BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah
Pneumonia merupakan penyakit yang mendominasi penyebab kematian pada balita di seluruh dunia, yaitu sebesar 124 juta kasus kematian anak terjadi akibat pneumonia dengan angka prevalensi sebesar 15%(WHO,2011). Merujuk data KEMENKES (2015) di Indonesia kematian akibat pneumonia pada balita tahun 2014 mencapai 496 kasus dengan jumlah penderita sebanyak 657.490 kasus. Sementara di Kaltim kasus pneumonia pada balita tahun 2014 mencapai 22.639 kasus dengan angka prevalensi sebesar 2,75%(Kemenkes, 2015). Pneumonia merupakan penyakit peradangan parenkim paru yang ditandai dengan adanya demam tinggi, menggigil, sesak napas, napas cepat, batuk dan tarikan dinding dada ke dalam (WHO,2008). Anak dengan pneumonia mengalami sukar bernapas hal ini disebabkan karena adanya akumulasi cairan atau pus pada alveoli, selain itu anak yang mengalami pneumonia juga mengalami penurunan kemampuan paru- paru untuk mengembang sehingga anak mengalami napas cepat. Jika kondisi pneumonia bertambah parah hal ini dapat mengakibatkan anak mengalami kekakuan paru dan tarikan dinding dada ke dalam. Pneumonia juga dapat menyebabkan kematian pada anak akibat adanya kondisi hipoksia (Kemenkes, 2012). Data UNICEF (2013) menyebutkan pemberian ASI eksklusif yang merupakan tindakan pencegahan terjadinya pneumonia, pelaksanaannya ternyata masih rendah di masyarakat yaitu berkisar 39%, sementara balita dengan pneumonia yang mendapatkan pengobatan tepat sebesar 60% dan balita dengan pneumonia yang mendapatkan terapi
1
2 antibiotik sebesar 31%. Merujuk pada data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2013) cakupan pelayanan kesehatan untuk balita masih belum mencapai target rencana strategis yaitu sebesar 70,12 % dengan target sebesar 83%, sementara di Provinsi Kaltim besar cakupannya hanya 45,36%. Kunjungan anak ke pusat pelayanan kesehatan yang tersering yaitu ke Puskesmas sebesar 36,90% oleh sebab itu, maka pelayanan di tingkat Puskesmas pun juga harus ditingkatkan agar dapat mencegah adanya komplikasi atau bahkan kematian pada anak. Penanganan penyakit pada anak di Puskesmas pada awalnya menggunakan panduan yang terpisah untuk tiap- tiap penyakit dan pelatihan penanganan pun disesuaikan dengan jenis penyakit sehingga hal ini dirasa tidak efektif, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa balita yang datang ke Puskesmas mengalami lebih dari 1 gejala penyakit. Untuk itulah, Pemerintah mengadaptasi MTBS dari WHO sebagai tata laksana terpadu penyakit pada balita di Puskesmas. Sejak tahun 2007 MTBS mulai dikembangkan di Indonesia (Dirjen Bina Kesehatan Anak, 2009). Salah satu cara untuk mengatasi angka kematian balita akibat pneumonia yaitu dengan meningkatkan
kualitas pelayanan
kesehatan
implementasi MTBS di tingkat fasilitas kesehatan dasar.
anak dengan melakukan MTBS merupakan suatu
pendekatan terpadu dalam tata laksana balita sakit dengan berfokus pada kesehatan anak usia 0-59 bulan (balita) secara menyeluruh. Pendekatan ini bertujuan memandu tenaga kesehatan untuk mengkaji adanya tanda-tanda penyakit penyebab kematian pada anak salah satunya yaitu pneumonia. MTBS memandu tenaga kesehatan untuk dapat melakukan penilaian, melakukan klasifikasi berdasar gejala yang muncul, menentukan tindakan, memberikan pengobatan sesuai klasifikasi, memberikan konseling terkait penyakit dan perawatannya di rumah serta menentukan tindak lanjut terkait penyakit batuk atau sukar bernafas pada balita.
