BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan lingkungannya, artinya membutuhkan lingkungan yang dapat memfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk belajar mandiri (Supartini, 2004). Jumlah anak usia prasekolah, berdasarkan Survei Ekonomi Nasional tahun 2001, sebesar 20,72% dari jumlah total penduduk Indonesia (Badan Perencanaan Nasional, 2004). Hasil survei yang dilakukan oleh Elvidawaty dan Mulyati tahun 2006 menunjukkan bahwa pada minggu-minggu pertama anak memasuki taman kanakkanak, beberapa anak menangis karena harus berpisah dengan orangtuanya, anak tidak ingin ditinggal orangtuanya, anak menjadi pendiam dan pemalu, dan anak datang ke sekolah dengan wajah murung. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di Amerika Serikat yang juga banyak ditemui anak-anak yang mengeluh dan menolak untuk pergi ke sekolah. Penolakan tersebut ditunjukkan dengan munculnya keluhan anak, seperti: sakit perut setiap Senin pagi, anak terlihat enggan dan harus dipaksa berangkat ke sekolah, anak dengan sengaja melupakan sesuatu supaya terlambat pergi ke sekolah, anak sering berkata benci sekolah atau tidak ingin berangkat sekolah dan ketika berada di sekolah selalu mengatakan ingin pulang (D’Alessandro & Huth, 2002). Kecemasan masuk sekolah secara sederhana dapat diartikan sebagai bagian dari kecemasan umum akibat rasa takut berpisah dari ibu atau pengganti ibu, dan ketidakmampuan berdiri sendiri. Kecemasan yang dialami oleh anak usia prasekolah 1
akan berisiko mengganggu tumbuh kembang anak. Kecemasan yang teratasi dengan cepat dan baik akan membuat anak lebih nyaman dan lebih kooperatif. Jika kecemasan berlangsung lama dan tidak teratasi, maka akan menimbulkan reaksi kekecewaan pada orangtua yang akan menimbulkan sikap pelepasan pada anak, sehingga anak mulai tidak peduli dengan ketidakhadiran orangtuanya dan lebih memilih untuk berdiam diri (Wong, 2008). Spence et al. (2001) menguatkan dampak buruk dari kecemasan pada anak dengan mengatakan bahwa anak yang mengalami kecemasan berat pada tingkat satu akan sepuluh kali memperoleh prestasi di bawah teman-temannya yang lain saat berada di tingkat lima. Hal tersebut berkebalikan dengan ketersediaan data kecemasan pada anak usia prasekolah yang masih minimal dikarenakan kurangnya penelitian yang dilakukan (Campbell, 1995). Richman, Stevenson dan Graham (2006) melaporkan bahwa 12.8% dari anak usia tiga tahun dalam sampel penelitian mereka menunjukkan tanda kecemasan berat. Edelsohn et al. (1995) juga melaporkan bahwa 2.5% dari anak usia lima tahun yang menjadi sampel mereka menunjukkan tanda dan gejala kecemasan berat yang menyebabkan permasalahan lain hingga periode empat bulan. Penelitian Isle of Wight yang dilaporkan oleh Rutter dan kawan-kawan menemukan prevalensi gangguan kecemasan pada anak adalah 6.8%, sekitar sepertiganya mengalami cemas berlebihan, dan sepertiga lainnya menderita ketakutan spesifik atau fobia (Behrman et al., 2000). Data penelitian tahun 2003 di Amerika Serikat menunjukkan bahwa gangguan kecemasan adalah salah satu bentuk penyakit jiwa terbanyak yang dialami anak-anak dan 10% di antaranya membutuhkan perawatan medis.
