1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Terjadi pembelengguan terhadap hak-hak dan kebebasan politik warga Negara pada era Orde Baru. Pemerintahan pada saat itu menjadi control regime bagi aktivitas politik di masyarakat (Kusumah, 1993:iv). Dewasa ini perkembangan sistem demokrasi di Indonesia semakin pesat pada era Reformasi setelah berlalunya era Orde Baru. Berbagai pengembangan konsep demokrasi dari tokoh mulai dieksplorasi untuk menjelaskan makna dan definisi yang paling sesuai tentang demokrasi. Salah satunya adalah Eep Saefullah Fatah yang berusaha merekonstruksi gambaran seorang negarawan Athena pada 431 SM tentang kriteria demokrasi sebagai berikut:
“1) Pemerintahan oleh rakyat dengan partisipasi rakyat yang penuh dan langsung, 2) kesamaan di depan hukum, 3) pluralisme, yaitu penghargaan atas semua bakat, minat, keinginan dan pandangan, 4) penghargaan terhadap suatu pemisahan dan wilayah pribadi untuk memenuhi dan mengekspresikan kepribadian individual.” (Fatah, 2000:6)
Demokrasi Orde Baru dinilai kurang merepresentasikan keempat kriteria yang dijabarkan di atas, yang menjadikan atmosfer kebebasan politik baru dirasakan pasca Reformasi. Agenda perkembangan demokrasi tidak berhenti sampai tercapainya Reformasi saja. Fenomena yang terjadi dewasa ini adalah munculnya kebingungan terhadap format dan sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia.
2
Demokrasi selayaknya dapat berjalan sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di tiap negara yang menerapkannya, namun demokrasi di Indonesia justru seakanakan melegitimasi penerapan sekenanya format dan sistem demokrasi yang digunakan oleh negara lain. Kematangan demokrasi di negara lain sendiri tidak dapat dilepaskan dari penyesuaian yang dilakukan selama bertahun-tahun melalui nilai-nilai sosio-kulturalnya, yang menyebabakan tidak jarang pembentukan sistem demokrasi asal comot tersebut menjadi tidak sesuai dengan kondisi Indonesia. Ketidaksesuaian ini menibulkan suatu keprihatinan tersendiri dalam perkembangan sistem demokrasi di Indonesia. Salah satu akibat yang ditimbulkan dari ketidaksesuaian tersebut adalah munculnya percikan-percikan konflik ke-aku-an atas nama demokrasi, yang diartikan bahwa demokrasi telah semena-mena disalahtafsifkan oleh sebagian orang. Esensi demokrasi merupakan suatu konsepsi menuju kebersamaan, yang dijelaskan oleh Ebenstein arahan menuju kebersamaan dalam demokrasi selayaknya diatur dalam konstitusi tertulis. Aturan yang dituangkan dalam konstitusi tertulis berguna sebagai perlindungan kelompok minoritas maupun satuan individu yang dikhawatirkan dapat direpresi oleh kediktatoran mayoritas sebagai akibat dari penerapan sistem demokrasi (Ebenstein, 1987:198). Kelompok mayoritas berpotensi besar menjadi ancaman bagi entitas minoritas, terutama apabila tidak terdapat kultur toleran antar kelompok. Contoh konkret dalam perlindungan terhadap kelompok minoritas ini dapat ditemukan dalam penetapan Kongres ke-88 Amerika Serikat, yang melarang adanya diskriminasi minoritas rasial, etnis, kebangsaan, agama, sekaligus diskriminasi terhadap perempuan.
