (Zaroff & Isaacs, 2005). Sampai saat ini, terdapat 20 sampai 30 penyakit diklasifikasikan sebagai sindrom neurokutaneus (Herron et al., 2000). Beberapa diantaranya adalah: neurofibromatosis (NF), Tuberous Sclerosis Complex (TSC), Sindrom Sturge-Weber (SSW), phacomatosis pigmentovascularis (PPV), epidermal nevi, neurocutaneus melanosis, hypomelanosis of ito (HOI) dan incontinentia pigmenti (IP) (Purkait et al., 2011). Prevalensi sindrom neurokutaenus berbeda-beda tergantung jenis penyakitnya. Rata-rata pewarisan bersifat dominan autosom atau resesif autosom. Sindrom neurokutaneus ini melibatkan struktur jaringan yang berasal dari neuroektodermal secara embriologi (Herron et al., 2000), diduga merupakan kelainan migrasi dan diferensiasi neural crest (neurocristopathies) (Curatolo & Riva, 2006). Kondisi bawaan atau keturunan yang diwariskan memiliki banyak fitur yang sama dengan keterlibatan organ asal ektodermal (sistem saraf, bola mata, retina, dan kulit) yang berevolusi lambat dari lesi di masa kanak-kanak dan remaja, dan bertransformasi menjadi lebih berat pada masa dewasa (Dahan et al., 2002). 1
Gambaran klinis lesi kulit pada sindrom neurokutaneus sering dikaitkan dengan adanya abnormalitas sistem saraf pusat, dengan konsekuensi resiko terjadinya epilepsi. Epilepsi dapat dilihat sebagai manifestasi neurologis yang paling sering pada sindrom neurokutaneus. Studi populasi menunjukkan prevalensi epilepsi TSC paling sering terjadi yaitu sekitar 78% (Cross, 2005). Studi lain menyebutkan pada TSC, prevalensi epilepsi sebesar 80-90% pasien, terutama pada tahun pertama kehidupan pasien (Domańska-Pakiela et al., 2014). Sebagian besar epilepsi terjadi di bawah usia 12 bulan serta dapat ditemukan juga adanya hubungan yang erat antara terjadinya kejang dengan ketidakmampuan belajar. Sindrom neurokutaneus yang lain, seperti SSW, juga memiliki prevalensi epilepsi yang cukup tinggi, dihubungkan dengan adanya malformasi kortikal serebral, dengan pertimbangan malformasi lobar atau unilateral sehingga dapat dilakukan pembedahan awal sebagai terapi (Cross, 2005). Prevalensi epilepsi pada NF1 adalah 4,2%, sekitar dua kali prevalensi dalam populasi umum (Karlsgodt et al., 2012). Sementara studi lain oleh Vivarelli (2003) melaporkan prevalensi kejang pada NF1 berkisar 3,8-6%. Kejang yang parsial terjadi pada 85% kasus dan dalam bentuk kejang umum sebanyak 15%. Epilepsi sekunder didapatkan pada 64% sebagai akibat lesi otak yang berupa tumor otak, malformasi kortikal, dan sclerosis temporal yang mesial (Vivarelli et al., 2003). Seringkali manifestasi neurologis tidak tampak nyata terjadi, terutama pada anak-anak. Perjalanan kelainan neurologis tidak bisa diprediksi hanya dari lesi-lesi kulit yang terjadi (Purkait et al., 2011). Oleh karena itu, sangat penting mencari tahu tanda-tanda awal gangguan neurologis pada pasien sindrom neurokutaneus. 2
Adanya potensi gangguan kejang dapat direkam dengan menggunakan pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) baik EEG kualitatif (konvensional) maupun EEG kuantitatif (qEEG). Studi-studi terdahulu menyebutkan bahwa EEG/qEEG dapat digunakan pada kasus-kasus neurologis lainnya seperti pada sindrom Turner (Tsuboi et al., 1988), kejang demam (Koyama et al., 1991), Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) (Barry et al., 2005), demensia pada Parkinson (Klassen et al., 2011), gangguan belajar pada anak-anak (Kurganskii and Machinskaia, 2012), cedera kepala (Nuwer et al., 2005; Haneef et al., 2013; Thatcher, 2006) dan gangguan kognitif setelah stroke infark (Song et al., 2014). Gambaran karakteristik rekaman EEG/qEEG pada penyakit-penyakit tersebut dapat membantu klinisi dalam menentukan diagnosis secara tepat. Sampai saat ini, studi tentang karakteristik pola EEG/qEEG
pada kasus
sindrom neurokutaneus masih sedikit. Beberapa studi melakukan penelitian terbatas hanya pada satu jenis sindrom neurokutaneus saja. Hatfield (2007) menyimpulkan bahwa qEEG pada sindrom Sturge-Weber memiliki potensi sebagai alat yang bermanfaat untuk diagnosis awal dan monitor progresivitas penyakit, serta menentukan area-area otak yang mengalami penurunan fungsi. Pada pasien-pasien TSC, EEG juga dapat digunakan untuk memonitor kejang dan evolusi natural dari pola EEG, selain kejadian spasme infantil (Domańska-Pakiela et al., 2014). Adanya keterbatasan studi karakteristik EEG baik kualitatif maupun kuantitatif pada sindrom neurokutaneus tersebut menjadi alasan dilakukannya penelitian ini. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui adanya gambaran spesifik abnormalitas pada pola EEG baik EEG kualitatif maupun kuantitatif yang dilakukan 3
