BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Olahraga bukan merupakan hal yang baru dijumpai dalam kehidupan di Indonesia ini. Prestasi di bidang olahraga sudah diperoleh Indonesia sejak puluhan tahun lalu. Jika dilihat dari ajang SEA GAMES era 1970-1980an, Indonesia sering mendapat posisi juara umum. Seiring dengan berjalannya waktu, negara-negara pesaing semakin giat dalam mengembangkan atlet-atletnya. Indonesia yang terlena akan prestasinya, memperlihatkan hasil yang menurun dan prestasi tersebut pun memburuk. Dapat dilihat dari ajang SEA GAMES periode 1985-2005, Indonesia semakin memperlihatkan keterpurukan. Peringkat Indonesia yang dulunya juara umum, semakin terpuruk menjadi turun sampai peringkat 5 (Kompas, 17 Mei 2005). Bidang olahraga yang cukup prestisius bagi Indonesia salah satunya adalah olahraga bulutangkis. Olahraga ini banyak digemari berbagai kalangan baik muda maupun tua di Indonesia. Prestasi Indonesia memang pernah bersinar pada masa Susi Susanti, Rudi Hartono, dan Alan Budi Kusuma yang mendapat gelar juara dunia beberapa puluh tahun yang lalu. Namun saat ini prestasi bulutangkis di Indonesia sedang menurun, hal ini didukung dengan direbutnya medali emas di ajang Olimpiade London 2012 oleh China (Kompas, 20 Februari 2014). Pembinaan prestasi bulutangkis diharapkan dapat mengahsilkan pemain yang dapat meraih prestasi puncaknya, sehingga pelatih dan atlet harus bisa bekerjasama dengan baik dan harmonis pada saat berlatih sebagai modal awal keberhasilan untuk mencapai prestasi puncak. Menurut Lowen (dalam Gunarsa, 1996) atlet perlu mengerti siapa dirinya dan apa yang ingin dicapainya, sehingga tahu apa yang harus dilakukannya. Pencapaian prestasi
1
2 atlet dipengaruhi banyak faktor, salah satu faktor yang sering dianggap mempengaruhi prestasi atlet adalah motivasi. Seorang atlet yang ingin mencapai prestasi, salah satunya harus memiliki motivasi dalam berlatih seperti diungkapkan oleh Weinberg dan Gould (1995) bahwa motivasi merupakan aspek yang banyak disoroti dalam program pembinaan olahraga (Satiadarma, 2007). Motivasi muncul tidak hanya dari satu faktor, namun bisa saja muncul dari faktor internal maupun eksternal (Cox, 2007). Penelitian Wirawan (dalam Swasti 2009), menguatkan teori bahwa motivasi mempunyai kaitan erat dengan prestasi seseorang dalam olahraga, yaitu motivasi berperan penting terhadap peringkat seseorang atau mungkin juga sebaliknya, peringkat yang dapat meningkatkan motivasi. Setyobroto (2002) mengungkapkan bahwa faktor internal berasal dari sifat-sifat pribadi, motif-motif, pemikiran dan perasaan sedangkan faktor eksternal yang berasal dari pengalaman, situasi sekitar, pengetahuan dan hambatan-hambatan, kedua faktor tersebut memiliki keterkaitan yang dapat membentuk sikap dan menghasilkan suatu tindakan. Bulutangkis merupakan olahraga yang memiliki dimensi motivasional yang kompleks dari berbagai jenis olahraga lainnya. Motivasi seseorang dalam berperilaku menunjukkan seberapa stabilnya kinerja dan performa pada orang tersebut. Ketika atlet memang mempunyai motivasi dari dalam dirinya yaitu kemauan keras dalam berlatih untuk mencapai prestasi, berkembang dan terus maju, serta memenuhi tanggung jawab sebagai seorang atlet, maka faktor tersebut akan menghasilkan kinerja yang lebih stabil dan konsisten, bahkan akan meningkat pada atlet tersebut (Gunarsa, 2004). Atlet yang mempunyai motivasi dari luar, hanya mengejar gelar juara, belum tentu memperlihatkan kinerja yang stabil, bahkan akan terlihat menurun performanya karena kurang adanya faktor pendorong dari dalam dirinya. Dua hal ini menunjukkan bahwa atlet yang mempunyai motivasi ekstrinsiklah yang akan sering mengalami “naik turun” dalam performanya. Tentu hal ini akan mudah diprediksi dari
