BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Organisasi menghadapi tantangan berupa perubahan yang terjadi terus-menerus. Perubahan ini memunculkan kompetisi antar organisasi untuk menghasilkan produk yang inovatif. Kompetisi yang terjadi menuntut organisasi untuk senantiasa mengembangkan ide-ide baru dan meningkatkan produktivitas serta kinerja organisasi, sehingga organisasi mampu mempertahankan eksistensinya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi salah satu faktor yang mendorong organisasi untuk terus melakukan inovasi pada produk yang dihasilkannya. Organisasi ditantang untuk dapat menghasilkan produk yang sejalan dengan perkembangan dan mampu memenuhi kebutuhan pengguna produk organisasi. Sumber daya manusia merupakan salah satu potensi organisasi yang mampu memberikan dukungan bagi peningkatan produktivitas dan kinerja organisasi. Suatu organisasi yang kompetitif membutuhkan sumber daya manusia yang kompetitif pula, sehingga organisasi membutuhkan sumber daya manusia yang potensial, yaitu sumber daya manusia yang mampu beradaptasi dengan perubahan dan mampu mengikuti perkembangan teknologi serta ilmu pengetahuan untuk menunjang produktivitas organisasi. Hal ini mendorong organisasi untuk berusaha mendapatkan sumber daya manusia yang mempunyai kualitas dan mampu berkompetisi agar memperoleh kinerja sesuai dengan yang diharapkan organisasi. Pengelolaan sumber daya manusia yang tepat memberikan hasil positif bagi kinerja organisasi maupun kinerja karyawan. Pemilihan calon karyawan yang sesuai, penempatan yang sesuai dengan kemampuan karyawan dan pemberian reward yang tepat memberikan
1
2 pengaruh positif pada kinerja individu. Saat organisasi telah memiliki sumber daya manusia yang potensial tetapi tidak diiringi dengan pengelolaan yang tepat, maka kinerja yang diperoleh tidak akan sesuai dengan harapan. Oleh karena itu, organisasi memerlukan strategi yang tepat dan mempertimbangkan berbagai sifat manusia, termasuk kehidupannya yang penuh dinamika, untuk mampu melakukan pengelolaan yang berdampak positif bagi organisasi. Kinerja organisasi akan sulit mengalami peningkatan tanpa adanya kinerja karyawan yang baik. Campbell (1990, dalam Jex & Britt, 2008) menyatakan bahwa job performance atau kinerja merupakan gambaran dari perilaku karyawan dalam pekerjaan yang memberikan kontribusi pada tujuan organisasi. Tantangan yang dihadapi oleh organisasi juga menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh karyawan dalam organisasi. Karyawan dituntut untuk memberikan kontribusi pada kemajuan organisasi dengan meningkatkan produktivitasnya, membuat suatu gagasan baru, dan mengarahkan potensinya pada tujuan organisasi. Topik yang berkaitan dengan kinerja karyawan dalam organisasi salah satunya adalah work engagement. Work engagement merupakan suatu aspek penting yang harus ada pada karyawan. Pentingnya work engagement telah disadari oleh para pemimpin bisnis. Penelitian yang dilakukan oleh Delloite Global Human Capital Trends pada tahun 2014 menunjukkan bahwa 78% dari pemimpin-pemimpin bisnis menilai bahwa engagement merupakan suatu hal yang penting (www.forbes.com). Penelitian yang dilakukan oleh Aon Hewitt pada tahun 2013 menunjukkan secara global dalam kurun waktu 2 tahun terjadi peningkatan angka work engagement sebanyak 2% dari yang semula 58% menjadi 60%. Indonesia menjadi negara yang memiliki angka kenaikan work engagement paling tinggi di Asia Pasifik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aon Hewitt, angka work engagement di Indonesia mengalami kenaikan
3 sebanyak 5%, dari 66% menjadi 71% (www.aon.com). Penelitian ini menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun engagement karyawan mengalami peningkatan, sehingga dapat dilihat bahwa karyawan telah menyadari bahwa work engagement merupakan salah satu aspek penting yang perlu dimunculkan pada saat bekerja. Peningkatan angka work engagement pada karyawan akan memberikan dampak baik bagi organisasi. Bakker dan Demerouti (2006) menyatakan bahwa karyawan yang mempunyai engagement yang lebih tinggi akan cenderung lebih kreatif, lebih produktif, dan mau untuk bekerja ekstra. Sementara itu ahli lain menyatakan bahwa karyawan dengan work engagement yang tinggi akan memiliki inisiatif personal, perilaku yang proaktif, serta motivasi untuk belajar (Salanova & Schaufeli, 2003 dalam Wefald, 2008). Berdasarkan hasil-hasil penelitian dapat terlihat bahwa work engagement merupakan aspek penting yang perlu untuk dimiliki karyawan dalam organisasi. Karyawan yang kreatif, produktif, proaktif, serta memiliki motivasi yang tinggi akan membantu meningkatkan produktivitas organisasi. Penelitian yang dilakukan