BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Maraknya kasus pemalsuan makanan menggunakan spesies babi telah terjadi di masyarakat
dikarenakan
harga
babi yang
relatif lebih murah
dibandingkan dengan sapi, serta warna dan bentuk yang serupa dengan sapi (Ali et al., 2012). Hal ini tentu saja menimbulkan keresahan bagi penganut agama tertentu seperti Islam dan Yahudi karena mengkonsumsi babi bertentangan dengan agama tersebut. Terlebih lagi Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Hal ini sejalan dengan hak-hak konsumen yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Pelindungan Konsumen (UUPK) Pasal 4 yang diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa, terutama atas kenyamanan (tidak menimbulkan keraguan dan kekhawatiran) dalam mengkonsumsi makanan yang sesuai dengan keyakinannya. Selain masalah keyakinan, daging babi juga dapat menimbulkan masalah kesehatan yaitu meningkatkan kolesterol serta lemak jenuh pada penyakit kardiovaskuler serta reaksi alergi bagi sebagian orang (Ali et al, 2012). Banyak kerupuk rambak yang beredar di pasaran telah diragukan kehalalannya. Sampai tahun 2012, Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak pernah menerima pengajuan sertifikasi halal dari produsen kerupuk kulit (Dien, 2012). Kerupuk rambak sapi dan babi sulit untuk dibedakan apabila dilihat dari penampilan 1
2
luarnya saja. Maka perlu diidentifikasi DNA dari kulit sapi atau babi yang merupakan bahan baku pembuatan kerupuk rambak. Meskipun pembuatan kerupuk rambak telah melalui berbagai proses pengolahan makanan, namun DNA yang terdapat di dalam produk olahan makanan kemungkinan masih tetap stabil sehingga DNA dapat diisolasi (Nagappa, 2014). Metode analisis deteksi cemaran babi pada produk pangan berbasis protein dan molekul DNA telah berkembang pesat. Metode analisis berbasis DNA memiliki keuntungan dibandingkan protein karena molekul DNA stabil pada suhu dan tekanan tinggi sehingga dapat digunakan untuk analisis makanan yang memerlukan proses pemanasan. Beberapa metode dengan deteksi DNA antara lain : real-time (RT) PCR, random amplification of polimorphic DNA (RAPD) PCR, restriction fragment length polimorphism (RFLP) PCR, hibridisasi DNA, single strand conformation polymorphism (PCR-SSCP), dan sekuen produk PCR. Diantara metode tersebut, metode PCR lebih menguntungkan (Nagappa, 2014) karena lebih cepat, sensitif dan sangat spesifik untuk mengidentifikasi DNA termasuk DNA dalam produk olahan (Sonia, 2013). Meskipun produk olahan tersebut
sudah
melewati proses pemanasan yang tinggi ataupun memiliki
komposisi yang kompleks (Kesmen et al., 2009). Diantara bermacam-macam metode PCR, real-time PCR (RT PCR) lebih banyak digunakan beberapa tahun belakangan ini. RT PCR mampu menghitung produk yang terbentuk pada setiap siklus selama amplifikasi berlangsung. Campuran PCR dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang tetap tertutup sepanjang proses amplifikasi DNA target sehingga dapat mengurangi resiko kontaminasi (Kesmen et al., 2009).
3
Pada proses PCR memerlukan primer yang harus spesifik menempel pada DNA target. Primer dengan target daerah mitokondria DNA (mtDNA) DLoop686 telah berhasil didesain oleh Himawati (2013) dengan panjang 20 bp untuk masing-masing primer Forward dan Reverse. Optimasi suhu PCR telah dilakukan pada penelitian sebelumnya (Maryam et al., 2016), yaitu pada suhu 620 C primer D-Loop686 dapat spesifik mendeteksi DNA babi dalam produk olahan makanan pada bakso dan dendeng. Oleh karena itu, primer D-Loop686 digunakan pada penelitian ini untuk mengidentifikasi DNA babi dalam kerupuk rambak.
