BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Transisi epidemiologis di bidang kesehatan mengakibatkan beban ganda (double burden) di bidang kesehatan, yaitu penyakit infeksi yang merajalela dan peningkatan kejadian penyakit kronis (Handajani, Roosiermiati, & Haryani, 2010). Kanker merupakan salah satu contoh penyakit kronis (Potter & Perry, 2005). Pada tahun 2012, ditemukan 14,1 juta kasus kanker baru, dengan 8,2 juta kematian akibat kanker dan 32,6 juta orang hidup dengan kanker di seluruh dunia (Globocan, 2012). International Agency for Research on Cancer (IARC) mengungkapkan bahwa anak di dunia yang menderita kanker adalah sekitar 250.000 (Cutland, 2011). Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2007, penderita tumor atau kanker di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah yang tertinggi di Indonesia, mencapai angka 9,6 per 1.000 penduduk, di atas angka rerata di Indonesia yaitu 4,3 per 1.000
(Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2008). Kanker yang paling sering ditemui pada anak adalah leukemia. Pada tahun 2008 tingkat kematian di dunia untuk leukemia adalah sebesar 257 per 100.000 penderita (Ferlay et al., 2008). Di Amerika Serikat, insiden leukemia pada tahun 2011 mencapai 5,1% (umur 0-14 tahun) dan 4,5% (umur 0-19 tahun) per 100.000 anak dengan tingkat kematian 0,6% (Center for Disease Control and Prevention, 2013). Kanker sebagai salah satu penyakit kronis dapat menimbulkan banyak permasalahan. Beban akibat biaya pengobatan yang tinggi akan mengakibatkan
1 1
2
kerugian yang lebih besar dikarenakan oleh hilangnya produktivitas dan menurunnya kualitas hidup. Perubahan ekonomi membawa dampak besar pada perkembangan keluarga, baik secara fisik, psikologis maupun sosial budaya (Friedman, Bowden, & Jones, 2012). Hasil penelitian dari Cameron Institute Kanada yang dimuat di harian Kompas memperkirakan bahwa
Indonesia
mengalami kerugian 37,2 miliar dollar AS per tahun sebagai dampak penyakit kronis dan tidak menular akibat meningkatnya biaya pelayanan kesehatan dan hilangnya produktivitas warga (Kompas, 2011). Dampak psikologis akan dirasakan oleh orangtua, di antaranya ibu dan ayah akan merasakan banyaknya waktu yang dihabiskan, terutama dalam memenuhi kebutuhan emosional anak, mengatur masalah perilaku dan aktivitas yang terencana untuk keluarga (Svavarsdottir, 2005). Pada umumnya, stres psikologis yang dialami orangtua ini akan lebih sering dialami oleh ibu (Yeh, 2002). Permasalahan lain adalah reaksi sibling dengan saudara.
Reaksi sibling ini
cenderung berlanjut dengan munculnya perubahan perilaku dan masalah pada saudara kandung yang kadang tidak diketahui oleh orangtua dan baru mulai akan mereda ketika saudara yang sakit telah sembuh (Ballard, 2004). Pada anak dengan leukemia limfoblastik akut (LLA), pengobatan di rumah sakit memakan waktu panjang dan baru dikatakan survive apabila telah sembuh dalam waktu lima tahun sejak didiagnosis (Hinkle et al., 2004). Masa-masa sulit dalam memenuhi kebutuhan perawatan dan pencapaian kesehatan dialami oleh anggota keluarga, terutama orangtua pada saat awal diagnosis, kemudian menurun setelah 12 dan 18 bulan, termasuk untuk memberikan dukungan secara emosional
3
kepada anak yang lain (Svavarsdottir, 2005). Dalam rentang waktu yang panjang, orangtua akan dihadapkan pada serangkaian protokol terapi untuk anak. Salah satu protokol terapi untuk LLA mencakup tiga tahapan pengobatan, yaitu fase induksiremisi, konsolidasi dan maintenance yang harus dilakukan dalam rentang waktu minimal 2,5 tahun (Imbach, Kuhne, & Arceci, 2004). Selama rentang waktu pengobatan, keterjangkauan, dukungan, informasi dan tingkat kontrol yang diberikan kepada orangtua oleh para profesional kesehatan berdampak pada kepuasan mereka, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun keyakinan mereka terhadap keputusan yang telah dibuat (McKenna, Collier, Hewitt, & Blake, 2010). Menurut Edelman & Mandle (2006) kesehatan sangat terkait dengan status sosial ekonomi, masyarakat dengan tingkat ekonomi kurang akan cenderung memiliki hasil akhir status kesehatan yang kurang (DeLaune & Ladner, 2011). Penolakan atau penghentian pengobatan merupakan masalah umum yang terjadi di negara berkembang. Masalah ini disebabkan karena faktor sosial ekonomi, etnis, budaya dan status penduduk (Ribeiro & Pui, 2008). Di Indonesia, berdasar pada penelitian Sitaresmi (2010) pada anak dengan leukemia, salah satu alasan penolakan pengobatan adalah finansial. Di Inggris, masalah finansial yang dialami orangtua tidak membuat orangtua menyerah untuk melakukan perawatan anak dengan kanker (Tomlinson et al., 2011). Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014, sampai dengan September 2013, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,55 juta orang. Kenaikan kemiskinan pada penduduk perkotaan meningkat sebesar 0,33
4
juta orang dalam kurun waktu bulan Maret sampai September 2013, sedangkan di pedesaaan naik sebesar 0,18 juta orang.