3
Perlindungan terhadap minoritas juga tercermin dalam konsep Bhinneka Tunggal Ika di Indonesia, yang telah dijadikan payung kebersamaan antar perbedaan dan menjadi gambaran tentang konsepsi ideal multikulturalisme yang ada di Indonesia. tidak pula menjamin kesepahaman seluruh warga negaranya, yang dibuktikan dengan berbagai konflik muncul karena keberagaman. Pelaksanaan demokrasi dianggap dapat berjalan sesuai dengan konsep multikulturalisme. Sebagian teoris liberal menganggap demokrasi yang lahir dari pengembangan lebih lanjut tentang pemikiran teori liberal, telah sesuai dan sejalan dengan isu-isu yang diangkat dalam multikulturalisme (Kymlicka, 2003:74). Argumen yang diajukan oleh kaum teoris liberal yang mendungkung multikulturalisme bersinergi dengan demokrasi menganggap bahwa prinsip dasar demokrasi adalah kesetaraan, penghargaan terhadap individu lain, dan semangat non-diskriminatif. Prinsip-prinsip tersebut mengartikan bahwa setiap orang memiliki suatu keharusan untuk menghargai individu lain dengan segala latar belakang yang melekat dalam diri individu tersebut. Akibat yang muncul dari sinergi demokrasi dengan multikulturalisme adalah fenomena kesamaran identitas. Kenyataan bahwa setiap individu memiliki hak yang setara dengan individu lainnya di hadapan sistem demokrasi nyatanya justru menyebabkan suatu ketimpangan. Ketimpangan ini terjadi ketika hak kelompok mayoritas dihadapkan dengan hak kelompok minoritas, yang secara otomatis akan memenangkan hak dan kepentingan yang dimiliki oleh mayoritas sebagai gabungan terbanyak dari satuan masyarakat yang lebih besar. Hak dan kepentingan yang dimiliki oleh setiap individu dalam kelompok mayoritas
4
memiliki kumulasi suara yang lebih besar jika dibandingkan dengan hak kelompok minoritas yang terdiri atas satuan kelompok individu yang lebih kecil. Legitimasi hak kelompok itu sendiri di sisi lain masih menjadi bahan perdebatan dalam pemikir-pemikir teori liberal. Paradigma yang membedakan kelompok mayoritas dengan kelompok minoritas tidak dapat dilepaskan dari pandangan individu mengenai subjek dan objek terhadap kediriannya. Ke-aku-an yang besar menyebabkan seorang individu memandang individu lain sebagai objek yang lepas dari dirinya, yang kemudian memunculkan penyebutan akukamu atau kami-mereka. Paradigma mayoritas-minoritas dalam satuan masyarakat juga mendapatkan muncul akibat adanya diversitas kultural, yang menjadikannya penting dalam pembahasan perlindungan terhadap hak-hak minoritas terutama dalam negara demokrasi barat. Will Kymlicka berpendapat bahwa pada zaman modern selayaknya sekarang ini, suatu negara tidak dapat lagi membanggakan ke-homogenitas-an budayanya, tidak lagi ada suatu negara modern yang terdiri atas hanya satu bangsa atau satu etnis yang menghuninya, negara sekarang menjadi semakin ‘multikultural’ (Kymlicka, 2003:8). Kymlicka menjadi penting dalam pemikiran filsafat politik terutama dalam tema multikulturalisme karena Kymlicka merupakan pemikir awal yang memberikan deskripsi yang sistematis dan runut tentang hak minoritas. Fakta bahwa Kymlicka merupakan salah satu ikon filsafat politik kontemporer yang masih hidup menjadi penting bagi penulis untuk mendeskripsikan ulang pemikirannya tentang hak minoritas secara lebih
5
terstruktur, guna memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang teori Kymlicka. 1. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian studi kepustakaan ini berusaha mencari jawaban atas tiga pertanyaan utama yang dapat dijabarkan sebagai berikut: 1) Apakah yang dimaksud dengan hak minoritas? 2) Apakah yang dimaksud dengan masyarakat multikultural? 3) Bagaimana pandangan Will Kymlicka tentang hak minoritas pada masyarakat multikultural? 2. Keaslian Penelitian Multikulturalisme merupakan tema yang masih segar untuk diteliti. Kemunculan studi ini dikategorikan lebih ‘muda’ dibandingkan dengan bidang studi ilmu lain yang telah ada sebelumnya sehingga dimungkinkan masih terdapat banyak topik-topik yang masih dapat dieksplorasi lebih lanjut, terlebih dalam perspektif filosofis. Beberapa studi yang tercatat telah mengawali tema tentang penelitian ini antara lain: a) Philosophical Methodology in Will Kymlicka’s Multikultural Citizenship ialah artikel yang ditulis oleh Evan Clarke dan diterbitkan dalam jurnal Federal Governance, Queen’s University, Vol. 5, No. 1, 2008. b) Makalah Fatih Öztürk dengan judul Critics of Will Kymlicka’s Liberal Minority Rights Theory: Failure to Proeligious Minorities, diterbitkan pada tahun 2012.