2
Penjelasan tentang kecemasan, dalam penelitian yang dilakukan oleh Suprapti (2011), adalah bahwa ada tiga jenis kecemasan anak yang terjadi di usia prasekolah, yaitu: kecemasan tingkat ringan, sedang dan berat. Kecemasan terjadi karena pertama kali memasuki lingkungan sekolah, lingkungan keluarga yang selalu memanjakan anak, keluarga yang bersifat otoriter, dan kesehatan anak yang terganggu. Hasil penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa salah satu strategi yang dapat digunakan dalam menangani kecemasan anak adalah dengan cara pendekatan individual disertai dengan ketulusan hati dan kasih sayang kepada anak. Strategi yang digunakan harus melibatkan komunikasi aktif dengan anak, sehingga semua yang disampaikan dan diberikan kepada anak dapat diterima dan dilakukan. Pada anak, membaca merupakan bagian dari fokus perkembangan. Buku mampu mengarahkan anak menjadi lebih mengerti lingkungan dan situasi yang sedang mereka hadapi (Goddard, 2011). Kata biblioterapi pertama kali digunakan oleh S.M. Crothers pada tahun 1916 untuk mendeskripsikan penggunaan buku dalam membantu mengatasi permasalahan anak. Biblioterapi merupakan salah satu bentuk dari terapi yang melibatkan buku untuk membantu anak dengan masalah mental maupun emosi (Pardek, 1994). Biblioterapi menjadi terapi dengan membantu anak mengidentifikasi situasi sulit yang sedang dialaminya berdasarkan cerita fiksi yang dibacanya melalui buku (Prater et al., 2006). Penelitian mengenai biblioterapi sudah banyak dilakukan peneliti dari berbagai benua, di antaranya Asia, Amerika, juga Eropa. Pada kebanyakan penelitian mengenai biblioterapi, peneliti lebih dominan membahas biblioterapi sebagai terapi untuk mengatasi depresi dan kecemasan, juga pada anak dengan sakit kronis. Biblioterapi juga bisa memfasilitasi komunikasi aktif
3
di antara anak dan individu yang lain, memicu diskusi efektif, memberi anak pemahaman baru yang sesuai dengan masalah yang sedang dihadapinya (Pardek, 1994). Kesuksesan pelaksanaan biblioterapi dapat tercapai ketika anak mampu mengidentifikasi karakter dalam cerita yang memiliki masalah yang sama dengannya (Gregory dan Vessey, 2004; Thibault, 2004). Selanjutnya, anak secara emosional harus merasa terlibat dalam cerita hingga akhirnya menyadari bahwa karakter dalam cerita sedang berusaha mencari solusi dalam masalahnya. Kemudian, anak akan mulai mengerti bahwa masalahnya dapat diatasi menggunakan solusi yang sama (Gregory dan Vessey, 2004; Thibault, 2004, Tu, 1999). Buku sekaligus bisa dijadikan sebagai sarana komunikasi yang terstuktur di antara dua individu yang nantinya diharapkan bisa membantu dalam mengatasi permasalahan yang sedang menimpa salah satu individu. Biblioterapi telah digunakan untuk memfasilitasi komunikasi terbuka di antara anak, orangtua, dan guru (Amer, 1999; Gregory dan Vessey, 2004). Penggunaan biblioterapi dalam tatanan klinis dan komunitas telah ditingkatkan dalam beberapa tahun belakangan sebagai upaya untuk mempromosikan kekuatan terapeutik (Amer, 1999; Gregory dan Vessey, 2004; Mazza, 2003, Pehrsson et al., 2007). Bentuk narasi dari alur cerita yang dibuat sedemikian rupa, sehingga bisa membuat anak merasa dimengerti dan tidak sendiri menjalani situasi sulit tersebut serta dengan pemilihan buku dan karakter yang tepat, bisa membawa anak melewati distres atau tantangan hidupnya (Heath et al., 2005; Pehrsson et al., 2007).
