BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH Keluarga merupakan kelompok sosial terkecil dalam suatu tatanan
kehidupan sosial. Bureau (2005) mendefinisikan keluarga sebagai kelompok dari dua atau lebih individu yang dihubungkan oleh kelahiran, pernikahan, atau adopsi dan tinggal bersama serta berbagi fungsi sosial lainnya satu dengan yang lain. Seiring perkembangan zaman fungsi keluarga juga mengalami perubahan dari masa ke masa. Dahulu, pandangan tradisional mengatakan orang mengakui pernikahan hanya untuk memperoleh keamanan ekonomi, penyediaan barangbarang dan jasa, serta untuk memperoleh status sosial, dan juga untuk melanjutkan keturunan. Kemudian terjadi perubahan pandangan mengenai fungsi keluarga, yakni orang menginginkan pernikahan yang dilandasi cinta, keinginan untuk hidup bersama dan memuaskan kebutuhan emosional, mampu membesarkan anak sebagai penerus keturunan, selain juga ingin memiliki keamanan ekonomi. Halhal tersebut kini menjadi penting terkait dengan alasan mengapa seseorang menikah, cinta dan afeksi merupakan harapan utama orang dalam pernikahan saat ini (Barich dan Bielby, 1996 dalam Degenova, 2008). Ketika anak hadir sebagai buah dari pernikahan dalam sebuah keluarga, tugas perkembangan dari pasangan yang sudah menikah bertambah menjadi orang tua (Papalia, 2008). Menjadi orang tua berarti memperoleh peran dan tanggung jawab baru, yaitu sebagai seorang ayah dan seorang ibu. Menurut Hill dan Aldous (dalam
Universitas Sumatera Utara
Akbar, 2008) proses menjadi orang tua meliputi antara lain kelahiran anak, perawatan, dan memberi pengasuhan pada anak. Mengasuh anak dikenal sebagai hal penting yang mempengaruhi pengalaman manusia dan dapat mengubah manusia secara emosional, sosial, dan intelektual. Mengasuh anak adalah sebuah proses yang menunjukkan suatu interaksi antara orang tua dan anak yang berkelanjutan dan proses ini memberikan suatu perubahan, baik pada orang tua maupun anak (Levine dalam Martin & Colbert, 1997). Kewajiban sebagai orang tua secara umum juga diungkapkan Brooks (dalam Akbar, 2008) yaitu dalam mengasuh anak orang tua berkewajiban untuk memelihara, melindungi, dan mengarahkan anak dalam berkembang. Hal ini dipertegas dengan hasil wawancara dengan ibu Risna sebagai berikut, “Semenjak memiliki anak rasanya semakin bertambah tanggung jawab yang om tante pikul. Tersadar waah sekarang kami sudah jadi orang tua. Bahagia senang rasanya, tapi kami sadar kewajiban jadi orang tua untuk anak-anak kami juga gak mudah, besarkan anak itu gak bisa main-main. Kami selalu berusaha jadi orang tua yang baik, ngasi pengasuhan, pendidikan dan menuhi kebutuhan anak-anak kami, biar anak-anak kami bisa tumbuh besar jadi orang sukses.” (Komunikasi Personal, 05 November 2011) Pola asuh yang merupakan pola interaksi antara anak dengan orang tua meliputi tidak hanya pemenuhan kebutuhan fisik (makan, minum, pakaian, dan lain sebagainya) dan kebutuhan psikologis (afeksi atau perasaan) tetapi juga norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan (Gunarsa, 2002). Pola pengasuhan menurut Baumrind (dalam Sigelman, 2002) mengandung dua dimensi tingkah laku yakni, dimensi acceptance/resposiveness
dan
dimensi
demandingness/control.