6
c) Liberalism, Community and Culture, sebuah review terhadap karya Kymlicka dengan judul yang sama yang diterbitkan pada tahn 1989. Review ini ditulis oleh Margaret Moore dalam Jurnal NOÛS tahun 1992 pada Vol.26 No.4. d) Muhammad Taufiqqurahman dalam skripsi Fakultas Filsafat dengan judul Multikulturalisme: Kajian Konflik Identitas (Telaah Pierre Bourdieu dan Theodore W. Ardono). e) Supartiningsih dalam artikel Jurnal Ilmiah ‘Wisdom’ Vol. 6, No.1, April 2006, dengan judul Etika Diskurus bagi Masyarakat Mutikultural: Sebuah Analisis dalam Perspektif Pemikrian Jurgen Habermas. f) Dewi Nurul Maliki, dalam artikel ‘Jurnal Sosial dan Politik’ Vol. 14, no.1, Juli 2010, dengan judul Resistensi Kelompok Minoritas Keagamaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Hingga akhir penulisan karya ini, penulis belum menemukan penelitian yang memiliki kesamaan dalam hal objek materi dan objek formal ataupun memiliki keterkaitan utuh serta struktur redaksional kata yang sama persis dengan penelitian ini. Pernyataan ini diberikan tidak terlepas dari keterbatasan akses yang dimiliki oleh penulis, meskipun penggalian-penggalian data telah secara maksimal dilakukan oleh penulis selama periode penelitian. Penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang disusun dalam skripsi ini adalah syah dan murni belum ada duplikatnya. 3. Manfaat Penelitian
7
Penelitian ini dilaksanakan dengan harapan besar agar dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak, selain tentu bagi penulis sendiri. Adapun pihakpihak serta manfaat yang disertainya dapat dijabarkan berikut: a. Bagi ilmu filsafat, penelitian ini diharapkan mampu menginventaris salah satu teori Will Kymlicka khususnya yang tentang hak minoritas. Kajiankajian terhadap karya Kymlicka cenderung masih kurang dilakukan, mengingat Kymlicka merupakan salah satu pemikir dalam bidang filsafat politik
kontemporer
terutama
multikulturalisme.
Kelangkaan
ini
khususnya terjadi di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pemantik untuk selanjutnya memunculkan lebih banyak ketertarikan terhadap interpretasi filosofis lain terhadap pemikiran Kymlicka, serta lebih luas lagi tentang kajian multikulturalisme. b. Bagi akademisi dan ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam tataran idealitas keilmuan, terutama pada bidang multikulturalisme, hak minoritas, maupun penafsiran terhadap pemikiran Will Kymlicka. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pemikiran Kymlicka tentang hak minoritas ini diharapkan dapat memunculkan gagasan kreatif guna penelitian-penelitian berikutnya. c. Bagi masyarakat, bangsa, dan Negara, penelitian ini dilakukan dengan bertolak dari permasalahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia, oleh karenanya sangat disayangkan apabila manfaat penelitian ini tidak kembali pada pihak yang menginspirasinya. Penulis memiliki harapan yang besar akan manfaat yang dapat diberikan
8
penelitian ini bagi masyarakat, bangsa, dan negara, dalam isu-isu multikultural dan permasalahan-permasalahan politik yang dihadapi oleh kelompok minoritas. Solusi yang diberikan dapat berupa banyak hal, salah satunya ialah menjelaskan hak-hak yang dimiliki oleh kaum minoritas, mengingat banyak kelompok minoritas di Indonesia yang kurang sadar akan hak-hak politiknya sebagai warga negara.
B. Tujuan Penelitian Gagasan besar penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui hak minoritas dalam masyarakat multikultural menurut Will Kymlicka, sehingga dapat dikatakan bahwa tujuan penelitian ini sesuai dengan yang sebelumnya telah dipaparkan dalam rumusan masalah: 1) Mengetahui apa yang dimaksud dengan hak minoritas. 2) Mengetahui yang dimaksud dengan masyarakat multikultur. 3) Mengetahui bagaimana pandangan Kymlicka tentang hak minoritas pada masyarakat multikultural.
