BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Di seluruh dunia, 500.000 perempuan meninggal setiap hari sebagai akibat kehamilan, persalinan, maupun abortus. Hal tersebut membuat angka kematian ibu (AKI) mengalami peningkatan pada setiap tahunnya. Dari kasus yang meyebabkan kematian ibu di dunia, abortus sering tidak muncul dalam laporan kematian, tetapi dilaporkan sebagai perdarahan atau sepsis. Padahal komplikasi dari abortus berupa
perdarahan
atau
infeksi
inilah
yang
dapat
menyebabkan kematian pada ibu (Sumarto, 2004). Laporan Sadik (UNEPA, 1997 dan WHO, 1998) menyebutkan bahwa, di Amerika Serikat (1981) dilaporkan angka kejadian abortus spontan sekitar 10-15%, sedangkan Cunningham, dkk (1997), memperlihatkan angka kejadian abortus spontan tersebut 25% dengan 80% terjadi pada 12 minggu pertama dari kehamilan. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2002) 15-50% kematian ibu disebabkan oleh abortus. Pada tahun 2006, Badan Kesehatan Dunia (WHO, 2006) memperkirakan 4,2 juta abortus dilakukan setiap tahun di Asia Tenggara,
1
dengan perincian 1,3 juta dilakukan di Vietnam dan Singapura, antara 750.000 sampai 1,5 juta di Indonesia, antara 155.000 sampai 750.000 di Filipina, dan antara 300.000 sampai 900.000 di Thailand. Dari data tersebut, WHO memprediksikan dari keseluruhan kehamilan dan abortus yang terjadi, 10% diantaranya mengalami abortus secara spontan. Di Indonesia diperkirakan terdapat 5 juta kehamilan pertahun, dan kejadian abortus yang terjadi sebesar 37 kasus untuk setiap 1.000 perempuan usia produktif (15-45 tahun). Perkiraan angka ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia. Dalam skala regional sekitar 29 abortus terjadi untuk 1.000 perempuan usia produktif (Manuaba, 2001). Angka abortus spontan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) pada ibu usia produktif di tahun 2007, di Indonesia diperkirakan sekitar 2.000.000 abortus terjadi, 10-15% diantaranya atau sekitar 200.000-300.000 mengalami abortus spontan setiap tahun, berdasarkan penelitian ini, responden diambil dari fasilitas-fasilitas kesehatan di 6 wilayah yakni Palembang, Tasikmalaya, Cirebon, Singkawang, Surabaya, dan Kupang (Utomo, 2001).
2
Di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), tingkat kematian maternal masih merupakan masalah yang dominan (Website Pemerintah Daerah Provinsi NTT). Menurut Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur, kasus kematian ibu di provinsi ini berturut-turut untuk tahun 2006, 2007, 2008 dan 2009 adalah: 253, 224, 312 dan 303 kasus. Dari 244 kasus kematian ibu pada tahun 2007 dengan AKI sebesar 262,5/100.000 kelahiran hidup, kasus kematian ibu tertinggi terdapat di Kabupaten Timor Tengah Selatan (Kab. TTS), dengan 47 kasus kematian ibu. Dari 47 kasus tersebut, 36 diantaranya merupakan kasus kematian ibu bersalin (Dinas Kesehatan NTT, 2007). Menurut Righuta, angka kematian yang dilaporkan pada tahun 2007 di Kab. TTS yaitu 502,2/100.000 kelahiran hidup yang merupakan angka kematian ibu terendah dari 4 tahun sebelumnya. Pada tahun 2009 dengan jumlah kematian ibu 303 kasus di NTT, jumlah kasus tertinggi masih terdapat di Kabupaten TTS dengan jumlah 45 kasus (Harian Kursor, 27 Agustus 2010). AKI yang dilaporkan di TTS meningkat menjadi 538,7/100.000 kelahiran hidup karena adanya penurunan angka kelahiran hidup dari 9.350 bayi pada tahun 2007 menjadi 8.351 bayi pada tahun 2009 (Profil Dinas Kesehatan Kab. TTS, 2010).
3
Sementara itu, persentase ibu hamil dengan kondisi resiko tinggi
yang dirujuk di NTT mengalami peningkatan
pada tahun 2007 sebesar 66,1%. Pada tahun 2006, ibu hamil dengan kondisi resiko tinggi yang dirujuk hanya sebesar 36,3%. Resiko tinggi merupakan keadaan penyimpangan dari normal, yang secara langsung menyebabkan kesakitan dan kematian ibu maupun bayi, antara lain Hb <8 g%, tekanan darah tinggi (sistole >140 mmHg, diastole >90 mmHg), edema nyata, eklampsia, perdarahan per vagina, ketuban pecah dini, letak lintang pada usia kehamilan >32 minggu, letak sungsang
pada
primigravida,
infeksi
berat/sepsis
dan
persalinan prematur (Profil Kesehatan Indonesia, 2009:68). Tahun 2008 dilaporkan bahwa 5% dari kasus abortus merupakan penyebab meningkatnya angka kematian ibu, setelah perdarahan (28%), eklampsia (24%), infeksi (11%),
partus lama (5%) (Sri Hermiyanti, 2008). Adapun faktor lain yang dapat menyebabkan meningkatnya angka abortus spontan meliputi usia dan adanya riwayat abortus berulang (Koesno, 2008). Risiko abortus spontan semakin meningkat dengan bertambahnya paritas dan usia ibu. Pada ibu usia dibawah 20 tahun risiko terjadinya abortus kurang dari 2%. Risiko meningkat 10% pada usia ibu lebih dari 35 tahun dan 4
mencapai 50% pada usia ibu lebih dari 45 tahun. Peningkatan risiko abortus ini diduga berhubungan dengan abnormalitas kromosom pada wanita usia lanjut (Cunningham, 2005). Angka abortus sulit ditentukan, begitu juga dengan abortus spontan di kab.TTS, karena kasus abortus sendiri banyak
yang
tidak
dilaporkan,
kecuali
apabila
terjadi
komplikasi. Abortus spontan kadang-kadang hanya disertai gejala dan tanda ringan, sehingga pertolongan medik tidak diperlukan dan kejadian ini dianggap sebagai terlambat haid, karena terkadang wanita yang mengalami abortus spontan tidak mengetahui bahwa ia sudah hamil. Akibatnya frekuensi kejadian abortus spontan semakin meningkat jika dilihat dari usia kehamilan yang dideteksi secara klinis dari 12% pada wanita berusia kurang dari 20 tahun menjadi 26% pada mereka yang usianya lebih dari 40 tahun (Berita Berkala Jender dan Kesehatan, 2009). Penelitian-penelitian
yang
telah
dilakukan
terkait
dengan abortus spontan diantaranya, hubungan antara tingkat pekerjaan ibu hamil dengan kejadian abortus spontan di RSUD Sunan Kalijaga Demak, bulan Juli 2006-April 2007 dengan
hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
tingkat
pekerjaan ibu hamil 16 responden (53,3%) tingkat pekerjaan berat, 5 responden (16,7%) tingkat pekerjaan sedang, 9
5
responden (30,0%) tingkat pekerjaan ringan, serta kejadian abortus spontan kompletus 9 responden (30,0%), inkompletus 4 responden (13,3%), insipiens 8 responden (26,7%), imminens 9 respondens (30,0%), dari hasil perhitungan chi square hitung 14,001 berdasarkan level signifikansi 0,05 dan df=1 sedangkan chi square tabel 3,481, ini artinya ada hubungan yang signifikan antara tingkat pekerjan ibu hamil dengan kejadian abortus spontan di RSUD Sunan Kalijaga Demak bulan Juli 2006 sampai bulan April 2007. Faktor-faktor
resiko
yang
berpengaruh
terhadap
kejadian abortus di RSUD Salatiga Tahun 2008 dari hasil penelitian menunjukkan ibu hamil yang berusia <20 tahun dan >30 tahun mempunyai peluang 1,057 kali mengalami anbortus dibandingkan ibu hamil yang berusia 20-30 tahun (OR=1,057, CI 95%= 0,550-2,034, p= 0,867). Ibu hamil yang mempunyai riwayat abortus sebelumnya mempunyai peluang 3,051 kali mengalami abortus dibandingkan dengan ibu hamil yang
tidak
mempunyai
riwayat
abortus
sebelumnya
(OR=3,051, CI 95%= 1,193-7,804, p= 0,016). Sedangkan, ibu hamil dengan pekerjaan berat kurang berpotensi untuk meningkatkan risiko terjadinya abortus pada ibu hamil (OR=0,33, CI 95%= 0,145-0,749, p= 0,007).
6
Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk mengetahui tentang mekanisme koping ibu usia produktif yang pernah mengalami abortus spontan di desa Tunua, kecamatan Mollo Utara, kabupaten Timor Tengah Selatan. Hal ini dikarenakan akses untuk mencapai fasilits kesehatan sangat jauh, dan tidak ada laporan mengenai kasus abortus spontan di puskesmas Kecamatan Mollo Utara, dari desa Tunua.
1.2
Fokus Penelitian Mekanisme koping pada ibu usia produktif yang mengalami abortus spontan.
1.3
Signifikansi dan Keunikan Penelitian Penelitian
ini
sangat
penting
dilakukan
untuk
menunjang pelayanan kesehatan maternitas dalam komunitas terhadap ibu usia produktif yang mengalami abortus spontan di kabupaten TTS, mengingat kasus abortus spontan yang sering tidak dipublikasikan pada masyarakat umum sebagai salah satu kasus yang dapat menyebabkan kematian pada ibu. Pada umumnya penelitian ini hanya dilakukan di Rumah Sakit, untuk melihat faktor-faktor penyebab terjadinya
7
abortus spontan tanpa menjelaskan mekanisme koping dari ibu usia produktif dengan abortus spontan, sehingga dalam penelitian ini, akan ditelusuri mekanisme koping ibu secara mendalam.
1.4
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui mekanisme koping ibu usia produktif yang mengalami abortus spontan.
1.5
Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoretis Memberikan kontribusi yang baik bagi ilmu keperawatan
maternitas
dalam
komunitas
untuk
memberikan pelayanan kesehatan kepada ibu usia produktif yang pernah mengalami abortus spontan. 1.5.2 Manfaat Praktis a.
Ibu usia produktif
yang mengalami abortus
spontan Dengan mengetahui penggunaan mekanisme koping yang tepat, dapat membantu ibu untuk mengembalikan kodisi psikologis akibat abortus spontan yang dialami.
8
b. Pemerintah daerah kabupaten Timor Tengah Selatan Tambahan informasi bagi pemerintah, khususnya dinas
Kesehatan
dalam
mengetahui
angka
kejadian abortus spontan yang terjadi, dan dapat memberikan pelayanan terbaik kepada ibu usia produktif yang mengalami abortus spontan.
9