BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Profesi dokter merupakan profesi istimewa karena berhadapan langsung dengan begitu banyak segi-segi kehidupan manusia dan yang lebih utama dengan hidup itu sendiri yang merupakan hal paling esensial dari kehidupan.1Tanggung jawab dan tuntutan masyarakat terhadapnya adalah sebagai penolong dan pihak yang selalu mengutamakan kewajiban di atas hak-hak ataupun kepentingan pribadinya, serta menjadi harapan terakhir bagi yang membutuhkannya. Harapan yang digantungkan oleh pasien meliputi kepercayaan bahwa dokter akan mengusahakan yang terbaik, hal lain bahwa dokter akan mengusahakan yang terbaik untuk kesembuhannya. Ditinjau dari sudut pandang hukum kedokteran, bahwa dalam menjalakan profesinya, seorang dokter tidak dapat menjamin kesembuhan bagi pasiennya. Kewajiban seorang dokter hanyalah berusaha membantu proses penyembuhan pasien, istilah tersebut dinamakan dengan contract terapeutik. Jika muncul hasil dari tindakan medis yang tidak diharapkan seperti kematian, sepenuhnya menjadi resiko pasien yang bersangkutan.2 1
Ratna Suprapti Samil, Etika Kedokteran Indonesia, (Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2001), hlm 37 2
J. Gunadi, Dokter dan Hukum, (Jakarta: Monella, 1986), hlm 15-18.
1
Dari aspek hukum, hubungan dokter dengan pasiennya merupakan hubungan antara subyek hukum dan subyek hukum. Hubungan tersebut diatur oleh kaidah hukum perdata, mengenai cara para pihak melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai subyek hukum. Dengan mengacu kepada hak asasi manusia hak-hak pasien adalah hak-hak yang dimiliki pribadi manusia sebagai pasien, hak pasien dalam hukum kedokteran bertumpu dan berdasarkan atas dua hak asasi manusia, yaitu hak atas pemeliharaan kesehatan dan hak untuk menentukan nasib sendiri. Sedangkan yang menjadi kewajiban seorang pasien adalah memberikan informasi yang benar terhadap penyakit yang diderita pasien, memenuhi petunjuk atau nasihat dokter dan memberikan honor atau imbalan yang pantas.3 Doktrin ilmu hukum mengenal dua macam perikatan yaitu, perikatan ikhtiar
(Inspaning
Verbintenis)
dan
perikatan
hasil
(Resultaat
Verbintenis). Pada perikatan ikthiar, prestasi yang diberikan adalah upaya semaksimal mungkin. Sedangkan perikatan hasil, prestasi yang harus diberikan berupa hasil tertentu.4 Kewajiban seorang dokter dalam menjalankan tugas profesinya dituntut untuk selalu berhati-hati dan cermat dalam memutuskan tindakan, karena tekait pula dengan nasib pasien. Ketika seorang dokter dalam menjalankan profesinya tidak memperhatikan apa yang menjadi 3
Ratna Suprapti Samil, Op. Cit. hlm 34-37.
4
Wila Chandrawila Spriadi, Hukum Kedokteran, (Bandung: Mandar Maju, 2001), hlm 7-
8.