Dimensi
acceptance/resposiveness menggambarkan bagaimana orang tua merespon
Universitas Sumatera Utara
anaknya, berkaitan dengan kehangatan dan dukungan orang tua. Sedangkan dimensi demandingness/control menggambarkan bagaimana standar yang ditetapkan oleh orang tua bagi anak, berkaitan dengan kontrol perilaku dari orang tua kepada anak-anaknya (Sigelmen, 2002). Kedua dimensi di atas akan membentuk beberapa jenis pola asuh yang diterapkan oleh orang tua kepada anak. Menurut Baumrind (dalam Sigelman, 2002) pola asuh terdiri dari tiga jenis yakni, authoritative, authoritarian dan permissive, kemudian Maccoby & Martin (1983) menambahkan satu jenis pola asuh lagi dengan pola asuh Neglectful. Authoritarian parenting merupakan pola asuh yang mengkombinasikan tingginya demandingness/control dan rendahnya acceptence/responsive. Authoritative parenting; memiliki keseimbangan dalam kedua dimensi baik demandingness/control maupun acceptence/responsive. Selanjutnya pada permissive parenting pola pengasuhan ini mengandung demandingness/control yang rendah dan acceptence/responsive yang tinggi. Terakhir neglectful parenting merupakan orang tua yang mengkombinasikan rendahnya demandingness/control dan acceptence/responsive yang rendah pula (Sigelmen, 2002). Pengasuhan anak adalah tanggung jawab orang tua baik ayah maupun ibu, akan tetapi pada umumnya dalam sebuah keluarga para ibulah yang berkonsetransi pada kewajiban menjaga rumah tangga dan terutama membesarkan ataupun mengasuh anak, sedangkan ayah menyediakan kebutuhan keluarga (Coontz, 2005 dalam Zinn, Eitzen dan Wells, 2009). Meski saat ini banyak ditemui keluarga modern yang membagi tanggung jawab pengasuhan anak secara
Universitas Sumatera Utara
seimbang antar ayah dan ibu, karena fenomena banyaknya ibu berkerja saat ini, namun tetap banyak dijumpai para ibu yang memilih menjadi ibu rumah tangga agar dapat total mengurus keperluan keluarga terutama pengasuhan anak. Hal ini juga terkait dengan kepuasan dalam rumah tangga yang dialami ibu. Ibu yang paling tidak puas dengan pernikahan mereka adalah mereka yang melihat diri mereka tidak terorganisir dan tidak mampu menghadapi tuntutan sebagai ibu. Maka harapan dapat mengasuh anak dengan baik dan mengorganisir dirinya serta keluarga dengan baik merupakan salah satu hal yang diharapkan oleh wanita dewasa menikah yang telah menjadi ibu (Degenova, 2008). Dapat
dilihat
pada
kutipan wawancara dengan ibu Hafni sebagai berikut, “Kalau nantulang milih fokus jadi ibu rumah tangga aja un, karena pengen bisa 100% ngurus adek-adek apa lagi F kan kayak gini, ngurus tulang dan rumah. Insyaallah dari hasil pencarian tulang udah bisa mencukupi seharihari, jadi gak perlu ikut kerja juga.” (Komunikasi Personal, 03 November 2011) Bicara mengenai pola asuh secara lebih mendalam ditemukan fakta bahwa dalam pernikahan yang dilangsungkan, terkandung nilai-nilai atau norma-norma budaya yang sangat kuat dan luas (Abu dalam Natalia & Iriani, 2002). Nilai sendiri menurut Kluckhohn (dalam Adisubroto, 1994) merupakan suatu konsepsi yang dapat terungkap secara eksplisit atau implisit, yang menjadi ciri khas individu atau karakteristik suatu kelompok mengenai hal-hal yang diinginkan dan berpengaruh terhadap proses seleksi dan sejumlah modus, cara dan hasil akhir suatu tindakan. Lebih spesifik dikatakan nilai-nilai budaya yang dimiliki orang tua memberi pengaruh tersendiri terhadap bagaimana mereka menjalani sebuah keluarga, termasuk dalam pengasuhan anak. Telaah lintas budaya juga mendapati
Universitas Sumatera Utara