3 Pneumonia dalam MTBS disebutkan sebagai salah satu jenis klasifikasi batuk dan atau sukar bernafas yang ditandai dengan adanya nafas cepat. Anak yang mengalami batuk atau sukar bernapas menunjukkan adanya gangguan pada saluran pernapasan. Untuk itulah dibutuhkan keterampilan dan kemampuan tenaga kesehatan di Puskesmas terutama di Poli Anak dalam melakukan penerapan MTBS sehingga dapat mendeteksi adanya pneumonia yang muncul pada balita dan mencegah kemungkinan komplikasi yang dapat muncul. Selain itu, dengan penerapan MTBS maka penggunaan antibiotik dapat dilakukan secara efektif. WHO (2014) menyebutkan penerapan MTBS di berbagai negara membawa banyak manfaat diantaranya, dapat membantu menurunkan angka kematian balita, meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dengan biaya yang lebih murah, memperbaiki status gizi balita serta dapat meningkatkan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Osterholt, et al (2009) di Benin yang menunjukkan bahwa adanya implementasi MTBS mampu meningkatkan kualitas pelayanan terutama pada aspek pengobatan dan klasifikasi pneumonia. Studi yang lain dilakukan oleh Rakha (2014) juga menunjukkan bahwa implementasi MTBS mampu membantu penurunan angka kematian anak hingga 6,3%. Hasil penelitian Nkusi (2012) di Bostwana dan Pradhan et al (2012) di Pakistan menyebutkan bahwa implementasi MTBS dipengaruhi oleh kurangnya responden yang terlatih, waktu pelayanan yang sempit, ketiadaan sumber dana serta ketiadaan supervisi dari dinas kesehatan, hasil studi yang sama juga ditemukan oleh Kiplagat, et al (2014) implementasi MTBS juga dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap responden dalam menerapkan pendekatan MTBS setelah mengikuti pelatihan, kelengkapan alat penunjang MTBS serta supervisi dinas terkait pasca pelatihan MTBS.
4 Riset yang dilakukan di India oleh Shewade, et al (2012) menunjukkan hanya 15% dari total ceklist MTBS yang diterapkan oleh tenaga kesehatan, sementara untuk kemampuan konseling didapatkan sebesar 68% sedangkan kemampuan tenaga kesehatan untuk memberikan anjuran mengenai kunjungan ulang hanya sebesar 28%. Merujuk pada data Dinas Kesehatan Provinsi Kaltim (2013) jumlah balita di Samarinda tahun 2012 mencapai 98.610 dengan cakupan balita yang mendapatkan pelayanan kesehatan sebesar 54,9% hal ini menunjukkan Samarinda berada dalam kondisi terendah ke- 4 dalam 1 Provinsi terkait pelayanan kesehatan anak (Dinkes Provinsi Kaltim, 2012). Angka insidensi pneumonia juga mengalami peningkatan, jika pada tahun 2012 sebesar 35.377 kasus, maka di tahun 2013 mencapai 37.301 kasus sedangkan angka prevalensinya mencapai 1,42%. Data Dinkes Provinsi Kaltim menyebutkan kasus balita dengan pneumonia tahun 2012 di Samarinda mencapai 2535 kasus sedangkan di Kukar sebanyak 433 kasus(Dinkes Provinsi Kaltim, 2012). Dari hasil studi pendahuluan pada bulan Maret 2015 di Dinkes Kota Samarinda diketahui bahwa jumlah total Puskesmas di Kota Samarinda sebanyak 24 Puskesmas. Acuan dari DINKES Kota Samarinda dalam mengetahui perkiraan jumlah penderita pneumonia balita per tahun di tiap- tiap Puskesmas yaitu 10 % dari jumlah total balita tiap Puskesmas. Angka kejadian pneumonia balita pada bulan Januari- Maret 2015 di seluruh Puskesmas di Kota Samarinda kurang dari 10% total jumlah balita. Bahkan terdapat beberapa Puskesmas yang sejak 2014 tidak ditemukan kasus balita dengan pneumonia (Puskesmas Sungai Siring, Puskesmas Sungai Kapih dan Puskesmas Bantuas) namun ada juga beberapa Puskesmas yang mengalami peningkatan kejadian pneumonia sejak Januari hingga Maret 2015. MTBS merupakan salah satu program Pemerintah yang dilaksanakan oleh Puskesmas, dalam hal ini pendekatan MTBS dilakukan di Poli Anak atau Poli MTBS. Dari hasil