Gallup pada tahun 2011 sampai 2012 menunjukkan hasil yang berbeda. Penelitian ini menunjukkan secara global hanya 13% karyawan yang engaged dengan pekerjaannya. Jumlah ini menunjukkan adanya peningkatan dibandingkan tahun 2009-2010 yang menyebutkan hanya 11% karyawan yang memiliki engagement dengan pekerjaannya. Meskipun mengalami peningkatan, jumlah karyawan yang engaged dengan pekerjaannya masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan karyawan yang disengaged. Gallup menyebutkan jumlah karyawan yang not-engaged mencapai jumlah 63% sedangkan karyawan yang actively disengaged berjumlah 24%. Di Indonesia, Gallup menyebutkan hanya sekitar 8% karyawan yang memiliki engagement terhadap pekerjaannya, sedangkan karyawan yang tidak engaged dengan pekerjaannya berjumlah
4 sekitar 77% dan karyawan yang actively disengaged berjumlah sekitar 15% (www.gallup.com). Penelitian Aon Hewitt dan Gallup menggunakan alat ukur dan atribut work engagement yang berbeda, tetapi kedua penelitian tersebut memiliki satu atribut yang sama yaitu rasa memiliki. Penelitian Aon Hewitt menggunakan 3 atribut yaitu: 1) Say, karyawan berbicara mengenai hal positif organisasi kepada rekan kerja, calon karyawan, dan pengguna jasa organisasi, 2) Stay, karyawan memiliki rasa memiliki yang kuat dan keinginan untuk menjadi bagian dari organisasi, dan 3) Strive, karyawan memiliki motivasi dan usaha untuk mencapai kesuksesan dalam pekerjaan dan untuk organisasi. Penelitian Gallup menggunakan 4 atribut yaitu: 1) Growth, kesempatan karyawan untuk belajar dan berkembang, 2) Belong, rasa memiliki pada karyawan, 3) Give, pengakuan dan penghargaan atas kontribusi karyawan, dan 4) Get, hal-hal yang didapatkan karyawan dalam pekerjaannya. Penelitian Aon Hewitt tidak menjelaskan mengenai jumlah subjek dan teknik sampling yang digunakan. Penelitian Gallup menggunakan teknik random sampling yang hasil tiap negara disesuaikan bobotnya dengan populasi negara. Margin kesalahan pada sampling kurang dari 1 %. Tolman & Wiker dalam artikelnya menuliskan karyawan yang disengaged dengan pekerjaannya akan menambah biaya pengeluaran organisasi. Karyawan yang memiliki work engagement rendah cenderung tidak terlalu peduli dengan pekerjaannya, berusaha untuk keluar, mengeluarkan usaha yang sedikit, memiliki jumlah ketidakhadiran yang lebih banyak, dan menimbulkan turnover lebih pada organisasi. Karyawan yang disengaged tentu saja menambah biaya yang dikeluarkan organisasi untuk training karyawan baru dan kompensasi untuk karyawan. Jika dari waktu ke waktu terdapat banyak karyawan dengan work engagement yang rendah tentu saja hal tersebut dapat merugikan organisasi, selain
5 menambah pengeluaran organisasi, karyawan yang memiliki work engagement rendah juga mengurangi produktivitas organisasi (tolmanandwiker.com). Contoh dari perilaku karyawan yang disengaged dengan pekerjaannya adalah fokus karyawan tidak pada pekerjaan tetapi pada hal lain di luar pekerjaan, salah satunya adalah handphone. Terdapat beberapa kejadian karyawan yang bermain handphone saat bekerja sehingga tidak fokus pada pekerjaannya antara lain kejadian yang terjadi di Stasiun Gambir saat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Republik Indonesia, Yuddy Chrisnandi, melakukan inspeksi mendadak. MenPAN-RB menyaksikan hanya ada satu petugas yang melayani calon penumpang, sementara satu petugas lainnya hanya diam bermain handphone (www.jpnn.com). Kejadian berbeda terjadi di Bandara Sepinggan Balikpapan, akibat bermain handphone saat bekerja, salah seorang karyawan mengalami kecelakaan terjepit tangga belalai menuju pintu pesawat. Kecelakaan kerja ini terjadi akibat korban bermain handphone dan tidak memperhatikan peringatan yang telah diberikan meskipun sudah terdapat larangan pemakaian handphone di area tersebut (www.manadosatunews.com). Karyawan yang tidak memberikan perhatian secara sepenuhnya kepada pekerjaannya tentu saja membawa kerugian baik itu kerugian bagi perusahaan atau organisasi, kerugian bagi pengguna produk dari perusahaan atau organisasi, dan kerugian bagi karyawan itu sendiri. Wawancara awal yang dilakukan peneliti pada beberapa pegawai Kantor Pusat Tata Usaha (KPTU) Universitas Gadjah Mada mengungkapkan bahwa masih terdapat pegawai di KPTU yang kurang engaged dengan pekerjaannya. Responden mengungkapkan bahwa ia dan beberapa rekan kerjanya masih merasa kurang senang dengan pekerjaannya. Perasaan tersebut muncul karena workload antar pegawai yang tidak seimbang dan adanya tuntutan dari atasan yang terkadang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan yang menyebabkan responden merasakan penurunan semangat saat bekerja. Responden lain mengungkapkan bahwa
