BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Keluarga merupakan unit terkecil dari sebuah tatanan kehidupan bermasyarakat. Bermula dari sebuah keluarga akan terhimpun kumpulan keluarga yang kemudian membentuk sistem sosial yang kompleks. Sebuah keluarga mungkin hanya dipandang sesuatu yang sederhana. Namun keluarga memiliki pengaruh yang besar bagi kehidupan bangsa dan negara karena berawal dari keluarga akan terlahir putra-putri generasi penerus bangsa. Pernikahan merupakan gerbang menuju terciptanya sebuah keluarga. Sepasang laki-laki dan wanita yang menikah akan melahirkan keluarga yang baru. Pernikahan tidak hanya menyatukan dua insan dengan pribadi yang berlainan, namun juga akan mempersatukan dua keluarga yang berbeda pula. Walgito (2002) menyatakan bahwa pernikahan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri. Definisi pernikahan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 yaitu, pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sepasang insan yang menikah akan memasuki lembaran hidup yang baru. Ada impian, cita, dan asa yang diperjuangkan bersama guna menggapai keluarga yang bahagia dan sejahtera. Peran dan tanggung jawab baru juga akan dijalankan. Seorang laki-laki akan menjalankan peran sebagai suami sekaligus kepala rumah tangga. Selanjutnya seorang wanita menjalankan tugasnya sebagai isteri dan ibu rumah tangga. Selain itu terdapat pula peran dan tanggung jawab sosial karena mereka akan menjadi bagian dari masyarakat.
1
2
Ketika akan menikah tentunya dibutuhkan persiapan dan kesiapan yang matang agar bahtera rumah tangga tidak mudah roboh oleh terpaan badai kehidupan. Persiapan mental, kemampuan membangun hubungan sosial, kemampuan nafkah, pemahaman tentang pernikahan dan pernak-pernik kehidupan rumah tangga, hendaknya telah dimiliki oleh orang yang akan menikah. Takariawan (2008) menyampaikan bahwa seseorang yang akan menikah hendaknya memiliki berbagai kesiapan yang meliputi : (a) kesiapan moral dan spiritual (b) kesiapan konsepsional (c) kesiapan fisik (d) kesiapan material dan (e) kesiapan sosial. Masyarakat memiliki beragam pandangan terkait idealnya kondisi seseorang memasuki jenjang pernikahan. Para orang tua sebagian besar mengharapkan anaknya menikah setelah lulus studi dan sudah memiliki pekerjaan atau penghasilan yang tetap. Utamanya untuk anak laki-laki karena mereka memiliki tanggung jawab menafkahi keluarga. Apabila ditinjau dari perspektif hukum negara, pernikahan bisa dilakukan apabila seseorang laki-laki sudah berumur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun (UU Nomor 1 Tentang Perkawinan, 1974). Mahasiswa strata satu (S1) di Indonesia rata-rata berusia antara 18-23 tahun. Pada umumnya mereka baru akan menikah ketika telah menyelesaikan studi dan sudah bekerja. Namun realitanya, dijumpai pula fenomena pernikahan yang dijalani oleh sesama mahasiswa, meskipun keduanya masih menjalani studi S1. Jumlahnya secara kuantitas memang tidak banyak jika dibandingkan dengan jumlah mahasiswa S1 yang belum menikah. Mahasiswa yang memilih menikah saat masih menempuh studi tentu ada faktor yang mendorongnya. Berdasarkan studi awal, peneliti menemukan beberapa faktor yang mendorong mahasiswa menikah. Diantaranya yaitu, sudah menemukan sosok pasangan idaman, adanya dorongan kebutuhan fisiologis, dan bercita-cita memiliki banyak
3
