BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker merupakan permasalahan pandemik umum yang telah banyak menyumbangkan angka kematian dalam populasi dunia. Sedikitnya 20 juta penduduk dunia telah terdiagnosis terkena kanker, dan setengah dari total kasus terjadi di negara berkembang (WHO, 2009). Data epidemik menyatakan bahwa maraknya kasus kanker di negara berkembang dihubungkan dengan kondisi demografik serta sosio ekonomi penduduk. Menurut Peterson (2009) populasi penduduk di negara berkembang dengan penghasilan rendah serta kondisi sosial yang tidak memungkinkan memiliki faktor risiko lebih terkena kanker akibat paparan hiperbolik terhadap bahan karsinogenik. Kelompok tersebut terbiasa untuk bekerja dalam kondisi paparan kimia dengan volume angka yang melebihi normal, misalnya petani dengan pemakaian pestisida harian, akan mengalami paparan bahan kimia berlebih. Jika hal ini terjadi terus menerus, para ahli kesehatan memperkirakan pada tahun 2022, akan terdapat sekitar 15 juta kasus kanker jenis baru dengan peluang kematian 10 juta jiwa per populasi dunia. Cancer Research UK’s Statistical Information Team (2013) menyebutkan bahwa karsinoma oral adalah kanker dengan insidensi terbanyak terjadi di negara berkembang. Survei WHO tahun 2008 terkait data epidemiologis kanker orofaringeal (rongga mulut dan tenggorokan) menyebutkan bahwa untuk negara
1
2
maju, kasus mayoritas dialami oleh pengonsumsi rokok maupun minuman beralkohol, sementara untuk negara berkembang penyakit lebih diderita oleh penduduk dengan tindakan paparan berisiko (misalnya, mengunyah sirih setiap hari). Informasi statistik di Amerika Serikat pada tahun 2012 menunjukkan terdapat sekitar 40.250 kasus baru terkait problema kanker terlokalisir pada kavitas oral dan nasofaringeal (American Cancer Society, 2012). Perlakuan ekstrem pada rongga mulut dan gigi dapat menyebabkan peningkatan risiko terjangkitnya karsinoma oral. International Agency for Research on Cancer (2008) melaporkan bahwa konsumsi rokok tembakau akan meningkatkan risiko kanker oral. Sejumlah bukti mengenai pernyataan ini telah banyak dikeluarkan oleh para pengamat kesehatan. Risiko karsinoma oral akan mengalami peningkatan sejalan dengan peningkatan durasi dan jumlah pemakaian. Tidak hanya perokok, pengrajin batik juga mengalami paparan karsinogen harian dengan intensitas berlebih, meskipun probabilitas kejadian kanker terhadap pengrajin batik masih memerlukan tinjauan lebih dalam (Clean Batik Iniative Indonesia, 2012). Batik telah diakui oleh Badan Perserikatan Bangsa Bangsa Urusan Kebudayaan (UNESCO) sebagai warisan budaya dunia yang berasal dari Indonesia. Pengakuan ini diberikan UNESCO dengan melihat berbagai upaya yang dilakukan oleh Indonesia, terutama karena penilaian terhadap keragaman motif batik yang penuh makna filosofi mendalam. Pemerintah dan rakyat Indonesia juga dinilai telah melakukan berbagai langkah nyata untuk melindungi dan melestarikan warisan budaya ini secara turun temurun (Riyanto, 2012).
3
Batik merupakan salah satu kekayaan budaya utama di Indonesia. Mayoritas pengrajin batik setiap tahunnya mampu menghasilkan ratusan batik tulis dalam berbagai motif. Paparan cairan kimia dari bahan baku batik yang sebenarnya berefek karsinogenik akan terinhalasi dan tertelan oleh para pengrajin. Senyawa karsinogenik yang diduga berperan spesifik terhadap pembentukan abnormalitas sel adalah kandungan kimia sintetik yang terdapat dalam material inti pewarnaan batik. Penghirupan maupun penelanan paparan kimia batik jangka panjang dapat menyebabkan berbagai masalah karsinogenik terhadap sistem respirasi, gastrointestinal, maupun kardiovaskuler terkait penyumbatan jalur pembuluh darah (Clean Batik Iniative Indonesia, 2012). Salah satu permasalahan dalam industri tekstil ini adalah mengenai pewarnaan. Kebanyakan pengusaha batik sekarang ini lebih menggunakan pewarna sintetik yang merusak lingkungan dan kesehatan pekerjanya. Pewarna sintetis yang umum digunakan adalah jenis naftol, indigosol, remazol, dan procion (Gratha, 2012). Pada awalnya, proses pewarnaan tekstil menggunakan zat warna alam, namun kemajuan teknologi dengan ditemukannya zat warna sintetis tekstil maka penggunaan zat warna alam semakin ditinggalkan. Zat warna sintetis mudah diperoleh dan keuntungannya dari memakai zat sintetis adalah mudah didapat, proses singkat, dan tingkat keberhasilan tinggi (Derisa, 2012). Pendapat yang sama dinyatakan oleh Khoiriyah (2013), pada tahun 1602-1942, Indonesia merupakan penguasa pasar pewarna alami di dunia dengan produk paling berkualitas.
