1
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kasus cedera di Indonesia dapat dilihat melalui data morbiditas dan mortalitas penyakit di Rumah Sakit, cedera menduduki urutan ketiga terbanyak proporsi kasus rawat jalan, prediksi di tahun 2030 nanti akan terjadi pergeseran epidemiologi penyebab sakit yaitu terjadi peningkatan kesakitan akibat kecelakaan (Kemenkes RI, 2012). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Kemenkes RI (2013) mengungkapkan bahwa secara nasional di Indonesia terdapat kecenderungan peningkatan prevalensi cedera dari 7,5 persen menjadi 8,2 persen. Cedera yang terjadi bisa melibatkan beberapa bagian tubuh termasuk adanya cedera di daerah maksilofasial (Devadiga dan Prasad, 2007; Arslan et al, 2014). Cedera maksilofasial adalah cedera yang melibatkan jaringan lunak dan keras daerah maksilofasial, lebih dari setengahnya disertai adanya fraktur tulang, fraktur ini dapat melibatkan tulang maksila, tulang nasal, tulang zygoma, tulang frontal, tulang nasoetmoidal dan tulang mandibula (Arslan et al., 2014). Fraktur tulang mandibula merupakan kasus fraktur tulang maksilofasial terbanyak, hal ini diungkapkan oleh Syayyab (2012) bahwa fraktur mandibula ditemukan dalam 57% kasus. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Budihardja dan Rahmat (2010) bahwa fraktur mandibula dapat mencapai hingga 70%. Chacon dan Larsen (2004) mengungkapkan bahwa fraktur mandibula penting dan perlu menjadi perhatian ahli bedah, karena penanganan fraktur mandibula harus
2
bertujuan untuk memulihkan fungsi tulang mandibula dalam sistem stomatognasi yaitu mendukung fungsi mastikasi dan bicara. Jaringan tulang yang cedera biasanya dapat sembuh spontan, tapi pada cedera yang kompleks, proses penyembuhan fraktur tulang dapat tidak optimal (Oryan et al., 2013). Pham-Dang et al. (2014) menyatakan bahwa fraktur mandibula paling banyak ditemui mengalami gangguan penyembuhan tulang. Menurut Poynton dan Lane (2004) fraktur mandibula menjadi permasalahan klinis yang penting karena fraktur tulang dalam proses penyembuhannya dapat mengalami hambatan seperti deleyed union dan non union. Penyembuhan fraktur tulang dipengaruhi oleh faktor sistemik terkait kondisi sistemik pasien dan faktor lokal yang terkait dengan daerah fraktur. Penyembuhan fraktur tulang menurut Giannoudis et al. (2007) dalam diamond concept terdapat empat faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur tulang yaitu lingkungan mekanis, sel-sel osteogenik, scaffolds osteokonduktif dan growth factors (hormon). Rupani et al. (2012) mengungkapkan sesuai dengan diamond concept beberapa prosedur untuk meningkatkan penyembuhan fraktur tulang, seperti cellbase therapy, tissue engineering dan terapi farmakologis menggunakan hormon atau growth factor, setiap usaha tersebut mempunyai keuntungan dan keterbatasan, kombinasi aplikasi beberapa prosedur dapat memberikan terapi yang efektif. Hormon sudah dapat disintesis dengan teknologi DNA rekombinan yang memiliki sifat identik dengan hormon endogen. Hormon rekombinan banyak tersedia di pasar dengan harga terjangkau, mudah diaplikasikan, tidak memiliki sifat donor site
3