B. Rumusan Masalah 1. Apakah DNA dari kerupuk rambak babi dan sapi yang telah melalui berbagai proses pengolahan makanan dapat diisolasi ? 2. Bagaimanakah hasil validasi dari pengujian spesifisitas, batas deteksi, efisiensi dan presisi dengan keterulangan untuk mengidentifikasi DNA babi dalam kerupuk rambak babi dan sapi dengan metode RT PCR menggunakan primer D-Loop686 ?
C. Tujuan Penelitian 1. Melakukan isolasi DNA dari kerupuk rambak babi dan sapi yang telah melalui berbagai proses pengolahan makanan. 2. Menentukan hasil validasi dari pengujian spesifisitas, batas deteksi, efisiensi dan presisi dengan keterulangan untuk mengidentifikasi DNA babi dalam
4
kerupuk rambak babi dan sapi dengan metode RT PCR menggunakan primer D-Loop686.
D. Urgensi Penelitian Penelitian ini dapat digunakan untuk mendeteksi adanya DNA babi dalam produk makanan kerupuk rambak sehingga dapat diketahui kehalalannya. Keberhasilan penelitian
ini
dapat
memberikan
alternatif
metode
untuk
mengidentifikasi
cemaran babi yang terdapat dalam kerupuk rambak.
E. Tinjauan Pustaka 1. Kerupuk Rambak Kerupuk merupakan makanan ringan yang memiliki tekstur renyah atau
garing.
Biasanya
dijadikan
sebagai pelengkap
hidangan
makanan
masyarakat Indonesia. Salah satu jenis kerupuk adalah kerupuk rambak, kerupuk rambak memiliki dua macam jenis yaitu kerupuk rambak tapioka dan kerupuk rambak kulit. Kerupuk rambak tapioka terbuat dari adonan tepung tapioka, sedangkan kerupuk rambak kulit terbuat dari kulit sapi, kerbau, kelinci atau babi (Badan Standarisasi Nasional, 1996). Pembuatan kerupuk rambak kulit sangat mudah dilakukan dan tidak memerlukan bahan yang mahal. Proses pembuatan kerupuk rambak kulit pada umumnya antara lain: pemilihan kulit, pencucian (washing), perendaman, pengapuran (liming), penghilangan kapur (deliming), pencucian kulit, pengerokan bulu (terutama dari kulit sapi, kerbau dan kelinci), perebusan (boiling), pemotongan kulit sesuai selera, perendaman
5
dalam
bumbu,
penjemuran
dibawah
sinar
matahari
sampai
kering,
penggorengan (dilakukan 2 tahap, yaitu dengan minyak yang tidak terlalu panas (suhu 80o C) kemudian dimasukkan dalam minyak yang panas (suhu 100o C)
sampai
kerupuk
rambak
kulit
mengembang
dengan
sempurna
(Amertaningtyas, 2012). Kerupuk rambak biasanya diproduksi oleh industri rumah tangga (IRT). Beberapa IRT banyak yang sulit mendapatkan bahan baku kulit untuk membuat kerupuk rambak sapi karena peternakan sapi lokal stagnan, sehingga bahan baku kulit sapi dipesan secara impor. Namun kehalalan kulit impor tersebut tidak terjamin karena dikhawatirkan kulit sapi yang diimpor adalah kulit babi. Sulit untuk membedakan antara kulit sapi dengan kulit babi dari penampilan luarnya saja, terlebih lagi apabila sudah diolah menjadi kerupuk rambak babi dan sapi. Harga kulit babi yang lebih murah dibandingkan kulit sapi turut memicu praktik pencampuran kerupuk rambak babi ke dalam kerupuk rambak sapi (Amertaningtyas, 2012). Hal ini sejalan dengan laporan dari Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahwa tidak pernah menerima pengajuan sertifikasi halal dari produsen kerupuk kulit (Dien, 2012). Kehalalan kerupuk rambak
dapat diketahui dengan menggunakan suatu metode identifikasi
berdasarkan DNA yang terdapat dalam kulit babi atau sapi.