5 studi pendahuluan di 24 Puskesmas Kota Samarinda diketahui bahwa tenaga kesehatan di Poli Anak seluruh Puskesmas Kota Samarinda berjumlah 70 orang yang terdiri dari berbagai profesi (bidan, dokter, perawat serta ahli gizi). Sebagian besar dari total 24 Puskesmas yang berada di Kota Samarinda, telah menerapkan MTBS dalam pelayanan kesehatan anak berkolaborasi dengan dokter, juga terdapat 6 Puskesmas yang melakukan penerapan MTBS untuk seluruh pasien (Puskesmas Lempake, Puskesmas Makroman, Puskesmas Temindung, Puskesmas Pasundan, Puskesmas Bengkuring dan Puskesmas Mangkupalas) sementara terdapat 2 Puskesmas (Puskesmas Bantuas dan Puskesmas Bukuan) yang belum melaksanakan MTBS dikarenakan tenaga kesehatan belum mengikuti pelatihan dan Puskesmas tersebut merupakan Puskesmas baru, yang mulai membuka pelayanan kesehatan anak pada bulan Januari 2015. Data mengenai penerapan MTBS setiap bulan juga dilaporkan ke DINKES Kota Samarinda sehingga dapat diketahui perkembangan pelaksanaan program di masing- masing Puskesmas. Kabupaten Kutai Kartanegara memiliki Puskesmas sebanyak 27 Puskesmas. Seluruh Puskesmas telah menerapkan program MTBS. DINKES Kota Samarinda dan DINKES Kabupaten KUKAR selalu mengadakan pelatihan MTBS secara rutin dengan mengikutsertakan tenaga kesehatan dari seluruh Puskesmas. Oleh sebab itu penulis mencoba menggali seberapa jauh pengetahuan responden mengenai MTBS batuk serta menggali kemampuan tenaga kesehatan dalam penerapan MTBS batuk dalam penelitian yang berjudul "Hubungan Tingkat Pengetahuan tenaga kesehatan mengenai MTBS Batuk terhadap Penerapan Tata Laksana batuk menurut MTBS di Puskesmas Kota Samarinda dan Puskesmas Kabupaten Kutai Kartanegara".
6 B. Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah gambaran hubungan tingkat pengetahuan tenaga kesehatan mengenai MTBS batuk terhadap penerapan tata laksana MTBS batuk di Puskesmas Kota Samarinda 2. Bagaimanakah gambaran hubungan tingkat pengetahuan tenaga kesehatan mengenai MTBS batuk terhadap penerapan tata laksana MTBS batuk di Puskesmas Kabupaten Kutai Kartanegara C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Primer Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan tenaga kesehatan mengenai MTBS batuk terhadap penerapan tata laksana batuk menurut MTBS di Puskesmas Kota Samarinda dan Puskesmas Kabupaten Kutai Kartanegara 2. Tujuan Sekunder Tujuan sekunder dari penelitian ini adalah : a. Mengidentifikasi tingkat pengetahuan tenaga kesehatan mengenai MTBS batuk b. Mengidentifikasi penerapan tata laksana batuk menurut MTBS yang dilakukan oleh tenaga kesehatan c. Mengidentifikasi hubungan antara tingkat
pengetahuan tenaga kesehatan
mengenai MTBS batuk terhadap penerapan tata laksana batuk menurut MTBS d. Mengidentifikasi hubungan antara karakteristik tenaga kesehatan terhadap penerapan tata laksana batuk menurut MTBS e. Mengidentifikasi hubungan antara karakteristik tenaga kesehatan terhadap tingkat pengetahuan mengenai MTBS batuk
7 f. Mengidentifikasi
hubungan
antara
karakteristik
responden
dan
tingkat
pengetahuan responden mengenai MTBS batuk terhadap penerapan tata laksana batuk menurut MTBS. D. Manfaat Penelitian 1.
Bagi tenaga kesehatan Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran terkait penerapan MTBS batuk di Puskesmas Kota Samarinda dan Kabupaten Kukar.
2.
Bagi Puskesmas Hasil penelitian ini dapat berguna sebagai masukan bagi Puskesmas dalam meningkatkan pelayanan pada anak dengan pendekatan MTBS sehingga dapat membantu mengatasi masalah pneumonia pada balita
3.
Bagi keilmuan Penelitian ini dapat menjadi evidence based practice dalam ilmu keperawatan sehingga menjadi landasan ilmu bagi profesi keperawatan dalam mengembangkan praktik ilmu keperawatan anak dalam mengatasi masalah batuk pada balita. E. Keaslian Penelitian Penelitian terkait MTBS telah banyak dilakukan sebelumnya, namun penelitian yang mengaitkan pengetahuan tenaga kesehatan mengenai MTBS batuk dengan penerapan MTBS batuk belum pernah dilakukan sebelumnya. Beberapa penelitian yang berkaitan dengan topik ini adalah sebagai berikut.