3 latihannya, apakah atlet mampu belajar suatu teknik dengan benar dan cepat atau tidak, apakah atlet datang latihan tepat waktu atau sering telat. Faktor lain yang menjadi perbincangan terhadap turunnya prestasi Indonesia adalah masalah kedisplinan di Pelatnas. Kedisplinan pada saat berlatih perlu ditekankan karena merupakan faktor penting bagi atlet untuk mencapai juara. Rudy Hartono (dalam Adisasmito, 2007) mengatakan atlet Indonesia secara fisik, taktik, dan teknik sudah sama tingkatnya dengan negara lain, hanya perlu ditingkatkan pada aspek kedisiplinan para atlet pada saat berlatih. Pelatih ganda campuran pelatnas PBSI, Richard Mainaky, mengatakan bahwa kedisiplinan di Pelatnas sangatlah buruk. Para pemain dengan seenaknya keluar masuk asrama di luar jam yang ditentukan, pada saat berlatih masih sering bermain handphone, bahkan sebelum bertanding ada atlet yang sempat meng update status. Hal ini jelas dapat mengganggu konsentrasi atlet dan performa menjadi tidak maksimal (forum.pbdjarum.org). Masalah kedisplinan pada Pelatnas dapat diduga berakar dari kurangnya pengawasan pada saat di asrama dan juga saat latihan. Hal tersebut dapat menyebabkan turunnya motivasi atlet pada latihan. Atlet-atlet terlalu termanjakan oleh fasilitas dan merasa fleksibel terhadap peraturan sehingga dapat bertindak seenaknya sendiri. Jika terjadi masalah kedisiplinan seperti di Pelatnas, maka memang terjadi turunnya motivasi dikarenakan atlet belum menjadikan bulutangkis sebagai bagian dari dirinya, melainkan hanya sebagai tugas yang diemban sebagai atlet demi mencapai gelar juara. Saat ini terdapat 57 klub bulutangkis di bawah naungan PBSI Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Klub tersebut tersebar di 4 kabupaten dan 1 di kota Yogyakarta dengan jumlah atlet yang terdaftar pada klub sebanyak 836 atlet. Dulunya, Yogyakarta mempunyai sejumlah atlet yang terkenal di kalangan internasional yaitu Sigit Budiarto,
4 Finarsih, dan Tri Kusharjanto namun sekarang tidak pernah lagi ada atlet yang mampu mempertahankan prestasinya di ajang internasional. Banyak atlet muda Indonesia yang mempunyai talenta yang menjanjikan, namun hal tersebut dirasa kurang jika dihadapkan dalam ajang berskala internasional. Sebut saja atlet seperti Simon Santoso, Hendra Setiawan, Liliyana Natsir, Anneke F. Agustin, M. Ahsan, Sony Dwi Kuncoro, dan atlet lainnya, mereka sering tampil dalam berbagai kompetisi nasional maupun internasional. Tidak jarang beberapa dari mereka menyabet beberapa gelar juara dari berbagai kompetisi, namun prestasi tersebut tidak bertahan lama, ketika banyak atlet-atlet baru bermunculan dan kurangnya daya saing untuk mempertahankan prestasi tersebut. Salah satu cara untuk meningkatkan performa dan stamina adalah dengan latihan rutin. Ketersediaan fasilitas-fasilitas olahraga bulutangkis merupakan faktor penting guna mendukung proses latihan yang tentu juga dapat meningkatkan motivasi dan performa atlet bulutangkis. Fasilitas olahraga bulutangkis yang ada di Yogyakarta saat ini hanya berupa gedung olahraga dengan fasilitas yang kurang maksimal. Gedung olahraga yang ada hanya sebatas fasilitas olahraga rekreasi dan tidak fokus sebagai pusat pembinaan pelatihan bulutangkis. Selain itu, gedung olahraga tersebut sebagian besar juga digunakan untuk cabang olahraga lain seperti futsal dan bola basket sehingga penggunaannya sebagai fasilitas olahraga bulutangkis kurang maksimal. Hal ini tentu akan berpengaruh dalam motivasi berlatih atlet. Atlet akan merasa malas dan tidak bisa konsentrasi ketika sedang berlatih di suasana gedung yang ramai karena digunakan aktivitas olahraga lainnya. Klub bulutangkis di Yogyakarta sebagian besar masih menempati gedung olahraga yang masih digunakan aktivitas olahraga lain selain bulutangkis. Di lapangan, sering ditemukan bahwa penggunaan gedung pun berbarengan dengan jadwal olahraga lain sehingga fasilitas tidak berfungsi secara maksimal. Contohnya ketika sedang tidak ada