4
Doctherman dan Bulecheck (1992) dalam buku NIC (Nursing Interventions Classifications) memasukkan biblioterapi sebagai bagian dari alternatif intervensi keperawatan dalam domain tiga, yaitu perilaku yang sudah ada sejak NIC edisi tahun pertama. Meskipun demikian, penelitian terkait dengan penerapan biblioterapi sebagai intervensi keperawatan dalam menurunkan kecemasan anak masih terbatas (Shinn & Aybar, 2007). PAUD Aisyiyah Nur’Aini adalah lembaga pendidikan yang didirikan sejak tahun 1996 oleh pimpinan ranting Aisyiyah Ngampilan Yogyakarta. Salah satu keistimewaan PAUD ini adalah pelaksanaan kurikulum dengan pendekatan pembelajaran beyond centres and circle time (BCCT), yakni pendekatan pembelajaran yang berpusat pada anak (child oriented). PAUD Aisyiyah Nur’Aini memiliki beberapa sentra kelas yang dirolling untuk semua anak, salah satu sentra yang dimiliki adalah sentra persiapan yang bertujuan untuk mengembangkan pengalaman keaksaraan anak. PAUD Aisyiyah Nur’Aini memiliki beberapa kelas, di antaranya: play group reguler, play group fullday, dan TK fullday. Berdasarkan pengakuan Ibu Ash kepala sekolah TK, pada kelas TK terdapat beberapa anak yang masih menangis dan belum bisa mengikuti kegiatan dengan santai, terutama anak yang baru masuk dalam pembelajaran bulan Juni 2015. Beberapa anak juga memilih berdiam diri dan menolak saat diajak bermain oleh guru serta teman-temannya. Berdasarkan observasi peneliti selama dua hari dalam studi pendahuluan, pada kelas playgroup, terdapat anak yang terlambat berturut-turut memasuki kelas dan menangis tidak ingin ditinggal ibunya. Saat peneliti bertanya kepada Ibu anak, Ibu anak
5
mengatakan anaknya masih rewel saat akan berangkat sekolah, dan hal ini sering terjadi. Peneliti juga melakukan studi pendahuluan di ECCD-RC (Early Childhood Care and Development Resource Center) yang merupakan lembaga independen model PAUD yang mengutamakan labschool dan reading pada anak didik. Berdasarkan pengakuan Ibu Ganis, direktur sekaligus penanggungjawab ECCD-RC, pada kelas play group fullday sering ditemui anak menangis dan mencari keberadaan orangtuanya. Anak yang dimasukkan dalam kelas play group fullday diharuskan mengikuti kegiatan di play group dari pukul 8 pagi hingga pukul 4 sore. Lebih lengkap ibu Ganis menyebutkan bahwa anak sering menanyakan ayah atau ibu mereka saat melihat anak lain dijemput orangtuanya, sementara mereka belum dijemput sampai sore. Dari observasi peneliti, pada pagi hari saat anak diantarkan orangtuanya di kelas fullday, ada yang masih menolak memasuki kelas dan meminta orangtuanya ikut masuk bersamanya. Saat awal jam sekolah, beberapa anak sudah antusias ikut bermain dengan teman-temannya, namun saat sudah pukul 12 ketika anak-anak di kelas reguler sudah pulang dan dijemput keluarganya, beberapa anak kembali rewel dan menangis mencari keberadaan orangtua mereka. Berdasarkan fenomena tersebut, akhirnya peneliti mempunyai inisiatif untuk meneliti lebih lanjut pengaruh biblioterapi terhadap tingkat kecemasan pada anak usia prasekolah di PAUD Terpadu Aisyiyah Nur’Aini Yogyakarta.
6
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti ingin mengetahui ada tidaknya pengaruh biblioterapi terhadap tingkat kecemasan pada anak usia prasekolah di PAUD Terpadu Aisyiyah Nur’Aini Yogyakarta. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Mengidentifikasi pengaruh biblioterapi terhadap tingkat kecemasan pada anak usia prasekolah di PAUD Terpadu Aisyiyah Nur’Aini Yogyakarta. 2. Tujuan khusus 2.1. Mengidentifikasi tingkat kecemasan pada anak usia prasekolah di PAUD Terpadu Aisyiyah Nur’Aini Yogyakarta sebelum pemberian biblioterapi. 2.2. Mengidentifikasi tingkat kecemasan pada anak usia prasekolah di PAUD Terpadu Aisyiyah Nur’Aini Yogyakarta setelah pemberian biblioterapi 2.3. Menganalisis pengaruh biblioterapi terhadap tingkat kecemasan pada anak usia prasekolah di PAUD Terpadu Aisyiyah Nur’Aini Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Ilmu keperawatan Turut berperan serta dalam mengembangkan ilmu keperawatan anak, khususnya tentang biblioterapi sebagai salah satu intervensi keperawatan yang dapat digunakan untuk mengatasi tingkat kecemasan pada anak usia prasekolah.