2
kewajibannya maka,
akan mengakibatkan
penderitaan bahkan pada
kematian. Oleh karenanya dalam menjalankan profesinya, disamping harus memiliki keahlian, seorang dokter juga harus memiliki kepekaan hati nurani dengan berpegang teguh kepada kode etik kedokteran dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kesalahan dokter dalam menjalankan profesi medis yang tidak sesuai dengan standar profesi medis ketika menjalankan profesinya, dikenal dengan istilah malpraktik.5 Akibat malpraktek, tidak sedikit pula yang akhirnya berakhir dipersidangan dan dijatuhi sanksi pidana berdasarkan hukum yang berlaku. Seperti halnya yang terjadi pada Dr. Taufik Wahyudi Mahady. Sp.OG sebagaimana dalam putusan Kasasi Nomor 455/Pid/2010. Pada perkara ini dokter tersebut telah melakukan kelalaian dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang dokter. Kelalaian ini terjadi ketika seorang pasien datang untuk persalinan, dengan rujukan bidan desa ke Rumah Sakit Kesdam Iskandar Muda Tingkat III, Banda Aceh. Ketika itu terdakwa menjadi Operator Operasi Caesar.6 Tahap pertama sesuai dengan tindakan medis dilakukan dengan baik tanpa ada pemasalahan, dengan kata lain sesuai dengan Standart Operasional Procedure (S.O.P) persalinan, namun yang menjadi 5
M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, (Jakarta: EGC, 2008) hlm 96. Malpraktik terdiri dari dua suku kata yaitu mal dan praktik. Mal berasal dari kata Yunani yang berarti buruk dan Praktik (dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia) berarti menjalankan perbuatan tersebut dalam teori atau menjalankan profesi (pekerjaan). Jadi malpraktik dapat diartikan sebagai menjalankan pekerjaan yang buruk kualitasnya, tidak lege artis, tidak tepat. Secara istilah malpraktik diartikan sebagai kelalaian atau kegagalan seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim digunakan dalam mengobati pasien atau orang cedera menurut ukuran dilingkungan yang sama. 6
Putusan Mahkamah Agung No. 455/Pid/2010
3
permasalahan adalah ketika pembedahan, terdakwa tidak melaksanakan tugas profesi dengan baik sehingga ada kesalahan fatal yang terjadi yaitu tertinggalnya kain kasa sepanjang lebih 20x10 cm di dalam perut pasien dan tidak berhati-hati dalam menjahit organ-organ yang terdapat dalam perut pasien sehingga pasien menderita luka yang berkepanjangan. Tindak pidana yang ditujukan kepada dokter sebagai akibat tindakan malpraktek yang dilakukannya, diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun di dalam ketentuan pidana yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Mengacu pada dakwaan yang dibuat jaksa, jenis tindak pidana yang dapat didakwakan kepada dokter yang melakukan malpraktek dalam menjalankan profesinya, diantaranya adalah tindak pidana kelalaian yang mengakibatkan luka atau luka berat (Pasal 360 KUHP) ataupun mengakibatkan kematian (Pasal 361 KUHP). Yang dikualifikasikan dengan pemberatan ancaman pidananya bila dilakukan dalam rangka melakukan pekerjaanya (Pasal 361 KUHP). Sedangkan pidana lain yang bukan kelalaian yang mungkin dapat didakwakan diantaranya adalah pembuatan keterangan palsu (Pasal 267-268 KUHP), aborsi illegal (Pasal 349 KUHP jo pasal 347 dan 348 KUHP), penipuan (Pasal 382 bis) serta euthanasia (Pasal 344 KUHP). Sementara itu, ketentuan pidana yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP, diantaranya dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan UndangUndang No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. 4
Seiring dengan perkembangan rumah sakit, pelayanan kesehatan cenderung menjadi instutisional. Pasien tidak lagi datang langsung ke dokter untuk memperoleh tindakan medik.Pemeriksaan, perawatan, tindakan medik dan penunjangan medis dapat dilakukan pada institusiinstitusi seperti puskesmas, klinik spesialis ataupun rumah sakit. Tentu pelayanan ini menjadi lebih rumit karena menyangkut lebih banyak unsurunsur sumber daya baru (termasuk teknologi mutakhir, sistem baru, obatobatan baru), dan proses proses baru yang dilakukan oleh pasien. Di samping dokter, tenaga profesi lain lebih banyak yang terlibat pada penangan pasien. Dokter tidak bekerja sendiri lagi, tetapi dalam ikatan tim, bersama dengan spesialis atau konsultan lain. Oleh karena itu, hakikat hubungan dokter dengan pasien dalam konsep sebenarnya menjadi luntur. Karena seorang dokter tidak lagi menjadi satu-satunya fakktor penentu keberhasilan atau kegagalan suatu tindakan medik. Di dalam konsep pelayan medis yang diberikan oleh dokter dalam menjalankan profesinya, dokter hanya berkewajiban mengusahakan penyembuhan pasiennya. Konsep tersebut dapat disebut juga dengan konsep kontrak terapeutik, hal ini tidaklah berarti dokter harus pula menjamin hasilnya. Apabila kemudian munculnya hasil dari tindakan medis yang tidak diharapkan, seperti kematian, sepenuhnya menjadi resiko pasien yang bersangkutan, maka sepanjang tindakan-tindakan medik yang dilakukan oleh dokter sesuai dengan standar operasional dan prosedur tindakan medik dan tidak bertentangan dengan etika profesi