Jika
batik
sebagai
identitas
bangsa
dapat
dibuat
dengan
mempertahankan pewarna alami, maka akan dapat meningkatkan daya jual
4
produk dalam negeri yang pada akhirnya akan meningkatkan devisa negara dan kesejahteraan masyarakat. Batik diproduksi oleh para pengrajin terdidik dengan menggunakan bahan baku malam parafin yang dilelehkan, dilanjutkan penulisan pola pada kain melalui alat bantu yang disebut canting. Setelah pola batik selesai dibuat, pengrajin selanjutnya mengadakan pengolahan warna melalui perendaman dengan bahan pewarna anorganik. Salah satu bahan karsinogenik yang cukup berbahaya terdapat dalam bahan pewarna batik, yaitu kandungan garam diazonium dalam naftol. Zat warna naftol terbentuk saat proses pencelupan dan pewarnaan berlangsung terhadap serat kain yang terbuat dari bahan selulosa, protein, maupun poliamida. Pembentukan zat warna naftol tersebut merupakan hasil reaksi komponen senyawa naftol dengan senyawa garam diazonium. Menurut pernyataan Malinauskiene (2012), garam diazonium dalam naftol digunakan untuk meraih produksi tekstil sebanyak-banyaknya dalam waktu yang cepat dengan harga murah. Garam diazonium mampu mengikat warna-warna spektrum gelap yang dibutuhkan dalam pembuatan batik dengan cepat. Hal yang paling dikhawatirkan dalam pewarnaan menggunakan garam diazonium adalah efek mutagenitas dan karsinogenitas pada kesehatan pekerja tekstil. Chung dan Steven (1992) melaporkan terdapat insidensi kanker kandung kemih terhadap para pekerja tekstil yang bekerja langsung dengan pewarnaan naftol. Lucyzsnka dkk. (1990) meneliti serum albumin pada 45 pekerja yang konstan berhubungan dengan bubuk garam diazonium. Hasilnya menyatakan bahwa 25 pekerja mengalami iritan di sekitar hidung dan mulut, dengan 9
5
diantaranya diduga asma dengan kenaikan signifikan IgE, sedangkan 2 lainnya mengalami masalah bronkialis. Garam diazonium C.I. Disperse Blue 291 menunjukkan sifat geno dan mutagenesis berdasarkan induksi fragmentasi DNA, pembentukan mikronukleus dalam sel, dan adanya peningkatan indeks apoptosis pada sel mamalia (HepG2) (Tsuboy, 2007). Bahan karsinogenik garam diazonium diproduksi melalui tahapan reduksi dengan mengeluarkan setidaknya sekitar 24 senyawa amina karsinogenik. Penggunaan komoditi tekstil berbahan baku pewarna garam diazonium telah banyak dilarang pada sejumlah negara di belahan benua Eropa (Agency for Toxic Substance and Disease Registry, 2009). Zat pewarna sintesis azo dilarang karena merupakan bahan karsinogenik, mengandung gugus azo yang dapat menyebabkan penyakit kanker, dan sistem penyebarannya dapat melalui epidermis yaitu kontak dengan kulit atau dapat juga melalui oral, terbawa air liur. Senyawa amin aromatik dan pewarna azo pada industri tekstil seperi batik, dapat menyebabkan meningkatnya risiko kanker hati dan buli-buli (Sutandoyo, 2009). Pewarna azo merupakan kelas pewarna terbesar pada dunia tekstil. Bahan pewarna ini sulit terurai oleh mikroorganisme dalam keadaan aerobik, sementara pada keadaan anaerobik akan menyebabkan degradasi pada amina aromatik menjadi bersifat karsinogenik (Ali dkk., 2001). Sekitar 70% dari zat warna sintetik yang digunakan adalah zat warna golongan azo yaitu zat warna sintetik yang mengandung paling sedikit satu ikatan ganda N=N. Keunggulan zat warna
6
