BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini permasalahan yang terjadi di kalangan remaja semakin beragam. Permasalahan yang muncul tidak hanya pada masalah belajar seperti membolos, mencontek, dan prestasi belajar yang rendah, namun telah merambah pada kasus yang semakin serius seperti pergaulan bebas dan tindak kriminal. Berdasarkan data informasi Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) pada tahun 2009, jumlah anak-anak dan remaja pelaku tindak kriminalitas sebanyak 3.280 orang. Sebesar 2.797 orang pelaku berjenis kelamin laki-laki, sedangkan sebesar 483 orang pelaku berjenis kelamin perempuan (Kementerian Pemuda dan Olahraga, 2009). Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI pada tahun 2012 juga mencatat jumlah tersangka narkoba usia remaja yakni usia 1619 tahun mencapai angka 2.106 jiwa. Jumlah pengguna narkoba terbanyak kelima diduduki provinsi Jawa Tengah (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Pada tahun 2012, kemenkes kembali mencatat sebesar 5,2 % remaja usia 15-19 tahun telah melakukan hubungan seks pra nikah (Kemenkes, 2015). Sementara itu, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jawa Tengah mencatat sejak tahun 2010 – 2014 setiap tahun terdapat 65 – 85 kasus Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD). Sebagian besar adalah siswa usia 15 – 18 th (PKBI Jawa Tengah, 2015). Tingginya angka kenakalan remaja yang telah dipaparkan mengundang kecemasan yang semakin mendalam dari berbagai pihak yang berkepentingan khususnya Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sekolah, orang tua dan masyarakat pada umumnya (Saad, 2003:3). Salah satu alternatif yang digunakan Depdiknas sebagai utusan pemerintah untuk mengurangi angka kenakalan remaja adalah melalui optimalisasi fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan. Sekolah sebagai lembaga sosialisasi nilai dan norma yang cukup penting setelah keluarga diharapkan mampu mencetak generasi bangsa yang memiliki karakter sehingga tidak lagi terjerumus pada kenakalan remaja. 1
2
Optimalisasi
fungsi
sekolah
dilakukan
oleh
pemerintah
melalui
penyelenggaraan kurikulum 2013 dimana menekankan pentingnya aspek afektif bagi siswa. Pada kurikulum tersebut terdapat berbagai macam nilai yang ingin diimplementasikan kedalam diri siswa baik pada jenjang SD, SMP, maupun SMA. Nilai yang diimplementasikan diantaranya adalah membentuk siswa yang beriman, berakhlak mulia (jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun), rasa ingin tahu, estetika, percaya diri, motivasi internal, toleransi, gotong royong, kerjasama, musyawarah, pola hidup sehat, ramah lingkungan, patriotik, dan cinta perdamaian (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013). Melalui penanaman nilai-nilai tersebut diharapkan siswa dapat terbentuk kepribadian yang baik sehingga mampu mengendalikan perilakunya sendiri. Selaras dengan pemerintah, orang tua juga mempercayakan sekolah sebagai lembaga pendidikan di luar keluarga. Bahkan pemilihan lembaga pendidikan menjadi sesuatu yang dipikirkan orang tua secara matang. Tidak secara serta merta orang tua memilihkan lembaga pendidikan bagi anaknya. Berbagai pertimbangan dan perhitungan dilakukan orang tua untuk mendapatkan manfaat yang optimal dari pemilihan lembaga pendidikan tersebut. Sementara itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, jenis pendidikan yang ada di Indonesia mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Pendidikan jenis keagamaan seperti pesantren, saat ini cukup banyak diminati oleh masyarakat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah tahun 2014 jumlah santri di Jawa Tengah mencapai 507,853 santri. Jumlah santri tersebut mengalami peningkatan pada tahun 2015 yakni menjadi 638.288 santri. Eksistensi pesantren ini cukup memberikan kontribusi di bidang pendidikan. Berdasarkan analisis statistik Pendidikan Islam, jika dilihat dari Angka Partisipasi Kasar (APK) pada pondok pesantren, pondok pesantren mempunyai kontribusi 7,18% dari APK nasional terhadap anak usia sekolah.
3
Keberadaan pesantren cukup berkembang pesat di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Jumlah santri di Kabupaten Sragen menduduki peringkat pertama se eks-karesidenan Surakarta. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.1 dimana jumlah santri di Kabupaten Sragen mencapai angka 13.274 siswa.
