BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perkembangan dan pertumbuhan adalah tahapan alami yang terjadi pada setiap individu sebagai sebuah proses yang mendasari perubahanperubahan yang terjadi di dalam diri individu itu sendiri, baik perubahan jasmani, perilaku, maupun secara fungsi psikologis yang terjadi sepanjang rentang hidup individu, yang dimulai dari tahap konsepsi hingga menjelang kematian (Desmita, 2010). Selanjutnya Desmita (2010) menambahkan bahwa masa bayi dan anak adalah masa yang masih sangat bergantung kepada orang tua atau orang-orang penting disekitarnya, sedangkan pada masa remaja, orang tua memiliki keinginan untuk membuat anaknya menjadi sosok yang mandiri akan tetapi masih sangat sulit juga bagi orang tua melepaskan anak remajanya untuk bebas menentukan hidupnya sendiri. Lain halnya dengan masa anak dan remaja, masa dewasa merupakan suatu tahapan transisi dari masa remaja. Individu yang telah memasuki usia dewasa
semakin
diberikan
kebebasan
untuk
menentukan
sendiri
jalur
kehidupannya seperti jodoh/pernikahan, agama, dan karir (Berk, 2012). Lebih lanjut Dariyo (2004) mengemukakan bahwa individu yang sudah tergolong dewasa memiliki peran dan tanggung jawab yang semakin besar untuk tidak lagi bergantung secara ekonomis, sosial ataupun secara psikologis pada orang tuanya. Secara sosial emosi individu dengan usia dewasa lebih mementingkan hubungan sosial yang lebih bermakna dan mendalam untuk kepuasan emosinya tersebut, dengan kata lain pertemanan yang intim dan akrab merupakan salah
1
2
satu hal yang sangat penting dalam rentang kehidupan orang dewasa (Bjorklund & Bee, 2009). Terkait dengan hal tersebut, Hurlock (2002) menegaskan bahwa tugas perkembangan usia dewasa lebih ditekankan pada harapan-harapan masyarakat seperti mendapatkan pekerjaan, memilih seorang teman hidup, belajar hidup bersama suami atau isteri dalam suatu keluarga, membesarkan anak-anak, mengelola sebuah rumah tangga, menerima tanggung jawab sebagai warga negara dan bergabung dalam suatu kelompok sosial yang cocok. Melihat tugas perkembangan tersebut dapat disimpulkan bahwa tugas utama dalam tahap perkembangan dewasa adalah menikah dan membangun rumah tangga. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Desmita (2010) yang menyatakan bahwa usia dewasa merupakan tahap dimana individu telah siap dan ingin menyatukan identitasnya dengan orang lain. Berk (2012) memaparkan bahwa pernikahan lebih dari sekedar bergabungnya dua individu dalam satu ikatan pernikahan, dengan banyaknya permasalahan dan tantangan kompleks yang tentunya membutuhkan adaptasi antar pasangan. Surbakti (2008) mengemukakan bahwa pernikahan dapat membuat hidup individu menjadi lebih bahagia, memberi kepuasan emosional dan seksual, serta meningkatkan kesejahteraan secara finansial. Meskipun konsep dan definisi individu tentang pernikahan pada setiap kebudayaan dan suku bangsa tidak sama, namun hampir di setiap budaya tersebut mempunyai pandangan yang sama bahwa pernikahan merupakan sesuatu yang bersifat suci dan dibutuhkan untuk kelangsungan hidup (Desmita, 2010). Namun, tidak semua orang dewasa telah mencicipi manis kehidupan berumah tangga. Banyak diantara mereka yang tidak menikah dan masih berstatus lajang karena belum
3
