BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sikap antar-kelompok di suatu masyarakat terlihat ketika komposisi kelompok di sana bersifat heterogen. Suatu tempat yang dihuni oleh lebih daripada satu kelompok suku, relasi yang terjadi kemungkinan membentuk satu kebudayaan suku dominan di atas kebudayaan kelompok suku lain. Sebagai contoh, Bruner (dalam Suparlan, 1999) menyebutkan, kebudayaan dominan ini ialah orang Sunda di Bandung adalah mayoritas dan dominan, mereka menetapkan patokan bagi kelakuan yang layak dilakukan di tempat umum. Akan tetapi, ini tidak terjadi di Medan, karena tidak ada satu suku bangsa pun yang dominan secara demografi sosial, dan tidak ada kebudayaan dominan seperti yang terdapat di Bandung (Suparlan, 1999). Pola relasi ini mau tidak mau juga ikut mewarnai proses evaluasi dari kelompok ingroup terhadap kelompok outgroup, atau disebut juga sikap antar-kelompok. Menyinggung sikap antar-kelompok negatif yang sedang terjadi di Indonesia, kelompok sosial yang kerap dialamatkan dengan prasangka negatif di Indonesia biasanya adalah etnis Tionghoa, yang dicitrakan sebagai pebisnis yang rakus keuntungan finansial dan terkadang tidak peduli dengan lingkungan sekitar mereka, dan tidak loyal terhadap Indonesia (Anggraeni, 2010). Pada suatu kelompok sosial, menjadi lumrah untuk memiliki sikap negatif terhadap kelompok sosial lainnya, yang menurut pengalamannya, pernah melakukan hal yang merugikan kelompoknya. Isu diskriminasi berdasarkan SARA ini adalah sesuatu yang kerap ditemui pada interaksi antara tuan rumah (host) dan pendatang (immigrant) di suatu daerah. Sikap antar-kelompok yang negatif ini dapat bereskalasai menjadi konflik. Belum lebih dari dua dekade, pada tahun 2001 terjadi konflik antar etnis 1
2
Dayak asli dengan pendatang Madura di Sampit. Begitu pula pada tahun 2011 terjadi konflik di Ambon, Maluku, yang sarat akan muatan agama. Menurut publikasi dari Titian Perdamaian Foundation, pada rentang tahun 2008-2010, tercatat 4.021 insiden konflik terjadi di Indonesia (Tifa Foundation, 2011). Beberapa kasus konflik merupakan contoh nyata interaksi bahwa interaksi yang maladaptif justru dapat membawa petaka, bahkan di dalam kelompok dengan identitas yang sama sekalipun. Salah satu hal yang mewarnai dinamika antar kelompok yang terjadi adalah pola relasi antara kelompok mayoritas dengan minoritas. Kelompok mayoritas adalah kelompok yang biasanya, baik sadar atau tidak, secara sosial mendominasi kaum minoritas. Kaum pendatang yang menempati daerah bukan asalnya, pada banyak kasus, akan menjadi kaum minoritas di daerah tersebut. Keterampilan untuk bersosialisasi dengan baik dengan penduduk asal daerah tersebut, sekaligus mengkompromikan nilai-nilai dominan di wilayah tersebut dengan sesama kelompok imigrannya niscaya harus ia miliki, apabila tidak ingin termarjinalisasi. Pada satu sisi, dibutuhkan keterbukaan tangan dari penduduk asli untuk menerima warga pendatang, dan di sisi lain warga pendatang harus dapat beradaptasi dengan lingkungan dengan segala budaya barunya agar tercipta hubungan yang harmonis di antara keduanya, di mana hal ini juga membutuhkan sekaligus memiliki dampak kepada sikap antar-kelompok yang positif. Dilema dalam mengkompromikan antara akar budaya yang ia bawa dari daerah asalnya dan budaya arus utama di mana ia tinggal juga merupakan masalah yang dialami banyak Mahasiswa di Yogyakarta. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang lumrah ketika pada tahun awal perkuliahan tidak sedikit mahasiswa yang mengalami kecemasan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Bagi mahasiswa pendatang di Yogyakarta, menjadi perantau berarti dapat belajar hidup mandiri sekaligus hidup dalam budaya yang