adanya pengaruh budaya terhadap pola pengasuhan yang juga berdampak besar pada perkembangan anak (Dayakisni, 2004). Darling (1999) juga menyampaikan ada tiga faktor yang mempengaruhi pola asuh, yakni jenis kelamin anak, kebudayaan, dan kelas sosial ekonomi. Mengenai kebudayaan sendiri, Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki kekayaan aneka ragam budaya. Budaya di Indonesia dipengaruhi oleh suku-suku yang ada. Salah satu suku yang mendominasi di Indonesia adalah suku dari Utara pulau Sumatera, yakni suku Batak. Batak terdiri dari beberapa fouk, seperti Batak Toba, Dairi, Simalungun, Karo dan Mandailing (Tinambunan, 2010). Orang-orang yang bersuku Batak umumnya dijumpai berdomisili di provinsi Sumatera Utara, termasuk di ibukotanya yakni kota Medan. Meski perkembangan zaman mengakibatkan orang-orang Batak juga dapat dijumpai di berbagai daerah di Indonesia, tetap pada hakikatnya suku Batak berasal dari provinsi Sumatera Utara (Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, 1997). Perkembangan suku Batak sendiri di kota Medan ternyata tidak terlepas dari kebudayaan Melayu yang lebih dominan. Melayu merupakan dinamika yang penting bagi kelompok-kelompok Batak yang berhubungan langsung dengan kebudayaan Melayu di Medan. Sekitar tahun 1920-an dominasi etnik di Medan mulai berubah. Orang-orang Batak yang ada di Medan mulai memunculkan diri dengan hasil pekerjaan mereka sekaligus memperlihatkan identitas mereka. Meski dengan melakukan beberapa penyesuaian yang mempengaruhi beberapa aspek dasar suku Batak sendiri. Orang Batak merupakan kaum minoritas kecil di kota-
Universitas Sumatera Utara
kota, tetapi sangat berpengaruh pada saat itu, hal ini juga menyebar ke Tapanuli Utara dan Selatan (Hasselgren, 2008) Masyarakat Batak yang bermukim di kota Medan mengalami perubahan dalam pembentukan organisasi-organisasi yang semakin didominasi oleh orang Kristen Batak Toba. Perkembangan-perkembangan yang terjadi berimplikasi bahwa komunitas Melayu dari awal tahun 1920-an mulai kehilangan kebudayaannya dan identitasnya dalam suku etnis semula. Medan menjadi lingkungan yang multi-etnis dimana lebih mudah bagi kelompok-kelompok lain untuk menonjolkan jati dirinya. Meskipun perbedaan etnis menjadi realitas penting di Medan, tetapi diantara penduduk urban pribumi juga memiliki rasa kebersamaan. Di dalam berbagai perkembangan ini, tidak tampak adanya etnis yang dominan baik secara suku maupun agama. Kelompok imigran yang banyak dijumpai di kota Medan adalah Batak Toba dan Mandailing (Ibid, 2008). Tingkat kompetisi yang tinggi pada orang-orang yang bermukim di kota Medan, membuat orang Batak berusaha keras untuk dapat hidup bertahan (survive). Berbagai cara dilakukan misalnya sebagian orang menukar identitas mereka agar dapat diterima dengan mudah, atau meleburkan diri terhadap pola dan tatanan hidup pada masyarakat pribumi pertama yang tingga di kota Medan. Tetapi, tetap ditemui orang-orang Batak yang hidup berkelompok dengan membentuk komunitas yang kuat. Mereka membentuk kesatuan-kesatuan hegemonis marga menurut garis keturunan, kelompok satu daerah asal (sahuta) dari tingkat pemuda hingga jenjang kekeluarga yang sudah menikah. Mereka juga
Universitas Sumatera Utara
aktif membentuk kelompok dalam satu pola pikir dan tujuan yang disbeut dengan partungkoan. Suku Batak terkenal sangat menjujung tinggi budaya yang mereka anut (Gultom, 1992). Banyak nilai-nilai dari suku Batak yang masih diterapkan oleh orang Batak dalam menjalani kehidupannya. Suku Batak juga memiliki nilai atau keyakinan yang masih dipegang teguh oleh kebanyakan masyarakat atau keluarga berlatar belakang suku Batak khususnya Batak Toba sampai dengan saat ini. Dikenal 7 filsafah kehidupan Batak yakni; Mardebata, Marpinompar, Martutur, Maradat, Marpangkirimon, Marpatik dan Maruhum. Salah satu keyakinan yang terkandung dalam filsafah Marpangkirimon yang juga masih dipegang teguh oleh orang Batak adalah sebuah tujuan hidup yang lebih dikenal dengan istilah 3H, yaitu hagabeon, hamoraon dan hasangapon. Tujuan hidup 3H ini terbentuk dalam lingkungan suku Batak karena merupakan wujud dari kebudayaan yang terus menerus terwaris dan mendarah daging bagi masyarakat Batak dan memberi banyak pengaruh terhadap kehidupan orang Batak, termasuk dalam perjalanan rumah tangga (Tinambunan, 2010). Nilai yang pertama yaitu hamoraon. Hamoraon (kekayaan) adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh seseorang. Kekayaan selalu identik dengan harta kekayaan dan anak. Tanpa anak akan merasa tidak kaya, walaupun banyak harta, seperti diungkapkan dalam bahasa Batak, Anakkonhido hamoraon diahu (anakku adalah harta yang paling berharga bagi saya) (Tinambunan, 2010). Selanjutnya hagabeon adalah kebahagiaan dalam keturunan artinya keturunan memberi harapan hidup, karena keturunan itu ialah suatu kebahagiaan