5
kedokteran,
oleh
karena
itu
dokter
dapat
dibebaskan
dari
pertanggungjawaban hukum. Ditinjau dari aspek hukum pidana, jika terjadi malpraktek (memenuhi unsur kesalahan dan dilakukan antara secara melawan hukum, maka terhadap pelakunya dapat dimintai pertanggungjawaban) seorang dokter dapat dipidanakan berdasarkan aturan dalam hukum pidana.7 Melihat ada kemungkinan terjadinya malpraktek secara sengaja, namun
sebagian
besar
malpraktek
terjadi
diluar
adanya
unsur
kesengajaan. Dalam hal ini, telah terjadi kelalaian medis yang dilakukan dokter dalam menjalankan profesinya. Kelalaian dengan adanya suatu sikap yang sifatnya lebih serius, yaitu sikap ketidak hati-hatian terhadap kemungkinan resiko yang bisa menyebabkan orang lain terluka atau mati sehingga harus bertanggung jawab terhadap tuntutan kriminal oleh negara.8 Dalam sistem pembuktian di peradilan harus berpedoman pada asasasas yang berlaku dalam proses peradilan pidana. Seperti asas praduga tidak bersalah (Presumption Of Innocence), asas persamaan dihadapan hukum (Equality before the law) dan asas pemeriksaan akusator.9 Berdasarkan Pembuktian yang dilakukan, maka menurut Pasal 183 KUHAP. “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah“. Apabila 7
Ibid.
8
Ibid.
9
Syamsul Bahri Radjam, Hak Warga Negara Dalam Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Djambatan, 2006), hlm.273
6
dalam peradilan pidana terbukti bahwa adanya kesalahan, maka terhadap dokter tersebut akan berlaku pertanggung jawaban hukum berdasarkan hukum pidana. Berdasarkan permasalahan yang telah penulis uraikan di atas, oleh karena itu penulis tertarik untuk membahas kasus terebut ditinjau dari sudut pandang pembuktian kelalaian dokter dan pertanggung jawaban pidananya dalam melakukan malpraktik. Oleh karena itu penulis mengambil judul : PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP DOKTER YANG MELAKUKAN MALPRAKTEK (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. 455 K/PID/2010). B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana cara membuktikan kesalahan dokter pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 455 K/PID/2010 yang melakukan kelalaian medis menurut hukum pidana? 2. Bagaimana pertanggung jawaban pidana dokter yang melakukan kelalaian medis dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 455 K/PID/2010? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui cara membuktikan kesalahan dokter pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 455 K/PID/2010 yang melakukan kelalaian medis menurut hukum pidana 2. Untuk mengetahui bagaimana cara pertanggung jawaban pidana seorang dokter yang melakukan kelalaian medis. 7
D. Kerangka Pemikiran Guna memberikan suatu batasan dalam penelitian ini, sehingga pembahasannya menjadi fokus dan tidak melebar, maka ruang lingkup pada penelitian ini dilakukan dalam tiga kerangka batasan. Pertama, kerangka pembidangan hukum. Dalam penelitian ini, ruang lingkup pembahasan dilakukan pada kerangka hukum pidana meliputi, aturan hukum pidana materil dan aturan hukum pidana formil. Hukum pidana materil yang digunakan adalah aturan-aturan dalam KUHP terkait dengan kelalaian terhadap kejahatan tubuh dan jiwa. Sedangkan hukum pidana formil yang digunakan adalah hukum pembuktian. Kedua, pertanggung jawaban hukum. Dalam penelitian ini, ruang lingkup pembahasan yang digunakan untuk menilai pertanggung jawaban hukum hanya terbatas pada pertanggung jawaban pidana. Sedangkan pertanggung jawaban secara perdata (seperti ganti rugi) ataupun administratif (seperti pencabutan izin) bukan merupakan ruang lingkup pembahasan dalam skripsi ini. Ketiga, guna memperoleh suatu kajian yang mendalam dan kongkrit dalam penulisan ini, maka akan dilakukan studi kasus terhadap satu putusan pengadilan yang terkait dengan tema yang dibahas dalam penulisan ini. Pertanggungjawaban pidana mempunyai unsur :10 1. kemampuan bertanggung jawab 10
H. A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm 222.
8
2. kesalahan pembuat, kesengajaan dalam tiga coraknya dan culpa lata dalam dua coraknya, dan 3. tidak ada dasar pemaaf. Ketiga unsur-unsur perbuatan kriminal dan unsur-unsur pertanggung jawaban kriminal tersebut dinyatakan secara espressis verbis (secara tegas) di dalam undang-undang pidana. Misalnya ada kalanya unsur melawan hukum tidak disebut, demikianpun ketiadaan dasar pembenar. Yang dinyatakan dengan tegas oleh undang-undang ialah kebalikannya yaitu dasar pembenar. Demikian pun unsur-unsur pertanggung jawaban pembuat delik seperti kemampuan bertanggung jawab dan ketiadaan dasar pemaaf tidak disebut dengan tegas. Kadang-kadang juga unsur kesalahan tidak disebut tetapi dapat disimpulkan dari kata kerja yang digunakan. Tidak disebutnya unsur-unsur delik dan unsur-unsur pertanggung jawaban pembuat delik tersebut, tidaklah berarti bahwa hal itu bukan unsur konstitutif setiap delik dan pertanggungjawab pembuat.11 Pertanggung jawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan teoreknbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya pelaku tindak pidana, diharuskan tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur delik yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan 11
Ibid.
9
yang dilarang, seseorang akan dipertanggung jawabkan atas tindakantindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Menurut Pompe kemampuan bertanggung jawab pidana harus mempunyai unsur-unsur sebagai berikut.12 1. Kemampuan
berpikir
(psychisch)
pembuat
(dader)
yang
memungkinkan ia menguasai pikirannya, yang memungkinkan ia menentukan perbuatannya. 2. Dan oleh sebab itu, ia dapat menentukan akibat perbuatannya; 3. Dan oleh sebab itu pula, ia menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya. Syarat-syarat orang dapat dipertanggung jawabkan menurut G.A. Van Hamel adalah:13 1. Jiwa orang harus sedemikian rupa sehingga dia mengerti atau mengisyafi nilai dari perbuatannya; 2. Orang harus menginsyafi bahwa perbuatannya menurut tatacara kemasyarakatan adalah dilarang; 3. Orang harus dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya. Dalam
pasal-pasal
KUHP,
unsur-unsur
delik
dan
unsur
pertanggung jawaban pidana bercampur aduk pada buku I dan III, 12
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm 67-68. 13
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru,1983), hlm
379.
10
sehingga dalam membedakannya dibutuhkan seorang ahli yang dapat menentukan unsur keduanya. Syarat pemidanaan pada KUHP disamakan dengan delik, oleh karena itu dalam pemuatan unsur-unsur delik dalam penuntutan haruslah dapat dibuktikan juga dalam persidangan.14
E. Metode Penelitian Metode penelitian dalam skripsi ini memakai metode Deskritif yaitu Penjelasan terhadap penggabungan teori-teori yang telah ada dan penganalisisan terhadap teori tersebut serta menghubungkannya dengan realita yang terjadi saat ini. Penelitian yang menjelaskan kasus dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan di atas. Metode ini memberikan gambaran yang sistematis, faktual serta akurat dari objek penelitian yakni mengenai studi normatif terhadap putusan Mahkamah Agung Nomor 455/Pid/2010 kasus dokter yang melakukan kelalaian dalam profesi. Selain itu dalam pelaksanaan metode ini tidak hanya sekedar mengumpulkan data saja tetapi menganalisis dan menginterpretasikan data tersebut.