3
bukan merupakan budaya asalnya. Tentunya dalam menghadapi dilema yang dialami mahasiswa memiliki respon yang berbeda-beda. Beberapa sanggup menyesuaikan dengan budaya Yogyakarta dengan meninggalkan budaya akarnya, beberapa memiliki rasa yang kuat terhadap budaya akarnya tetapi tidak sanggup menyesuaikan dengan budaya Yogyakarta, beberapa dapat menyesuaikan budaya Yogyakarta sekaligus budaya akarnya sendiri. Waktu kuliah yang semakin singkat membuat penyesuaian mahasiswa terhadap kultur Yogyakarta tidak berjalan semaksimal dulu. Dibandingkan dengan satu dekade yang lalu masa kuliah dapat berkisar antara enam hingga delapan tahun, kini semakin singkat di mana kebanyakan mahasiswa menghabiskan masa studi selama empat tahun, membuat mahasiswa pendatang tidak mengakulturasi dengan baik budaya Yogyakarta. Orientasinya pun mungkin berubah untuk menganggap Yogyakarta sekadar sebagai tempat singgah sementara untuk menghabiskan masa studi saja, padahal sebelumnya dijumpai fenomena tidak sedikitnya
orang-orang yang memiliki kebanggaan mengadopsi rasa identitas
Yogyakarta. Tidak diragukan lagi lebarnya keterbukaan tangan warga Yogyakarta dalam menerima para pendatang baru dengan sikap antar-kelompok yang tinggi. Sebagai salah satu destinasi wisata di pulau Jawa yang paling sering dikunjungi, Yogyakarta juga terkenal sebagai kota pendidikan. Banyaknya Perguruan Tinggi, baik negeri maupun swasta, yang menampung mahasiswa yang berasal dari berbagai penjuru Indonesia, bahkan luar negeri, membuat para mahasiswa menyumbang komposisi jumlah penduduk yang tidak sedikit bagi Yogyakarta. Kota pendidikan ini kerap dianggap oleh pendatangnya sebagai tempat yang kondusif dan nyaman dalam menimba ilmu bahkan kaya akan potensi
4
industri kreatif. Tingkat penerimaan yang tinggi bagi warga pendatang di Yogyakarta ini juga membuat tingkat keragaman etnis di Yogyakarta juga begitu tinggi. Beragamnya etnis yang menetap di Yogyakarta, meskipun begitu, tidak selalu diiringi dengan akulturasi yang baik dari warga pendatangnya. Kejengahan warga Yogyakarta, misalnya, terhadap perilaku mabuk-mabukan di jalanan dari etnis pendatang lain. Selain itu, terjadinya konflik antara warga asli Yogya dengan kelompok mahasiswa etnis tertentu yang bertempat tinggal di Asrama berbasis kedaerahan adalah salah satu contoh lainnya. Konflik antar-etnis mahasiswa di Yogyakarta pun pernah terjadi antara Makassar dan Ambon, setelahnya diketahui kedua pihak bertinggal di Asrama daerahnya masing-masing. Asrama daerah di kalangan mahasiswa pun akhirnya dilihat dapat merangsang tumbuhnya sentimen kedaerahan yang sarat akan nilai chauvinsime, dan oleh karena itu, menghambat proses terjadinya akulturasi mahasiswa pendatang dengan budaya Yogyakarta. Indikasi-indikasi sikap antar-kelompok yang negatif telah terekam dalam fenomena tersebut. Interaksi antara anggota kelompok yang berbeda sudah dihipotesiskan oleh Allport (1954) membawa sikap antar-kelompok yang positif dan mengurangi prasangka. Penelitian tentang hipotesis ini yang telah diinvestigasi dengan seting dan lokasi yang beragam, juga rentang kelompok sosial di beberapa bagian dunia, menyebutkan bahwa investigasi mengenai interaksi dekat antar kelompok, atau dapat disebut pula hubungan pertemanan, dilaporkan berhubungan dengan sikap positif antar-kelompok (Davies, Tropp, Aron, Pettigrew, & Wright, 2011). Lebih dari sekadar ketiadaan bias, prasangka, dan diskriminasi, toleransi yang tinggi ditandai dengan terjadinya hubungan pertemanan, yang dapat ditakar melalui pengalaman subjektif seperti kedekatan, intensitas dari perilaku interaksi dalam membuka diri dan jumlah waktu yang dihabiskan dengan teman kelompok