2. Identifikasi Cemaran Babi Komponen cemaran babi dalam produk makanan dapat diidentifikasi melalui DNA. Identifikasi DNA untuk mendeteksi adanya kandungan babi
6
pada produk pangan telah banyak dilakukan. Hal ini dikarenakan DNA relatif stabil meskipun telah melalui proses pengolahan makanan seperti pemanasan (Nagappa, 2013). Metode
yang
paling
banyak
digunakan
adalah
PCR
karena
memberikan hasil yang spesifik dan sensitif (Kesmen et al., 2009). Salah satu metode PCR adalah real-time PCR (RT PCR) yang dapat mendeteksi secara akurat
konsentrasi
DNA
hingga
ukuran
pikogram
karena
sensitivitas
perwarnaan yang sangat tinggi (Vaerman et al, 2004). Hal ini sangat bermanfaat karena DNA yang dihasilkan produk makanan hanya sedikit akibat melewati proses pengolahan makanan sebelumnya. Untuk
melakukan
identifikasi menggunakan metode PCR maka
diperlukan primer yang spesifik terhadap DNA babi. Sebagai dasar desain primer,
dipilih
mitokondria
DNA
(mtDNA)
karena
memiliki
tingkat
keberhasilan yang tinggi untuk teramplifikasi dibanding DNA nukleus. Hal ini disebabkan karena jumlah mtDNA berkali lipat lebih banyak dibanding DNA nukleus dalam satu sel yang sama (Galtier et al., 2009). MtDNA mempunyai variasi yang tinggi sehingga dapat dipercaya untuk identifikasi spesies dalam campuran (Che Man et al, 2007).
3. Polymerase Chain Reaction (PCR) Polymerase Chain Reacton (PCR) adalah suatu teknik sintesis dan amplifikasi DNA secara in vitro. Teknik PCR dapat digunakan untuk mengamplifikasi segmen DNA menjadi jutaan kalinya hanya dalam beberapa jam (Handoyo & Rudiretna, 2000). Proses PCR melibatkan 5 komponen
7
utama, yaitu (1) DNA template, yaitu fragmen DNA yang akan digandakan; (2) oligonukleotida primer, yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek (15-25 basa nukleotida) yang mengawali sintesis rantai DNA; (3) deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP)m terdiri atas dATP, dCTP, dGTP dan dTTP; (4) enzim DNA polimerase, yang merupakan katalis reaksi sintesis rantai DNA; dan (5) Buffer PCR (Tris-HCl, KCl, dan MgCl2 ) (Widowati, 2013). Teknik PCR dilakukan melalui tiga tahapan
pada tiga suhu yang
berbeda (Gambar 1), antara lain : 1) denaturasi potongan DNA, yaitu proses pemisahan untaian ganda menjadi untaian tunggal sehingga masing-masing untaian tunggal dapat menjadi template DNA. Proses ini terjadi pada suhu 92940 C karena dapat memutuskan ikatan hidrogen antara pasangan basa DNA yang saling komplemer. Suhu ini pula merupakan suhu paling tinggi dimana enzim dapat bertahan selama 35 siklus tanpa mengalami kerusakan yang berlebihan (Fadillah, 2014); 2) penempelan primer (annealing) pada cetakan DNA, yaitu pada urutan basa komplemennya secara spesifik melalui interaksi ikatan hidrogen.
Suhu annealing
tergantung pada panjang primer dan
kandungan basa G dan C penyusunnya, suhu yang tinggi akan meningkatkan kespesifikan hasil amplifikasi. Tahap ini merupakan tahap terpenting dalam PCR karena mempengaruhi hasil produk akhir DNA yang diinginkan; 3) elongasi nukleotida (extension) yang didahului dengan pengaktifan enzim Taq DNA polimerase biasanya pada suhu 720 C (Sambrook et al., 1989). Kemudian enzim Taq DNA polimerase akan memperpanjang komplemen template DNA dari penempelan primer. Semakin lama proses elongasi maka semakin besar
8
kemungkinan terbentuknya produk NDA yang tidak spesifik. Ketiga tahap ini terjadi dalam satu siklus amplifikasi (Maftuchah et al., 2014).