bertemunya dengan pasangan yang cocok, tetapi tidak sedikit juga yang tidak menikah karena adanya prinsip atau ideologi-ideologi yang dianutnya sendiri (Dariyo, 2004). Populasi wanita dewasa yang masih berstatus lajang mengalami peningkatan seiring dengan banyaknya kesempatan dan peluang bagi wanita untuk memiliki kekuatan ekonomi sendiri untuk mengembangkan karir dan pendidikan (Reynolds, 2008). Hal tersebut di atas terbukti dengan beberapa hasil penelitian yang dikemukakan Jones (2005) bahwa beberapa kota-kota besar di Asia selatan seperti Bangkok, Singapura, Kuala Lumpur dan Yangon mengalami peningkatan jumlah populasi wanita dewasa yang masih berstatus lajang, dimana disebutkan bahwa pada tahun 2000 di Bangkok, wanita dewasa yang belum menikah pada usia 45-49 meningkat sebanyak 17%, 13% di Singapura dan Cina, 10% di Kuala Lumpur dan 15% di Yangon. Selain itu, Hamilton, Gordon, & Whelan-Berry (2006) juga memaparkan bahwa di Amerika pada tahun 2003, sebanyak 14,3% wanita usia 35-39 dan 12,2% wanita usia 40-44 masih berstatus lajang dan belum pernah menikah. Jones (2005) menambahkan bahwa di Thailand, wanita usia 40-44 yang belum menikah pada tahun 1970 sebanyak 3,9% yang kemudian meningkat menjadi 9,3% pada tahun 2000, sementara di Filiphina pada tahun 1970 sebanyak 6,0% dan meningkat sebanyak 7,1% pada tahun 2000, sedangkan di Indonesia terdapat 1,2% pada tahun 1970 yang kemudian meningkat menjadi 2,4% pada tahun 2000. Hal tersebut juga didukung dengan data dari Badan Pusat Statistik (2013) yang menunjukkan bahwa jumlah wanita usia dewasa yang belum menikah di Indonesia pada tahun 2009 sebanyak 28,49%, tahun 2010
4
sebanyak 28,52%, tahun 2011 sebanyak 28,05, dan pada tahun tahun 2012 meningkat lagi menjadi 28,28%. Papalia, Olds, & Feldman (2009) menegaskan bahwa usia ideal untuk menikah adalah 20 tahun sampai dengan 40 tahun. Wanita yang tidak menikah ketika memasuki usia dewasa lebih rentan mengalami konflik dibandingkan dengan laki-laki dewasa. Hal tersebut dikarenakan usia saat menikah sangat penting bagi wanita karena adanya batasan usia untuk hamil dan melahirkan, serta adanya kebutuhan akan identitas diri dalam kelompok sosial (Sharp & Ganong, 2007), dengan adanya batasan usia untuk hamil dan melahirkan tersebut Hurlock (2002) mengemukakan bahwa usia 30 tahun adalah usia kritis bagi wanita yang belum menikah, selain itu Sharp dan Ganong (2007) juga menegaskan bahwa wanita dengan usia 30 sampai 40 tahun merupakan kesempatan terakhir untuk hamil dan melahirkan. Sama halnya Santrock (2006) juga mengemukakan bahwa pada awalnya individu yang belum menikah ketika memasuki usia dewasa masih merasa baik-baik saja, namun ketika menginjak usia 30 tahun akan ada tekanan yang lebih besar untuk menikah, apalagi jika wanita dewasa yang ingin memiliki anak, akan merasa kondisi darurat saat usianya memasuki 30 tahun. Wanita yang hidup melajang tentunya dipengaruhi oleh banyak faktor pemicu. Hal tersebut ditegaskan oleh pernyataan Papalia, Olds, & Feldman (2009) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keinginan hidup sendiri adalah masalah ideologi, trauma perceraian, tidak memperoleh jodoh, dan konsentrasi terhadap karir. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Situmorang (2007) yang menjelaskan bahwa wanita usia dewasa yang belum menikah memiliki karir yang sedang berkembang dan membuat subjek penelitian tersebut tidak memiliki
5
banyak waktu untuk mencari pasangan. Selain itu Strong, DeVault, & Cohen (2011) mengemukakan bahwa pertumbuhan angka perceraian memberikan kontribusi yang besar terhadap peningkatan jumlah individu yang hidup melajang. Hirmaningsih (2008) juga mengemukakan bahwa beberapa faktor yang menjadi pemicu wanita belum menikah adalah karena alasan studi, peminang yang sederhana, mahar yang berlebihan, serta kesibukannya dalam mengejar karir. Selain itu, Hirmaningsih (2008) lebih memperjelas bahwa walaupun banyak wanita yang sibuk meniti karir dan cenderung melupakan hal tentang pernikahan, namun tetap memiliki keinginan yang besar untuk membuat komitmen dalam sebuah pernikahan. Hal tersebut juga dinyatakan dalam hasil penelitian Situmorang