5
outgroup (Turner, Hewstone & Voci dalam Davies, dkk., 2011). Untuk membangun sebuah hubungan pertemanan yang baik terhadap anggota dari kelompok outgroup dengan budaya yang berbeda merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi individu, sehingga memerlukan sebuah kompetensi bikultural. Bikulturalisme merupakan fenomena sosial yang sedang berkembang yang kini mendapatkan perhatian dalam disiplin ilmu psikologi dalam satu dekade terakhir (Nguyen & Benet-Martinez, 2012). Bikulturalisme menurut Rashid (dalam LaFromboise, Coleman, & Gerton, 1993) adalah ―sebuah atribut ketika seseorang menciptakan perasaan efikasi dalam menghadapi sebuah struktur institusional masyarakat di mana ia tinggal sekaligus melibatkan perasaan bangga mengidentifikasi dirinya dengan akar etnis asalnya‖. Seseorang yang dapat beradaptasi dengan baik di tempat di mana ia tinggal meski bukan daerah asalnya berpotensi mengembangkan kompetensi bikultural. Bikulturalisme dianggap menjadi opsi yang dianggap paling baik dalam mengkompromikan dilema identitas budaya asal (heritage culture) dan identitas budaya kedua (second culture) (Tadmor & Tetlock, 2006), selain itu bikulturalisme juga memiliki korelasi positif dengan penyesuaian (adjustment) (Nguyen & Benet-Martinez, 2012). Nguyen & Benet-Martinez (2012) menyebutkan, hubungan antara bikulturalisme dengan penyesuaian lebih tinggi daripada asosiasi antara monokulutralisme dengan penyesuaian. Fenomena bikulturalisme memiliki dampak positif, terutama bagi individu yang tidak tinggal di masyarakat budaya asalnya. Identitas budaya yang ganda, atau disebut bikultural, menurut Brewer & Pierce (2005) membuat individu memiliki identitas sosial yang kompleks, yakni individu secara subjektif merepresentasikan hubungan dengan anggota kelompok yang beragam. Brewer & Pierce (2005) menambahkan, individu dengan kompleksitas identitas sosial yang rendah
6
melihat kelompok ingroup mereka cenderung tumpang tindih dan konvergen, sedangkan mereka yang memiliki kompleksitas yang tinggi melihat ingroup mereka sebagai sesuatu yang dipahami secara terbedakan dapat memiliki anggota yang beririsan dengan lintas kelompok lain. Oleh sebab itu, mereka yang memiliki kompleksitas identitas yang rendah akan cenderung memiliki sikap positif dalam menerima kelompok outgroup secara umum dibandingkan mereka yang memiliki kompleksitas identitas sosial yang tinggi (Brewer & Pierce, 2005). Selain memiliki dampak positif terhadap individu, fenomena bikulturalisme juga memiliki dampak positif terhadap masyarakat. Selandia Baru dideskripsikan oleh Liu & Sibley (2009) memiliki pengalaman narasi bikulturalisme yang menyatukan dua etnis di negaranya dalam mencegah konflik. Secara historis Selandia Baru memiliki kelompok etnis Maori, yakni orang-orang Polinesia yang bermukim sejak sekitar 800 tahun yang lalu, dan Pakeha atau Selandia Baru Eropa yang mulai tiba 200 tahun yang lalu (Jandt, 2004). Awalnya Etnis Pakeha mengendalikan juga mengkolonisasi Maori secara perlahan, menimbulkan sikap antar-kelompok yang negatif di antara keduanya (Jandt, 2004). Peristiwa sejarah berciri bikultural ini mulai ketara saat penandatangan Perjanjian Waitangi antara Kepala Suku Maori dan Raja Inggris (Liu & Sibley, 2009). Kepercayaan seberapa besar perjanjian dihargai memprediksi sikap terhadap peristiwa politik yang melibatkan kedua kelompok, seperti membayar kompensasi untuk tanah koloni yang diasingkan dari Maori atau mengajar bahasa Maori di sekolah (Liu & Sibley, 2009). Berbeda dengan suku Indian di Amerika, Suku Maori, yang kini berpopulasi sekitar 13% (sementara Pakeha 78%), memiliki kepemilikan ekslusif yang tidak dapat diganggu dari tanah, hutan dan kepemilikan lainnya, juga memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan Pakeha (Jandt, 2004). Mereka juga diberi kesempatan untuk memiliki kekuasaan dalam Parlemen Maori yang terpisah dari Parlemen Umum (Jandt, 2004). Hal
7
ini merupakan contoh empirik bagaimana bikulturalisme memiliki dampak positif terhadap masyarakat secara umum. Istilah efikasi bikultural (bicultural efficacy) yang diproposisikan oleh LaFromboise, Coleman, & Gerton (1993) menegaskan bikulturalisme sebagai sebuah kompetensi dengan kontinum rendah atau tinggi. Efikasi adalah istilah yang didemonstrasikan oleh Bandura (1978) sebagai sebuah kepercayaan atau seberapa konfiden seorang individu dapat melakukan sebuah tindakan, yang memilki hubungan hierarkis yang terpisah terhadap performa aktual dari tindakan tersebut. LaFromboise beserta koleganya (1993) mendefinsikan efikasi bikultural sebagai sebuah kepercayaan atau seberapa konfiden seseorang dapat secara efektif hidup, dalam cara yang memuaskan, dalam dua kelompok tanpa kehilangan perasaan identitas budaya asalnya. Dalam konteks budaya Yogyakarta, kerap ditemui orang-orang yang memiliki kebanggan dan kerinduan tersendiri kepada Yogyakarta setelah menempuh beberapa tahun perkuliahan di sana meskipun mereka bukan merupakan warga asli Yogyakarta. Kerinduan untuk berbahasa Jawa ala Yogyakarta sering kali diutarakan oleh rekan-rekan yang telah menimba ilmu di sana. Tidak sedikit pula orang-orang pendatang yang menemukan jodohnya di Kota Yogyakarta, bahkan orang asli Yogyakarta. Hal ini menunjukkan dapat teradopsinya identitas budaya arus-utama di mana seseorang tinggal ke dalam dirinya. Mendeskripsikan salah satu keterampilan bikultural, Hong, Morris, Chiu, & BenetMartinez (2000) menjabarkan bahwa menginternalisasikan dua budaya tidak harus berarti mencampurkan keduanya atau menggantikan budaya asalnya dengan budaya baru. Hong dan kolega-koleganya (2000) mengistilahkan Penukaran Kerangka (Frame Switching) yang terjadi untuk performa dari individu yang melakukan tanggapan yang berbeda tergantung dari petanda seperti konteks (sekolah atau rumah) atau simbol (bahasa) yang
8
secara psikologis berhubungan dengan satu budaya atau budaya lain. Sebagai contoh, Padilla (dalam Hong, dkk., 2000) mengilustrasikan seorang anak berkebangsaan Meksiko yang tinggal di Amerika. Ketika di rumah bersama dengan orang-tua atau kakek-neneknya bahasa yang boleh ia pergunakan adalah bahasa Spanyol, karena itu bahasa yang keluarganya pahami. Semua tata adat bernuansa sangat Meksiko, akan tetapi keluarganya tetap menginginkan agar ia dapat berbahasa inggris dengan baik. Ketika di sekolah, ia merasa sangat berbeda karena sesuatu bernuansa sangat ‗Amerika‘, termasuk dirinya. Lalu ketika sore ia pulang sekolah, ia kembali menjadi sangat ‗Meksiko‘ lagi. Penukaran kerangka ini dapat juga disebut dipengaruhi oleh priming pada situasi tertentu. Budaya bersifat temporer berkelanjutan dan spesifik geografis (Oyserman & Lee, 2007), lebih jauh lagi, terdapat variabilitas dari persebaran pengetahuan budaya dalam suatu populasi (Atran, Medin, Ross, 2005). Keluwesan sifat budaya ini memungkinkan individu-individu dalam masyarakat tersesuaikan oleh priming ketika terdapat situasi yang relevan (Cohen, 2001). Priming adalah efek dari memori implisit yang telah tersimpan dalam ingatan individu, melalui pemaparan stimulus, mempengaruhi respons terhadap stimulus lain (Mayr & Buchner, 2007). Seperti contohnya pemaparan priming kekerasan di media dapat memicu pembentukan perilaku agresif khalayak terutama yang masih rentan secara psikologis yakni remaja (https://www.scribd.com/doc/67243209/Analisis-EfekPriming-Media). Pada sebuah eksperimen menggunakan metode priming, Harris, Bargh, & Brownell (2009) iklan makanan di televisi juga berkontribusi terhadap obesitas karena memicu respon otomatis untuk mengemil. Eksperimen menggunakan priming juga dilakukan pada partisipan orang Brazil, di mana intensi untuk melakukan korupsi meningkat ketika diberikan priming berupa gambar yang berhubungan dengan korupsi (Fischer, Ferreira, & Milfont, 2014). Priming kultural bukan hanya dapat tertransmisikan
9
melalui saluran media, priming juga dapat tertanam dalam perilaku suatu masyarakat, sehingga memiliki implikasi yang tanpa disadari bersifat luas. Oleh karena itu, berdasarkan uraian yang telah dijabarkan di atas, peneliti memiliki keingintahuan untuk mengetahui bagaimana bikulturalisme dapat menjadi faktor yang berhubungan dengan sikap antarkelompok yang positif, serta bagaimana culture priming dapat menjelaskan hubungan di antara keduanya. B. Rumusan Masalah Interaksi yang masif antar penduduk dunia yang dewasa ini terjadi, baik sesama penduduk lokal maupun luar negeri, menandakan sebuah era di mana jarak tidak lagi menjadi faktor penghambat dalam melakukan komunikasi. Baik teknologi informasi maupun transportasi yang telah diciptakan manusia mendorong terjadinya interaksi antar masyarakat dengan berbagai suku, agama, ras dan budaya yang berbeda menjadi semakin intens. Imigrasi yang dilakukan sebuah masyarakat di suatu daerah menuju daerah di mana telah bertuan rumah menjadi hal yang semakin lumrah. Interaksi antar-kelompok yang terjadi sulit dihindari untuk dapat menjadi biang terjadinya benih-benih prasangka, diskriminasi, yang bahkan dapat berujung konflik apabila tidak dikelola dengan baik. Tidak terkecuali di Yogyakarta, sentimen kedaerahan yang membuncah tanpa akulturasi terhadap budaya arus-utama dapat menyebabkan konflik. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah sikap antar-kelompok yang positif yang salah satunya berhubungan dengan kompetensi bikultural. Individu bikultural memiliki kemampuan untuk mengubah kerangka kulturalnya, dari budaya asalnya ke budaya keduanya, atau sebaliknya. Penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai apakah terdapat hubungan dari kompetensi bikultural, yang dimediasi oleh pengubahan kerangka kultural, dengan sikap
10
antar-kelompok yang positif. Apabila ada, seberapa besar kompetensi bikultural yang dimediasi oleh culture priming dapat berhubungan dengan sikap antar-kelompok. C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan apakah sikap antar-kelompok berhubungan dengan kompetensi bikultural yang dimediasi dengan pengubahan kerangka kultural. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan terhadap bagaimana kompetensi bikultural dan tersedianya culture priming dapat mendorong seseorang untuk memiliki sikap antar-kelompok yang positif. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi khasanah ilmu pengetahuan psikologi sosial dalam kajian tentang interaksi antar-kelompok masyarakat. Dengan memahami bagaimana masyarakat dapat bersikap positif atau negatif terhadap anggota kelompok di luar dirinya, maka bias, diskriminasi, prasangka, bahkan konflik, dapat dikurangi atau dihindari. Lebih jauh lagi, penelitian ini diharapkan menumbuhkan kesadaran terhadap pentingnya menumbuhkan kompetensi bikultural.