1. Metode pendekatan Metode yang digunakan adalah pendekatan Normatif metode ini adalah penelitian terhadap suatu teori dan metode analisis yang 14
Ibid
11
termasuk ke dalam disiplin Ilmu Hukum Dogmatis. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder. Dengan menggunakan metode Normatif. Metode penelitian ini lebih menitik beratkan pada data-data sekunder berupa bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang berkaitan dengan kelalaian dokter dalam menjalankan tugas profesinnya Dalam penulisan ini berupaya untuk mengungkap makna yang ada dibalik pasal sehingga diperlukan berbagai teori dan konsep-konsep hukum. Metode penelitian ini digunakan karena tidak bertitik tolak pada putusan Mahkamah Agung Nomor 455/Pid/2010 sehingga penggunaan metode Yuridis-Normatif digunakan untuk penelitian terhadap kasus hukum yang telah ada, sehingga bisa menciptakan keadilan pada masyarakat.
2. Tahap penelitian Melalui studi kepustakaan penulis dapat mempelajari dan meneliti
sumber-sumber
hukum
yang
berhubungan
dengan
permasalahan yang dibahas guna memperjelas pembahasan dengan mengumpulkan : a. Bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan yaitu Putusan Mahkamah Agung No 455 K/PID/2010, Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004
12
Tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang membantu penganalisisan bahan hukum primer yang relevan dengan masalah yang diteliti.
3. Analisis data Sesuai dengan metode pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini, maka analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu menggambarkan data berupa uraian yang telah tersusun secara sistematis dan kemudian dianalisis. Dengan memperhatikan hierarki perundang-undangan, dalam peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih tinggi. Dan yang terakhir kepastian hukum, dalam arti peraturan perundang-undangan yang diteliti betul-betul dilaksanankan dan di dukung oleh penegak hukum. Sehingga pada akhirnya akan ditemukan jawaban mengenai objek yang sedang diteliti secara menyeluruh.
F. Sistematika Penulisan Di dalam penulisan skripsi ini, penulis mencoba menyusun sistematika penulisan sebagai berikut :
13
BAB I
PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai Latar Belakang Penelitian, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II
PERTANGGUNG JAWABAN PROFESI DOKTER Bab ini menguraikan tentang pengertian Hukum Pidana, Tindak Pidana, Ajaran Kesalahan, Pertanggung Jawaban Pidana, Ajaran Dasar Penghapusan Pidana, dan Pembuktian Dalam Hukum Pidana.
BAB III
RESIKO MEDIK DAN ETIKA PROFESI KEDOKTERAN Dalam bab ini akan membahas mengenai Teori Penyakit dan Sistem
Perawatan
Kesehatan,
Pengertian
Resiko
Medik,
Malpraktek Medis, Kelalaian Medis, Hukum dan Etika Tindakan Operasi Caesar dan Pembuktian Kelalaian Medis.
BAB IV
PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA DOKTER YANG MELAKUKAN
MALPRAKTEK
DALAM
PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR 455 K/PID/2010 Bab ini merupakan bab pembahasan, yang mana di dalamnya berisikan mengenai Kasus Posisi, Fakta Hukum di Persidangan, Cara
Membuktikan
Kesalahan
Dokter
Yang
Melakukan
14
Malpraktek Menurut Hukum Pidana, Pertanggung Jawaban Pidana Dokter Yang Melakukan Kelalaian Medis.
BAB V
PENUTUP Bab ini menguraikan mengenai, kesimpulan sebagai jawaban atas identifikasi masalah yang telah dibuat, dan saran yang merupakan kontribusi dari hasil pemikiran penulis atas permasalahan yang ada dalam identifikasi masalah dengan harapan semoga dapat memberikan suatu kontribusi dalam penyelesaian permasalahan terkait.
15