Universitas Sumatera Utara
yang tak ternilai bagi orang tua, keluarga dan kerabat. Bagi orang Batak, kebahagiaan dalam berketurunan (gabe) ini terasa lengkap dalam sebuah keluarga apabila keluarga itu memiliki anak laki-laki dan perempuan. Sebuah keluarga Batak belum dikatakan gabe kalau hanya memiliki anak laki-laki atau hanya ada anak perempuannya saja (Harahap & Siahaan dalam Irmawati, 2007). Menjadi penekanan dalam nilai ini selanjutnya adalah bagi orang tua anak laki-laki adalah penerus keturunannya, sehingga anak laki-laki sering disebut sebagai sinuan tunas, artinya tunas yang baru. Ungkapan ini memperlihatkan bahwa anak lakilaki memiliki keistimewaan dalam pandangan orang tua, terlihat pula dari perbandingan jumlah anak laki-laki yang diinginkan lebih banyak dari anak perempuan (Tinambunan, 2010). Dapat diperkuat dari hasil wawancara dengan ibu Hafni dan ibu Risna berikut, “Pada dasarnya tulang dan nantulang menerima saja apa pemberian Allah, tapi memang ada kebahagiaan tersendiri ketika tahu anak kami laki-laki. Kan sebagai orang Batak punya anak laki-laki itu hal yang membanggakan. Sebagai anak laki-laki, kami berharap dek F bisa tumbuh menjadi orang yang bisa bertahan dalam kehidupan, membawa nama baik keluarga khusunya marga Rambe.” Ibu Hafni (Komunikasi Personal, 03 November 2011) “Waktu hamil tante kepikirannya anak laki-laki terus, apa lagi waktu anak pertama, jadi pas lahir laki-laki rasanya senang bangga. Om juga bangga ada yang neruskan marga „Manik‟, apalagi ompungnya senang kali. Yah ternyata memang dikabulkan laki-laki tapi dengan kondisi Autis ini. Tante mikirnya ini cobaan, gimanapun kami tetap sayang, D tetap anak laki-laki kebanggan kami.” Ibu Risna (Komunikasi Personal, 05 November 2011) Pardosi
(1989)
menyatakan
beberapa
faktor
yang
menyebabkan
masyarakat Batak Toba menginginkan anak laki-laki yaitu: (a) anak laki-laki dianggap penerus keturunan (marga ayah), (b) anak laki-laki dapat menggantikan
Universitas Sumatera Utara
kedudukan dalam acara adat dan tanggung jawab adat, dan (c) anak laki-laki pembawa nama dalam silsilah kekerabatan dalam masyarakat Batak. Nilai terakhir dari konsep 3H adalah hasangapon. Hasangapon (kemuliaan dan kehormatan) merupakan suatu kedudukan seseorang yang dimilikinya di dalam lingkungan masyarakat (Tinambunan, 2010). Simanjuntak (dalam Irmawati, 2007) menyatakan bahwa untuk mencapai hasangapon seseorang harus terlebih dahulu berketurunan (gabe) dan memiliki kekayaan (mora). Filasafah hidup yang diyakini orang-orang dengan latar belakang suku Batak akan memberi kekhasan tersendiri bagi orang tua suku Batak termasuk dalam pengasuhan anak-anak mereka. Khususnya terkait pada nilai 3H yang sudah dipaparkan di atas, pengharapan yang sangat besar pada anak terlihat pada nilai hagabeon, orang tua Batak menggantungkan harapan hidup mereka pada anak khususnya anak laki-laki sebagai penerus marga (Tinambunan, 2010). Penelitian oleh Irmawati (2002) menghasilkan kesimpulan kekayaan (hamoraon), anak (hagabeon) dan kehormatan (hasangapon) sangatlah penting bagi keluarga Batak. Namun diantara nilai-nilai tersebut, anak (hagabeon) merupakan nilai yang paling penting. Dalam nilai gabe, juga tercakup unsur-unsur kaya dan kehormatan. Aspirasi orangtua mengenai pendidikan anak ternyata agar anaknya mampu bersekolah sampai tingkat perguruan tinggi. Pembentukan motivasi berprestasi pada anak-anak Batak Toba sekalipun pada awalnya bersifat ekstrinsik namun kemudian hasil penelitian menunjukan bahwa motivasi ini terinternaiisasi menjadi motivasi intrinsik. Berbicara mengenai pola pengasuhan, orangtua
cenderung
bergaya
authoritative.