Gambar 1.1. Histogram Data Jumlah Santri se-eks Karesidenan Surakarta Tahun 2015 (Sumber: jateng.bps.go.id) Salah satu pesantren modern yang terkenal di Sragen adalah SMP MTA Gemolong. Pesantren jenjang SMP di bawah naungan yayasan Majlis Tafsir Qur’an (MTA) tersebut mengajarkan mata pelajaran umum serta pelajaran agama. Pesantren ini banyak diminati oleh masyarakat baik dalam kota maupun luar kota. Siswa dari dalam kota atau sekitar SMP MTA biasanya boleh pulang kerumah atau lajo, sementara siswa dari luar kota biasanya berada di asrama. Perkembangan pesantren dalam dunia pendidikan memperlihatkan beberapa hal yang cukup menarik. Pasalnya, sekolah umum dan pesantren memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Siswa di sekolah umum hanya menempuh proses belajar mengajar 7 sampai 8 jam perhari. Setiap hari siswa dapat pulang ke rumah dan berinteraksi dengan orang tuanya. Orang tua tetap berperan memantau dan mengikuti proses pendidikan anaknya. Sementara itu,
4
proses belajar mengajar di pesantren dilakukan hampir 24 jam perhari. Selama 7 jam diantaranya pembelajaran materi umum di sekolah dan sisanya pembiasaan diri melalui penanaman nilai-nilai agama Islam di asrama. Setiap kegiatan seperti belajar, makan, mengaji, tidur, dan sebagainya telah diatur sedemikian rupa oleh pesantren. Selama di pesantren siswa hanya boleh menghubungi orang tuanya pada jam-jam tertentu. Selain itu jadwal kepulangan siswa juga telah diatur pesantren sehingga intensitas bersama orang tua menjadi sangat terbatas. Dengan demikian peran orang tua menjadi sedikit bila dibandingkan dengan orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah umum. Padahal secara sosiologis orang tua merupakan lembaga sosialisasi pertama dan utama yang seharusnya mendidik anak-anaknya. Berdasarkan fenomena tersebut, peneliti merasa tertarik untuk meneliti tentang Rasionalitas Pilihan Orang Tua Terhadap Pesantren Modern MTA Sebagai Lembaga Pendidikan Bagi Remaja Putri. Secara rasional bagaimana tujuan dan manfaat yang ingin dicapai orang tua atas pilihannya terhadap MTA, padahal masih terdapat berbagai jenis sekolah yang memberikan fasilitas dan jaminan yang lebih baik. B. Rumusan Masalah Bagaimana rasionalitas orang tua dalam memilih pesantren modern MTA sebagai lembaga pendidikan bagi remaja putri? C. Tujuan Penulisan Menjelaskan rasionalitas orang tua dalam memilih pesantren modern MTA sebagai lembaga pendidikan remaja putri. D. Manfaat Penulisan 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan kontribusi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya tentang memahami konsep “purposive” pilihan orang tua terhadap pesantren sebagai lembaga pendidikan anak melalui pendekatan teori pilihan rasional yang dipopulerkan oleh James S Coleman. Dalam teori pilihan rasional menyebutkan bahwa setiap pilihan yang dilakukan
5
oleh individu pasti ada “purposive” yang mendasarinya. “Purposive” tersebut berkaitan dengan nilai yang berkembang di dalam masyarakat. b. Memberikan gambaran tentang upaya maksimalisasi keuntungan dan minimalisasi resiko orang tua atas pilihannya terhadap pesantren sebagai lembaga pendidikan anak. Coleman menyebutkan bahwa inti pemikiran dari teori pilihan rasional adalah memaksimalkan keuntungan. Oleh karena itu penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang bagaimana orang tua memaksimalkan keuntungan dan meminimalisasi resiko pada anak dengan menyekolahkannya di pesantren. 2. Manfaat Praktis a. Orang Tua Siswa Sebagai bahan pemikiran bagi orang tua untuk turut serta melaksanakan proses pendidikan terhadap anak di luar asrama agar mampu membentuk kepribadian yang baik pada anak. b. Asrama Putri SMP MTA Gemolong Sebagai bahan evaluasi terhadap proses pembelajaran yang telah dilaksanakan agar mampu mencapai tujuan yang optimal sesuai visi dan misi yang telah dirumuskan. c. Siswa Sebagai gambaran dan arahan dalam berperilaku di dalam keluarga dan sekolah agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang berkarakter. d. Organisasi MTA Menunjukkan eksistensi organisasi dan loyalitas anggota terhadap MTA.