Gambar 1. Proses pada PCR. Terdapat 3 tahap yaitu denaturasi, annealing dan perpanjangan (Vierstraete, 1999)
Pada akhir siklus pertama, akan diperoleh dua pasang rantai tunggal DNA untuk menjadi cetakan pada siklus berikutnya sehingga pada putaran ken diharapkan akan memperoleh fragmen DNA pendek sebanyak 2n
(Gambar
2) (Mullis et al., 1986). Setelah melalui beberapa siklus (20-30) maka akan dihasilkan amplifikasi secara eksponensial dari DNA target (Maftuchah et al., 2014). Sedangkan DNA non-target (long product) akan meningkat secara linier (Newton & Graham, 1994). Penggunaan jumlah siklus lebih dari 30 siklus tidak
akan
meningkatkan
jumlah
amplikon
secara
bermakna
dan
memungkinkan peningkatan jumlah produk yang non-target (Handoyo & Rudiretna, 2000).
9
Gambar 2. Kurva amplifikasi eksponensial pada PCR. Setiap siklus, template DNA digandakan menjadi dua kalinya (Vierstraete, 1999)
Jenis PCR ada bermacam-macam, antara lain real-time PCR (RT), multiplex PCR, random amplification of polimorphic DNA (RAPD) PCR, restriction fragment length polimorphism (RFLP) PCR, single strand conformation polymorphism (PCR-SSCP), dan lain-lain.
4. Real-time Polymerase Chain Reaction (RT PCR) Real-time PCR (RT PCR) adalah salah satu jenis PCR yang paling banyak digunakan dalam bioteknologi molekular (Vaerman, 2004). RT-PCR mampu
menghitung
amplifikasi
produk
berlangsung
yang terbentuk
sehingga
disebut
pada setiap Quantitative
siklus selama PCR
(qPCR).
Sedangkan PCR konvensional hanya dapat mendeteksi secara kualitatif. Dengan metode RT PCR, tahap elektroforesis hasil amplifikasi DNA tidak perlu dilakukan karena tiap siklus amplifikasi dapat diamati secara langsung. Dengan begitu dapat meminimalkan potensi kontaminasi karena campuran
10
PCR dimasukkan dalam tabung reaksi yang tetap tertutup sepanjang proses amplifikasi DNA target (Fajardo et al., 2008). RT PCR mendeteksi amplikon dengan cara mengukur peningkatan pewarna fluoresen yang berpendar ketika terikat dengan DNA. Molekul yang berfluoresensi memiliki korelasi antara intensitas fluoresen dengan banyaknya produk PCR (Lopez & Andreo et al, 2005). Semakin besar konsentrasi template DNA maka semakin tinggi intensitas fluoresen yang dihasilkan. RT PCR dapat mendeteksi secara akurat konsentrasi DNA hingga ukuran pikogram karena sensitivitas perwarnaan yang sangat tinggi (Vaerman et al, 2004). Peningkatan sinyal fluoresen dapat dideteksi ketika kurva melewati garis threshold (CT atau Cq). Nilai CT atau Cq ditentukan dari jumlah awal template pada saat amplifikasi terjadi. RT PCR biasanya reliabel dan akurat menghitung jumlah awal template yang terdapat dalam reaksi. Jika jumlah template awal DNA banyak pada awal reaksi, maka siklus amplifikasi yang dibutuhkan lebih sedikit karena akumulasi produk yang dihasilkan sudah cukup memberikan sinyal fluorens. Sedangkan jika jumlah template awal DNA sedikit pada awal reaksi, maka siklus amplifikasi yang dibutuhkan lebih banyak untuk mencapai sinyal fluorens (Bio-Rad, 2006). Deteksi pada
RT-PCR
diklasifikasikan
menjadi 2
cara,
yaitu
menggunakan pewarna spesifik dan non-spesifik ( Fajardo et al., 2010). Probe adalah pewarna spesifik, jika probe mengalami hibridisasi dengan DNA target maka akan memancarkan sinyal fluorens. Probe memiliki spesifisitas yang
11
lebih tinggi namun membutuhkan waktu dan biaya yang tinggi, selain itu perlu didesain probe yang harus sangat sesuai dengan kondisi amplifikasi yang digunakan sehingga sulit diterapkan untuk pengujian rutin. Sedangkan pewarna yang non-spesifik bekerja dengan cara berinterkalasi dengan DNA untai ganda. Penggunaannya kurang diminati karena spesifisitasnya kurang sehingga dapat menyebabkan positif palsu dan mempengaruhi akurasi kuantifikasi. Namun, deteksi dengan pewarna non-spesifik memiliki keuntungan yaitu lebih mudah digunakan, tidak harus didesain individual, dan tidak mahal (Sonia, 2013). EvaGreen
adalah
generasi
ketiga
pewarna
non-spesifik
yang
memiliki
kelebihan yaitu kurang menghambat PCR dan dapat digunakan dibawah kondisi saturasi untuk
meningkatkan sinyal fluoresensi yang lebih baik.