morbidity seperti pada cell base therapy, dan aplikasinya lebih cepat dibandingkan cell base therapy maupun tissue engineering Erythropoietin (EPO) umumnya dikenal sebagai hormon hematopoetik yang disekresikan ginjal dan hati pada mamalia dewasa sebagai respon terhadap kondisi hipoksia (Brines et al., 2004). EPO dilepaskan ke sirkulasi perifer sebagai reaksi terhadap rendahnya kandungan oksigen dalam darah, EPO memicu proliferasi dan diferensiasi prekursor hematopoetik, hal itu akan meningkatkan produksi eritrosit (Farrell dan Lee, 2004). Setelah ditemukan adanya reseptor EPO (EPO-R) di luar jaringan hematopoetik maka EPO dikaji untuk efek non-hematopoietik (McGee et al., 2012; Mennini et al., 2006). EPO memiliki fungsi tertentu pada jaringan yang berbeda (Haroon et al., 2003). EPO diketahui memiliki fungsi fisiologis selain membentuk eritrosit
yaitu
fungsi
neuroprotektif,
angiogenesis,
perkembangan
otak,
kardioprotektif, proteksi pembuluh darah, fungsi penyembuhan luka jaringan lunak, proteksi retina dan proteksi ginjal (Arcasoy, 2010). Pengaruh EPO pada regulasi pemeliharaan dan regenerasi tulang masih kontroversial karena terdapat perbedaan hasil penelitian (McGee et al., 2012). EPO buatan telah dapat disintesis dengan teknologi DNA rekombinan yang dikenal dengan recombinant human erythropoietin (rHuEPO). Penelitian mengenai rHuEPO terhadap jaringan tulang masih menjadi perdebatan sampai saat ini. Beberapa peneliti mengungkapkan adanya efek posistif rHuEPO pada jaringan tulang, yaitu Bozlar et al. (2006) meneliti efek rHuEPO pada model penelitian eksperimen fraktur tibia pada tikus Sprague-Dawley, peneliti melihat
4
adanya peningkatan angiogenesis. Holstein et al. (2007) meneliti efek rHuEPO pada penyembuhan fraktur femur tikus dengan melihat ada peningkatan densitas kalus dan mineralisasi tulang. Holstein et al. (2011) meneliti lebih lanjut tentang rHuEPO dapat mestimulasi pembentukan tulang dan angiogenesis pada model defek segmental femur tikus. Gracia et al., (2011) meneliti dosis rendah rHuEPO pada penyembuhan tulang femur tikus, peneliti melihat kekerasan tulang, kalus, kartilago dan jaringan fibrous, vaskularisasi endosteal, circulating endotelial progenior cells, ploriferating cell nuclear antigen dan NFkB. Penelitian pengaruh rHuEPO terhadap jaringan tulang yang berbeda diungkapkan oleh Singbrant et al. (2011) menyatakan bahwa EPO menyebabkan penurunan tulang trabekula dan diungkapkan bahwa EPO berpengaruh negatif pada pengaturan homeostasis jaringan tulang. Proses penyembuhan tulang diatur oleh osteoblas, osteoklas, sitokin dan faktor-faktor pertumbuhan, pada kondisi fraktur proses tersebut terdiri atas proses resorpsi tulang oleh osteoklas dan penggantian jaringan tulang baru oleh osteoblas (Sinno dan Prakash, 2013). Osteoblas dan osteoklas menarik untuk diamati karena dua sel utama tulang tersebut mempunyai interaksi yang penting untuk aktivasi, koordinasi, resorbsi dan formasi tulang. Adanya keseimbangan interaksi antara osteoblas dan osteoklas akan mempertahankan kondisi homeostasis jaringan tulang (Mcgee et al., 2012). Osteoklas merupakan sel multinukleus yang berperan pada proses resorbsi tulang, yang diperlukan untuk proses pertumbuhan tulang, erupsi gigi dan penyembuhan fraktur tulang (Vaananen et al., 2000). Osteoblas merupakan bagian
5