7
2. Penelitian keperawatan Memberikan gambaran dan acuan untuk riset keperawatan selanjutnya tentang biblioterapi. E. Keaslian Penelitian Penelitian ini adalah asli dari pengembangan penulis. Beberapa penelitian yang berkaitan dengan topik ini antara lain: 1. Penelitian tentang self-help book therapy untuk mengubah perilaku toddler Penelitian yang dilakukan oleh Heath et al. tahun 2014 tersebut berjudul ‘Increase willingness toddler to consume unfamiliar vegetables with books’. Penelitian tersebut bertujuan untuk melihat pengaruh buku bergambar sayuran terhadap keinginan anak untuk mengonsumsi sayuran yang selama ini belum pernah mereka lihat secara langsung. Penelitian dilakukan secara eksperimental dengan sampel 93 anak usia di antara 16 sampai 24 bulan. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa anak usia toddler yang secara sengaja ditunjukkan gambar sayuran di buku, mempunyai keinginan lebih tinggi dalam mengonsumsi sayuran tersebut. Temuan dari penelitian tersebut adalah bahwa buku bisa digunakan untuk membuat anak familier terhadap suatu barang baru atau situasi baru yang belum ia lihat atau alami sebelumnya. Selain itu, gambar dalam buku juga berpotensi membawa perubahan perilaku positif anak terhadap stimulus makanan atau hal lain.
8
2. Penelitian penentuan daftar buku bacaan yang bisa digunakan dalam biblioterapi untuk anak Penelitian yang bersumber dari literature review tersebut dilakukan oleh Goddard tahun 2011 dengan judul asli: ‘Children’s books for use in Bibliotherapy’. Goddard (2011) melalui penelitian tersebut bertujuan untuk memberikan daftar buku bacaan yang bisa digunakan sebagai terapi pada anakanak yang sedang sakit sekaligus menstimulasi anak agar mampu menghadapi masa-masa sulitnya.
Seorang anak yang sedang sakit dan mampu menerima
informasi yang terbuka perihal sakitnya menunjukkan tingkat kecemasan dan depresi lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak (Last & Veldhuizen, 1996 cit Goddard, 2011). Penelitian yang dilakukan Goddard memang hanya bersumber dari literature review beberapa sumber yang sudah ada sebelumnya. Goddard (2011) mengadopsi langkah-langkah untuk memilih buku yang sesuai untuk anak dari Newfoundland Canada Department of Education tahun 2008. Buku yang akan dipilih sebagai selfbook therapy (biblioterapi) pada anak haruslah sesuai dengan yang dirasakan anak di masa sulitnya. Setelah menerapkan langkah-langkah dalam pemilihan buku yang baik, Goddard merekomendasikan beberapa judul buku yang memenuhi kriteria untuk dijadikan bahan bacaan anak dengan penyakit kronis. Salah satu buku yang direkomendasikan Goddard berjudul: Gentle willow (A story for children about dying) akan baik jika digunakan sebagai bahan bacaan anak-anak dengan penyakit kronis. Jika dengan biblioterapi menggunakan buku tersebut anak mengalami penurunan ansietas dan atau meningkat kepercayaan diri
9
dalam menghadapi kondisinya, maka penelitian ini akan memberikan kontribusi yang baik. Terlepas dari kelemahan tersebut, study literature yang dilakukan Goddard tersebut bisa memberikan ide pada peneliti lain untuk mengembangkan penelitian biblioterapi. 3. Penelitian biblioterapi untuk meningkatkan kompetensi parenting Penelitian
tersebut
berjudul
‘Therapist-Assisted,
Self
Administered