8 Tabel 1.1 Penelitian- penelitian terkait pengetahuan dan penerapan MTBS Peneliti/ tahun
Lokasi
Design
Perbedaan
Kesamaan
Kiplagat, et al(2014)
Tanzania
Mix method, cross sectional
Tujuan penelitian
Mengidentifikasi penerapan MTBS dan melibatkan tenaga kesehatan sebagai responden
Pradhan, et al(2012) UNICEF Moldova (2010)
Pakistan
Kualitatif eksploratif
Tujuan dan design penelitian
Responden
Moldova
Mix method
Design penelitian Melibatkan orang tua sebagai responden penelitian
Tujuan penelitian Melibatkan dokter sebagai responden penelitian
Joshi, dan Vatsa (2012)
India
Kuantitatif cross sectional
Tujuan penelitian
Mengukur tingkat pengetahuan tenaga kesehatan mengenai MTBS
Penelitian yang bertujuan untuk mengkaji pengetahuan mengenai MTBS dilakukan oleh Joshi dan Vatsa (2012) di India, penelitian tersebut mengidentifikasi adanya hubungan sikap dan pengetahuan perawat mengenai MTBS. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa mayoritas perawat memiliki pengetahuan yang baik (51,4%) serta sikap yang baik terhadap program MTBS (53,6%). Selain itu penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara sikap, pengetahuan dan usia perawat. Kesamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu mengobservasi penerapan tata laksana MTBS batuk. Penelitian terkait MTBS juga dilakukan oleh Kiplagat, et al (2014) di Tanzania, hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan yaitu adanya kesamaan metode penelitian yang digunakan, pemilihan tenaga kesehatan sebagai responden, serta kesamaan pada metode pengambilan data yang dilakukan. Sementara, perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini yaitu penelitian sebelumnya mengukur pengetahuan perawat mengenai MTBS secara umum serta mengkaji kemampuan perawat
9 MTBS dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya keikutsertaan pelatihan MTBS, kelengkapan obat- obatan, supervisi terkait MTBS. Metode penelitian ini adalah metode campuran. Kesamaan dengan penelitian ini yaitu mengkaji penerapan MTBS serta sasaran responden yang sama (tenaga kesehatan), sementara perbedaan yang muncul yaitu pada penelitian ini tidak mengkaji hubungan antara pengetahuan responden dalam pelaksanaan MTBS Penelitian lain juga dilakukan oleh Pradhan et al (2012) di Pakistan, rancangan pada penelitian ini menggunakan design kualitatif eksploratif. Tujuan dari penelitian ini yaitu mengidentifikasi faktor- faktor yang mempengaruhi pelaksanaan MTBS di daerah Sind, Pakistan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan faktor yang paling mempengaruhi pelaksanaan MTBS yaitu faktor pengetahuan dan persepsi responden mengenai MTBS. Kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu menyertakan tenaga kesehatan sebagai responden dan menggali pengetahuan mereka mengenai MTBS, sementara perbedaannya yaitu pada penelitian sebelumnya menggunakan metode kualitatif eksploratif, selain itu pada penelitian sebelumnya bertujuan untuk mengidentifikasi faktor- faktor yang mempengaruhi pelaksanaan MTBS. Penelitian yang bertujuan mengidentifikasi tingkat pengetahuan tenaga kesehatan juga dilakukan oleh Pemerintah Moldova untuk mengevaluasi pelaksanaan MTBS selama 10 tahun, dalam penelitian tersebut melibatkan seluruh dokter yang bertugas di fasilitas pelayanan kesehatan, pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan wawancara mendalam, hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar dokter memiliki pengetahuan yang baik mengenai tanda bahaya umum (89,9%), mengetahui tanda spesifik dari pneumonia (93,7%), mengetahui napas cepat dan retraksi dinding dada sebagai tanda spesifik pneumonia (83,5%) serta mampu menyebutkan auskultasi dada
10 sebagai tindakan yang penting untuk dilakukan dalam penegakan diagnosa pneumonia. Hal tersebut menunjukkan sebagian besar dokter memiliki pengetahuan yang baik mengenai tata laksana MTBS pneumonia.