(2007)
bahwa
kebanyakan
responden
dalam
penelitiannya
mengemukakan “belum ketemu jodoh” sebagai alasan utama responden tersebut masih hidup melajang, dan tidak ada satu orang pun responden yang menjadi lajang karena bagian dari pilihannya sendiri. Tidak jauh berbeda dengan pernyataan di atas, hasil penelitian Manurung (2008) juga menunjukkan bahwa dalam proses pengambilan keputusan menikah dan tidak menikah pada wanita karir di usia dewasa dipengaruhi oleh campur tangan keluarga dan juga tidak terlepas oleh pengaruh budaya tertentu, dalam hal ini seorang istri harus mengasuh anak, memuaskan suami dan bertanggung jawab terhadap anak-anak. Jika hal ini dilakukan oleh wanita karir maka tidak ada waktu yang tersisa bagi dirinya untuk pergi ke kantor dan menjalani karirnya. Manurung (2008) juga menyatakan bahwa di Indonesia wanita memiliki porsi yang lebih besar untuk mengurusi rumah tangga. Wanita karir yang menikah akan memiliki peran ganda akibatnya wanita dapat menjadi
6
stress. Terkait dengan faktor budaya dan mahar yang berlebihan, salah satu budaya di Indonesia yaitu budaya Bugis-Makassar masih memegang teguh adat ‘uang panaik’. Arifuddin (2013) menyatakan bahwa adat ‘uang panaik’ adalah mahar yang diminta oleh pihak mempelai wanita kepada pihak laki-laki dalam bentuk sejumlah uang sebagai salah satu prasyarat dalam pernikahan, permintaan mahar yang berlebihan tersebut tidak jarang menjadi faktor batalnya pernikahan, bahkan menjadi salah satu faktor meningkatnya jumlah wanita dewasa lajang di Makassar. Problematika wanita usia dewasa yang masih hidup melajang di Indonesia juga banyak digambarkan melalui beberapa penelitian seperti yang dilakukan Hirmaningsih (2008) dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa dalam konsep budaya timur wanita dewasa yang belum menikah dihadapkan pada tantangan yang jauh lebih rumit dibandingkan laki-laki, dimana sebutan ‘perawan tua’ sudah menjadi istilah yang melekat pada wanita tersebut. Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan Hirmaningsih (2008) juga menyebutkan bahwa masalah-masalah yang dihadapi wanita dewasa yang berstatus lajang antara lain: adanya tuntutan atau tekanan dari orang tua dan keluarga untuk segera menikah, mencari nafkah sendiri, merasa risih ketika ditanya kapan akan menikah, panggilan ‘ibu’ yang tidak nyaman, lelaki bersikap kurang menghargai, membentengi diri dari laki-laki iseng, merasa tidak nyaman dengan pandangan masyarakat, memiliki kekhawatiran untuk bisa hamil dan melahirkan, mengelola dorongan seksual, malu karena belum menikah, memiliki perasaan iri pada saudara atau teman yang sudah menikah. Ord (2008) juga beranggapan bahwa wanita yang tidak menikah memiliki stigma negatif sebagai orang yang bermasalah dan mereka cenderung
7
mendapatkan diskriminasi sosial. selain itu hasil penelitian yang dilakukan Wirawan & Arif (Hirmaningsih, 2008) menunjukkan bahwa wanita dewasa yang hidup melajang pada masyarakat tradisional Tionghoa sulit mendapat pengakuan sosial dari masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena dalam masyarakat tradisional Tionghoa meyakini bahwa pernikahan merupakan salah satu tugas terpenting yang harus dilakukan manusia. Santrock (2006) mengasumsikan bahwa tekanan sosial akan semakin meningkat ketika wanita sudah memasuki usia 30 tahun dan masih hidup melajang, dan kesulitan-kesulitan tersebut akan lebih berat pada wanita dewasa yang masih melajang dan juga tidak bekerja. Berkembanganya stigma-stigma negatif masyarakat terhadap wanita usia dewasa yang belum menikah tentunya menyebabkan banyak konflik internal maupun
eksternal
dalam
kehidupan
wanita
tersebut.