Sekalipun
demikian,
gaya
Universitas Sumatera Utara
authoritarian tetap masih ada berkaitan dengan keinginan agar anak bersikap taat pada aturan agama dan orangtua. Pola pengasuhan ini diikuti juga oleh sikap orangtua
yang
mendorong
pencapaian
pendidikan
anak
dibidang
pendidikan/akademik berupa dukungan, kontrol dan kekuasaan, yang mereka perlihatkan dalam mengarahkan kegiatan anak pada pencapaian prestasi tertentu. Sebuah seminar nasional peringatan 100 tahun gugurnya pahlawan Raja Sisingamangaraja XII dengan pembicara Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S., juga menyampaikan bahwa nilai dalam keluarga Batak berpusat pada 3H yakni hagabeon-hamoraon-hasangapon yang harus dijunjung tinggi, sehingga harus menjaga kesehatan agar panjang umur dan berketurunan, harus kerja keras dan hemat agar dapat sejahtera, dan harus ditambah sifat penolong, idaman masyarakat, dan berpengetahuan luas supaya terhormat. Pengasuhan anak menjadi faktor penting dalam keluarga, orang tua Batak harus mampu mengasuh anakanaknya dengan sebaik mungkin sehingga anak-anak mereka akan mampu membawa nama baik keluarga Batak. Penekanan pada prestasi anak menjadi hal yang sangat penting dalam pengasuhan orang tua Batak. Anak dituntun untuk dapat berprestasi dan sukses di masa depannya, dan orang tua berperan aktif sebagai fasilitator keberhasilan anak. Khusus pada ibu dalam keyakinan suku Batak wanita sangat dijunjung tinggi kehormatannya, ibu merupakan tonggak penting dalam sebuah keluarga, dimana ibu adalah kekuatan dalam keluarga. Tidak jarang dijumpai dalam keluarga batak ibu yang bekerja keras demi keluarganya. Disatu sisi ibu melaksanakan tugas-tugasnya di luar rumah dan di sisi lain juga mengatur segala
Universitas Sumatera Utara
keperluan di dalam rumah termasuk pengasuhan anak-anaknya (Tinambunan, 2010). Tugas wanita Batak dalam keluarga sudah diasosiasikan semenjak mereka anak-anak, terlebih lagi dalam masyarakat Batak yang „mengagungkan‟ anak lakilaki, ibu dituntun oleh keluarga harus mampu mendidik dan membesarkan anak agar berhasil sesuai dengan tuntutan keluarga (Maulina dan Sutatminingsih, 2005). Terlihat jelas bahwa latar belakang suku orang tua, dalam hal ini suku Batak, memberikan banyak pengaruh pada orang tua dalam menjalani keluarga dan mengasuh anak. Dimana nilai-nilai yang dibawa orang tua sebagai orang Batak menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi gaya pengasuhan orang tua pada anak-anak mereka. Keluarga Batak sendiri khususnya orang tua terhubung dengan nilai 3H yakni hagabeon-hamoraon-hasangapon. Ternyata dalam perjalanan sebuah keluarga, ketika sang anak hadir dalam keluarga anak-anak yang dilahirkan tidak selalu normal seperti adanya. Ditemui pula anak-anak yang dilahirkan dengan kebutuhan khusus. Pada dasarnya setiap orang tua berharap akan memiliki anak-anak yang bertumbuh kembang secara normal. Seorang anak dikatakan normal apabila mampu berkembang dengan baik dan seimbang seiring pertumbuhannya dan berlangsung seperti individu lain pada umumnya. Sedangkan pada kondisi anak-anak dengan kebutuhan khusus akan mengarah pada keterlambatan dan gangguan pada perkembangan dan tumbuh kembangnya, salah satunya Autisme (Papalia, 2008). Autisme merupakan salah satu penyimpangan dalam perkembangan sejak masa bayi yang ditandai adanya gangguan pada hubungan interpersonal (interaksi sosial), gangguan pada perkembangan bahasanya (komunikasi) dan adanya
Universitas Sumatera Utara