Dari data BPS 2013, persentase
penduduk miskin di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berturut-turut di wilayah kota, desa-kota dan desa adalah 13,73%, 17,62% dan 15,03% atau menempati posisi tertinggi di Pulau Jawa. Berdasar data ini berarti masih ada sekitar 28 juta orang masyarakat Indonesia yang harus mendapatkan perhatian khusus dalam bidang kesehatan. Salah satu cara untuk menangani masalah finansial dalam pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan kurang mampu saat ini adalah dengan peluncuran program Jaminan Kesehatan Nasional yang mencakup semua warga negara Indonesia melalui BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan yang dimulai per 1 Januari 2014. Sebelumnya, juga sudah ada program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Pada tahun 2013, besaran alokasi dana pembayaran program Jamkesmas dari Kementrian Kesehatan untuk semua rumah sakit di Indonesia mencapai 3,9 triliun dengan alokasi untuk DIY sebesar 138,45 miliar, dan khusus untuk RSUP Dr. Sardjito sekitar 55,071 miliar. Hal ini berarti pemerintah juga telah melakukan upaya agar masyarakat miskin dengan masalah finansial juga dapat merasakan pelayanan kesehatan. Akan tetapi, sumber pembiayaan rawat inap menurut Riskesdas tahun 2007 untuk pemanfaatan asuransi dari pemerintah maupun swasta adalah sebesar 29%, yang berarti 71% masyarakat melakukan pembiayaan untuk rawat inap dengan membayar sendiri (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2008). Menurut De Laune & Ladner
(2011),
5
kemunculan asuransi masyarakat di bidang kesehatan sangat signifikan dalam memberikan manfaat dalam penggunaan layanan kesehatan, akan tetapi masih ada kelompok yang rentan dan tidak bisa mengakses program asuransi yang salah satu di antaranya adalah anak-anak karena mereka cenderung tidak diasuransikan. Pada penelitian yang dilakukan secara cross sectional di Kanada, komponen psikologis yang muncul seperti harga diri dan pengendalian diri menjadi faktor yang lebih kuat sebagai predisposisi munculnya optimisme orangtua daripada faktor yang berhubungan dengan kanker anak seperti prognosis penyakit (Fayed, Klassen, Dix, Klaassen, & Sung, 2011). Dari data ini berarti ada beberapa kondisi yang mempengaruhi keberlanjutan pengobatan kanker pada anak antara negara maju dan negara berkembang. Orangtua merupakan salah satu pemberi perawatan (care giver) utama bagi anak selama sakit (Smith, Greenberg, & Seltzer, 2007). Peran orangtua terus berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi yang ada dan faktor budaya (Hockenberry, Wilson, & Wilkenstein, 2005). Di Australia, para orangtua yang memiliki pengalaman mendampingi anaknya dalam melakukan terapi kanker melakukan beberapa strategi untuk mengatasi permasalahan akomodasi yang jauh dari rumah sakit, di antaranya adalah dengan kerja sama dari beberapa orangtua untuk berangkat bersama-sama ke RS, tinggal di asrama kampus yang dekat dengan RS atau tinggal di hotel atau motel (Daniel et al., 2013). Beberapa keluarga di Australia juga melakukan berbagai strategi pengobatan alternatif dan komplementer untuk anak dengan kanker, di antaranya adalah dengan makanan
6
organik, penyembuhan spiritual/berdoa dan homeopathy (dengan akupuntur atau akupresur) (Heath, Oh, Clarke, & Wolfe, 2012). Keputusan terkait dengan kesehatan pada anak di Indonesia secara umum masih menjadi kewenangan dari orangtua. Pada studi pendahuluan yang dilakukan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang didasarkan data register Sub Bagian Hematologi dan Onkologi Anak, dalam rentang waktu bulan Januari 2012 sampai dengan Desember 2013, LLA menempati kejadian kasus tertinggi dari leukemia pada anak, yaitu