EvaGreen juga cocok untuk analisis denaturasi resolusi tinggi (Biocompare, 2010).
5. Primer mitokondria D-Loop686 Daerah displacement loop (D-loop) merupakan fragmen yang tidak mengkode protein, terletak di dalam DNA mitokondria (Gambar 3). DNA mitokondria
terdapat
di
bagian
dalam
matriks
mitokondria.
Struktur
mitokondria terdiri dari empat bagian utama, yaitu membran luar, membran dalam, ruang antar membran, dan matriks yang terletak di bagian dalam membran. Di matriks bagian dalam juga terdapat komponen lain seperti ribosom, ATP, ADP, fosfat inorganik serta ion-ion seperti magnesium, kalsium, dan kalium.
12
D-Loop
Gambar 3. D-Loop pada DNA mitokondria (diadaptasi dari Taylor, 2005)
MtDNA memiliki karakteristik yang berbeda dari materi genetik di inti sel (Richter, 1988). MtDNA berbentuk sirkuler, berpilin ganda, dan tidak terlindungi membran (prokariotik). Bentuk sirkuler mtDNA memiliki stabilitas yang lebih baik dibandingkan dengan DNA nukleus. Selain itu mtDNA berada di ruang membran ganda sehingga akan memberikan perlindungan selama proses isolasi mitokondria dari sel (Selvi, 2015). Berdasarkan studi genetik, mtDNA memiliki jumlah cetak yang lebih banyak daripada DNA nukleus yaitu sebanyak 1000-10000 molekul per sel somatik (Sulandari, 2008) sehingga meningkatkan sensitifitas pada analisis PCR. Dari segi pola keturunan, gen mitokondria hanya memiliki satu alel sehingga terhindari dari masalah heterozigot. Pada gen mitokondria, biasanya yang dijadikan sebagai marker adalah bagian Cyt (sitokrom) b, 12S dan 16S rRNA, dan D-Loop.
13
Primer dengan target daerah MtDNA D-Loop686 telah berhasil didesain oleh Himawati (2013) dengan panjang 20 bp untuk masing-masing primer Forward dan Reverse. Primer merupakan komponen penting yang menentukan
keberhasilan
PCR.
Primer
yang
digunakan
harus
spesifik
menempel pada DNA target. Primer D-Loop686 telah terbukti spesifisitasnya untuk mendeteksi DNA babi dalam produk olahan makanan dendeng karena mampu mengenali DNA babi secara spesifik. Primer yang baik mempunyai susunan basa GC 40% - 60%. Jumlah ikatan primer sebaiknya sama atau lebih besar dibanding jumlah DNA target sebab jika primer memiliki jumlah ikatan G dan C yang rendah maka diperkirakan primer tidak mampu menempel secara efektif pada tempat yang dituju. Ukuran primer umumnya 18-24 basa, jika terlalu pendek dapat meningkatkan mispriming (penempelan primer yang tidak diinginkan). Jika terlalu panjang tidak akan meningkatkan spesifisitas primer secara bermakna serta harus diikuti peningkatan suhu leleh (Dewi, 2013). Suhu leleh (Tm) adalah suhu pada saat separuh jumlah primer menempel pada target. Primer forward maupun reverse sebaiknya mempunyai suhu leleh yang hampir sama. Jika suhu leleh antara primer forward maupun reverse sangat berbeda maka pada primer yang memiliki suhu leleh lebih tinggi sebaiknya dikurangi jumlah nukleotidanya sehingga sepasang primer memiliki suhu yang tidak jauh berbeda. Tm tergantung pada panjang primer dan komposisi primer, berkisar antara 50-650 C (Handoyo dan Ari, 2001).