C. Tinjauan Pustaka Supartiningsih (2006:55-56) dalam artikel jurnal yang berjudul Etika Diskusrsus bagi Masyarakat Multikultural: Sebuah Analisis dalam Perpektif Pemikiran Jurgen Habermas, mengikuti asumsi pemikiran Parsudi Suparlan, mendefinisikan masyarakat multikultural sebagai sebuah masyarakat yang mempunyai kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang
9
coraknya seperti mosaik. Definisi tersebut mengasumsikan bahwa dalam suatu kemajemukan masih terdapat berbagai jenis kemajemukan yang berbeda. Supartiningsih mengemukakan bahwa suatu kelompok memiliki nilai yang berbeda-beda dan sering terjadi kasus di mana suatu kelompok melakukan klaim kebenaran absolut terhadap kelompok mereka (Supartiningsih, 2006:55-56). Young lebih lanjut menjelaskan tentang karakter penting identitas kultural sebagai “a crucial characteristic of cultural identities is their variation in intensity” (Young, 1976:44). Young mengategorikan perbedaan kultural ke dalam lima hal dasar yang mendasari pembedaan, yaitu etnis, ras, agama, kasta, dan wilayah. Pembedaan itu merupakan suatu identitas given yang diperoleh setiap individu sejak lahir, sehingga kebanggan atas identitas dan karakteristik kelompok yang melekat pada individu merupakan suatu keharusan yang ditanamkan sejak kecil. Penanaman identitas dan karakteristik kelompok kepada anggotanya dilakukan tidak sekedar untuk memupuk nostalgia dan kecintaan mereka terhadap komunitasnya semata, namun juga untuk mengakarkan suatu identitas budaya dalam diri masing-masing individu. Isaacs memberikan fungsi dari identitas kelompok tersebut sebagai ‘kepribadian individu dan pengalaman hidup: rasa memiliki dan kualitas harga diri’ (Isaacs, 1993:53). Kebanggaan
identitas
membutuhkan
kehati-hatian
dalam
proses
pengelolaannya, karena apabila tidak dikelola dengan hati-hati justru akan menimbulkan chauvinisme dan primordialisme kelompok yang berakibat fatal bagi eksistensi keberagaman itu sendiri. Studi yang dilakukan Tafiqqurahman dalam skripsinya menjelaskan adanya indikasi keterkaitkan antara konsep
10
identitas dalam budaya menurut Ardono dengan konsep habitus alam perjuangan di fiel (Tafiqqurahman, 2008:viii). Contoh faktual kondisi kelompok minoritas di Indonsia dapat dilihat dalam penjabaran artikel jurnal Maliki yang membahas tentang Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). JAI pada umumnya muncul sebagai minoritas dalam komunitas muslim di Indonesia, yang dinilai memiliki dasar keagamaan yang berbeda dengan komunitas muslim pada umumnya. Perbedaan ini memicu tumbuhnya berbagai tindakan-tindakan minoritisasi terhadap JAI sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dari kelompok JAI (Maliki, 2010:47). Pengotak-kotakan masyarakat tidak dapat dipungkiri menjadi suatu fakta dalam negara yang mengklaim diri mereka sebagai negara multikultural. Diferensiasi juga muncul sebagai efek samping dari pengakuan negara terhadap kelompok minoritas seiring dengan demokrasi. Sebagian pendapat menyatakan bahwa masyarakat yang terkotak-kotak dapat menjadi suatu ancaman yang sangat serius dalam pemerintahan demokratis, suatu argumen yang ditentang oleh Kymlicka. Riset yang dilakukan oleh Clarke Evan terhadap salah satu karyanya membantu menunjukkan bahwa pemikiran Kymlicka pada dasarnya berusaha mengharmonisasikan lingkup-lingkup tersebut dalam konteks menyamakan urgensi antara hak-hak individu dengan kelompok (Evan, 2008:2).
