BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses di bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Di Indonesia, falsafah dan dasar negara Pancasila terutama sila kelima juga mengakui hak asasi warga atas kesehatan. Perwujudan komitmen tentang kesehatan tersebut, pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi kesehatan perorangan. JKN yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2014 yang merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sistem Jaminan Sosial Nasional ini diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), asuransi kesehatan sosial bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang – Undang No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Peserta JKN sampai bulan November 2015 berjumlah 155.080.955 juta jiwa, diharapkan pada tahun 2019 seluruh masyarakat Indonesia sudah terdaftar menjadi anggota JKN (BPJS, 2015a). Sistem pelayanan kesehatan JKN menggunakan sistem rujukan berjenjang sesuai dengan kebutuhan medis, yaitu dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama, pelayanan kesehatan tingkat kedua hanya diberikan atas rujukan dari fasilitas
1
2
kesehatan (faskes) primer, dan pelayanan kesehatan tingkat ketiga hanya diberikan atas rujukan dari faskes sekunder dan faskes primer (BPJS, 2015b) Pelayanan kesehatan pada era JKN diselenggarakan oleh semua faskes yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan yang terlaksana secara nasional di seluruh Indonesia. Pelayanan jaminan kesehatan dapat terlaksana secara nasional dengan dilakukannya perjanjian kerjasama antara BPJS dan faskes yang ada diseluruh Indonesia, bagi faskes yang tidak mempunyai sarana kefarmasian dapat menjalin kerja sama dengan apotek dalam hal pelayanan kefarmasian (Chandra, 2014). Program kerjasama apotek dengan BPJS dan dokter keluarga juga didukung oleh PMK No.71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional dalam pasal 3 disebutkan bahwa pelayanan kefarmasian adalah sebagai pelayanan penunjang bagi pelayanan kesehatan. Faskes tingkat pertama memperoleh imbalan dari BPJS Kesehatan sebagai konsekuensi dari perjanjian kerjasama yang telah di tandatangani kedua pihak dalam bentuk pembayaran berupa tarif kapitasi dengan besaran tertentu yang akan ditransfer langsung ke rekening faskes. Menurut PMK No. 59 tahun 2014 tarif kapitasi di definisikan sebagai besaran pembayaran per bulan yang dibayar dimuka oleh BPJS Kesehatan kepada faskes tingkat pertama berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah kesehatan yang diberikan. Konsep sistem kapitasi berupa pencegahan dan promotif, secara intrinsik mengubah orientasi pelayanan kesehatan dari kuratif ke preventif. Sistem kapitasi
3
bersifat efisien, Kaiser Permanente Health Plan atau yang sering disebut sebagai prototipe dari HMO dapat menawarkan premi hanya 110 dolar AS, dibandingkan dengan 280 dolar AS pada reimbursement insurance dengan benefit package yang sama pada tahun 1996 (Sulastomo, 2002). Rumah sakit umum di Thailand pada masa transisi penerapan asuransi sosial dengan sistem kapitasi juga mengalami efisiensi pelayanan kesehatan, selain itu rumah sakit umum di Thailand memegang peranan penting dalam keberlangsungan asuransi sosial tersebut (Puenpatom dan Rosenman, 2008). Konsep kapitasi menyebabkan faskes tingkat pertama menyesuaikan pola manajemennya sehingga operasional faskes tersebut dapat lebih efektif dan efisien tanpa mengenyampingkan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien. Konsep kapitasi ini sangat mempengaruhi konsep manajemen pada faskes, salah satunya adalah konsep laba atau profit. Terdapat perbedaan konsep laba atau profit faskes sebelum dan sesudah berlangsungnya JKN. Menurut Permenkes No. 27 tahun 2014, konsep laba atau profit sebelum JKN yang diperoleh faskes tingkat pertama dengan sistem fee for service yaitu metode pembayaran yang dilakukan atas layanan kesehatan yang diberikan kepada pasien berdasarkan pada setiap aktifitas layanan yang diberikan, semakin banyak layanan kesehatan yang diberikan semakin besar biaya yang harus dibayarkan. Sedangkan setelah JKN, konsep laba atau profit mengalami perubahan yang diperoleh dengan kapitasi yaitu dalam faskes diharapkan dapat merawat pasien dengan baik dengan menggunakan sumber daya yang efisien. Jumlah kunjungan
4
pasien yang diharapkan dapat dikurangi dengan cara meningkatkan upaya pelayanan kesehatan promotif dan preventif oleh faskes (Sulastomo, 2002). Sistem kapitasi yang berlaku di Thailand memperbolehkan apoteker untuk mengganti produk obat dengan obat generiknya atau merek lain dengan tetap mempertimbangkan bioekuivalen obat tersebut. Asuransi akan membayar klaim biaya obat setiap awal bulan kepada apotek yang melakukan kerjasama, sedangkan dokter keluarga yang bekerjasama dengan asuransi akan memilih satu apotek yang dapat melayani suluruh resepnya, jika tidak puas dengan pelayanan kefarmasian yang diberikan, dokter keluarga berhak memilih apotek lain untuk diajak bekerjasama pada awal bulan berikutnya. Pada sistem kapitasi ini keuntungan apotek berasal dari kerjasama dengan asuransi atau dokter keluarga, bukan dari berapa jumlah obat yang dijual atau diracik. Alternatif untuk mengurangi biaya obat dengan cara mengganti obat yang mahal dengan obat yang lebih murah atau dengan generiknya yang mempunyai bioekuivalen yang sama. Apoteker akan memperoleh penghargaan jika dapat menekan biaya resep dari dokter keluarga yang menerapkan sistem kapitasi (Yesalis dkk., 1980). Kewenangan farmasi untuk mengganti obat juga tertuang pada PP 51 Tahun 2009 pasal 24 tentang Pekerjaan Kefarmasian yaitu apoteker dapat mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama
komponen
aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien. Jasa pelayanan kefarmasian sebagai pelayanan penunjang harus diperhitungkan dalam sistem kapitasi, karena apoteker mempunyai peran penting terutama dalam hal
5
penyesuaian biaya kapitasi terhadap biaya obat yang disesuaikan dengan kondisi ekonomi pasien tanpa mengenyaampingkan efek terapinya.
Program JKN yang melibatkan kerjasama apotek dengan dokter keluarga dan BPJS diterapkan dengan tujuan terciptanya pelayanan yang komprehensif bagi peserta, sehingga mendapatkan pelayanan kesehatan dan pelayanan kefarmasian yang baik dan bermutu yang pada akhirnya kepuasan peserta meningkat (Ansharuddin, 2014). Daerah yang telah melaksanakan program apotek program rujuk balik, apotek jejaring, dan apotek klinik pratama salah satunya Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Total jumlah apotek, dokter keluarga, dan klinik pratama yang bekerjasama dengan BPJS di DIY pada tahun 2014 yang menjadi Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) tingkat pertama dan pelayanan penunjang kesehatan adalah sebanyak 12 apotek program rujuk balik, 124 dokter keluarga, 16 klinik pratama (Hendrawan, 2015).
Dalam hal ini hanya sedikit sarana kefarmasian yang berhubungan langsung dengan BPJS kesehatan, yaitu hanya 12 apotek program rujuk balik. Pembiayaan pelayanan obat apotek program rujuk balik ditagihkan secara kolektif melalui klaim tersendiri kepada BPJS Kesehatan, besarnya biaya obat seluruh apotek program rujuk balik seragam yaitu mengikuti harga obat di catalogue ditambah faktor pelayanan kefarmasian sesuai dengan Undang-Undang SJSN. Pembiayaan obat apotek jejaring dan apotek klinik pratama berdasarkan kesepakatan dengan dokter keluarga yang
6
bekerjasama dengan BPJS. Biaya obat apotek jejaring dan apotek klinik pratama tergantung pada kesepakatan antara dokter keluarga dengan apoteker. Kerjasama apotek sebagai pelayanan penunjang kesehatan dengan BPJS dan dokter keluarga merupakan suatu momentum yang tepat untuk meningkatkan peran dan kesejahteraan apoteker di Indonesia, yaitu mampu berkolaborasi secara komprehensif dengan dokter dan memiliki daya tawar yang tinggi dalam sistem kesehatan di Indonesia. Besarnya biaya obat yang variatif sangat bersinggungan dengan profitabilitas apotek dan kesejahteraan apotekernya. Pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui ratarata biaya obat, persentase biaya obat terhadap kapitasi fasilitas kesehatan primer, dan perbedaan biaya obat di apotek era JKN pada apotek program rujuk balik, apotek jejaring, dan apotek klinik pratama Daerah Istimewa Yogyakarta.
1. Perumusan Masalah a. Berapakah rata-rata biaya obat pada era JKN di apotek program rujuk balik, apotek jejaring, dan apotek klinik pratama Daerah Istimewa Yogyakarta? b. Berapakah persentase biaya obat terhadap biaya kapitasi fasilitas kesehatan primer di apotek jejaring dan apotek klinik pratama Daerah Istimewa Yogyakarta? c. Apakah terdapat perbedaan biaya obat pada era JKN di apotek program rujuk balik, apotek jejaring, dan apotek klinik pratama Daerah Istimewa Yogyakarta?
7
2. Keaslian Penelitian Tabel 1. Keaslian Penelitian Hal Yang Membedakan (Thabrany, 2000)
(Martiningsih, 2009)
(Sari, 2011)
Penelitian yang dilakukan
Unit Analisis
Subjek Penelitian
Biaya obat bagi peserta Askes di berbagai klinik
Resep obat peserta Askes di apotek Kimia Farma di RSCM
Pengaruh Variasi Metode Pembayaran Kapitasi Kepada Dokter Keluarga Terhadap Efisiensi Biaya Dan Kualitas Pelayanan Pengelolaan Dana Kapitasi Dengan Jumlah Peserta Dibawah Standar Minimal Oleh Dokter Keluarga PT Askes (PERSERO) KCU Semarang Analisis Biaya Obat Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pada Fasilitas Penunjang Kesehatan Di DIY
Dokter keluarga dengan kapiatsi jasa dan dokter keluarga dengan kapitasi jasa + obat dan data di PT.Askes Dokter Keluarga yang bekerjasama dengan PT.Askes
Resep pasien JKN per bulan di apotek jejaring, apotek klinik pratama, dan apotek program rujuk balik
Tempat Penelitian Apotek Kimia Farma di RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM) Surakarta
Semarang
Daerah Istimewa Yogyakarta
3. Manfaat Penelitian a. Bagi Pemerintah
Dengan mengetahui persentase biaya obat terhadap kapitasi pada era JKN di apotek jejaring dan apotek klinik pratama dapat dilakukan evaluasi regulasi terutama untuk apotek sebagai fasilitas pelayanan penunjang kesehatan. b. Bagi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan)
1) Dengan mengetahui rata-rata biaya obat pada era JKN dapat digunakan sebagai gambaran penerapan sistem pembayaran obat yang telah berlangsung sehingga dapat menjadi evalausi program JKN terutama yang terkait pemerataan biaya obat untuk pasien JKN di apotek sebagai fasilitas penunjang kesehatan.
8
2) Dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan biaya obat pada era JKN dapat digunakan sebagai bahan pembuat kebijakan untuk menetapkan besarnya biaya obat dalam biaya kapitasi pada pasien JKN yang belum ditetapkan secara hukum. c. Bagi Asosiasi Profesi Apoteker
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi peluang bisnis yang dapat diperoleh apoteker dalam era JKN dan dapat meningkatkan peran apoteker dalam pelayanan kefarmasian sebagai satu satunya pemberi pelayanan penunjang kesehatan. d. Bagi Peneliti Dapat mengaplikasikan ilmu farmakoekonomi tentang analisis biaya dan mengetahui perkembangan bisnis apotek di era JKN. 4. Tujuan Penelitian a. Mengetahui rata-rata biaya obat pada era JKN di apotek program rujuk balik, apotek jejaring, dan apotek klinik pratama Daerah Istimewa Yogyakarta. b. Mengetahui persentase biaya obat terhadap biaya kapitasi fasilitas kesehatan primer di apotek jejaring dan apotek klinik pratama Daerah Istimewa Yogyakarta. c. Mengetahui perbedaan biaya obat pada era JKN di apotek program rujuk balik, apotek jejaring, dan apotek klinik pratama Daerah Istimewa Yogyakarta.