6 masih terdapat pegawai yang bermain handphone atau menggunakan internet di luar urusan pekerjaan. Perbedaan hasil penelitian yang terjadi menunjukkan bahwa belum terdapat informasi yang akurat mengenai tingkat work engagement karyawan di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Gallup menunjukkan bahwa work engagement karyawan di Indonesia masih rendah. Para pemilik bisnis maupun organisasi diharapkan mampu menyadari fenomena yang terjadi sehingga berusaha mencari strategi untuk dapat meningkatkan tingkat work engagement pada karyawan. Pada artikel yang ditulis oleh Michael Page dituliskan terdapat beberapa cara untuk dapat meningkatkan engagement pada karyawan. Cara-cara tersebut antara lain dengan memilih pemimpin yang mampu memberikan inspirasi, memberikan kesempatan pada karyawan untuk berkembang, membuat karyawan memahami bahwa pekerjaannya merupakan suatu hal yang berarti, memberikan pengakuan dan penghargaan yang sesuai, dan berfokus pada sumber daya manusia. Karyawan akan memiliki motivasi yang besar untuk memberikan yang terbaik saat karyawan mengetahui bahwa kerja kerasnya akan diakui dan dihargai oleh organisasi (www.michaelpage.com.au). Persepsi karyawan mengenai tingkat organisasi menghargai kontribusi yang dilakukan dan peduli terhadap well being karyawan disebut perceived organizational support atau POS (Eisenberger dkk., 1986). Organisasi perlu menyadari, bahwa work engagement pada karyawan tidak muncul begitu saja. Karyawan perlu mendapatkan dukungan yang cukup dari organisasi. Saat karyawan mempunyai persepsi ia mendapatkan dukungan serta penerimaan yang baik dari organisasi, maka karyawan akan mampu memusatkan perhatiannya pada pekerjaan sehingga mampu bekerja secara optimal. Senior Core Faculty Sekolah Tinggi PPM Management, Dwi Idawati, menyatakan bahwa perusahaan atau organisasi perlu untuk menyiapkan suatu sistem yang mampu memberikan
7 keuntungan baik bagi organisasi maupun bagi karyawan. Keuntungan bagi organisasi berupa produktivitas yang meningkat dan engagement karyawan yang tinggi. Bagi karyawan, keuntungan yang didapat berupa kesempatan untuk meningkatkan kompetensi dan memiliki kesejahteraan yang baik (www.swa.co.id). Kepedulian dari organisasi memiliki sumbangan pada engagement karyawan. Hal ini terlihat dari usaha yang dilakukan oleh PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia yang engagement karyawannya menduduki posisi tertinggi di lingkup industrinya di Asia. Chief Human Resources Officer PT Manulife, Ardhi Siregar, mengungkapkan bahwa pada dasarnya engagement sangat sederhana. Karyawan berkomitmen pada perusahaan jika dia merasa atasan, perusahaan, maupun lingkungannya peduli pada dia. Bentuk-bentuk perhatian yang diberikan PT Manulife antara lain ice cream event bagi karyawan yang menyumbang satu opini bagi perbaikan perusahaan dan pelatihan untuk staf sebanyak 42 kali dalam satu tahun. Hasil dari usaha yang dilakukan perusahaan untuk mendukung dan memperhatikan kesejahteraan karyawan terlihat pada produktivitas PT Manulife yang melampaui target serta tingkat turnover karyawan yang berada dibawah rata-rata pada industri asuransi (www.swa.co.id). Beberapa fenomena yang dikemukakan di atas kiranya perlu diperkuat dengan bukti empiris melalui penelitian. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui lebih lanjut melalui penelitian yang berjudul “Hubungan antara Perceived Organizational Support dengan Work Engegement”.
B. Tujuan Penelitian Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui
hubungan
antara
perceived
organizational support dengan work engagement, serta untuk mengetahui tingkat work engagement dan perceived organizational support pada karyawan.
8 C. Manfaat Penelitian Penelitian ini sekiranya dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1.
Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan wawasan dalam ilmu psikologi, khususnya dalam bidang psikologi industri dan organisasi, terutama mengenai topik-topik yang berkaitan dengan perceived organizational support dan work engagement pada karyawan. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan menjadi bahan pertimbangan untuk penelitian dengan topik perceived organizational support dan work engagement, atau penelitian dalam bidang psikologi industri dan organisasi.
2.
Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh organisasi secara umum sebagai informasi untuk mengatasi masalah work engagement pada karyawan. b. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai tingkat work engagement karyawan pada organisasi tempat penelitian, sehingga dapat menjadi masukan bagi organisasi untuk berbagai macam keperluan keputusan manajemen.