D. Landasan Teori Filsafat politik merupakan salah satu cabang kecil yang telah mengalami perkembangan panjang dalam sejarah pemikiran filsafat (Palmquis, 2007:33). Pemikiran-pemikiran tentang politik dikontribusikan oleh filsuf dan telah
11
tersistematisasi dengan baik serta merefleksikan situasi-kondisi konkret yang terjadi pada zamannya. Tidak ada studi tentang problem filsafat politik yang cemerlang tanpa adanya kesadaran bahwasannya ada keterkaitan pemasalahan dasar antara filsafat politik dengan filsafat umum (Ebenstein, 1959:3). Pemikiran tentang filsafat politik sudah bermula sejak masa keemasan filsafat pada zaman Yunani, terutama ketika Plato mencetuskan ide-idenya tentang bentuk negara ideal. Ide-ide tentang permasalahan politik kemudian secara lanjut dibahas melalui sintesa-sintesa baru. Gagasan tentang filsafat politik pada zaman kontemporer ini memiliki haluan yang lebih baru sekaligus memiliki nilai utama yang berbeda dengan karakteristik filsafat politik tradisional-klasik. Hal yang sama juga terjadi pada liberalisme kontemporer, dengan pilihan teori-teori yang diangkat lebih grounded dan kontekstual, seperti isu-isu minoritas, migrasi, dan politik pengakuan, sementara karakteristik penekanan pada liberalisme klasik lebih pada individu (Schmandt, 2002:467). Liberalisme sebagai aliran filsafat merupakan suatu paham yang mendasarkan pada hak-hak individu. Liberalisme klasik dimulai oleh pemikiran John Stuart Mill, yang ditengarai juga sebagai pemikir paham liberalisme terbesar dengan karya utamanya berjudul On Liberty. Pokok pembahasan dalam buku tersebut seputar kebebasan sipil atau sosial, sebagaimana dijelaskan bahwa hak itu sendiri merupakan hakikat dan batas kekuasaan yang dapat dijalankan secara sah oleh masyarakat atas individu (Mill, 2005:1). Perkembangan pemerintahan dari tirani menuju demokrasi tidak serta merta menyelesaikan permasalahan kebebasan individu, karena dalam demokrasi pun terdapat ancaman tirani dalam bentuk yang
12
berbeda. Tirani non-pemerintah tersebut dapat terbentuk dari tirani individu, kelompok, dan bahkan kelompok lebih besar yang berupa tirani mayoritas. Konsep tentang hak dan hak asasi manusia menjadi permasalahan yang sangat sering dibahas dalam kurun waktu dewasa ini. Pandangan liberalisme cenderung akan lebih mengasosiasikannya konsep hak dengan manusia pada pemahaman tentang hak yang melekat pada ke-aku-an seorang idividu, seperti hak akan kepemilikan, hak akan kebebasan, hak akan hidup, dan sebagainya (O’Hear, 2006:57-93). Lain halnya dengan pemahaman hak individu dengan hak kelompok, yang keduanya sangat sulit dipertemukan karena saling bertolak belakang. Individu dalam kelompok tak ada lain akan dipandang sebagai satuan dari masyarakat yang lebih luas, sementara kelompok akan diartikan sebagai kumpulan-kumpulan individu. Pertentangan hak antara individu dan kelompok dalam liberalisme menjadi tema yang juga masih menjadi perdebatan dalam kalangan liberalis sendiri. Terjadi pembahasan tentang hak-hak minoritas yang mendapatkan perhatian khusus dari para negarawan liberal pada sekitar abad ke19,
terutama dalam
kaitannya
dengan
negara
multi-bangsa.
Kymlicka
mengungkapkan bahwa adanya berbagai macam kelompok dan jenis tuntutan dari kelompok tersebut lah yang memunculkan politik multikulturalisme (Kymlicka, 2003:73). Beberapa tokoh liberalisme kontemporer memberikan self-citics terhadap pemahaman liberalisme itu sendiri. Alexis de Tocqueville (Ebenstein, 1960:237) memberikan gambaran yang jelas tentang adanya tirani mayoritas dalam pelaksanaan liberalisme yang sesungguhnya, serta menekankan adanya perbedaan
13
antara pemahaman tentang liberty dan equality. Kymlicka merupakan salah satu tokoh yang mempertahankan teori Dworkin bahwa segala teori politik harus berdasar pada kesetaraan sebagai dasar nilai politiknya (Cole, 2003:3). Kymlicka menyadari bahwa teori kesetaraan moral, yang dikembangkan sebelumnya, masih sangatlah abstrak, sehingga Kymlicka berusaha menyusun sistematika filsafatnya sendiri guna membangun konsepsinya tentang hak minoritas dalam pandangan teori liberal.
