BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Memori dan fungsi kognitif merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan manusia membutuhkan kemampuan untuk belajar, mengorganisasi pengetahuan, dan menggunakan pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh akan disimpan sebagai memori jangka panjang yang kemudian akan digunakan kembali. Memori akan memungkinkan manusia merancang suatu pemikiran untuk melakukan tindakan dalam kehidupan seharihari. Memori dan kognitif akan menurun seiring dengan bertambahnya usia. Penurunan tersebut berhubungan dengan penyakit neurodegeneratif dan penuaan. Penyakit tersebut disebabkan karena menurunnya fungsi sistem fisiologi tubuh terutama pada bagian otak. Hal ini ditandai dengan adanya kerusakan pada tingkat molekuler sampai pada tingkat organ. Dewasa ini, penyakit neurodegeneratif dan penuaan umumnya dikaitkan dengan reactive oxygen species (ROS). ROS merupakan molekul yang sangat reaktif dan dapat menyerang lemak, gula, protein, dan DNA melalui mekanisme rantai reaksi sehingga menimbulkan kerusakan membran, modifikasi protein, deaktivasi enzim, dan kerusakan DNA (Niki, 1997). Oleh karena itu, ROS dapat menyebabkan berbagai macam penyakit seperti proses penuaan sel, mutagenesis, karsinogenesis, penyakit jantung, diabetes, dan neurodegenerasi (Zou et al., 2004).
1
2
Kerusakan otak yang disebabkan oleh ROS sering dikenal dengan istilah stres oksidatif. Stres oksidatif menggambarkan kondisi ketidakseimbangan antara produksi ROS dengan antioksidan endogen. Kerusakan otak akibat stres oksidatif ini dapat memicu penurunan memori. Penurunan memori ini dihubungkan dengan kerusakan pada bagian hippocampus yang berperan dalam konsolidasi memori. Menurut Stoltenburg (1994), formatio hippocampus dan masukan kolinergiknya adalah substrat neurobiologis yang penting dalam proses belajar dan mengingat. Apabila ada gangguan pada hippocampus maka proses belajar dan memori juga akan terganggu, mengingat hippocampus merupakan bagian otak yang rentan terhadap senyawa toksik. Sistem saraf, termasuk otak, sumsum tulang belakang, dan saraf tepi mempunyai kandungan asam lemak tak jenuh dan besi yang sangat tinggi. Tingginya ikatan rangkap karbon-karbon lipid pada jaringan saraf dan tingginya aktivitas metabolik menyebabkan jaringan tersebut peka terhadap stres oksidatif (Singh et al., 2004). Cara untuk melindungi jaringan dari radikal bebas atau ROS yang berlebihan adalah dengan antioksidan. Antioksidan mampu memperlambat ataupun menghambat reaksi oksidasi yang disebabkan oleh radikal bebas. Beberapa golongan senyawa yang berpotensi sebagai antioksidan adalah golongan fenolik, seperti flavonoid dan kumarin (Kahkonen et al., 1999). Mengkudu (Morinda citrifolia L.) merupakan salah satu tanaman asli Indonesia yang telah dikenal luas oleh masyarakat dan mengandung senyawa flavonoid. Flavonoid total dalam daun mengkudu adalah 254 mg/100 g (Yang et al., 2008). Ekstrak air daun mengkudu pada dosis 200 mg/kgBB mampu
3
menyembuhkan luka pada tikus yang dilukai serta dapat mengurangi tingkat peroksidasi lipid yang dievaluasi dengan metode TBA (Rasal et al., 2007). Beberapa ekstrak non air daun mengkudu juga dilaporkan memiliki IC50 sebesar 0,20-0,35 mg/ml (Thani et al., 2010). Daun mengkudu mempunyai aktivitas antioksidan 1,14 kali dan fenol total 0,21 kali lebih tinggi dibanding dengan teh hijau (Prior & Cao, 1999). Aktivitas antioksidan daun mengkudu dalam penelitian Wang & Lin (2000) lebih tinggi dibanding daun blackberry, raspberry, dan strawberry berdasarkan metode oxygen-radical absorbance-capacity (ORAC). Selain itu pada penelitian Deshmukh et al. (2011), kultur sel daun mengkudu mengandung flavonoid ekstraseluler yang lebih tinggi dibandingkan dengan buahnya. Fraksi etil asetat daun mengkudu dimungkinkan mengandung senyawa flavonoid dalam bentuk aglikonnya yang lebih larut ke dalam pelarut yang semi polar seperti etil asetat. Flavonoid yang terikat dengan glikonnya akan bersifat polar dan akan lebih larut ke dalam pelarut yang polar. Glikon yang terikat dengan flavonoid akan menyebabkan hambatan sterik dalam reaksi penangkapan radikal bebas (Kahkonen et al., 1999), sehingga glikosida flavonoid kurang efektif sebagai antioksidan jika dibanding bentuk aglikonnya (Pokorny et al., 2001). Penelitian tentang aktivitas antioksidan alami terhadap peningkat memori dan kognitif belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian yang lebih terarah untuk mengetahui seberapa besar kemampuan antioksidan dalam fraksi etil asetat daun mengkudu dalam mengurangi stres oksidatif. Pada penelitian ini digunakan mencit jantan galur Balb/C yang diinduksi etanol. Pemberian etanol ini dimaksudkan untuk menginduksi adanya stres oksidatif.
4
Etanol di dalam tubuh akan dimetabolisme menjadi asetaldehid yang akan meningkatan pembentukan ROS (Zakhari, 2006). Kemampuan mencit dalam mengingat akan menurun apabila produksi ROS yang berlebihan ini tidak dihambat. Oleh karena itu, pemberian antioksidan dalam fraksi etil asetat daun mengkudu diharapkan mampu menghambat produksi ROS sehingga dapat meningkatkan memori. Memori kerja mencit pada penelitian ini dinilai dengan metode passive avoidance test. Pengujian passive avoidance didasarkan pada kemampuan mencit untuk menghindari lingkungan yang berbahaya baginya, seperti shock listrik. Untuk menegaskan hasil kinerja mencit pada passive avoidance test, maka dilakukan pengamatan pada jumlah sel CA1 lamina piramidalis hippocampus. Pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui apakah antioksidan dalam fraksi etil asetat daun mengkudu mampu berfungsi sebagai agen neuroprotektif. Agen neuroprotektif mampu mengurangi kerusakan sel CA1 lamina piramidalis hippocampus karena ROS. Kerusakan yang terjadi dapat berupa pengurangan lengan dendrit neuron, atrofi dendrit neuron piramidalis, dan kematian neuron di hippocampus (Krzak et al., 2003; Vyas et al., 2002). Plastisitas sinaptik yang berperan dalam proses belajar dan memori adalah LTP dan LTD yang terjadi di area CA1 hippocampus (Kim et al., 2007). Apabila ada kerusakan pada bagian ini akibat adanya ROS, maka proses belajar dan mengingat tersebut akan terganggu. Oleh karena itu, pemberian antioksidan diharapkan mampu mengurangi kerusakan oksidatif pada hippocampus.
5
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut. 1.
Apakah pemberian fraksi etil asetat daun mengkudu berpengaruh terhadap peningkatkan memori dan fungsi kognitif pada mencit galur Balb/C berdasar Passive Avoidance Test?
2.
Berapakah dosis fraksi etil asetat daun mengkudu yang dapat meningkatkan memori dan fungsi kognitif paling baik pada mencit galur Balb/C berdasar Passive Avoidance Test?
3.
Apakah pemberian fraksi etil asetat daun mengkudu berpengaruh terhadap jumlah sel CA1 lamina piramidalis hippocampus mencit galur Balb/C?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Mengetahui pengaruh pemberian fraksi etil asetat daun mengkudu terhadap peningkatan memori dan fungsi kognitif pada mencit galur Balb/C berdasar Passive Avoidance Test.
2.
Mengetahui dosis fraksi etil asetat daun mengkudu yang dapat meningkatkan memori dan fungsi kognitif paling baik pada mencit galur Balb/C berdasar Passive Avoidance Test.
3.
Mengetahui pengaruh pemberian fraksi etil asetat daun mengkudu terhadap jumlah sel CA1 lamina piramidalis hippocampus mencit galur Balb/C.
6
D. Tinjauan Pustaka
1.
Mengkudu (Morinda citrifolia L.) a.
Nama Daerah Morinda citrifolia L. mempunyai nama daerah; Kudu, Cengkudu, Kemudu, dan Pace (Jawa); Cangkudu (Pasundan); Kodhuk (Madura); Eodu, Mengkudu, Bengkudu (Sumatera); Mangkudu, Wangkudu, dan Labanan (Kalimantan); Bakulu (Nusa Tenggara) (Wijayakusuma et al., 1996; Suryowinoto, 1997).
Gambar 1. Mengkudu (Morinda citrifolia L.)
b.
Morfologi Tanaman Tumbuhan ini merupakan perdu atau tanaman yang tumbuh membengkok dengan tinggi 3-8 cm, batang berkayu, kulit kasar, dan percabangan monopoidal (Wijayakusuma et al., 1996). Daun mengkudu berwarna hijau tua, duduk daun bersilang, berhadapan, bentuknya bulat telur, dan lebar sampai elips. Helaian daun tebal, mengkilap, tepi rata, ujungnya meruncing, pangkal daun menyempit, dan tulang menyirip
7
(Djauhariya, 2003). Daun tunggal, panjang 10-40 cm, lebar 5-17 cm dan bertangkai pendek (Sjahbana & Bahalwan, 2002). Bunga majemuk, bentuk bongkol, bertangkai, dan benang sari 5. Buah bongkol, permukaan tidak teratur, berdaging, panjang 5-10 cm, dan hijau kekuningan (Syamsuhidayat & Hutapea, 1991; Suryowinoto, 1997).
c.
d.
Klasifikasi Tanaman Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Anak kelas
: Sympatalae
Bangsa
: Rubiales
Suku
: Rubiaceae
Marga
: Morinda
Spesies
: Morinda citrifolia L.
(Van Steenis, 1975)
Kandungan Kimia Daun mengkudu mengandung antrakinon, glikosida, resin, asam askorbat, riboflavin, dan asam amino (Sjahbana & Bahalwan, 2002). Beberapa golongan senyawa yang berpotensi sebagai antioksidan adalah golongan fenolik, seperti flavonoid dan kumarin (Kahkonen et al., 1999). Beberapa flavonoid dari ekstrak etanolik mengkudu telah berhasil dikuantifikasi dan dikarakterisasi oleh Deng et al. (2008). Seratus gram
8
daun
mengkudu
mengandung
kuersetin-3-O-α-L-rhamnopiranosil-
(16)-β-D-glukopiranosida sebesar 94,3 ± 1,68 mg; kaempferol-3-O-αL-rhamnopiranosil-(16)-β-D-glukopiranosida sebesar 371,6 ± 2,47 mg; kuersetin sebesar 1,16 ± 0,036 mg; dan kaempferol sebesar 1,71 ± 0,066 mg. Selain senyawa golongan flavonoid, di dalam daun mengkudu juga ditemukan
glikosida
iridoid
yaitu
citrifolinoside,
asperuloside,
asperulosidic acid (Sang et al., 2001), dan citrifosida (Takashima et al., 2007), senyawa menguap yaitu asam palmitat dan e-phytol (West & Zhou, 2008), senyawa antrakinon 1,5,15-trimetilmorindol, dan terpenoid (Takashima et al., 2007).
e.
Manfaat Daun mengkudu mempunyai nilai gizi tinggi dan telah dilaporkan mempunyai efek terapetik yang luas termasuk antikanker (Zin et al., 2004). Di beberapa daerah, daun mengkudu digunakan sebagai obat cacing, pelembut kulit, peluruh dahak atau obat batuk, peluruh haid, pencahar, pengkhelat, dan penghenti perdarahan. Selain itu, daun mengkudu juga dipercaya sebagai obat penurun panas, kejang perut, radang amandel, difteri, masuk angin, beri-beri, setelah bersalin, kencing manis, dan radang usus besar (Thani et al., 2010). Di Malaysia rebusan daun (heated leaves) untuk penyembuhan batuk, pening, mual, dan pembengkakan limpa. Di Philipina digunakan sebagai penyembuhan arthritis dan sakit kepala. Jus daun mengkudu
9
untuk penderita asam urat dan infusa daun mengkudu untuk pengobatan demam dan diare (Usha et al., 2010). Aktivitas antituberkulosis daun mengkudu hampir sama dengan rifampicin. Ekstrak etanol daun mengkudu menyebabkan paralisis dan kematian Ascaris lumbricoides kurang dari satu hari (Wang et al., 2002). Senyawa iridoid, citrifolinin, dan citrifolinisida dalam daun mengkudu mempunyai aktivitas penghambatan terhadap UV B yang diinduksi aktivitas AP-1 (Sang et al., 2003).
2.
Ekstraksi Ekstraksi adalah kegiatan penarikan zat dapat larut dari bahan dengan
pelarut cair sehingga terpisah dari bahan tak larut (Depkes RI, 1986). Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan cara mengekstraksi zat aktif simplisia nabati dan hewani menggunakan pelarut yang sesuai. Metode penyarian tergantung dari wujud dan kandungan dari bahan yang akan disari (Harborne, 1973). Metode ekstraksi meliputi ekstraksi dengan pelarut secara panas dan secara dingin serta destilasi dengan uap. Ekstraksi dengan pelarut cara dingin termasuk maserasi, perkolasi, dan Soxhletasi. Ekstraksi dengan pelarut cara panas dapat menggunakan refluks dan secara infundasi (Depkes RI, 2000). Soxhlet merupakan alat untuk proses ekstraksi dengan bantuan pemanasan sehingga terjadi ekstraksi kontinyu karena uap pelarut ditangkap oleh pendingin dan jumlah pelarut relatif konstan. Metode ini membutuhkan pelarut dalam jumlah sedikit,
10
selain itu perbedaan konsentrasi tetap dipertahankan karena penyari mengalir secara kontinyu. Kelemahannya adalah memerlukan waktu lama dan tidak digunakaan untuk zat-zat yang peka terhadap panas (Voight, 1985). Ekstraksi dengan Soxhlet sangat umum dan sangat baik dibanding ekstraksi konvensional yang lain (Wang & Weller, 2006). Penyarian daun mengkudu dilakukan dengan mengekstraksi daun mengkudu kering dengan pelarut 95% etanol pada suhu 50oC selama 1 hari (Sang et al., 2001). Seperangkat alat Soxhlet terdiri dari labu alas bulat, Soxhlet ekstraktor, dan kondenser refluks. Simplisia biasanya diletakkan dalam selongsong yang terbuat dari kertas saring dan dimasukkan dalam tabung ekstraktor. Pelarut diletakkan dalam labu alas bulat dan dipanaskan hingga mencapai titik didihnya. Uap pelarut akan naik ke atas hingga menyentuh kondenser. Karena pengaruh kondenser, uap terkondensasi menetes ke dalam selongsong simplisia dan menyari bahan. Ketika tinggi ekstrak mencapai tabung sifon, cairan penyari turun ke labu alas bulat. Proses ini berlangsung terus menerus hingga simplisia terekstraksi sempurna (Handa et al., 2008). Senyawa kimia dalam ekstrak tanaman banyak berupa zat aktif dan zat balas, maka perlu dilakukan fraksinasi. Fraksinasi bertujuan untuk memisahkan senyawa yang tidak dikehendaki semaksimal mungkin tanpa berpengaruh pada kandungan senyawa aktif (Depkes RI, 2000).
3.
Radikal Bebas dan Stres Oksidatif Radikal bebas merupakan sekelompok zat kimia yang sangat reaktif
karena memiliki satu atau lebih elektron tidak berpasangan. Radikal bebas adalah
11
oksidan, tetapi tidak semua oksidan adalah radikal bebas. Oksidan merupakan senyawa yang dapat menerima elektron dan radikal bebas merupakan atom atau gugus dengan orbital luarnya memiliki elektron tidak berpasangan (Fessenden & Fessenden, 1986). Dalam memperoleh pasangan elektron, radikal bebas menjadi sangat reaktif, sehingga untuk memperoleh pasangan elektron, radikal bebas akan menyerang secara acak (Niki, 1997). Radikal bebas khususnya radikal hidroksil dapat merusak tiga jenis senyawa yang merupakan penyusun makhluk hidup, yaitu asam lemak (fatty acid), khususnya asam lemak tak jenuh yang merupakan komponen penting fosfolipid yang menyusun membran sel; DNA, yang merupakan perangkat genetik sel; dan protein yang memegang peranan penting seperti enzim, reseptor, antibodi, dan sitoskeleton (Sjahbana & Bahalwan, 2002). Berbagai penelitian melaporkan pengaruh negatif etanol terhadap berbagai organ atau sistem, termasuk sistem gastrointestinal, sistem kardiovasa, sistem muskuloskeletal, sistem endokrin, sistem uropetika, dan sistem saraf (Zakhari, 2006). Etanol dapat larut dalam lapisan lipid membran sehingga dapat meningkatkan fluiditas membran. Mekanisme aksi etanol pada sistem saraf pusat diperkirakan karena adanya gugus –OH pada molekul etanol yang menyebabkan etanol bersifat hidrofilik (larut dalam larutan polar (air) dan larutan ionik) dan rantai karbon pada etanol yang hidrofobik (larut dalam substansi nonpolar yaitu lipid). Hal inilah yang menyebabkan etanol dapat berinteraksi dengan membran sel yang terdiri dari lipid bilayer (Judith & Klaus, 1994). Etanol di dalam tubuh akan dimetabolisme menjadi asetaldehid melalui jalur alkohol dehidrogenase sebesar 80% dan sistem oksidasi etanol mikrosom
12
(SOME) sebesar 20% yang selanjutnya asetaldehid akan dimetabolisme menjadi asam asetat, yang dapat dimetabolisme lebih lanjut menjadi CO2, air, dan menghasilkan energi (Katzung, 1994; Zakhari, 2006). Namun, etanol dapat mengakibatkan kerusakan otak akibat dari produk metabolismenya yang berupa radikal bebas, yaitu reactive oxygen species (ROS) (Oscar-Berman & Marinkovij, 2003; Zakhari, 2006). Metabolisme etanol menjadi asetaldehid mengakibatkan peningkatan pembentukan oksigen bebas yang reaktif, yang bersifat toksik dan reaktif sehingga mengakibatkan berbagai macam akibat patologis dan kerusakan jaringan pada sistem saraf serta reaksi inflamasi di otak (Harper & Matsumoto, 2005; Zakhari, 2006).
Gambar 2. Jalur metabolisme oksidatif alkohol (Zakhari, 2006)
Metabolisme etanol oleh alkohol dehidrogenase (ADH) dan sitokrom P450 2E1 (CYP2E1) akan menghasilkan molekul yang reaktif seperti asetaldehid dan ROS, yang dapat bereaksi dengan asam amino atau molekul lain di dalam sel dalam rangka menjadi molekul yang stabil (Zakhari, 2006). Oksidasi NADH oleh rantai tranpor elektron dapat menghasilkan ROS yang dapat menyebabkan
13
peroksidasi lipid (Worral & Thielle, 2001). Pada dasarnya, senyawa oksigen reaktif diproduksi secara terus menerus di dalam tubuh manusia sebagai akibat proses metabolisme normal (Langseth, 1995). Ketidakseimbangan antara produksi dari zat-zat ini dan kapasitas sistem detoksifikasi normal oksidan ini menyebabkan terjadinya stres oksidatif (Emam et al., 2010). Kerusakan yang terjadi sebagai akibat stres oksidatif disebut kerusakan oksidatif (Halliwell & Gutteridge, 1999). Otak merupakan organ yang lebih rentan terhadap stres oksidatif. Hal ini berkaitan dengan tingginya aktivitas metabolisme oksidatif dan derajat pembentukan ROS yang mengakibatkan peningkatan aktivitas antioksidan. Tingginya aktivitas metabolisme disebabkan oleh penggunaan 20% oksigen oleh sel otak manusia, meskipun berat otak hanya 2% dari berat tubuh. Pada keadaan tersebut, sebanyak 5% dari oksigen yang dikonsumsi tereduksi tidak sempurna pada saat fosforilasi oksidatif di otak. Reduksi tidak sempurna dari oksigen tersebut, akan menghasilkan senyawa turunan oksigen yang bersifat radikal atau nonradikal (Bayir et al., 2002; Halliwell & Gutteridge, 1999). ROS diproduksi selama metabolisme seluler dan dikaitkan dengan proses penuaan (Harman, 2003). Metabolisme oksidatif menggunakan oksigen akan menghasilkan ROS dan meningkatkan sistem pertahanan antioksidan endogen untuk menetralkan ROS dan mencegah kerusakan yang ditimbulkannya. Jadi, stres oksidatif merupakan konsekuensi dari ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dan tingkat pertahanan antioksidan (Sastre et al., 200). Stres oksidatif yang disebabkan oleh ROS diperkirakan memainkan peran penting pada
14
neurodegeneratif yang berkaitan dengan usia (Harman, 1995). Telah dilaporkan bahwa penuaan yang terkait dengan ROS dapat menurunkan kognitif yang meliputi kemampuan belajar dan memori (Sarkaki et al., 2007). Stres oksidatif pada pasien Alzheimer ditandai oleh peningkatan produksi spesies oksigen reaktif di otak pasien demensia Alzheimer dan implikasinya terhadap penyakit ini terungkap melalui temuan berbagai produk kerusakan oksidatif maupun pemakaian antioksidan endogen. Produk kerusakan oksidatif pada biomolekul pasien demensia Alzheimer tersebut berupa malondialdehid (Buordel-Marchasson et al., 2001) dan karbonil (Munch et al., 2003). Malondialdehid merupakan produk peroksidasi lipid asam lemak tak jenuh sedangkan karbonil merupakan produk oksidatif pada protein (Halliwell & Gutteridge, 1999). Cara untuk melindungi terhadap oksidasi adalah dengan menggunakan bahan tambahan spesifik yang dapat menghambat oksidasi yang secara tepat disebut dengan penghambat oksidasi (oxidation inhibitor), akan tetapi lebih sering disebut dengan antioksidan (Pokorny et al., 2001).
4.
Antioksidan Antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang mampu menunda,
memperlambat, atau menghambat reaksi oksidasi pada makanan atau obat (Pokorny et al., 2001). Antioksidan dapat juga didefinisikan sebagai senyawa dalam konsentrasi kecil bila dibandingkan dengan substrat yang dapat teroksidasi, dapat memunda atau menghambat proses oksidasi substrat tersebut secara signifikan (Antolovich et al., 2002; Halliwell et al., 1995).
15
Antioksidan dapat bekerja dengan berbagai mekanisme, antara lain: 1) sebagai pelindung fisik dengan mencegah terbentuknya ROS atau mencegah ROS menuju ke bagian biologi yang penting, misalnya UV filter dan membran sel; 2) menyerap energi dan elektron, dan memadamkan ROS, misalnya karotenoid dan antosianidin; 3) menetralkan sistem katalitik atau mengalihkan ROS misal enzim antioksidan SOD, katalase, glutation peroksidase; 4) melalui ikatan inaktivasi ion metal untuk mencegah perkembangan ROS dengan reaksi Haber-Weiss, misalnya ferritin, seruloplasmin, dan katekin; 5) serta pemutusan rantai, penangkapan radikal, dan perusakan ROS misalnya asam askorbat (vitamin C), tokoferol (vitamin E), asam urat, glutation, dan flavonoid (Benzie, 2003). Sistem pertahanan antioksidan menyediakan berbagai perlindungan terhadap reaksi oksidasi. Sistem pertahanan tersebut terbagi pada berbagai tingkat, yakni pencegahan, intersepsi, dan perbaikan. Pada tingkat pencegahan, antioksidan berperan dalam mencegah pembentukan spesies oksigen reaktif. Pada tingkat intersepsi, jaringan antioksidan akan terlibat dalam scavenging ROS yang telah terbentuk. Jaringan antioksidan tersebut berupa antioksidan enzim (superoksida dismutase, katalase, dan glutation) dan antioksidan berat molekul kecil (asam askorbat, tokoferol, dan karotenoid). Selain itu pada tingkat perbaikan akan berperan enzim domain bagi kerusakan oksidatif melalui mekanisme degradasi dan perbaikan (Polidori, 2003). Senyawa antioksidan alami tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, vitamin C, vitamin E, beta-karoten, tokoferol, dan asam-asam organik
16
polifungsional. Golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, katekin, dan kalkon (Pratt & Hudson, 1992). Aktivitas antioksidan dari senyawa fenolik disebabkan karena sifat reduksinya, yang mana fenolik berlaku sebagai agen pereduksi, donor hidrogen, dan peredam oksigen singlet. Fenolik juga mempunyai kemampuan mengkhelat logam (Djeridane et al., 2006). Ketika senyawa-senyawa ini bereaksi dengan radikal bebas, senyawa tersebut membentuk radikal baru yang distabilisasi oleh efek resonansi inti aromatik. Dengan demikian, fase propagasi yang meliputi reaksi radikal berantai dapat dihambat (Cuvelier et al., 1991). Adanya ketertarikan pada senyawa fenolik sebagai antioksidan dikarenakan sifat antioksidannya yang kuat dan toksisitasnya yang rendah dibanding dengan senyawa antioksidan fenolik sintesis seperti BHA dan BHT (Caillet et al., 2006).
5.
Flavonoid Flavonoid merupakan senyawa polifenol dengan bobot molekuler rendah
yang dikarakterisasi oleh inti flavan. Flavonoid tersebar luas dalam daun, biji, batang, dan bunga dari tumbuhan (Harborne & William, 2000). Penelitian menunjukkan bahwa beberapa senyawa fenolik diketahui mempunyai kemampuan menangkap radikal bebas, oleh karena itu dapat digunakan untuk mencegah arteriosklerosis, kanker, diabetes, penyakit neurodegeneratif, dan arthritis (Zin et al., 2004). Flavonoid berfungsi sebagai metal khelator kuat, antioksidan pemutus rantai, dan penangkap radikal bebas. Flavonoid dikenal sebagai agen penangkap radikal yang kuat baik secara in vitro maupun in vivo (Yang et al., 2008). Kuatnya
17
antioksidan flavonoid secara in vitro disebabkan rendahnya potensial redoks dan kemampuannya untuk mendonorkan beberapa elektron atau atom hidrogen (Lotito & Frei, 2006). Menurut Kahkonen et al. (1999) senyawa fenolik telah dilaporkan mempunyai aktivitas antioksidan karena sifat reduksinya. Flavonoid dapat berfungsi sebagai penangkap radikal hidroksil yang merupakan radikal bebas yang paling reaktif (Pokorny et al., 2001). Flavonoid dapat beraksi sebagai antioksidan dengan menangkap radikal bebas melalui pemberian atom hidrogen pada radikal tersebut. Secara umum, kemampuan flavonoid dalam menangkap radikal tergantung dari substitusi gugus hidroksi dan kemampuan stabilisasi dari radikal fenolik melaui ikatan hidrogen atau melalui delokalisasi elektron. Selanjutnya radikal fenoksi flavonoid tersebut distabilkan oleh delokalisasi elektron yang tidak berpasangan di sekitar cincin aromatik. Stabilitas radikal fenoksi flavonoid (reactive
oxygen)
akan
mengurangi
kecepatan
perambatan
(propagasi)
autooksidasi reaksi berantai (Amic et al., 2003; Foti et al., 1996). Bentuk senyawa flavonoid selain sebagai glikosida, juga ditemukan dalam bentuk bebas yaitu bentuk aglikon (Mabry et al., 1970). Keberadaan flavonoid dalam tanaman biasanya pada permukaan atau pada sel epidermis daun hijau. Kemungkinan senyawa ini berfungsi untuk melindungi daun dari efek radiasi sinar ultraviolet dan dapat menekan fotoperoksidasi lipid oleh penangkap anion superoksida yang dihasilkan selama proses peroksidasi dalam kloroplas. Dengan demikian, senyawa tersebut diharapkan dapat berfungsi sebagai pelindung dari
18
radiasi sinar ultraviolet pada kulit manusia atau sebagai antioksidan alami (Harborne, 1973). Kandungan flavonoid dalam bentuk glikosida lebih banyak dibandingkan aglikon flavonoid dalam daun mengkudu (Deng et al., 2008). Namun, glikosida flavonoid mempunyai aktivitas antioksidan yang lebih rendah dibandingkan bentuk aglikonnya (Heim et al., 2002). Kuersetin sebagai aglikon menunjukkan kapasitas antioksidan intraseluler yang tinggi bila dibandingkan bentuk glikosidanya (Kim & Jang, 2010). Kuersetin (3,3’,4’,5,7-penta-hidroksi flavon) banyak terdapat dalam buah-buahan dan sayuran. Kuersetin lebih efektif menurunkan stres oksidatif yang diinduksi kerusakan membran sel saraf dibandingkan vitamin C. Hasil ini menambah keuntungan biologis yang signifikan guna melindungi sel saraf dari stres oksidatif yang diinduksi neurotoksisitas seperti pada penyakit Alzheimer (Groteworld, 2006).
6.
Memori dan Fungsi Kognitif Menurut Dorlan (2005) memori atau ingatan adalah kemampuan mental
untuk memanggil kembali sensasi, kesan, dan ide. Memori dapat terbentuk melalui
proses
pembelajaran
yang melibatkan
sistem
limbik
terutama
hippocampus dan amigdala, korteks asosiasi lobus frontalis, lobus parietalis dan lobus temporalis, serta talamus (cit. Aswin, 2000). Kognitif adalah aktivitas mengetahui, memperoleh, mengorganisasi, dan menggunakan pengetahuan (Neisser, 1976). Sedangkan Shaffer (1989) mengemukakan, yang diartikan dengan perkembangan kognitif adalah perubahan yang terlihat pada kemampuan
19
dan keterampilan mental pada selang waktu tertentu, secara khusus perubahan yang timbul pada kegiatan mental seperti perhatian, persepsi, belajar, berpikir, dan mengingat. Belajar merupakan bagian dari aktivitas kognitif. Menurut Nowakowski (1999, cit. Oktanindi, 2009) belajar (learning) adalah proses akuisisi informasi atau pengetahuan baru sedangkan memori adalah penyimpanan dari pengetahuan tersebut. Secara fisiologis, memori merupakan hasil dari perubahan kemampuan penjalaran sinaptik dari satu neuron ke neuron berikutnya, sebagai akibat dari aktivitas neural sebelumnya. Proses ini kemudian menghasilkan berkas-berkas yang terfasilitasi untuk membentuk penjalaran sinyal melalui lintasan neural otak (Guyton & Hall, 1996). Berdasarkan waktu penyimpanannya, memori dibagi menjadi: 1) memori jangka pendek, yaitu berupa memori yang berlangsung beberapa detik atau menit, kecuali memori ini diubah menjadi memori jangka panjang; 2) memori jangka menengah, yaitu memori yang berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu namun dapat hilang; dan 3) memori jangka panjang, yaitu memori yang sekali disimpan dapat diingat kembali selama bertahun-tahun bahkan seumur hidup (Guyton & Hall, 1996). Gal & Bardos (1994, cit. Ratnasari, 2000) membagi memori menjadi dua yaitu memori spasial dan memori temporal. Memori spasial berorientasi pada ruang dan memori temporal berorientasi pada waktu. Memori terbagi menjadi memori deklaratif (semantik dan episodik) dan memori prosedural. Memori deklaratif adalah memori tentang suatu objek, sedangkan memori prosedural adalah memori yang dihubungkan dengan aktivitas motorik (Guyton & Hall,
20
1996). Memori spasial merupakan salah satu komponen memori episodik, sedangkan memori episodik termasuk dalam memori deklaratif (Moscovitch et al., 2005). Memori spasial adalah memori kerja yang akan diingat kembali hanya pada saat melakukan tugas tertentu serta merupakan perpaduan antar perhatian, konsentrasi, dan memori jangka pendek (Budson & Price, 2005). Memori spasial merupakan ingatan mengenai ruang dan tempat yang dikaitkan dengan kemampuan individu untuk bertahan hidup dan merupakan salah satu bentuk memori kerja. Memori kerja atau apa yang disebut sebagai papan tulis pikiran didefinisikan sebagai suatu mekanisme untuk menyimpan sementara informasi dalam waktu singkat yang selanjutnya akan dipahami, dipikirkan, dan direncanakan sebelum akhirnya disimpan dalam bentuk memori jangka panjang dan dapat digunakan kembali. Memori kerja memungkinkan orang merangkai banyak pikiran sambung menyambung dalam suatu urutan yang logis dan merencanakan tindakan yang akan diambil (Bustos et al., 2003; Sherwood, 1992; Zhang et al., 2004). Informasi dalam bentuk impuls-impuls pesan akan dihantarkan ke korteks serebri yang akan menjadi memori jangka pendek yang selanjutnya diubah menjadi memori jangka panjang oleh hippocampus melalui long-term potentiation (LTP) pada saat seseorang tidur. Long-term potentiation (LTP) merupakan proses penguatan hantaran impuls antar neuron yang terjadi melalui plastisitas berulang dalam jangka waktu yang lama. Proses LTP terjadi di sel-sel piramidal hippocampus. LTP terjadi melalui dua fase yaitu fase early long-term potentiation (E-LTP) dan late long-term potentiation (L-LTP). E-LTP berlangsung antara 1-5
21
jam dan pada fase ini tidak terjadi sintesis protein post-sinaps. Sedangkan L-LTP berlangsung selama berhari-hari. Pada L-LTP terjadi sintesis protein post-sinaps yang akan semakin menguatkan proses hantaran impuls sehingga terjadi plastisitas yang berulang (Lu et al., 1999). Plastisitas didefinisikan sebagai perubahan pada berkas neuron yang terjadi berkaitan dengan pengalaman karena suatu kebiasaan yang didapat (Byrne & Roberts, 2004).
7.
Hippocampus Hippocampus merupakan bagian dari otak yang terletak di bagian medial
lobus temporal (Saladin, 2006). Hippocampus termasuk kelompok archikorteks yang tersusun oleh tiga lapisan kelompok sel. Lapisan terluar disebut lamina polimorfik dan lapisan terdalam disebut lamina molekularis, sedangkan di antara keduanya terdapat lamina piramidalis. Pada lamina piramidalis terdapat neuron piramidal yang berperan sebagai neuron utama di hippocampus (Siegel & Sapru, 2005; Standring, 2005). Terdapat dua lapisan tipis neuron yang melipat satu sama lain, yaitu gyrus dentatus dan cornu ammonis hippocampus. Cornu ammonis terbagi menjadi empat bagian yaitu, CA1, CA2, CA3, dan CA4. Bagian terpenting dari bagian-bagian tersebut adalah CA1 dan CA3 (Siegel & Sapru, 2005). Adanya stres dapat mengganggu pemulihan memori dan memfasilitasi induksi long-term depression (LTD) pada area CA1 hippocampus tikus dewasa (Tak et al., 2007). Pada hippocampus, peran LTD adalah untuk mengembalikan sinapsis yang telah mengalami LTP ke tingkat normal sehingga informasi baru dapat disimpan (Purves et al., 2004).
22
Gambar 3. Skema ilustrasi struktur anatomi hippocampus (Grove & Tole, 1999)
Hippocampus berhubungan langsung dengan proses belajar dan memori (Gruart et al., 2006). Namun, hippocampus tidak menyimpan memori melainkan menerima input sensorik dan kognitif menjadi short-term memory, kemudian mengubahnya menjadi long-term memory yang disimpan dalam korteks serebri (konsolidasi memori) (Saladin, 2006). Hippocampus telah diketahui memegang peran penting dalam pembentukan memori deklaratif, yaitu memori episodik dan semantik. Dalam pembentukan memori, hippocampus melibatkan berbagai area pada korteks serebri yang merupakan sumber informasi pendukung seperti memori visual, memori auditoris, dan memori taktil. Memori tersebut bersifat temporer dan memerlukan proses konsolidasi untuk dapat membentuk memori jangka panjang (Lynch, 2004). Telah disebutkan bahwa perubahan dari memori jangka pendek menjadi memori jangka panjang terjadi melalui suatu proses yang disebut long-term potentiation (LTP) yang terjadi di hippocampus (Waxman & deGroot, 1995). Pada saat LTP, terjadi plastisitas yang berulang pada sinaps di neuron hippocampus (Bear, 1996). Plastisitas sinaptik yang berperan dalam proses belajar dan memori adalah LTP dan LTD yang terjadi di area CA1 hippocampus. Telah
23
banyak literatur yang menguraikan adanya gangguan memori yang terjadi setelah paparan stres. Stres akut memfasilitasi terjadinya LTD pada region CA1 hippocampus tikus dewasa sehingga dapat menyebabkan gangguan fungsi hippocampus dalam proses konsolidasi memori spasial pada tikus (Kim et al., 2007). Selain itu, tingginya ikatan rangkap karbon-karbon lipid pada jaringan saraf dan tingginya aktivitas metabolik di otak menyebabkan jaringan tersebut peka terhadap stres oksidatif (Singh et al., 2004). Lesi pada otak yang melibatkan hippocampus akan menyebabkan seseorang tidak mampu atau mendapat kesulitan menyimpan memori jangka panjang (Guyton & Hall, 1996).
8.
Passive Avoidance Test Passive avoidance biasa digunakan untuk menguji berbagai fungsi memori
pada hewan uji (biasanya tikus atau mencit) meliputi akuisisi, memori jangka pendek atau memori kerja, konsolidasi, dan memori jangka panjang. Pada pengujian passive avoidance, hewan uji belajar untuk menghindari kompartemen gelap yang dapat menghantarkan shock listrik. Oleh karena itu, hewan uji harus menahan sifat alaminya untuk memasuki kompartemen gelap yang merupakan tempat yang nyaman bagi hewan uji tersebut (Weinberger et al., 1992). Memori dari suatu pengalaman merupakan bentuk dari proses belajar secara cepat yang memberikan ingatan peristiwa-peristiwa atau tempat-tempat serta sifatnya adaptif bagi organisme (Nakazawa et al., 2004; Tulving, 2002). Passive
avoidance
merupakan
pengujian
tunggal
secara
cepat
dengan
mengkondisikan hewan uji pada kondisi yang tidak disukai kemudian diuji untuk
24
mengetahui bagaimana ingatan hewan uji tersebut terhadap pengalaman yang telah diberikan. Biasanya, ingatan tersebut didasarkan pada kemampuan hewan uji untuk menghindari lingkungan dengan stimulus berbahaya. Kondisi uji yang diberikan dapat bervariasi, bisa sangat singkat (5 menit) sampai periode yang cukup lama (hari sampai bulan) (El-Ghundi et al., 2001; Grove et al., 2004) . Alat uji passive avoidance biasanya terdiri atas dua kompartemen, yaitu kompartemen terang dan kompartemen gelap. Pengujian passive avoidance dilakukan dengan menempatkan hewan uji di kompartemen terang dengan pintu antar kompartemen tertutup. Setelah periode singkat tertentu (misalnya 5 detik) pintu dibuka. Ketika tikus atau mencit memasuki kompartemen gelap, pintu ditutup. Waktu latensi, yaitu waktu saat pintu dibuka sampai tikus atau mencit masuk ke dalam kompartemen gelap dengan keempat kakinya dicatat. Segera setelah pintu ditutup, tikus atau mencit menerima shock listrik (0,1-0,4 mA) selama 2 detik (Grove et al., 2004). Shock listrik dihantarkan melalui lantai yang berupa grid-grid stainless steel. Salah satu pertimbangan penting dalam desain pengujian dengan passive avoidance adalah interval antara pengkondisian dan pengujian. Panjang interval ini tergantung pada apakah peneliti ingin menguji akuisisi, memori kerja, atau memori jangka panjang. Untuk menguji akuisisi, dapat digunakan durasi waktu 5 menit. Sedangkan untuk interval waktu antara 30 menit sampai beberapa jam dapat digunakan untuk menguji proses memori jangka pendek (El-Ghundi et al., 2001).
25
E. Landasan Teori
Otak merupakan organ yang mempunyai aktivitas metabolisme yang tinggi. Tingginya aktivitas metabolisme tersebut disebabkan oleh tingginya penggunaan oksigen oleh sel otak manusia. Namun, tidak semua oksigen yang dikonsumsi tereduksi secara sempurna pada saat fosforilasi oksidatif di otak. Reduksi dari oksigen yang tidak sempurna akan menghasilkan senyawa yang bersifat radikal (ROS). ROS merupakan molekul yang sangat reaktif dan dapat menyerang lemak, gula, protein, dan DNA melalui mekanisme rantai reaksi sehingga menimbulkan kerusakan membran, modifikasi protein, deaktivasi enzim, dan kerusakan DNA. Otak tersusun atas asam lemak tak jenuh yang peka terhadap reaksi oksidasi oleh ROS. Oleh karena itu, otak merupakan organ yang peka terhadap stres oksidatif, termasuk area hippocampus yang berperan dalam kognitif yang meliputi proses belajar dan memori. Memori merupakan proses untuk menyimpan pengetahuan dan informasi yang diperoleh dari proses belajar. Kegiatan memperoleh pengetahuan dan informasi tersebut merupakan aktivitas kognitif yang melibatkan hippocampus. Namun, hippocampus tidak menyimpan memori tersebut secara permanen. Hippocampus berperan dalam proses long-term potentiation (LTP) yang memfasilitasi perubahan memori jangka pendek menjadi memori jangka panjang. Kerusakan otak yang melibatkan hippocampus ini akan menyebabkan penurunan kemampuan dalam belajar dan memori. Etanol merupakan senyawa yang dapat mengakibatkan kerusakan otak akibat dari produk metabolismenya yang berupa reactive oxygen species (ROS).
26
Etanol digunakan untuk menginduksi stres oksidatif sehingga dapat diketahui pengaruhnya terhadap penurunan memori dan kognitif. Untuk menangkal ROS tersebut maka dibutuhkan suatu antioksidan. Suatu senyawa dikatakan memiliki aktivitas antioksidan apabila senyawa tersebut dapat memperlambat atau menghambat proses oksidasi senyawa lain. Daun mengkudu dilaporkan mengandung flavonoid yang mempunyai aktivitas antioksidan. Fraksi etil asetat daun mengkudu digunakan karena diperkirakan flavonoid yang terkandung dalam daun mengkudu dapat tersari dalam pelarut semi polar seperti etil asetat. Untuk mengetahui efek antioksidan pada fraksi etil asetat terhadap peningkatan memori dan kognitif, maka dilakukan penelitian dengan menggunakan metode passive avoidance test pada mencit jantan galur Balb/C. Kinerja mencit pada passive avoidance test dinilai berdasarkan lama waktu untuk memasuki kompartemen dengan shock listrik (waktu latensi). Peningkatan memori dan kognitif ditandai dengan nilai latensi yang besar. Sifat neuroprotektif antioksidan dari daun mengkudu dilihat dari tingkat kerusakan otak akibat paparan etanol pada CA1 lamina piramidalis hippocampus secara mikroskopik. Pada CA1 hippocampus terjadi proses LTP dan LTD yang penting dalam konsolidasi memori. Apabila ada kerusakan pada area tersebut, proses belajar dan memori akan terganggu.
27
F. Hipotesis
1.
Pemberian fraksi etil asetat daun mengkudu dapat meningkatkan memori dan fungsi kognitif pada mencit galur Balb/C berdasar Passive Avoidance Test.
2.
Pemberian fraksi etil asetat daun mengkudu dosis tertinggi memberikan peningkatkan memori dan fungsi kognitif paling baik pada mencit galur Balb/C berdasar Passive Avoidance Test.
3.
Pemberian fraksi etil asetat daun mengkudu berpengaruh terhadap jumlah sel CA1 lamina piramidalis hippocampus mencit galur Balb/C.