Bibliotherapy to Enhance Parental Competence’ dilakukan oleh Hahlweg et al, tahun 2008. Hahlweg et al. (2008) melakukan penelitian tersebut dilatarbelakangi oleh masih sedikitnya penelitian yang mengaitkan antara biblioterapi dengan kemampuan parenting. Selama ini, memang biblioterapi cenderung sering dikaitkan dengan gangguan kecemasan, depresi, atau ketergantungan. Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk menginvestigasi efek jangka pendek dan jangka panjang self-help therapy dengan membaca buku untuk keluarga dengan anak usia prasekolah di Jerman. Penelitian tersebut dilakukan pada 69 keluarga dengan anak usia prasekolah yang dibagi menjadi dua kelompok yang diberi buku untuk mendukung ketrampilan orangtua. Di Amerika, sudah terdapat lebih dari 2.000 buku yang bisa digunakan sebagai materi self-help book / bibliotherapi (Marrs, 1995 cit, Hahlweg et al., 2008). Pada penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa penggunaan buku panduan bagi orangtua dalam pelaksanaan biblioterapi mendapat dukungan secara empiris atau terbukti bermanfaat (Hahlweg et al., 2008). 4. Penelitian menggunakan cerita fiksi untuk menolong anak Hayes dan Amer (1999) melakukan penelitian seputar biblioterapi dengan dasar bahwa menggunakan cerita fiksi dapat mengembangkan self-esteem anak,
10
membantu anak dengan kondisi penyakit kronis, kemudian mempersepsikan diri sesuai dengan kondisi pemeran utama buku yang dibacanya (Cohen, 1987; Gates, 1980; Morris-Vann, 1983 cit Hayes & Amer, 1999). Judul penelitian tersebut adalah: ‘Bibliotherapy: Using fiction to help children in two populations discuss feelings’. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi dapat atau tidaknya biblioterapi membantu anak dengan perawakan pendek (kerdil) dan anak penderita diabetes dalam membicarakan perasaan dan menggali tema yang sesuai dengan kondisi mereka. Partisipan yang dipilih dalam penelitian tersebut adalah 27 anak dengan usia 7-16 tahun dengan kriteria mengalami kondisi kerdil atau diabetes. Setelah partisipan diminta membaca buku cerita fiksi dengan tema sesuai dengan yang mereka alami, kedua kelompok anak ini diwawancara dengan semi-formal. Peneliti tidak melakukan wawancara serius dan hanya bersifat semistructured kemungkinan dengan pertimbangan usia mereka yang masih anakanak. Pertanyaan yang digunakan untuk wawancara dibuat oleh peneliti lain. Ada dua poin penting yang dihasilkan dari penelitian tersebut. Pertama, saat diwawancara mengenai isi buku, 82% partisipan tiba-tiba berbicara mengenai pengalaman mereka sendiri yang serupa. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai dari cerita fiksi yang mereka baca membantu anak untuk mengungkapkan perasaan mereka. Kedua, ketika anak ditanya mengenai kesan mereka setelah membaca buku tersebut, mereka membandingkan tokoh utama dalam buku dengan diri mereka sendiri. Bahkan, mereka menganggap tokoh di dalam buku tersebut adalah dirinya. Penelitian tersebut memang mengambil area klinis sebagai tempat penelitian, dan lebih mengandalkan peran perawat serta tenaga
11
kesehatan lain. Orangtua anak masih kurang digali dalam penelitian tersebut. Ada baiknya, untuk penelitian selanjutnya mengenai biblioterapi, peran orangtua sebagai tokoh terdekat anak lebih dimanfaatkan. Kontribusi penting yang ditinggalkan penelitian tersebut adalah bahwa memang benar biblioterapi dengan menempatkan cerita fiksi yang sesuai dengan kondisi anak mampu membuatnya tergerak melakukan seperti tokoh utama dalam cerita fiksi tersebut. Hal ini berdampak positif dan dapat dilihat sebagai peluang untuk menyelipkan nilainilai luhur dalam cerita fiksi untuk mengubah perilaku anak menjadi