E. Metode Penelitian Penelitian ini dikategorikan dalam metode penelitian kepustakaan, dengan model penelitian historis-faktual mengenai tokoh (Bakker dan Zubair, 1990:61). Tujuannya adalah untuk mengetahui interpretasi lebih dalam serta refleksi kritis terhadap pemikiran Kymlicka terkait hak minoritas, sehingga dapat diketahui dengan singkat bahwa penelitian ini memiliki objek material hak minoritas dalam masyarakat multikulturalisme Will Kymlicka dengan objek formal filsafat politik atau lebih spesifiknya liberalisme dan politik multikulturalisme. 1) Bahan Penelitian dan Materi Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, maka langkah yang terpenting dan utama yang harus dilakukan adalah mengumpulkan buku-buku dan berbagai jenis kepustakaan yang terkait dengan tema penelitian. Kepustakaan yang terhimpun dikatergorikan menjadi dua jenis kepustakaan, yaitu kepustakaan primer dan kepustakaan sekunder. a. Pustaka Primer
14
Pustaka primer yang digunakan ialah buku, jurnal, ataupun artikel ilmiah yang dituliskan oleh Will Kymlicka terutama yang terkait dengan tema hak minoritas dan multikultural. Sejauh ini, beberapa karya utama dalam bentuk buku yang telah berhasil dihimpun antara lain: 1) Liberalism, Community and Culture (1989), 2) A Contemporary Political Philosophy: an Introduction (1990) yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Pengantar Filsafat Politik Kontemporer: Kajian Khusus atas Teori-teori Keadilan (2004), 3) Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights (1995) atau yang telah diterjemahkan dalam edisi bahasa Indonesia dengan judul Kewargaan Multikultural: Teori Liberal mengenai Hak-hak Minoritas (2003), 4) States, Nations and Cultures (1997), 5) Politics in the Vernacular: Nationalism, Multikulturalism, and Citizenship (2001), 6) Multikultural Odysseys: Navigating in the New International Politics of Diversity (2007), 7) Zoopolis: A Political Theory of Animal Rights (2011) yang dtulis bersama dengan Sue Donaldson. Beberapa karya Kymlicka yang telah dihimpun dalam bentuk artikel ataupun kontibusi tulisan, antara lains sebagai berikut:
15
1) Interpreting Group Rights yang dtiterbitkan dalam Jurnal The Good Society, Vol.6, No. 2 pada tahun 1996 (halaman 8-11), 2) The Rights of Minority Cultures: Reply to Kukathas diterbitkan dalam jurnal Political Theory Vol 20, No. 1 tahun 1992 (halaman 140-146), 3) Kontribusi artikel pada buku Companion to Contemporary Political Philosophy yang ditulis Kymlicka dengan judul Community. 4) Beberapa artikel yang ditulisnya sebagai pengantar editor, seperti dalam buku Ethnicity and Group Rights (New York University Press, 1997), Multiculturalism in Asia (Oxford University Press, 2005), The Rights of Minority Cultures (Oxford University Press, 1995), Citizenship in Diverse Society (Oxford University Press, 2000). 5) Beberapa karyanya juga tersebar dalam beberapa karya sebagai kontribusi
artikel,
seperti
diantaranya
Liberal
Theory
of
Multiculturalism pada buku Righst, Culture, and the Law: Themes from the Legal and Political Philosopher of Joseph Raz (2003). Kymlicka
secara
aktif
menulis
banyak
literatur
terkait
tema
multikulturalisme, khususnya tentang hak minoritas. b. Pustaka Sekunder Pustaka sekunder yang digunakan dalam penelitian ini ialah berbagai kepustakaan dari tokoh maupun hasil studi yang memberikan ulasan dan komentar terhadap pemikirna Kymlicka. Sejauh ini, ulasan-ulasan yang telah terhimpun antara lain terdapat dalam:
16
1) Karya
Bhikhu
Parekh
berjudul
Rethinking
Multikulturalism:
Keberagaman Budaya dan Teori Politik, tahun 2008 diterbitkan oleh Kanisius. 2) Hak-hak Asasi Manusia Polemik dengan Agama dan Kebudayaan oleh F. Budi Hardiman, terbit tahun 2011, Kanisius. 3) The Politics of Cultural Pluralism oleh Crawford Young ditebitkan oleh The Wisconsin University Press pada tahun 1976. 4) Makalah Fatih Öztürk dengan judul Critics of Will Kymlicka’s Liberal Minority Rights Theory: Failure to Proeligious Minorities, diterbitkan pada tahun 2012. 5) Liberalism, Community and Culture, sebuah review karya Kymlicka dengan judul yang sama yang diterbitkan pada tahn 1989. Review ini ditulis oleh Margaret Moore dalam Jurnal NOÛS tahun 1992 pada Vol.26 No.4. 2) Jalan Penelitian Tahapan yang dilakukan guna melaksanakan penelitian secara urut dapat dideskripsikan sebagai berikut: 1) Inventarisasi data Pada tahapan pertama ini dilakukan upaya mengumpulkan berbagai data kepustakaan sebanyak mungkin yang berhubungan dengan judul penelitian, baik yang berhubungan dengan objek material maupun objek formal. Data kepustakaan dikumpulkan baik secara konvensional, yaitu melalui buku-buku cetak, maupun secara online atau electronic.
17
2) Klasifikasi data Setelah pengumpulan data, tahap berikutnya yaitu memilah data pustaka menjadi kategori pustaka primer ataupun pustaka sekunder. Data yang diklasifikasikan tersebut tidak menutup kemungkinan baik berasal dari buku, ebook, jurnal, maupun artikel. 3) Analisis data Tahap inti dalam penelitian ini ialah menganalisis data yang telah dikumpulkan dan diklasifikasikan dengan seksama. Analisis data dilakukan dengan metode yang telah dipilih oleh peneliti, yaitu melalui metode penelitian kepustakaan dengan model penelitian historis-faktual mengenai tokoh. 4) Evaluasi kritis Evaluasi kritis dilakukan pada tahap terakhir setelah ketiga tahapan sebelumya telah dilalui. Evaluasi kritis digunakan oleh peneliti untuk memberikan pemaparan reflektif dan kritis secara berimbang dan objektif. c. Analisis Hasil Penelitian ini menggunakan metode hermeneutika filosofis. Adapun unsure-unsur metodis penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut: 1) Deskripsi Variabel-variabel permasalahan dalam penelitian ini dideskripsikan dengan jelas, dengan begitu akan mempermudah masuk ke tahapan berikutnya serta dapat memberikan dekripsi tentang permasalahan hak minoritas dalam filsafat politik Kymlicka.
18
2) Interpretasi Karya utama Kymlicka dipahami secara mendalam guna mendapatkan kekhasan arti dan nuansa yang dimaksudkan terhadap tema hak minoritas yang akan diteliti lebih lanjut. 3) Koherensi Intern Konsep-konsep yang telah dikumpulkan dari pembacaan terhadap karya Kymlicka kemudian tidak kemudian disusun secara serta merta namun juga dipilah dan disusun sehingga tercipta keselarasan antara satu dengan yang lain. Ditentukan pula inti pikiran, susunan logis-sistematis, serta gaya dan metode berpikir Kymlicka terhadap tema hak minoritas melalui metode koherensi intern ini. 4) Holistika Guna melihat konsepsi filosofis Kymlicka secara mendalam, maka akan dipahami keseluruhan pandangannya tentang manusia, dunia, serta Tuhan. 5) Kesinambungan Historis Kesinambungan historis digunakan untuk mengetahui perkembangan pemikiran Kymlicka terkait tema hak minoritas, maka akan dipelajari pula latar
belakang
internal
maupun
eksternal
yang
mempengaruhi
pemikirannya. 6) Idealisasi Idealisasi digunakan untuk memberikan konsepsi universal dan ideal tentang pemahaman filosofis terhadap tema hak minoritas dalam pemikiran Kymlicka.
19
7) Deskripsi Penelitian ini juga akan menggunakan metode deskripsi guna menguraikan lebih lanjut dan teratur terkait pemikiran Kymlicka mengenai hak minoritas dalam perspektif liberalisme.
F. Hasil yang Dicapai Penelitian ini diharapkan dapat meraih pencapaian berupa hasil-hasil berupa jawaban dari pertanyaan yang telah disampaikan dalam rumusan masalah: 1) Deskripsi hak minoritas. 2) Deskripsi masyarakat multikultural. 3) Pandangan
Kymlicka
tentang
hak
minoritas
pada
masyarakat
multikultural.
G. Sistematika Penulisan Penelitian ini secara garis besar disusun dengan sistematika bab dan sub bab. Pertama tema yang umum dan pembahasan yang lebih luas diletakkan sebagai bab dan kemudia dibahas secara lebih terperinci dalam rangkaian subbabnya secara sistematis hingga diharapkan terhimpun deskripsi dan pemahaman yang runut. Bab pendahuluan yaitu bab pendahuluan diawali dengan berbagai pengantar memasuki pemikiran Will Kymlicka terkait hak minoritas dipersiapkan dan dijabarkan secara sekilas. Pembahasan bab ini akan memberikan penjelasan yang sistematis guna menjawab pertanyaan-pertanyaan awal tentang latar
20
belakang dan tujuan penelitian ini dibuat, serta bagaimana metode penelitian yang digunakan. Bab awal ini juga akan membahas mengenai tinjauan pustaka, landasan teori, maupun pemberian daftar penelitian-penelitian yang pernah dilakukan terkait tema yang sama dalam keaslian penelitian. Bab kedua berjudul ‘Latar Belakang Pemikiran Will Kymlicka’ menjabarkan tentang latar belakang pemikiran Will Kymlicka serta kontribusikontribusinya pada bidang multikulturalisme. Pembahasan bab ini akan dimulai dengan memberikan deskripsi tentang riwayat hidupnya dan karya-karya Kymlicka. Guna mengetahui lebih lanjut motivasi yang menjadi titik tolak pengembangan teori Kymlicka, maka penulis memberikan gambaran singkat tentang sejarah, kondisi, dan situasi multikulturalisme yang ada di Kanada. Penulis juga berusaha menunjukkan keterkaitan pemikiran Will Kymlicka dengan pemikiran-pemikiran yang berkembang sebelumnya, sehingga turut serta diberikan deskripsi tentang pemikir-pemikir siapa saja yang menjadi pengaruh dalam pemikiran Kymlicka. Penutup dari bab ini merupakan pengaruh dan kontribusi pemikiran Will Kymlicka baik terhadap pemikir-pemikir lain maupun terhadap dunia intelektual. Pembahasan selanjutnya memuat pandangan-pandangan yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian, yaitu terkait dengan pembahasan politik multikulturalisme, khususnya dalam kerangka pemikiran liberalisme. Pembahasan akan diutamakan pada deskripsi dan pemahaman tentang liberalisme kontemporer yang mendukung eksistensi hak kelompok dalam masyarakat liberal, lalu akan dibahas juga realitas multikultural yang dihadapi dalam masyarakat, untuk
21
selanjutnya dapat memahami apa yang dimaksud dengan politik multikultural dalam kajian ini. Pokok dari penelitian ini terdapat dalam analisis bab keempat, yang membahasan lebih dalam tentang hak minoritas dalam masyarakat multikultural menurut Will Kymlicka. Pembagian sub pembahasan dalam bab ini dimulai dengan mendeskripsikan konsepsi diri atau the Self dalam liberalisme yang dipahami oleh Kymlicka. Selanjutnya dilakukan pembahasan tentang masyarakat multikultural yang mengakui bentuk kebudayaan yang disebut Societal Culture atau Kebudayaan Kemasyarakatan. Sub pembahasan ini akan menjelaskan pola keragaman yang terjadi dalam suatu masyarakat dan juga bentuk kelompok minoritas yang terdapat di dalamnya. Bab ini akan ditutup melalui pemikiran Kymlicka tentang hak minoritas dan konsepsinya tentang keadilan etnokultural. Bab kelima ini dibuat secara tentatif, karena penulis merasakan adanya keharusan untuk memberikan memaparkan refleksi kritis terhadap pemikiran Will Kymlicka dalam hak minoritas serta memberikan pembahasan terpisah mengenai keterkaitan teori hak minoritas Kymlicka dengan kondisi multikulturalisme di Indonesia. Bab terakhir berisi kesimpulan-keseimpulan yang didapatkan melalui pembaasan yang telah dilakukan serta memberikan saran bagi studi tentang multikulturalisme ke depan.