sebesar 72,09%
(155 dari 215 anak). Pada penelitian
sebelumnya di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, didapatkan adanya penolakan atau penghentian pengobatan pada anak dengan leukemia yang salah satu sebabnya (60%) adalah masalah keuangan atau finansial. Akibat dari penolakan pengobatan tersebut adalah 70% anak meninggal dunia pada fase konsolidasi, reinduksi dan maintenance pertama (Sitaresmi, Mostert, Schook, Sutaryo, & Veerman, 2010). Hasil penelitian kuantitatif yang dilakukan di RSUP Dr. Sardjito pada tahun 2006 menunjukkan bahwa faktor pengetahuan, persepsi dan dukungan keluarga terhadap anak dengan acute limfoblastic leukemia dalam melaksanakan kemoterapi memberikan kontribusi sebesar 49,2% (Kusumawati, 2006). Dalam penelitian ini pula dinyatakan bahwa masih ada 50,8% faktor yang lebih besar yang mempengaruhi kepatuhan dalam pengobatan LLA yang belum dapat diungkapkan. Berdasarkan berdasarkan wawancara pada studi pendahuluan dengan perawat di Poliklinik Hematologi dan Onkologi Anak RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta, selain adanya orangtua atau keluarga yang menolak pengobatan
7
karena masalah finansial, juga masih ada orangtua yang terus bertahan dengan lamanya perawatan LLA pada anak bahkan sampai tuntas meskipun berasal dari keluarga miskin atau kurang mampu. Dalam rentang waktu pengobatan minimal 2,5 tahun (Tomlinson & Kline, 2010), orangtua juga akan dihadapkan pada serangkaian protokol pengobatan dan situasi yang tidak hanya berdampak langsung pada anak, akan tetapi juga keluarga atau orangtua. Dalam lingkup keperawatan anak, perawat memiliki peran sebagai manajer kasus mulai dari awal pasien masuk RS sampai pasien pulang atau sembuh dalam rangka peningkatan status kesehatan pasien dan keluarga. Data di Indonesia tentang penelitian pada survivor kanker ataupun pasien dan keluarga yang tuntas menjalankan perawatan masih belum ada. Dari data dan permasalahan di atas, peneliti ingin mengetahui dan mengeksplorasi lebih dalam tentang pengalaman orangtua yang berasal dari keluarga miskin dalam melakukan peran perawatan pada anak mulai awal hingga tahap akhir pengobatan, sehingga diharapkan hasilnya dapat dijadikan sebagai contoh dan referensi bagi perawat dalam memberikan pemecahan masalah tentang peran perawatan yang dapat dilakukan oleh orangtua meskipun dengan kendala keterbatasan finansial. Untuk itu penting untuk dilakukan penelitian tentang pengalaman orangtua dalam menjalankan peran perawatan pada anak dengan LLA, khususnya pada kondisi keluarga miskin, untuk bertahan melakukan perawatan hingga menuju tahap akhir fase pengobatan.
8
B. Perumusan Masalah Bagaimanakah peran orangtua dalam merawat anak dengan leukemia limfoblastik akut (LLA)? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum: Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pengalaman peran orangtua dalam merawat anak dengan LLA. 2. Tujuan khusus: Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran tentang: a. Persepsi, keyakinan dan sikap orangtua terhadap LLA pada anak. b. Motivasi orangtua dalam mempertahankan perawatan pada anak dengan LLA. c. Peran yang dilakukan oleh orangtua selama perawatan anak dengan LLA. d. Dukungan sosial yang digunakan oleh orangtua selama perawatan anak dengan LLA. e. Hambatan yang dialami orangtua selama perawatan anak dengan LLA. f. Penyelesaian masalah/strategi yang dilakukan untuk mengatasi hambatan selama perawatan anak dengan LLA. g. Harapan orangtua terhadap anak dengan LLA.