kebiasaan untuk melakukan pengulangan tingkah laku yang sama (Yusuf, 2003). Anak-anak dengan Autisme mengalami kegagalan dalam perkembangan yang tergolong dalam kriteria Gangguan Pervasif dengan kehidupan Autistik yang tidak disertai dengan halusinasi dan delusi dan lebih banyak dijumpai pada anak lakilaki (APA, 1995). Akhir-akhir ini kasus Autisme menunjukkan peningkatan di Indonesia. Bila Amerika dapat menentukan bahwa kejadian di negaranya adalah 1:150 (satu anak Autistik per seratus lima puluh anak) dan Inggris berani mengeluarkan angka 1:100, tidak demikian dengan Indonesia. Meskipun beberapa profesional memperkirakan angka tersebut tidak banyak berbeda dengan di Indonesia, tapi hal tersebut tidak mungkin dipastikan tanpa data-data yang akurat. Saat ini di Indonesia sedang dilakukan pendataan mengenai jumlah penderita Autisme (Yayasan Autisma Indonesia, 2009). Orang tua yang memiliki anak dengan gangguan Autisme akan memiliki tantangan tersendiri dalam membesarkan sang anak. Reaksi pertama orang tua ketika anaknya didiagnosa mengalami Disabilities adalah tidak percaya (shock), sedih, kecewa, merasa bersalah, marah dan menolak, tidak mudah bagi orang tua untuk mengalami fase ini (Pueschel, Bernier, & Wiedenman 1988). Hal ini umunya menjadi lebih kompleks dan dirasakan secara mendalam oleh pihak ibu, diperkuat berdasarkan kutipan wawancara dengan 2 orang orang tua yang memiliki anak dengan gangguan Autisme, yakni dengan ibu Risna dan ibu Hafni sebagai berikut, “...terkadang masih merasa seperti bermimpi, nantulang merasa sulit menerima kenyataan dek F mengalami gangguan Autisme, sesak di dada
Universitas Sumatera Utara
kalau teringat. Ini lagi terus berusaha ikhlas, tawakal sama ketetapan Allah.” Ibu Hafni (Komunikasi Personal, 03 November 2011) “Kami merasa takut menghadapi kenyataan, bingung karena tidak paham apa itu “Autis”. Bertanya–tanya dalam hati, ini kesalahan siapa? Juga marah pada diri sendiri dan tante juga takut untuk hamil lagi.” Ibu Risna (Komunikasi Personal, 05 November 2011) Sebagai ibu, meski memiliki anak dengan gangguan Autisme tentunya kewajibannya memberi pengasuhan yang baik pada anak harus tetap dilaksanakan. Salah satu jurnal oleh Rachmayanti membahas penerimaan orang tua terhadap anak dengan gangguan Autisme, yang juga terkait dengan pola asuhnya, menggunakan tori Ross (2004, dalam bukunya “On Death and Dying”) digambarkan reaksi-reaksi orang tua kepada anak-anak dengan kebutuhan khusus. Penerimaan orang tua terhadap anak berkebutuhan khusus terbagi menjadi lima tahap sebagai berikut; tahap pertama adalah Denial (menolak menerima kenyataan), kemudian kedua adalah tahap Anger (marah), ketiga tahap Bargaining (menawar), tahap keempat yakni Depression (depresi) dan tahapan terakhir adalah Acceptance (pasrah dan menerima kenyataan). Patut dicatat bahwa, kelima tahap tersebut di atas tidak harus terjadi secara berurutan. Bisa saja ada satu tahap atau lebih yang terlompati, atau kembali muncul jika ada hal-hal yang mengingatkan ketidak ”sempurnaan” anak mereka (bila dibandingkan dengan anak lain yang sebaya). Demikian pula pada tahap awal. Ada juga orang tua yang telah begitu lama mencari diagnosa dan penyembuhan. Begitu mereka mendapatkan diagnosa dan metode yang dapat membantu mereka, perasaan legalah yang mereka dapatkan, bukan menolak menerima kenyataan (denial). Kondisi orang tua berpengaruh terhadap
Universitas Sumatera Utara
pengasuhannya pada anak, maka pada dasarnya pola pengasuhan orang tua khususnya pada anak dengan gangguan Autisme dapat berubah sesuai kondisi. Dikatakan pula orang tua cenderung over protektif dalam pengasuhannya pada anak Autis yang mengarah pada gaya pengasuhan permissive (Rachmayanti, 2004). Peran dan tanggung jawab yang dipikul oleh orang tua akan lebih besar apabila anak yang dilahirkan berkebutuhan khusus (Heward, 1996, dalam Akbar 2008). Diperkuat dengan wawancara pada ibu Hafni berikut, “Banyak yang udah kami coba lakukan untuk membantu F, seperti mendatangkan terapis ke rumah, mengajak F berolah raga di lapangan, mengajak F berenang, mengajak F jalan-jalan, memenuhi kebutuhankebutuhan dan keperluannya, juga yang pasti terus berusaha menjadi orang tua yang baik, meski terasa sulit. Kadang rasanya pengen nyerah karena perkembangan F juga begitu-begitu saja, tapi nantulang langsung istighfar. F titipan Allah nantulang harus tanggung jawab, besarkan F sebaik mungkin, biarlah Allah yang nentukan akhirnya, yang penting sebagai orang tua nantulang harus tetap berusaha demi F.” (Komunikasi Personal, 03 November 2011) Kehadiran anak dengan kebutuhan khusus dalam sebuah keluarga secara umum menimbulkan reaksi emosional pada orang tua, merupakan pengalaman stres yang tidak biasa, khususnya bagi para ibu (Hutt dan Gibby, 1979) yang secara tidak langsung akan terkait dengan bagaimana sang ibu memberi pengasuhan pada anaknya yang mengalami Autisme. Merupakan sebuah fakta bahwa beberapa anak terlahir dengan gangguan Autisme, hal ini tidak terkecuali dapat terjadi pada keluarga Batak. Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya salah satu nilai terpenting yang diyakini orang Batak adalah nilai hagabeon, yang terkait erat dengan kebahagiaan dalam memperoleh keturunan. Dikatakan bahwa keturunan memberi harapan hidup,
Universitas Sumatera Utara
maka sangat besar keinginan untuk memiliki keturunan pada suku Batak khususnya berjenis kelamin laki-laki (Tinambunan, 2010). Namun ketika pasangan suku Batak telah berhasil memiliki keturunan anak laki-laki, tetapi dengan kondisi memiliki gangguan Autisme, tentu saja orang tua dengan latar belakang suku Batak tetap berkewajiban memberi pengasuhan terbaik terhadap anaknya. Terlihat dari kutipan wawancara dengan ibu Hafni berikut, “...kalau bicara sebagai orang Batak kami ya orang tua senang punya anak laki-laki salah satunya F sebagai penerus marga, walaupun dengan kekurangannya. Kami akan terus berusaha membesarkan F sebaik mungkin, Nantulang selalu berdoa sama Allah semoga masih ada harapan, semoga kerja keras kami sebagai orang tua memberi hasil suatu saat.” (Komunikasi Personal, 01 November 2011) Sebuah penelitian oleh Martina V Sianipar mengenai ibu dengan anak berkebutuhan khusus, di dalamnya didapati kutipan komunikasi personal peneliti pada 2 Januari 2007 dengan B. Samosir yang mengatakan bahwa dalam masyarakat Batak Toba jika memiliki anak yang abnormal biasanya akan dianggap sebagai karma atas dosa yang dilakukan oleh orang tua atau nenek moyang anak yang bersangkutan dan keadaan ini dapat membuat keluarga khususnya ibu yang bertanggung jawab penuh pada pengasuhan anak menjadi malungun (sedih). Tetapi bila dilihat lebih dalam nilai-nilai budaya dapat memberi pengaruh yang bervariasi. Ketika ibu menggunakan konsep positif dari hagabeon yang mengatakan anak sebagai harapan bagi orang tua dan penekanan suku Batak pada keberhasilan anak, maka akan memberi semangat tersendiri pada ibu untuk memberi pengasuhan terbaik yang dapat membantu perkembangan anak. Anak meski dengan keterbatasan Autistiknya harus tetap dapat berhasil dan berprestasi sesuai konsep dasar hagabeon. Akan tetapi bila ibu Batak lebih fokus pada rasa
Universitas Sumatera Utara
gagal memberi keturunan seperti pemaparan B. Samosir, maka dikhawatirkan akan berpengaruh negatif pula pada pengasuhannya. Semakin terlihat bahwa beberapa faktor khususnya budaya dan kondisi anak mempengaruhi pola asuh. Kondisi keterbatasan anak dengan gangguan Autismenya serta pengaruh nilai-nilai budaya suku Batak yang menjadi latar belakang ibu membuat semakin komplekslah tugas pengasuhan anak oleh ibu suku Batak. Saat ini jutaan keluarga menghadapi tantangan sehari-hari dalam membesarkan anak dengan gangguan Autisme, termasuk keluarga-keluarga berlatar belakang suku Batak. Mengingat keluarga merupakan lembaga sosial pertama dan terpenting bagi seorang anak untuk berinteraksi dengan lingkungannya (Degenova, 2008). Berdasarkan fenomena tersebut peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian terkait dengan bagaimana seorang ibu berlatar belakang suku Batak dengan latar belakang budayanya serta dengan nilai-nilai yang diyakininya memenuhi tugas perkembangannya sebagai orang tua dalam mengasuh anak lakilakinya yang dilahirkan dengan gangguan Autisme. Sangat diharapkan penelitian ini akan bermanfaat dalam memberikan gambaran pola pengasuhan yang baik bagi anak laki-laki dengan gangguan Autisme oleh ibunya yang berlatar belakang suku Batak, agar membantu perkembangan keduanya ke arah kondisi yang lebih baik.