Dariyo
(2004)
mengemukakan bahwa wanita yang tidak menikah mengalami kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan seksual. Santrock (2006) juga menambahkan bahwa persoalan yang umumnya dihadapi oleh wanita dewasa yang belum menikah adalah berkaitan dengan intimacy dengan orang dewasa lainnya, mereka cenderung merasa kesepian, dan kesulitan dalam menemukan tempat dalam masyarakat yang berorientasi pada pernikahan. Hal tersebut di atas juga didukung oleh wawancara awal yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 27 Oktober 2013 terhadap wanita usia dewasa (47 tahun) yang belum menikah. Peneliti mendapat gambaran bahwa responden SR merasa terbebani dengan status lajangnya, ketika menghadiri pernikahan keluarga ataupun teman-temannya, apalagi dengan melihat teman seusianya sudah memiliki beberapa orang anak. “saya sih tidak malu walaupun sudah setua ini tapi belum punya suami apalagi anak, cuma ya itu ada semacam rasa-rasa tidak enak begitu ya,
8
apalagi kalau ada teman atau keluarga yang menikah, paling parah itu kalau yang menikah umurnya jauh lebih muda dari saya ini, belum lagi kalau ketemu teman yang sudah punya banyak anak” Perasaan terbebani tersebut juga akan muncul ketika banyak orangorang yang menanyakan tentang pernikahan atau pasangannya. Tidak jarang SR juga merasa tidak adil dan mempertanyakan takdirnya sebagai seorang lajang di usia yang sudah matang. Menurut SR, salah satu kekuatan untuk mensyukuri kondisinya saat ini adalah ketika melihat kondisi rumah tangga orang-orang disekitarnya yang tidak jarang berakhir dalam perceraian. “belum lagi kalau ketemu orang ketemu teman lama sering bertanya suami mana? Anakmu sudah berapa?” “sekarang ini tidak jarang saya bertanya pada Tuhan, saya merasa tidak adil dengan nasib saya seperti ini, tapi kalau sudah sadar saya minta maaf lagi sama Tuhan” “terkadang saya kalau lagi merenungi nasib saya berpikir ada mungkin hikmahnya saya belum menikah, karena kalau lihat rumah tangga si A yg selalu berantem, si ini sudah cerai saya juga merasa kalau menikah tidak selamanya bikin orang bahagia terus, ini yang menjadi salah satu penguat saya juga” Hasil wawancara awal peneliti tersebut di atas juga didukung oleh penelitian Wood, Goesling, & Avellar (2007) yang menyatakan bahwa wanita lajang usia 35-65 tahun akan lebih merasa tertekan, tidak bahagia, tidak tercukupi, tidak puas, stres, depresi dan tidak sehat secara emosional dibandingkan dengan wanita yang menjalani pernikahan yang bahagia. Selain itu, Shields & Wooden (2002) dalam hasil penelitiannya menegaskan bahwa wanita dewasa yang menikah memiliki kepuasan hidup yang tinggi dibandingkan dengan wanita yang masih hidup melajang. Hal tersebut dapat memiliki kemungkinan bahwa wanita lajang di usia dewasa memiliki kesejahteraan subjektif yang kurang optimal.
9
Kesejahteraan
subjektif
merupakan
payung
besar
yang
menggambarkan perbedaan nilai-nilai individu dalam memandang hidup, masalah dan kondisi dirinya sendiri (Diener, 2000). Senada dengan hal tersebut Ryff, Singer, & Love (2004) menegaskan bahwa kesejahteraan subjektif merupakan konstrak yang secara kontemporer fokus terhadap psikologi positif yang berpengrauh terhadap kesehatan mental dan kesehatan fisik. Diener, Suh, Lucas & Smith (1999) menyatakan bahwa kesejahteraan subjektif merupakan sebuah konstrak yang terdiri dari kognitif, afeksi, dan emosi sebagai bentuk reaksi atau respon terhadap pengalaman-pengalaman hidup individu. Terkait dengan hal tersebut di atas, status marital memiliki pengaruh yang besar terhadap kesejahteraan subjektif individu. Stutzer & Frey (2006) mengemukakan bahwa pernikahan merupakan salah satu bagian terpenting dalam hidup yang berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan subjektif individu. Hasil penelitian Gainey, Kennedy, McCabe, & White (2009) menegaskan bahwa wanita yang telah menikah memiliki tingkat kepuasan hidup yang tinggi dibandingkan dengan wanita dewasa yang belum menikah. Selain itu, Diener (2000) juga berasumsi bahwa di setiap negara, individu yang menikah akan lebih merasa hidup bahagia dibandingkan mereka yang masih melajang. Selain itu, Lucas (2008) juga menegaskan bahwa wanita yang telah menikah memiliki tingkat kebahagiaan yang tinggi dibandingkan dengan wanita yang masih lajang. Kebahagiaan merupakan manifestasi dari kondisi fisik dan psikis individu, dimana kebahagiaan merupakan indikator penting dalam konsep kesejahteraan subjektif (Ingersoll-Dayton, 2004). Stigma-stigma negatif tentang wanita dewasa yang belum menikah masih tetap berkembang sampai saat ini. Reynolds (2008) menegaskan bahwa
10
opini yang banyak berkembang saat ini menyatakan bahwa wanita yang memasuki usia dewasa adalah orang-orang yang tidak bahagia. Trimberger (2005) menambahkan bahwa dengan adanya pasangan hidup dalam pernikahan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk kebahagiaan individu. Berkembangnya stigma-stigma negatif tersebut tentunya tidak serta merta berarti bahwa semua wanita dewasa yang masih melajang tidak bahagia. Ada diantara individu tersebut yang masih bisa bertahan dengan kondisi melajangnya dengan memiliki beberapa sumber-sumber kebahagiaan dan kepuasan hidup yang nantinya akan meningkatkan kesejahteraan subjektifnya. Salah satu kondisi yang membuat individu dapat bertahan dalam kondisi melajang dikarenakan oleh tingginya angka perceraian. Strong, Devault, dan Cohen (2011) menegaskan bahwa tingginya angka perceraian memiliki kontribusi positif terhadap tingginya angka individu usia dewasa yang melajang. Kesejahteraan subjektif wanita dewasa yang melajang tentu saja tidak terlepas dari dampak positif dari hidup melajang itu sendiri, yaitu dengan adanya kebebasan, fleksibilitas dan kemandirian untuk memutuskan banyak hal dalam hidupnya tanpa ada batasan dari orang lain atau suami (Dariyo, 2004). Walaupun
hampir
semua
pakar
kesejahteraan
subjektif
menggambarkan bahwa kesejahteraan subjektif lebih menekankan pada tingginya afek positif daripada afek negatif serta melihat tingkat kualitas hidup individu, namun dalam kasus wanita usia dewasa yang belum menikah, kesejahteraan subjektif ternyata dapat juga bersumber dari dukungan sosial, reliugisitas, serta banyaknya kesibukan. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan SR dalam wawancara awal dengan peneliti yang menyebutkan bahwa walaupun pada awalnya berat menyandang status ‘ perawan tua’ namun SR merasa masih
11
bahagia
dengan
hidupnya
karena
keluarga
besarnya
tidak
pernah
mempermasalahkan status lajangnya, banyaknya keponakan yang dapat dia asuh, banyaknya teman bergaul dan adanya kesibukan untuk mengisi waktu senggang. ”kalau ditanya masalah kepuasan hidup atau kebahagiaan, saya merasa baik-baik saja, saya bahagia dan saya masih besyukur, walaupun tidak semudah itu tapi saya berusaha untuk tidak menjadikan itu sebagai beban” “bagaimana saya mau tidak bahagia, saya punya ponakan, saya punya cucu yang bisa saya asuh, saya punya banyak teman kita selalu bikin acara-acara gitu kalau lagi pusing di rumah, saya serahkan sama Allah saja” Adanya tanggapan yang kontradiktif antara pernyataan dan penelitian terdahulu dengan hasil wawancara awal yang telah ditemukan membuat peneliti merasa semakin tertarik untuk mengeksplorasi dan menggali lebih dalam mengenai gambaran kesejahteraan subjektif wanita usia dewasa yang belum menikah, khususnya dalam konsep budaya Indonesia yang masih menjunjung tinggi pentingnya pernikahan.
B. Perumusan Masalah Pada kajian psikologi perkembangan usia dewasa merupakan masa peralihan dari usia remaja yang juga memiliki banyak tugas perkembangan. Salah satu tugas perkembangan pada individu di usia dewasa adalah mencari dan menemukan pasangan hidup yang kemudian dapat membina kehidupan rumah tangga. Usia dewasa merupakan usia produktif dalam sebuah pernikahan baik ditinjau secara fisik maupun secara psikologis. Berdasarkan aspek psikis dikatakan bahwa usia dewasa telah memiliki kematangan emosional sedangkan dalam tinjauan fisik dikatakan bahwa usia dewasa khususnya pada wanita
12
merupakan usia matang dan produktif untuk hamil dan melahirkan. Hal tersebut yang membuat usia untuk menikah sangat penting bagi wanita, dikarenakan adanya batasan usia untuk hamil dan melahirkan. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa populasi wanita usia dewasa yang belum menikah semakin hari semakin meningkat jumlahnya. Kondisi melajang atau belum menikah pada wanita usia dewasa tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor pemicu. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah alasan studi, trauma perceraian, konsentrasi dalam meniti karir, belum ketemu jodoh atau pasangan yang tepat, dan tidak sedikit juga yang memiliih untuk tidak menikah sebagai prinsip atau ideologi dalam hidupnya. Hidup melajang atau belum menikah pada wanita usia dewasa tentu saja tidak terlepas dari berbagai macam dampak positif maupun dampak negatifnya. Sebagai dampak negatif, sebutan sebagai ‘perawan tua’
seakan
sudah melekat pada wanita tersebut khususnya dalam tinjauan budaya Indonesia. Selain itu wanita yang berstatus lajang juga banyak mendapatkan diskriminasi sosial, merasa risih saat mendatangi pernikahan keluarga dan teman-temannya, merasa tidak nyaman dengan pertanyaan-pertanyaan orang lain tentang kapan pernikahannya, bahkan terkadang juga merasa tidak adil dengan kondisinya sendiri. Namun, di sisi lain kehidupan melajang juga tentunya tidak terlepas dari beberapa keuntungan seperti adanya kebebasan dan fleksibitas melakukan apa saja yang diinginkan, serta adanya kemandirian dalam menentukan atau mengambil keputusan terkait dengan hidupnya sendiri tanpa campur tangan seorang pasangan. Berbagai kompleksitas yang dihadapi oleh wanita usia dewasa yang belum menikah tersebut memberikan pengaruh pada kondisi psikologisnya.
13
Salah satu kondisi psikologis yang menarik untuk dikaji adalah kondisi kesejahteraan subjektif pada wanita tersebut. Kesejahteraan subjektif merupakan kondisi piskologis yang dapat menggambarkan bagaimana wanita dewasa yang belum menikah dalam memandang kehidupannya. Kesejahteraan subjektif didefinisikan sebagai proses mengevaluasi bentuk-bentuk afeksi positif maupun afeksi negatif dan juga sebagai proses evaluasi kepuasan hidup individu itu sendiri. Beberapa penelitian juga telah menyebutkan bahwa status marital memberikan kontribusi yang besar terhadap tingkat kesejahteraan subjektif individu. Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana dinamika psikologis wanita usia dewasa yang belum menikah dalam mencapai kesejahteraan subjektif?
C. Tujuan Penulisan Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah: Mengetahui dinamika psikologis wanita usia dewasa yang belum menikah dalam mencapai kesejahteraan subjektif. D. Manfaat Penulisan Manfaat penelitian ada dua, yaitu: 1. Manfaat teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi ilmiah mengenai kesejahteraan subjektif wanita dewasa yang belum menikah. b. Menjadi referensi ilmiah dalam ruang lingkup pembahasan psikologi perkembangan dan psikologi keluarga
14
2. Manfaat praktis a. Memberikan
informasi
baru
khususnya
pada
mahasiswa
dan
masyarakat pada umumnya mengenai pengkajian hal-hal baru yang berhubungan dengan bidang penelitian. b. Bagi masyarakat pada umumnya, dengan mengetahui gambaran dinamika psikologis pada wanita dewasa yang belum menikah dapat memahami kehidupan melajang dengan segala kompleksitasnya dan diharapkan untuk tidak memberikan tekanan secara psikis dan tetap memberikan dukungan secara moril dan sosial. E. Keaslian Penelitian 1.
Penelitian yang dilakukan oleh Situmorang (2007) menggambarkan bahwa tren dan pola hidup wanita dewasa yang belum menikah dilatarbelakangi oleh tingginya tingkat pendidikan
yang memudahkan mereka untuk
memperoleh pekerjaan yang layak, yang pada akhirnya menciptakan kemandirian seorang wanita secara finansial. Selain itu tidak sedikit dari subjek yang berstatus lajang dan masih tinggal bersama keluarga, sedangkan dari segi gaya hidupnya menggambarkan bahwa kesibukan sebagai wanita karir tidak memiliki banyak waktu untuk memikirkan apalagi untuk mencari pasangan hidup. “Belum ketemu jodoh” sebagai alasan umum yang dikemukakan oleh subjek. Berbeda dengan penelitian tersebut di atas yang mengarahkan pada pola hidup, pada penelitian ini lebih menekankan pada gambaran kesejahteraan subjektif pada wanita usia dewasa yang belum menikah.
15
2.
Penelitian yang dilakukan oleh Tan (2010) menggambarkan tentang pola hidup melajang dengan sistem sosial masyarakat. Perkembangan zaman yang mengarah pada modernitas juga semakin menggeser pandangan individu terhadap sebuah pernikahan. penelitian tersebut dilakukan di Indonesia, Bangkok dan Manila. Pandangan umum tentang kehidupan melajang dalam sistem social relationship memiliki kemiripan antara satu negara dengan negara lainnya. Subjek di Bangkok memberikan ilustrasi bahwa mereka sebagai kepala keluarga, dengan kemapanan ekonomi sebagai menjadi alasan mereka untuk memprioritaskan karir, sementara di Manila menggambarkan diri mereka sebagai seorang financial support bagi keluarga mereka yang menjadi alasan untuk tidak mementingkan masalah pernikahan, sedangkan di Indonesia memberikan gambaran sebagai advise support untuk keluarga mereka. Pada penelitian ini social relationship hanya akan menjadi bagian dari dinamika psikologis yang akan digali oleh peneliti, yang pada akhirnya di spesifikkan menjadi gambaran kesejahteraan subjektif.
3.
Shapiro & Keyes (2008) dalam penelitiannya menegaskan bahwa status pernikahan memberikan kontribusi yang nyata terhadap tingkat social wellbeing individu. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa individu yang berstatus menikah memiliki social well-being yang signifikan dibandingkan dengan individu dewasa yang masih hidup melajang. Pada umumnya penelitian tersebut hampir sama dengan penelitian ini, perbedaannya terletak
pada
fokus
kajian
yang
lebih
menekankan
pada
kondisi
kesejahteraan subjektif wanita dewasa yang masih melajang, selain itu penelitian ini memiliki setting budaya timur.
16
4.
Penelitian di Indonesia yang dilakukan Christie, Hartanti, & Nanik (2013) tentang kesejahteraan psikologis wanita lajang berdasarkan tipe melajang dikatakan bahwa kesejahteraan psikologis wanita lajang tipe stable voluntary¸temporary voluntary dan temporary involuntary tidak berbeda dan berada pada kategori tinggi. Kesepian dan dukungan sosial berkontribusi besar (79,9%) terhadap kesejahteraan psikologis wanita lajang. Berbeda dengan penelitian tersebut yang mengarah pada kesejahteraan psikologis (psychological well-being) pada penelitian ini lebih menekankan pada gambaran kesejahteraan subjektif yang nantinya juga akan mengeksplore berdasarkan tipe-tipe wanita lajang.