9
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat praktis Diharapkan dengan penelitian ini perawat mampu menggali serta memanfaatkan sumber dukungan dan strategi pemecahan masalah di masyarakat, khususnya di negara berkembang dalam manajemen kasus pada anak dengan LLA. 2. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi perawat tentang pengalaman peran orangtua dalam merawat anak dengan LLA dan menjadi dasar bagi peneliti lain untuk mengembangkan penelitian tentang kanker pada anak. E. Keaslian Penelitian Adapun penelitian yang terkait dengan pengalaman orangtua dan kanker pada anak di antaranya adalah: 1. Matsuoka & Narama, 2012. Parents’ Thoughts and Perceptions on Hearing that Their Child Has Incurable Cancer. Penelitian tersebut dilakukan di Jepang dengan pendekatan kualitatif. Informan sebanyak 32 orangtua yang memiliki anak yang meninggal dengan berbagai jenis kanker dalam jangka waktu satu sampai tiga tahun setelah didiagnosis dengan jumlah anak sebanyak 17 anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa orangtua merasakan
pengalaman
ingin
segera
membuat
anak
nyaman
dan
menghilangkan penderitaannya saat anak masih dirawat, sedangkan persepsi orangtua di antaranya adalah mengerti terhadap perubahan anak, tidak
10
menganggap kematian yang dialami anak adalah kenyataan dan menolak menghadapi kematian anak. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah lokasi, masalah yang dieksplorasi dan jenis kanker yang diderita oleh anak. 2.
Sitaresmi et al., 2010. Treatment Refusal and Abandonment in Childhood Acute Lymphoblastic Leukemia in Indonesia: An Analysis of Causes and Consequences. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif pada orangtua yang menolak atau menghentikan pengobatan pada anak dengan leukemia di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada tahun 2004-2007. Informan adalah orangtua dari 37 anak yang menolak atau menghentikan pengobatan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan penolakan atau
penghentian pengobatan pada anak dengan leukemia di antaranya adalah masalah finansial, persepsi bahwa leukemia tidak dapat disembuhkan, efek samping pengobatan dan ketidakpuasan terhadap pemberi pelayanan kesehatan. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah karakteristik informan dan tema yang diteliti, sedangkan lokasi penelitian sama dengan yang dilakukan oleh peneliti yaitu di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta. 3. Kusumawati, 2006. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Orangtua dalam Pengobatan Kemoterapi Anak Penderita Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta. Jenis penelitian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif dengan rancangan cross sectional.
Subjek
penelitian adalah 30 orang yang mempunyai anak dengan LLA, yang menjalani rawat inap maupun rawat jalan di poliklinik RSUP Dr. Sardjito,
11
Yogyakarta dari Desember 2005-Maret 2006. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh yang bermakna antara pengetahuan dan dukungan keluarga terhadap kepatuhan orangtua dalam pengobatan kemoterapi. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah disain penelitian. 4. Nastiti, 2013. Perbedaan Persepsi antara Orangtua dan Perawat tentang Kebutuhan Orangtua selama Perawatan Anak dengan Kanker di Instalasi Kesehatan Anak (INSKA) RSUP Dr. Sardjito. Jenis penelitian yang digunakan adalah kuantitatif cross sectional. Subjek penelitian sejumlah 35 orangtua dan 37 perawat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi kebutuhan orangtua selama perawatan anak dengan kanker dari perawat lebih tinggi dari persepsi orangtua itu sendiri. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah disain penelitian dan variabel yang diteliti. 5. Fatmadona, 2013. Pengalaman Caregiver Keluarga Dalam Merawat Pasien Kanker Stadium Lanjut. Jenis penelitian yang digunakan dengan pendekatan kualitatif. Informan adalah lima orang caregiver primer yang merawat pasien kanker dengan metastase usia dewasa di Sumatera Barat. Hasil penelitian menggambarkan reaksi caregiver, peran caregiver, pemahaman caregiver tentang kanker, beban caregiver, caring pada pasien kanker stadium lanjut, mendampingi pasien berobat dan harapan caregiver. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah karakteristik informan, lokasi penelitian dan jenis kanker.