Universitas Sumatera Utara
B.
PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas maka, peneliti
merumuskan pertanyaan yang akan dijawab melalui penelitian ini yaitu, a. Bagaimana gambaran pola asuh ibu suku Batak pada anak laki-laki dengan gangguan Autisme?
C.
TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai pola asuh ibu suku Batak pada anak laki-laki dengan gangguan Autisme.
D.
MANFAAT PENELITIAN Ada dua manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini, yaitu:
D.1.
Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis, antara
lain: a) Dapat memberikan masukan yang bermanfaat dan memperluas serta menambah informasi dari segi teoritis bagi disiplin ilmu Psikologi khususnya pada bidang Psikologi Perkembangan. Secara lebih spesifik pada aspek pola asuh terkait dengan pengaruh budaya. b) Dapat menjadi masukan dan referensi untuk bahan penelitian bagi peneliti selanjutnya, terkait pola asuh dan budaya.
Universitas Sumatera Utara
D.2
Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis, antara
lain: a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi peneliti dan masyarakat mengenai gambaran pola asuh oleh ibu khususnya yang berlatar belakang suku Batak, pada anak Autis khususnya anak laki-laki. b) Memberi sumbangan informasi yang bermanfaat kepada para orang tua terkait pola pengasuhan anak, khususnya pada orang tua yang memiliki anak dengan gangguan Autisme dan pada orang tua dengan latar belakang suku Batak agar dapat memberi pengasuhan yang tepat. c) Memberikan informasi kepada masyarakat yang belum menikah mengenai gambaran-gambaran kemungkinan yang ada di dalam pernikahan. Khususnya ketika menjadi orang tua, termasuk kemungkinan memiliki anak Autis sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam menghadapi kondisi tersebut dan proses belajar untuk nantinya menjalani sebuah keluarga. d) Memberikan informasi dan masukan kepada para professional atau para ahli
termasuk
Psikolog,
khususnya
yang
berkonsentrasi
pada
perkembangan anak Autistik dalam membantu mencari data-data untuk menyelesaikan masalah pola asuh oleh orang tua khususnya oleh ibu suku Batak.
Universitas Sumatera Utara
E.
SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I :
Pendahuluan berisi tentang uraian singkat mengenai latar belakang masalah,
rumusan
masalah,
pertanyaan
penelitian,
tujuan
penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penelitian. BAB II :
Landasan teori berisi landasan teoritis yang bersumber dari literatur dan pendapat para ahli/pakar yang dapat digunakan sebagai landasan berpikir dalam pembahasan penelitian ini.
BAB III :
Metode penelitian menjelaskan mengenai metode penelitian kualitatif, responden penelitian, metode pengambilan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas dan validitas penelitian, dan prosedur penelitian.
BAB IV :
Analisa data dan pembahasan berisi uraian mengenai hasil penelitian, analisis data dan pembahasan.
BAB V
:
Kesimpulan dan saran, berisikan kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan dan saran yang berisi saran-saran praktis sesuai dengan hasil dan masalah-masalah penelitian serta saransaran metodologis untuk penyempurnaan penelitian selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara