BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pangkalan Data Perguruan Tinggi (PDPT) Dikti tahun 2010 melaporkan bahwa jumlah perguruan tinggi di Indonesia mengalami peningkatan, baik perguruan tinggi negeri maupun swasta namun, peningkatan jumlah perguruan tinggi tersebut tidak dibarengi dengan pemerataannya di setiap kota atau daerah, dimana terdapat kota atau daerah yang sangat banyak perguruan tingginya dan ditempat lain sangat terbatas dan bahkan mungkin tidak ada. Data Dikti tahun 2010 menunjukkan bahwa dari 3098 perguruan tinggi di Indonesia, 1504 atau hampir 50%-nya berada di Pulau Jawa. Perguruan tinggi berkualitas di Indonesia masih didominasi perguruan tinggi di Pulau Jawa. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh 4International Colleges and Universities (4ICU), Webometrics dan QS Top Universities pada tahun 2012 melaporkan bahwa 10 universitas terbaik di Indonesia terdapat di Pulau Jawa (www.kompasiana.com). Kualitas pendidikan yang tidak merata di Indonesia menyebabkan tingginya jumlah pelajar yang memutuskan meninggalkan daerah asalnya untuk menempuh pendidikan yang lebih berkualitas di Pulau Jawa. Individu yang tinggal di daerah lain untuk menuntut ilmu di perguruan tinggi dan mempersiapkan diri dalam pencapaian suatu keahlian jenjang perguruan tinggi diploma, sarjana, magister atau spesialis disebut sebagai mahasiswa perantau (Poerwadarminta, 2005). Pada umumnya, mahasiswa memutuskan untuk merantau ke daerah lain dengan tujuan meraih kesuksesan melalui kualitas pendidikan yang lebih baik pada bidang ilmu yang diinginkan. Fenomena mahasiswa perantau tersebut merupakan bentuk usaha individu untuk membuktikan kualitas diri sabagai orang dewasa yang mandiri dan
1
2 bertanggung jawab dalam membuat keputusan (Santrock, 2002). Dalam menempuh pendidikan di perguruan tinggi, tantangan yang dihadapi mahasiswa perantau berbeda dengan mahasiswa yang bukan perantau. Pelajar yang berasal dari luar daerah harus beradaptasi dengan kebudayaan yang baru, pendidikan yang baru dan lingkungan sosial yang baru (Lee, Koeske, Sales, 2004). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lin dan Yi (1997 dalam Lee, Koeske, Sales, 2004) menunjukkan bahwa masalah unik yang dialami mahasiswa perantau adalah masalah psikososial diantaranya adalah tidak familiar dengan gaya dan norma sosial yang baru, perubahan pada sistem dukungan, dan masalah intrapersonal dan interpersonal yang disebabkan oleh proses penyesuaian diri. Masalah yang dihadapi mahasiswa perantau yang dijelaskan di atas akan lebih berat bagi mahasiswa perantau tahun pertama yang sedang mengalami transisi dari sekolah menengah atas ke perguruan tinggi. Selain berpisah dengan orang tua, perbedaan sifat pendidikaan di sekolah menengah atas dan perguruan tinggi (perbedaan kurikulum, disiplin, dan hubungan antara dosen dengan mahasiswa), hubungan sosial, masalah ekonomi dan pemilihan jurusan menjadi masalah bagi mahasiswa perantau tahun pertama (Gunarsa & Gunarsa, 2004). Santrock (2002) menambahkan bahwa masa transisi yang dialami mahasiswa perantau tahun pertama adalah perpindahan dari sekolah menengah atas ke perguruan tinggi yang merupakan perpindahan ke struktur sekolah yang lebih besar dan lebih individual, berinteraksi dengan teman yang berbeda dan terkadang dengan latar belakang budaya yang berbeda, serta peningkatan fokus pada prestasi akademik, dan sistem penilaiannya. Bagi beberapa orang, masa transisi ini dibarengi dengan perubahan hidup
lainnya
seperti
meninggalkan
rumah,
mulai
menjalin
hubungan
yang
menguntungkan, mengatur tempat tinggal yang baru serta menghadapi pengaturan keuangan untuk pertama kali (Steinberg, 1999). Seperti halnya masalah yang dikemukakan oleh seorang mahasiswi perantau asal Pekanbaru dalam hasil wawancara singkat yang
3 dilakukan pada tanggal 20 Februari 2014 di Gedung B Fakultas Psikologi UGM yang mengatakan bahwa masalah yang dikeluhkan adalah kesulitan dalam proses adaptasi, harus dapat mengatur uang sendiri dan waktu, serta ada perasaan rindu akan suasana rumah. Hal senada juga diutarakan oleh mahasiswi perantau asal Kalimantan Timur yang mengatakan bahwa harus dapat mandiri misalnya pagi-pagi harus nyiapain sarapan sendiri, terus harus dapat mengatur waktu dan keuangan, tidak jarang juga timbul perasaan homesick. Hasil wawancara di atas juga menggambarkan bahwa masalah lain yang sering dialami mahasiswa perantau adalah rindu kepada keluarga dan kampung halaman. Saat timbul perasaan rindu akan keluarga, mereka hanya dapat memandangi foto atau berkomunikasi lewat telepon. Selain itu, iklim persaingan yang ketat di perguruan tinggi menuntut mahasiswa tahun pertama bersaing di bidang akademis