lebih baik. 5. Penelitian program bibliokonseling terhadap self-esteem siswa Dalam perbincangan tentang biblioterapi, negara Turki memang sering disebut sebagai bagian kebudayaan pengembangan biblioterapi. Karacan dan Guneri yang merupakan peneliti asal Turki, pada tahun 2010 melakukan penelitian berjudul: ‘The effect of self-esteem enrichment bibliocounseling program on the self-esteem of sixth grade students’, penerapan biblioterapi yang mereka gunakan justru berbeda dari program Turki. Keduanya menciptakan buku pedoman sendiri yang akan digunakan sebagai materi bibliocounseling, kemudian menggunakannya sebagai pendekatan perilaku kognitif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek dari bibliocounseling mengenai peningkatan pertahanan diri/self-esteem terhadap pertahanan diri mahasiswa semester 6. Karacan dan Guneri menggunakan kelompok kontrol dengan pengukuran pre-test dan posttest. Instrumen yang digunakan adalah Coopersmith Self-esteem Inventory (CSEI) yang terdiri dari 58 item pertanyaan. Banyaknya pertanyaan yang harus dijawab partisipan dikhawatirkan dapat mempengaruhi hasil, karena daya konsentrasi
12
partisipan dalam menjawab akan menurun seiring bertambahnya pertanyaan. Hasil dari penelitian tersebut adalah nilai self-esteem partisipan pada kelompok treatment meningkat signifikan dari pre-test ke post-test. Penelitian ini berkontribusi bagi peneliti lain untuk tidak ragu menciptakan buku sendiri sebagai materi dalam melakukan penelitian mengenai efek biblioterapi. Berdasarkan beberapa penelitian mengenai biblioterapi dan kecemasan anak yang tertulis di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa gambar dalam buku yang ditunjukkan pada anak berpotensi membawa perubahan perilaku positif anak terhadap stimulus tertentu juga mampu mengurangi kecemasan akibat stressor yang sedang dihadapi anak. Saat menggunakan biblioterapi sebagai treatment, buku yang dipilih sebagai self-book therapy / bibliotherapi pada anak haruslah sesuai dengan yang dirasakan anak di masa sulitnya. Pemilihan buku ini tidak hanya bisa dilakukan dengan memanfaatkan buku-buku yang sudah ada, namun juga bisa ditulis sendiri oleh peneliti dengan menyesuaikan kondisi anak. Pada penelitian ini, responden tidak diambil dari area klinis, melainkan dari lingkungan komunitas atau sekolah. Sampel yang akan digunakan adalah anak usia prasekolah (3-6) tahun yang berada di PAUD ECCD-RC. Berbeda dengan penelitian Hayes dan Amer (1999) yang mengambil sampel anak dengan usia 7-16 tahun. Hahlweg et al. (2008) menggunakan buku yang sudah ada di toko-toko buku Amerika sebagai materi melakukan biblioterapi, begitupun pada penelitian ini. Peneliti akan memilih buku yang sudah tersedia di perpustakaan sekolah, juga dari toko buku dengan menyesuaikan dengan fenomena yang terjadi pada responden penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian kuasi dengan pre13
test dan post-test, namun tidak menggunakan kelompok kontrol, berbeda dengan penelitian yang sudah dilakukan oleh Karacan dan Guneri (2010) yang melakukan penelitian biblio menggunakan pre dan post-test design dengan kelompok kontrol. Hayes dan Amer (1999) dalam penelitiannya menambahkan metode
wawancara
semi-structured
terhadap
responden
mereka
untuk
mengetahui pendapat responden terhadap isi buku yang sudah dibaca, namun pada penelitian ini peneliti tidak melakukan tambahan metode wawancara karena usia responden yang masih prasekolah, sehingga belum memungkinkan.
14