pada beberapa jenis sindrom neurokutaneus. Potensi terjadinya gambaran klinis epilepsi dapat terekam dari pemeriksaan EEG/ qEEG tersebut. Tantangan dalam sindrom neurokutaneus adalah menentukan diagnosis secara spesifik dan mengendalikan gejala epilepsi (Cross, 2005). Dengan mengetahui potensi terjadinya epilepsi melalui pemeriksaan EEG/qEEG, maka diharapkan dapat membantu klinisi dalam penegakan diagnosis sindrom neurokutaneus secara tepat. Implementasi yang tepat terhadap evaluasi diagnostik yang direkomendasikan, termasuk EEG/qEEG, dapat mencegah konsekuensi klinis yang serius (Orlova & Crino, 2010). Penegakan diagnosis sindrom neurokutaneus dengan tepat sangat penting, terutama untuk tujuan penyediaan atau pemberian penjelasan dan antisipasi terhadap masalah yang timbul saat ini atau yang akan dihadapi; pengenalan terhadap kelainan genetik dan konseling ataupun implikasi untuk orangtua dan saudara sekandung; pengenalan prognosis dan akses atau kemudahan untuk mencari terapi, termasuk terapi kejang, serta kemudahan mencari pelayanan kesehatan yang tersedia.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dirumuskan beberapa masalah, sebagai berikut: 1. Sindrom neurokutaneus dapat melibatkan gangguan sistem saraf pusat, dengan prevalensi paling banyak berupa epilepsi. 2. Gangguan kejang dapat direkam dengan EEG dan dianalisis baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif (qEEG). 4
3. Penelitian mengenai gambaran EEG kualitatif dan kuantitatif pada sindrom neurokutaneus masih jarang dilakukan.
C. Pertanyaan Penelitian 1. Apakah terdapat gambaran gelombang epileptiform pada EEG kelompok sindrom neurokutaneus? 2.
Apakah terdapat gambaran abnormalitas background pada EEG kelompok sindrom neurokutaneus?
3. Apakah terdapat pola tertentu abnormalitas EEG pada kelompok sindrom neurokutaneus dibandingkan dengan kelompok tumor otak dan stroke? 4. Apakah terdapat gambaran adanya fokus dan asimetri pada qEEG kelompok sindrom neurokutaneus?
D. Tujuan Penelitian 1. Untuk menghitung prosentase adanya gambaran gelombang epileptiform pada EEG kelompok sindrom neurokutaneus. 2. Untuk menghitung prosentase abnormalitas background pada EEG kelompok sindrom neurokutaneus. 3. Untuk membandingkan pola tertentu abnormalitas EEG pada kelompok sindrom neurokutaneus dibandingkan dengan kelompok tumor otak dan stroke. 4. Untuk menghitung prosentase adanya fokus dan asimetri pada qEEG kelompok sindrom neurokutaneus.
5
E. Manfaat Penelitian 1. Dapat membantu klinisi dalam menentukan keterlibatan sistem saraf pusat dan mendiagnosis epilepsi pada pasien sindrom neurokutaneus. 2. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan penanganan yang optimal bagi pasien-pasien sindrom neurokutaneus. 3. Memberikan tambahan pengetahuan neurosains bagai para peneliti, sehingga dapat menjadi dasar penelitian lanjutan mengenai karakteristik EEG/qEEG atau penelitian mengenai sindrom neurokutaneus.
6
F. Keaslian Penelitan Terdapat penelitian-penelitian sebelumnya yang mencari korelasi antara abnormalitas EEG/qEEG dengan sindrom neurokutaneus, yang dijabarkan pada tabel berikut: Tabel 1. Keaslian Penelitian Penelitian Balestri et al., 2003
Judul Malformations of cortical development in neurofibromatosis type 1
Metode Kohort prospective
Alat ukur MRI dan EEG
Vivarelli et al., 2003
Epilepsi in neurofibromatosis 1
Kohort retrospective
EEG, CT Scan dan MRI
Hatfield et al., 2007
Quantitative EEG asymmetry correlates with clinical severity in unilateral Sturge-Weber syndrome
Cross sectional
MRI, qEEG
DomańskaPakiela et al., 2013
EEG abnormalities preceding the epilepsi onset in tuberous sclerosis complex patients - A prospective study of 5 patients
Kohort prospective
EEG
Penelitian ini
Analisis karakteristik gambaran elektroensefalografi (EEG) kualitatif dan kuantitatif pada sindrom neurokutaneus
Cross sectional
EEG dan qEEG
7