yang mengakibatkan mereka merasa kesulitan dan tidak berdaya terhadap tuntutan di perguruan tinggi (Montgomery dan Cote dalam Papalia, Olds, Feldman, 2009). Pada masa perkuliahan tersebut, mahasiswa perantau tahun pertama rentan mengalami stres. Dukungan keluarga menjadi salah satu faktor pendukung utama bagi mahasiswa perantau tahun pertama untuk menyesuaikan diri terhadap kehidupan di perguruan tinggi (Montgomery dan Cote dalam Papalia, Olds, Feldman, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Lin dan Yi (1997 dalam Lee, Koeske, Sales, 2004) menyatakan bahwa mahasiswa yang berasal dari luar daerah akan mengalami perubahan sistem dukungan karena berkurangnya kontak dan dukungan dari keluarga dan temantemannya. Oleh karena itu, dukungan sosial merupakan isu penting bagi mahasiswa perantau. Dukungan sosial merupakan kenyamanan, perhatian, penghargaan, maupun bantuan dalam bentuk lainnya yang diterima individu dari orang lain ataupun dari kelompok (Sarafino, 2002). Dukungan sosial yang positif dari orang-orang terdekat dapat
4 memberikan kesejahteraan psikologis (psychological well being) sekaligus penanganan terhadap stres pada mahasiswa perantau tahun pertama. Kesejahteraan psikologis (psychology well being) seseorang dapat diketahui melalui pandangan/persepsi seseorang akan kondisi mental yang dianggap sehat atau lebih dikenal dengan istilah subjective well being. Subjective well being merupakan penilaian pribadi individu mengenai hidupnya, bukan berdasarkan penilaian dari ahli, termasuk di dalamnya mengenai kepuasan (baik secara umum, maupun pada aspek spesifik), afek yang menyenangkan dan rendahnya tingkat afek yang tidak menyenangkan (Diener, 2000). Subjective well being ditentukan oleh bagaimana cara individu mengevaluasi informasi atau kejadian yang dialami (Diener, 2000). Proses kognitif berperan penting dalam menentukan bagaimana informasi tersebut akan diatur yang dipengaruhi oleh temperamen, standar yang ditetapkan oleh individu, mood saat itu, situasi yang terjadi dan dialami saat itu serta pengaruh budaya. Dengan kata lain subjective well being mencakup evaluasi kognitif dan afektif. Reaksi afektif dalam subjective well being adalah reaksi individu terhadap kejadian-kejadian dalam hidup meliputi emosi yang menyenangkan dan emosi yang tidak menyenangkan. Seseorang dikatakan memiliki subjective well being tinggi jika memiliki perasaan sangat bahagia, sangat puas dengan hidupnya, dan memiliki tingkat neurotisme yang rendah (Nayana, 2013). Sebaliknya seseorang memiliki subjective well being rendah jika perasaan bahagia yang dirasakan cenderung lebih sedikit, kurang puas akan hidupnya serta memiliki tingkat neurotisme yang tinggi. Bagi mahasiswa perantau, kondisi mental yang positif tergantung dari dukungan sosial yang diterima dalam mengatasi stres terkait penyesuaian terhadap lingkungan baru. Sebaliknya seseorang yang menerima dukungan sosial yang minim akan cenderung mengalami kondisi mental yang tidak stabil. Seseorang memiliki kondisi well being yang
5 rendah jika mengalami kesulitan dalam mengoptimalkan usahanya dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang baru (Seligman, dalam Nayana, 2013). Uraian di atas menunjukkan bahwa peranan dukungan sosial yang diterima mahasiswa perantau tahun pertama sangatlah penting dalam kesejahteraan psikologis mereka, sehingga penulis mengangkat masalah ini dalam penelitian dengan judul “Dukungan sosial dengan subjective well being pada mahasiswa perantau dari luar Jawa tahun pertama”. Penelitian ini dilakukan untuk menguji hubungan dukungan sosial dan subjective well being pada mahasiswa perantau tahun pertama asal luar Jawa di Yogyakarta. Peneliti melakukan penelitian ini di beberapa asrama mahasiswa luar Jawa di Yogyakarta. Di Yogyakarta terdapat sekitar 30 asrama mahasiswa dan 25 diantaranya merupakan asrama dari luar Jawa (www.pendidikan-diy.go.id).
B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji hubungan antara dukungan sosial dengan subjective well being pada mahasiswa perantau dari luar Jawa yang menempuh kuliah di tahun pertama.
C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan referensi studi mengenai dukungan sosial dan subjective well being serta berguna untuk penelitian yang terkait. Penelitian ini juga bermanfaat untuk menambah kajian ilmu psikologi khususnya psikologi bagian sosial dan klinis yang berkaitan dengan dukungan sosial dan subjective well being.
6 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini dapat dijadikan landasan untuk memberikan pendampingan bagi mahasiswa perantau dari luar Jawa, khususnya pada mahasiswa tahun pertama terkait dukungan sosial dan subjective well being.