keturunan sehingga memutuskan menikah saat usia masih muda. Walgito (2002) memaparkan bahwa seseorang memutuskan menikah karena didorong oleh beberapa kebutuhan. Kebutuhan tersebut antara lain : (a) Kebutuhan fisiologis, seseorang yang menikah akan dapat memenuhi kebutuhan seksual yang wajar dengan lawan jenisnya. (b) Kebutuhan psikologis, orang yang menikah bisa memenuhi kebutuhan psikologisnya, seperti
kasih
sayang,
merasa
aman,
mendapatkan
perlindungan,
mendapatkan
ketenteraman, dan mendapatkan penghargaan. (c) Kebutuhan sosial, menikah menjadikan seseorang dapat memenuhi norma-norma yang ada dalam masyarakat. (d) Kebutuhan religi, menikah membuat indivdu merasa telah melaksanakan ajaran agamanya. Dalam kacamata sosial, pengambilan keputusan untuk menikah di kalangan mahasiswa S1 menuai beragam persepsi. Ada yang pro dan ada pula yang kontra. Ditinjau dari segi usia, keputusan tersebut tidak bertentangan dengan norma agama dan hukum negara. Apalagi bila melihat fenomena maraknya free sex dan hamil pranikah di kalangan generasi muda, pernikahan bisa menjadi salah satu solusi. Hal ini didukung oleh pernyataan salah satu pakar psikologi, Sarwono (1983) melalui tulisannya yang berjudul “Bagaimana Kalau Kita Galakkan Perkawinan Remaja?” memaparkan fenomena fitnah syahwat yang semakin tidak terkendali, seks pranikah semakin merajalela, terutama yang dilakukan oleh kaum muda yang masih duduk di bangku-bangku sekolah, baik ditataran SD, SMP, SMA, maupun perguruan tinggi. Manusia memang memiliki naluri seksual yang merupakan salah satu kebutuhan dasar. Hal ini ditegaskan oleh Abrahaman Maslow yang menyatakan bahwa manusia mempunyai lima tingkatan kebutuhan (Lestari, 2012). Salah satunya yakni kebutuhan fisiologis yang didalamnya terdapat kebutuhan seksual.
Pernikahan merupakan satu-
satunya jalan sah yang mengubah hubungan seksual yang semula haram dan nista menjadi halal tanpa cela.
4
Namun sebagian besar masyarakat merasa khawatir dan meragukan kesiapan mahasiswa yang memutuskan menikah saat masih studi. Persepsi ini tentu hal yang wajar bila melihat kondisi mahasiswa pada umumnya. Dari segi aktivitas, mahasiswa biasanya memiliki aktivitas yang padat. Porsi terbesar adalah kegiatan akademik. Tuntutan akademik seperti perkuliahan reguler cukup menyita waktu. Belum lagi tugas dari dosen, praktikum, papers, penelitian dan skripsi. Selain itu, mahasiswa biasanya juga aktif dalam kegiatan kemahasiswaan. Misalnya, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), pecinta alam, unit kerohanian, paduan suara, dan pers mahasiswa. Namun tentunya mereka harus menyisihkankan banyak waktu di sela-sela padatnya aktivitas akademik. Dari sisi finansial, mayoritas mahasiswa juga belum mandiri secara ekonomi. Mereka masih bergantung dari tunjangan orang tua. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Noviyanti (2002), didapatkan fakta empirik yang menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa secara material masih mempunyai ketergantungan yang kuat pada orang tuanya. Selanjutnya dalam aspek mental dan emosional, mahasiswa juga rentan mengalami gangguan. Berdasarkan penelitian Michael dkk (dalam Maulida, 2012) terhadap 1445 mahasiswa didapatkan hasil bahwa mahasiswa mengalami gejala depresi sejak awal kuliah dengan berbagai penyebab masalah, seperti masalah akademik, kesendirian, masalah ekonomi, dan sulit membangun hubungan. Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan, mayoritas mahasiswa belum berada pada kondisi yang ideal untuk menikah. Fenomena ini tentu menghadirkan dilema bagi sebagian mahasiswa yang sudah memiliki keinginan kuat untuk menikah. Akan tetapi mereka harus menghadapi kenyataan bahwa kondisi mereka belum ideal dan belum memiliki kesiapan yang matang. Ditambah lagi, pernikahanan pada masa studi S1 bukanlah hal yang umum pada masyarakat Indonesia karena norma sosial dan budaya menekankan faktor kesiapan finansial dan selesainya pendidikan. Namun pada akhirnya
5
mereka harus tetap mengambil keputusan antara menikah saat itu atau menunda hingga lulus dulu. Oleh karena itu mereka harus memikirkannya secara mendalam agar keputusan yang diambil tidak bermuara pada efek yang fatal. Dalam konteks ini, proses pengambilan keputusan menikah menjadi sebuah fase yang sangat penting. De Janasz, Dowd, & Schneider (2002) menyampaikan bahwa pengambilan keputusan merupakan suatu proses dengan beberapa kemungkinan yang dapat dipertimbangkan dan diprioritaskan yang hasilnya dipilih berdasarkan pilihan yang jelas dari salah satu alternatif kemungkinan yang ada. Dari hasil studi awal peneliti diperoleh fakta bahwa proses pengambilan keputusan untuk menikah saat masih studi bukanlah hal yang sederhana. Di dalamnya ada lika-liku kisah dan proses rumit yang mengiringi. Salah satunya adalah seperti yang dikisahkan oleh DW (nama inisial), mahasiswa Fisipol UGM asal Bogor yang menikah pada tahun 2013. Ia bertutur bahwa ketika ia mengambil keputusan untuk menikah terdapat proses perjuangan yang panjang. Meskipun dari segi finansial belum mapan, namun ia bertekad bulat ingin menikah. Boleh dikata dia sudah “kebelet nikah”. Ia berkali-kali konsultasi dan bertukar pikiran dengan keluarga, teman, mentor, dan orang yang dianggapnya berpengalaman. Sebenarnya kedua orang tuanya melarang menikah sampai ia lulus kuliah. Kemudian dia berusaha keras melobi dan meyakinkan ayah ibunya. Begitu pula yang ia lakukan kepada calon isteri dan keluarga besarnya. Bahkan dia rela “terbang” seorang diri ke Gorontalo guna meyakinkan keluarga calon isteri. Mahasiswa merupakan individu yang berada pada tahap perkembangan dewasa awal. Menurut Hurlock (1980) ada beberapa kondisi yang dapat mempersulit proses penyesuaian individu dewasa awal dalam kehidupan pernikahan. Kondisi-kondisi tersebut antara lain; (a) Kurangnya kemampuan dan persiapan untuk hidup berumah tangga (b)
6
Peran dalam rumah tangga (c) Pernikahan dini (d) Latar belakang sosial budaya (e) Masa pacaran yang singkat, dan (f) Ide-ide romantis mengenai pernikahan, . Menikah saat masih menjalani studi tentu ada banyak tantangan, risiko, dan rentan diterpa masalah. Blood (1978) menyampaikan bahwa mahasiswa yang menikah kehidupannya akan dihadapkan pada tantangan, mereka tidak hanya terfokus pada kegiatan akademik saja, namun juga harus dapat mengatur waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengelola keluarga. Mereka harus membagi waktu untuk kuliah, mencari nafkah, dan pengasuhan anak. Dampaknya, intensitas kebersamaan dengan pasangan menjadi berkurang, alokasi mengerjakan tugas kuliah menjadi lebih sempit, bahkan tidak mengherankan jika diantara mereka akan rentan mengalami drop out kuliah, terutama risiko tersebut lebih besar terjadi pada mahasiswa putri (Blood, 1978). Salim (kompasiana.com, 2015) juga menyatakan bahwa menikah sambil kuliah bagi sebagian orang dapat menimbulkan banyak masalah. Berdasarkan pengalaman yang ia temukan dari rekan-rekannya yang menikah saat studi di Universitas Islam Madinah, Salim menemukan beberapa dampak negatif. Teman Salim tersebut adalah Usman, Rio, dan Abu. Usman (bukan nama sebenarnya) mahasiswa asal bandung menikah saat tahun ke dua kuliah. Awalnya Usman terkenal sebagai mahasiswa yang rajin. Ia juga selalu datang ke kelas paling awal dan duduk paling depan. Namun setelah menikah, teman-temannya merasakan perubahan yang signifikan dari perilakunya. Ia kerap melamun. Saat di kelas, chatting menjadi aktivitas yang hampir selalu dijalani. Akhirnya berimbas pada prestasi akademiknya. Lain halnya yang terjadi pada Rio. Ketika memasuki akhir bulan, ia direpotkan mencari pinjaman kesana-kesini untuk mengirim wesel ke istri. Begitu pula yang terjadi pada Abu, mahasiswa yang berasal dari Afrika Selatan. Abu terkenal sebagai “rajanya hutang”. Terlebih di kalangan mahasiswa Indonesia. Ia berpindah dari mahasiswa satu ke mahasiswa yang lain untuk meminjam uang, bahkan kepada orang yang belum ia
7
kenal. Lebih parah lagi, ia juga terkenal susah dalam membayar hutang. Ketika ditanya alasannya, ia selalu bercerita tentang kondisi anak dan istrinya di pelosok Afrika (kompasiana.com, 2015). Pernyataan senada diungkapkan oleh Purba dalam skripsinya yang berjudul Dampak Pernikahan Mahasiswi di Masa Studi (2012). Hasil penelitian Purba (2012) menunjukkan bahwa menikah di masa studi berdampak terhadap turunnya nilai akademik. Hal tersebut dipicu oleh tanggung jawab dan peran ganda yang muncul, seperti masa hamil, mengasuh anak, kendala keuangan dan sibuk mengurus rumah tangga. Akibatnya konsentrasi mahasiswi tersebut berkurang dalam kegiatan perkuliahan. Kehadirannya dalam perkuliahan berkurang dan akhirnya nilai akademik menurun (Purba, 2012). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pernikahan pada mahasiswa menghadirkan tantangan tersendiri dan dapat memicu lahirnya problematika jika mereka tidak pandai mengelola kehidupan barunya. Utamanya problematika kehidupan bersama pasangan yang banyak membutuhkan penyesuaian. Berangkat dari hal tersebut peneliti tertarik untuk meneliti kualitas pernikahan yang dijalani oleh mahasiswa. Kualitas pernikahan menurut Fitzpatrick adalah evaluasi subjektif terhadap hubungan pernikahan oleh suami atau isteri (Wahyuningsih, 2012). Peneliti ingin mengungkap bagaimana penilaian subjektif mahasiswa yang menikah terhadap pernikahan yang telah dijalani bersama pasangannya. Berbagai tantangan yang menyapa dalam kehidupan mahasiswa yang menikah juga akan mempengaruhi kondisi psychological well-being. Psychological well-being merujuk pada perasaan individu terkait dengan aktivitas hidup sehari-hari. Aneka kegiatan yang dijalani seseorang yang berlangsung setiap hari kemungkinan mengalami fluktuasi pikiran dan perasaan, dimulai dari kondisi mental negatif sampai pada kondisi mental positif, hal ini dinamakan dengan psychological well-being (Ryff & Keyes, 1995)
8
Ryff (1989) mendefinisikan psychological well-being sebagai suatu dorongan untuk menggali potensi individu secara keseluruhan. Dorongan tersebut dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah dengan keadaan yang berefek psychological well-being individu menjadi rendah atau justru berjuang untuk memperbaiki keadaan yang akan menjadikan psychological well-being individu tersebut menjadi tinggi (Ryff dan Keyes, 1995). Psychological well-being juga melibatkan persepsi dari keterlibatan dengan tantangantantangan selama hidup (Keyes, Shomotkin dan Ryff dalam Syoraya, 2015). Ryff (1989) menjelaskan bahwa psychological well-being memiliki enam dimensi, antara lain; (a) penerimaan diri, yaitu dapat menerima semua kekurangan dan kelebihan yang dimiliki (b) otonomi, mampu menampilkan sikap mandiri (c) mampu membina hubungan positif dengan orang lain (d) penguasaan lingkungan, dalam arti dapat menguasai lingkungan agar sesuai dengan keinginannya (e) memiliki tujuan dalam hidup dan (f) pertumbuhan diri, yakni individu senantiasa mengembangkan dirinya. Pernikahan menjadi salah satu faktor yang ikut mempengaruhi psychlogical wellbeing seseorang (Keyes, Ryff & Shmothkin, 2002). Pernikahan juga memiliki dampak positif terhadap kesehatan fisik dan mental individu (Wilson & Oswald dalam Pebriartati, 2010). Dush, Taylor & Kroeger, dalam penelitannya menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara kebahagiaan dalam pernikahan dengan psychological well-being seseorang (Pebriartati, 2010). B. Rumusan Masalah Dalam norma sosial masyarakat di Indonesia, pernikahan dua insan yang samasama masih menempuh studi S1 bukanlah hal yang umum. Mahasiswa yang menikah umumnya dipandang negatif oleh masyarakat. Mereka khawatir dan meragukan kesiapan mahasiswa untuk hidup berkeluarga, baik dari segi mental, finansial, maupun sosial. Sebagian besar orang tua mengharapkan anaknya menikah setelah lulus kuliah dan
9
memiliki pekerjaan sebagai bekal finansial. Berdasarkan penjelasan sebelumnya diketahui bahwa mahasiswa memang belum berada pada kondisi ideal untuk menikah. Utamanya dari segi kesiapan mental dan finansial. Hal ini membuat dilema bagi mahasiswa yang sudah memiliki keinginan kuat untuk menikah. Dalam konteks ini dinamika pengambilan keputusan menikah pada mahasiswa menjadi fase yang penting dan menarik untuk diteliti. Peneliti ingin mengungkap bagaimana dinamika pengambilan keputusan menikah pada mahasiswa, motivasi apa yang mendorong untuk menikah, bagaimana respon keluarga dan sahabat dekat, siapa saja yang berperan dalam proses pengambilan keputusan, serta faktor apa saja yang menjadi penguat dan penghambat. Pernikahan pada mahasiswa berbeda dengan pernikahan pada umumnya. Mahasiswa yang menikah memiliki tanggung jawab dan peran ganda. Mereka tidak hanya disibukkan dengan padatnya aktivitas akademik, tetapi juga menjalani rutinitas kehidupan berumah tangga, mengasuh anak, dan mencari nafkah. Sederet aktivitas tersebut tentu akan mempengaruhi kondisi mental dan emosional yang terkadang bermuara pada terjadinya konflik. Selain itu mereka juga harus melakukan penyesuaian-penyesuain, baik penyesuian terhadap pasangan, keluarga besar, pengelolaan keuangan, dan lingkungan sosial. Berangkat dari hal ini, peneliti juga tertarik untuk mengetahui bagaimana kualitas pernikahan dan kondisi psychological well-being mahasiswa yang menikah. C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana dinamika pengambilan keputusan menikah, kondisi psychological well-being, dan kualitas pernikahan pada mahasiswa S1.
10
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat diantaranya : 1. Manfaat Teoritis a. Mengidentifikasi
dinamika
pengambilan
keputusan
menikah,
kondisi
psychological well-being, dan kualitas pernikahan pada mahasiswa. b. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu psikologi, khususnya psikologi pernikahan dan keluarga. 2. Manfaat Praktis a. Bagi mahasiswa Penelitian ini bisa menjadi bahan pertimbangan bagi mahasiswa yang memiliki keinginan menikah di masa studi. Diharapkan mereka bisa memahami realita kehidupan mahasiswa yang menikah sehingga tidak salah langkah dalam mengambil keputusan. b. Bagi masyarakat umum Dapat memberikan gambaran dinamika kehidupan mahasiswa yang menikah sehingga masyarakat bisa menilai secara proporsional tidak hanya sebatas norma sosial. Dampak positif maupun negatif pernikahan pada mahasiswa dapat menjadi bahan masukan bagi para orang tua yang memiliki putra atau putri yang sedang kuliah.