14
Primer D-Loop686 memiliki Tm 590 C, suhu ini dapat digunakan untuk mengoptimasi suhu annealing. Optimasi suhu annealing primer DLoop686 telah dilakukan pada beberapa gradien mengunakan produk makanan dendeng dari daging babi dan sapi (Maryam et al., 2016). Pemilihan suhu optimasi ditentukan berdasarkan nilai Cq (Cycle Quantification) paling rendah, produk spesifik minimal dan primer dimer paling minimal. Suhu annealing yang diperoleh pada optimasi lebih tinggi dari Tm yaitu 620 C.
6. Isolasi DNA DNA (deoxyribonucleic acid) adalah materi genetik yang tersusun dari satu molekul gula, fosfat, dan basa. Komponen basanya dibagi menjadi empat tipe, yaitu Adenin (A) dan Guanin (G) sebagai purin, Sitosin (C) dan Timin (T) sebagai pirimidin. Bentuk molekul DNA berupa spiral double helix yang terdiri dari dua untai yang saling berpilin dengan penghubung diantara kedua untai tersebut sehingga membentuk seperti anak tangga. Basa A selalu berpasangan dengan basa T sedangkan basa G berpasangan dengan basa C, masing-masing pasangan terhubung oleh ikatan hidrogen (Gambar 4). Gula pada DNA adalah gula pentosa (berkarbon lima), yaitu 2-deoksiribosa (Brookes, 2005). DNA mengandung struktur informasi yang menentukan struktur protein dan memberi petunjuk langsung ke sel untuk pertumbuhan dan pembelahan serta informasi yang dipelukan sel untuk keberhasilan fungsi suatu organisme (Watson et al.,1992).
15
Gambar 4. Struktur DNA. Pasangan basa adenin dengan timin dan guanin dengan sitosin (Jim, 2007)
Isolasi DNA pada prinsipnya memisahkan DNA dari komponen sel lainnya. Beberapa tahapan isolasi yaitu lisis dinding dan membran sel, memisahkan DNA dari komponen lain, dan pengendapan.
Lisis dinding dan
membran sel secara kimiawi dilakukan dengan memanfaatkan senyawa EDTA (Ethylendiaminetetraacetic Acid) dan SDS (Sodium dodecyl sulfate). EDTA digunakan untuk mengkhelat kofaktor yang berperan untuk menginaktivasi enzim DNAse yang dapat mendenaturasi DNA yang diisolasi. Sedangkan SDS digunakan sebagai deterjen yang merusak membran sel. Enzim proteinase K digunakan untuk merusak dan menghilangkan protein (Sambrook & Russel, 2001). Kotoran akibat lisis sel dipisahkan dengan sentrifugasi berdasarkan berat jenis molekulnya. Setiap
metode
ekstraksi mempunyai prinsip
yang
sama
yaitu
dilakukan modifikasi tertentu untuk menghancurkan inhibitor yang terdapat di dalam sumber DNA sehingga diperoleh DNA yang murni (Muladno, 2010). Ekstraksi menggunakan fenol dan kloroform dapat mendenaturasi protein
16
sedangkan DNA dan RNA tidak terdenaturasi karena tidak larut dalam pelarut organik seperti fenol dan kloroform (Syafaruddin & Santoso, 2011). Enzim RNAase digunakan untuk mengancurkan RNA sehingga akan diperoleh DNA saja. DNA yang telah diekstraksi kemudian ditambah dengan garam, seperti NaCl atau Na-asetat untuk melarutkan DNA lalu ditambahkan etanol untuk mengendapkan DNA. Pada isolasi DNA dalam produk makanan seringkali mengalami kesulitan. Hal ini disebabkan karena produk makanan merupakan campuran makanan kompleks yg mengandung bahan penghambat (inhibitor) seperti polisakarida polifenol dan protein. Selain itu produk makanan telah mengalami proses pengolahan seperti mekanik, pemanasan, kimiawi dan enzimatik (Mafra et al., 2008). Beberapa tahapan pengolahan makanan yang mempengaruhi isolasi DNA yaitu proses pengolahan mekanik, pemanasan pada suhu tinggi dan pencampuran bumbu. Perlakuan fisik dan kimia pada makanan akan menurunkan ukuran DNA genom sebagai akibat dari pemecahan komponen makromolekul dari makanan tersebut (Kakihara et al., 2005). Meskipun demikian, DNA yang terdapat di dalam produk olahan makanan kemungkinan masih tetap stabil sehingga DNA dapat diisolasi (Nagappa, 2014).