sistem pendukung sel stromal dalam sumsum tulang, osteoblas dan prekursornya mempunyai peran vital dalam membentuk hematopoietic stem cells (HSCs) (Taichiman dan Eerson, 1994). Osteoblas dalam fungsinya juga dipengaruhi oleh stimulus mekanis lokal dan sistemik, yang berperan untuk mempertahankan hemeostasis kerangka tubuh dan remodeling tulang. Osteoblas mensintesis dan mensekresikan kolagen tipe I yang merupakan matrik organik tulang ekstraseluler, osteoblas juga membentuk beberapa protein non kolagen yaitu osteokalsin, osteopotin dan sialoprotein tulang yang ketiganya memiliki peran vital dalam pengaturan pergantian tulang, deposisi mineral tulang dan regulasi aktivitas sel tulang (Neve et al., 2010). Kondisi individu dengan kadar hemoglobin yang relatif rendah merupakan salah satu faktor signifikan pada gangguan proses penyembuhan tulang dengan dilaporkan terdapat 33% kasus non-union (Poynton dan Lane, 2005). Proliferasi osteoblas dan osteoklas mengalami penurunan pada lingkungan dengan kadar oksigen yang relatif rendah (hipoksia) (Utting et al., 2006). Hemoglobin dalam bentuk oksihemoglobin yang terikat dalam eritrosit berperan sebagai pembawa oksigen (Buettner dan Wolkenhauer, 2007). Oksigen secara khusus mempengaruhi aktivitas beberapa jenis sel tulang dan terlibat pada beberapa proses yang penting pada penyembuhan fraktur (Lu et al, 2013) Penelitian mengenai rHuEPO masih menjadi perdebatan, sehingga menarik untuk diteliti lebih lanjut mengenai pengaruh rHuEPO pada jaringan tulang, khususnya pada proses penyembuhan kasus fraktur tulang mandibula dengan melihat sel-sel utama dalam regulasi homeostasis jaringan tulang dan hemoglobin.
6
B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut, apakah recombinant human erythropoietin berpengaruh terhadap jumlah osteoblas, jumlah osteoklas dan kadar hemoglobin pada proses penyembuhan fraktur mandibula pada tikus Sprague-Dawley. C. Keaslian Penelitian Sampai saat ini, beberapa penelitian terdahulu telah membuat tulisan mengenai Recombinant Human Erythropoietin yang berkaitan dengan fraktur tulang, yaitu: Bozlar M, et al (2006), Effects of erythropoietin on fracture healing in rats. Holstein et al. (2007), Erythropoietin (EPO):EPO-receptor signaling improves early endochondral ossification and mechanical strength in fracture healing. Holstein et al. (2011), Erythropoietin stimulates bone formation, cell proliferation, and angiogenesis in a femoral segmental defect model in mice. Gracia et al. (2011) Low dose erythropoietin stimulates bone healing in mice. Santoso, (2015), Pengaruh recombinant human erythropoietin terhadap angiogenesis pada penyembuhan defek fraktur mandibula. Penelitian lain mengenai rHuEPO dilakukan oleh Hutabarat (2012), Pengaruh pemberian recombinant human erythropoietin terhadap kekuatan tarik pada kulit pasca insisi dengan kadar hemoglobin rendah. Lima penelitian tersebut di atas adalah pada model penyembuhan fraktur tulang pada tikus. Peneliti tidak melihat jumlah osteoblas dan jumlah osteoklas dalam proses penyembuhan tulang, dan tidak melihat kadar hemoglobin subyek penelitian.
7
Hasil pelacakan literatur ilmiah mengenai pengaruh recombinant human eritropoietin terhadap jumlah osteoblas, jumlah osteoklas dan kadar hemoglobin pada model penyembuhan fraktur tulang mandibula tikus belum pernah dilakukan. D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji pengaruh recombinant human erythropoietin terhadap jumlah osteoblas, jumlah osteoklas dan kadar hemoglobin pada proses penyembuhan fraktur mandibula. E. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Masukan dalam kajian tentang proses penyembuhan pada fraktur tulang mandibula secara umum. 2. Masukan mengenai pengaruh recombinant human erythropoietin terhadap jumlah osteoblas, jumlah osteoklas dan kadar hemoglobin pada proses penyembuhan fraktur tulang mandibula. 3. Landasan untuk penelitian lebih lanjut penggunaan recombinant human erythropoietin pada fraktur tulang mandibula pada manusia.