azo ini adalah terikat kuat pada kain, tidak mudah luntur, dan terwarna baik (Sastrawidana, 2011). Sebagai pengamat kesehatan, Laronde dkk. (2008) berpendapat bahwa bagi seorang dokter gigi adalah hal signifikan untuk melakukan diagnosis utama melalui deteksi awal kasus karsinoma oral sebagai langkah preventif. Deteksi screening kanker oral wajib menjadi kegiatan rutin seorang klinisi dental. Jois dkk. (2010) mengajukan teori usapan sel epitel mukosa bukal sebagai deteksi biomarker karsinogenis kanker oral dan orofaring. Biomarker ini didefinisikan sebagai (1) penentu bahan paparan karsinogen yang aman berasal dari lingkungan serta pertimbangan ergonomi lokasi dan kondisi pekerja, (2) efek biologis terhadap sel pekerja, dan (3) proses penerimaan paparan karsinogen pada tubuh individu pekerja. Penggunaan uji terhadap mikronukleus bertujuan untuk mengetahui mutasi kromosom yang terjadi akibat paparan karsinogen. Pada tiap individu bentukan mikronukleus bervariasi bergantung pada frekuensi dan durasi paparan. Mikronukleus cenderung menghilang apabila kerusakan kromosom berujung pada kematian sel atau mikronukleus tereliminasi saat pembelahan sel. Uji mikronukleus pada epitel bukal merupakan acuan signifikasi bentukan karsinoma oral (Jois dkk., 2010). Bastos-Aires dkk. (2012) juga menjelaskan bahwa mikronukleus adalah gambaran struktur sel yang abnormal terbentuk saat perkembangan sel akibat gangguan agregasi kromosom DNA saat mitosis sel. Sel epitel bukal merupakan sumber alternatif biomarker paparan
terhadap jaringan tubuh manusia. Sel
7
mukosa bukal sangat sensitif terhadap paparan genotoksisitas dan akan membentuk mikronukleus. Bentukan mikronukleus inilah yang dapat dijadikan sebagai biomarker genositas yang bertujuan mengontrol dan mengawasi paparan dari substansi terhadap tubuh manusia. . B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka disusun permasalahan sebagai berikut: Bagaimana frekuensi mikronukleus epitel mukosa bukal pada pengrajin batik di Yogyakarta akibat paparan pewarna azo?
C. Keaslian Penelitian Analisis frekuensi mikronukleus usapan epitel bukal telah diteliliti sebelumnya untuk menguji efek paparan karsinogen asap kendaraan terhadap terjadinya kanker paru-paru oleh Fenech dan Holland (2008) melalui pengembangan Human Micronucleus (HUMN) Project. Sejak tahun 1999, Fenech dan Holland secara aktif melakukan riset mengenai mikronukleus dan kaitannya dengan kanker. Penelitian Fenech dan Holland pada supir taksi serta polisi lalu lintas dengan kondisi aktif terpapar asap kendaraan bermotor menghasilkan kajian efektif biomarker usapan epitel bukal terhadap uji mikronukleus bahan karsinogenik dan mutagenik. Sejauh penulis ketahui belum ada laporan penelitian mengenai analisis frekuensi mikronukleus epitel mukosa bukal pada pengrajin batik di Yogyakarta akibat paparan pewarna azo.
8
D. Tujuan Penelitian Berdasarkan pada permasalahan yang telah diuraikan, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui frekuensi mikronukleus mukosa bukal pada pengrajin batik di Yogyakarta akibat paparan pewarna azo.
E. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1.
Pelaksanaan penelitian ini diharapkan dapat membantu tenaga kesehatan dalam mengembangkan suatu kemampuan dalam mengeksplorasi suatu gejala atau fenomena karsinogenik di dalam masyarakat terutama terkait dengan penerapan ilmu pada bidang kedokteran gigi.
2.
Diharapkan hasil penelitian dapat digunakan sebagai acuan bagi pengrajin batik untuk kembali menggunakan bahan pewarna batik organik dari tumbuhan yang lebih aman dibandingkan anorganik yang berbahaya.
3.
Sebagai acuan bagi penelitian selanjutnya.