7. Elektroforesis Gel Agarosa Elektroforesis DNA merupakan teknik pemisahan molekul DNA dibawah pengaruh medan listrik. Untuk melakukan elektroforesis, diperlukan gel untuk memisahkan DNA. Gel yang dapat digunakan adalah gel agarosa atau gel poliakrilamid. Konsentrasi yang digunakan gel perlu diperhatikan
17
karena mempengaruhi hasil pita yang ditampilkan dari proses elektroforesis. Gel polakrilamid memiliki kemampuan yang cukup besar untuk memisahkan DNA berdasarkan besar molekulnya akan tetapi hanya dapat memisahkan jumlah molekul DNA yang sedikit (<100bp) sedangkan gel agarosa dapat memisahkan molekul DNA lebih banyak dengan ukuran 200 bp hingga 50.000 bp (Sudjadi, 2008) tetapi memiliki kemampuan memisahkan DNA yang lebih rendah dibandingkan gel poliakrilamid (Murray et al., 2003). Gel agarosa memiliki kerapatan yang ditentukan oleh konsentrasi agarosa. Konsentrasi gel yang digunakan disesuaikan dengan ukuran fragmen DNA yang akan dideteksi. Medan magnet yang diberikan menyebabkan DNA bermigrasi bergerak dari muatan negatif pada DNA menuju muatan positif. Kecepatan migrasi ditentukan oleh ukuran (panjang) DNA, konformasi DNA, konsentrasi agarosa dan besaran tegangan yang digunakan. Fragmen DNA linear yang berukuran lebih besar bergerak lebih lambat karena terjadi gesekan lebih besar daripada ukuran yang lebih kecil. Konformasi DNA sirkuler pada umumnya berbentuk kompak sehingga migrasi lebih cepat daripada bentuk linear. Pada proses elektroforesis juga diperlukan buffer, yaitu 1) buffer elektroforesis, berfungsi sebagai media pengantar listrik untuk memisahkan fragmen-fragmen DNA, umumnya menggunakan TAE (Tris Acetate EDTA) atau TBE (Tris Borate EDTA); 2) buffer loading, berfungsi untuk penanda yang berupa warna sehingga dapat diketahui jauhnya jarak migrasi fragmen DNA (Maftuchah et al., 2014). Setelah proses elektroforesis, visualisasi
18
dilakukan dengan memendarkan radiasi sinar UV oleh Etidium Bromida (EtBr). EtBr dapat berinteraksi dengan cara menyisip di antara basa pada untai DNA kemudian membentuk interaksi van der walls. Radiasi sinar UV 245 nm diabsorbsi oleh DNA dan ditransmisikan pada EtBr, sedangkan radiasi sinar UV 302 nm dan 366 nm diserap oleh EtBr. Gel yang berpendar akan tampak sebagai pita-pita berfluoresensi jingga merah yang merupakan molekul DNA (Yuwono, 2006).
8. Spektrofotometri UV Spektrofotometri merupakan suatu metode analisa yang didasarkan pada pengukuran serapan sinar monokromatis. Sinar radiasi yang diserap oleh sampel ditentukan dengan membandingkan intensitas sinar yang diteruskan terhadap intensitas sinar yang diserap (jika tidak ada spesies penyerap selain sampel analit).
Intensitas radiasi mengalami penurunan dengan adanya
penghamburan dan pemantulan cahaya. Panjang gelombang yang digunakan berdasarkan kemampuan gugus kromofor menyerap sinar UV. Kromofor merupakan semua gugus atau atom yang mampu menyerap sinar UV dan sinar tampak. Selain itu ada pula gugus fungsional yang disebut auksokrom yang dapat meningkatkan intensitas (Gandjar & Rohman, 2007). Penentuan konsentrasi DNA dapat dilakukan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 260 nm karena basa nitrogen dapat menyerap kuat sinar UV pada panjang gelombang tersebut. Bagian struktur yang menyerap sinar UV adalah gugus kromofor yang terdapat pada basa timin dengan adenin (Gambar 5) dan guanin dengan sitosin (Gambar 6).
19
Gambar 5. Gugus kromofor pada pasangan basa adenin dan timin (Jim, 2007)
Gambar 6. Gugus kromofor pada pasangan basa guanin dan sitosin (Jim, 2007)
Absorbansi sama dengan 1,0 sebanding dengan konsentrasi DNA sejumlah
50µg/mL.
Jumlah
sinar
yang
diabsorbsi oleh asam nukleat
tergantung dari strukturnya. Semakin teratur struktur asam nukleat tersebut maka semakin rendah absorbansi (Sismindari, 2012). Tidak hanya DNA yang dapat menyerap sinar UV pada 260 nm, tetapi juga RNA sehingga RNA akan ikut terukur dan mempengaruhi hasil pengukuran
konsentrasi.
Selain
itu,
kehadiran
guanidin
juga
akan
menyebabkan absorbansi 260 nm lebih tinggi. Pada panjang gelombang 280 nm, asam amino aromatik yang terdapat dalam protein juga dapat menyerap sinar UV. Maka dari itu, dilakukan pengukuran kemurnian DNA dengan
20
menggunakan rasio absorbansi pada 260 nm dan 260 nm. DNA yang berkualitas baik akan memiliki rasio A260/A280 sama dengan 1,8. Jika rasio lebih rendah menunjukkan terdapat kontaminan lebih banyak (Maftuchah et al., 2014).
G. Landasan Teori DNA pada sampel dendeng, abon dan bakso, telah berhasil diisolasi meskipun produk tersebut telah mengalami berbagai proses pengolahan makanan (Maryam et al., 2016; Rahmawati, et al., 2016; dan Himawati, 2013). Hal ini dikarenakan DNA bersifat relatif stabil sehingga DNA dapat diisolasi meskipun melalui proses penggorengan, penghancuran fisik maupun penambahan bumbu. Kerupuk rambak mengandung DNA yang berasal dari bahan utama pembuatan rambak yaitu kulit. Diharapkan DNA pada kerupuk rambak babi dan sapi juga dapat diisolasi seperti pada produk makanan dendeng, abon dan bakso. Identifikasi cemaran babi dalam produk makanan dengan deteksi DNA babi menggunakan metode analisis real-time PCR (RT PCR) telah banyak dilakukan (Ali et al, 2012). Primer yang digunakan adalah D-Loop686 yang didesain oleh Himawati (2013) untuk mendeteksi cemaran babi dalam bakso. Optimasi suhu annealing dan pengujian spesifisitas primer D-Loop686 dengan metode RT PCR telah dilakukan pada beberapa gradien suhu. Sampel yang digunakan untuk optimasi suhu annealing, yaitu daging sapi, ayam, kambing dan kuda serta produk makanan dendeng campuran babi dan sapi.
Pada suhu hasil
21
optimasi yaitu 620 C, primer D-Loop686 mampu spesifik menempel pada DNA babi (Maryam et al., 2016).
H. Hipotesis 1. Kerupuk rambak babi dan sapi yang telah melalui berbagai proses pengolahan makanan dapat diisolasi DNA nya. 2. Primer D-Loop686 mampu spesifik mengidentifikasi cemaran DNA babi dalam kerupuk rambak babi dan sapi.