5 jadwal aktivitas olahraga lain, terdapat 5 lapangan bulutangkis yang dapat digunakan, namun ketika sedang berbarengan jadwal dengan olahraga lain, hanya 3 lapangan yang dapat digunakan. Hal ini jelas mampu membuat aktivitas berlatih bulutangkis kurang maksimal dikarenakan atlet kurang mendapat kesempatan berlatih secara leluasa dan bisa mengganggu konsentrasi dalam berlatih. Jika hal tersebut dibiarkan saja maka atlet akan merasa malas untuk berlatih dan motivasinya pun turun. Terdapat beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan program pembinaan prestasi pada olahraga, yaitu visi dan misi pembinaan yang jelas, program latihan yang sistematis, materi dan metode yang jelas, dan juga evaluasi yang mampu mengukur sejauh mana keberhasilan program tersebut (Husdarta dalam Prahandika, 2013). Pada perencanaan program, jelas yang mampu diamati adalah proses latihan. Latihan menjadi sangat krusial bagi atlet jika atlet tersebut ingin menjaga daya tahan tubuh dan tampil prima pada saat pertandingan. Untuk menunjukkan penampilan yang maksimal, maka perlu usaha keras dalam berlatih. Pola pikir tersebutlah yang harus dimiliki setiap atlet dalam mengembangkan karir prestasinya sehingga motivasi untuk berlatih sangatlah jelas yaitu menghasilkan prestasi yang baik saat bertanding. Perlakuan hukuman juga memberikan dampak berbeda pada setiap orang dan memengaruhi motivasi untuk semangat berlatih (Arisanti, 2009). Pada penelitian ditemukan beberapa subjek sering kehilangan semangat dan merasa kesal jika target latihan tidak tercapai dan diberikan hukuman. Hal ini mengindikasikan bahwa saat berlatih, tentu terdapat kondisi dimana pelatih harus jeli dalam mengamati perkembangan atletnya. Peran pelatih pada saat pelatihan sangat dibutuhkan untuk menjaga kestabilan fisik dan psikis para atlet. Ketika atlet sedang mempunyai performa jelek dalam berlatih, pelatih harus tahu apa yang penyebabnya. Komunikasi intens perlu dibangun agar atlet selalu merasa diperhatikan sehingga emosinya pun stabil. Apabila keadaan emosi atlet
6 stabil maka motivasi untuk berlatih juga tetap terjaga. Hal ini pun tidak terlepas dari karakteristik masing-masing individu yang berbeda sehingga memerlukan pendekatan yang berbeda pula dalam memotivasi atletnya. Rudy Hartono (dalam Arisanti, 2009) mengatakan bahwa atlet Indonesia kurang memiliki keyakinan akan kemampuan, merasa takut kalah, dan takut tidak dapat bermain bagus dalam bertanding karena kurang mempunyai motivasi dari dalam diri mereka. Hal ini terlihat pada saat berlatih, sering dijumpai atlet yang kurang bersemangat dan kurang disiplin. Mereka merasa puas dengan masuk di Pelatnas namun beberapa atlet masih belum yakin terhadap kemampuan yang mereka miliki. Sebagai contoh, pertandingan bulutangkis ganda putri di Olimpiade London 2012, yang mempertemukan pasangan Indonesia Greysia Polii/Meiliana Jauhari melawan pasangan Korea Ha Jung-eun/Kim Min-jung, mendapat hukuman diskualifikasi dari Olimpiade London oleh BWF. Kedua pasangan ini dituduh ‘bermain sabun’ dalam pertandingan tersebut. ‘Bermain sabun’ di sini dimaksudkan bahwa keempat atlet tersebut tidak bermain sepenuh hati dan tidak bersikap sportif. Dalam pertandingan tersebut, terlihat kedua pasangan tidak menunjukkan performa terbaiknya, yaitu dengan malas mengejar shuttlecock, sengaja membelokkan shuttlecock ke luar lapangan. Hal tersebut membuat wasit memberhentikan pertandingan dan kedua pasangan mendapat kartu hitam. Dari penilaian BWF, kedua pasangan tersebut melanggar dianggap melanggar “Code of Conduct” yang menyebutkan “tidak berusaha sebaik mungkin untuk memenangkan pertandingan” dan “dengan sengaja dan jelas melecehkan dan merugikan olahraga” (republika.co.id). Beberapa analisis mengatakan bahwa kasus tersebut tidak akan terjadi apabila kedua pasangan yang sedang bertanding bertanding seperti performa biasanya. Hal ini ternyata disebabkan oleh menghindarnya kedua pasangan ini dari kemenangan agar tidak bertemu
7 pasangan Cina di semifinal. Jika dilihat dari sisi psikologis, jelas kedua pasangan ini, khusunya pasangan Indonesia, belum siap bertanding untuk melawan pasangan yang dianggap lebih kuat daripada mereka. Motivasi untuk memenangkan pertandingan dan meraih prestasi pun terhalang oleh perasaan tertekan dengan perasaan cemas dan takut. Padahal, apabila pasangan Indonesia ini tetap percaya diri dengan kemampuan mereka, tidaklah mustahil untuk memenangkan pertandingan itu. Menurut Setyobroto (2002), olahraga bukan hanya sekadar mengandalkan faktor bakat dan fisik seperti kekuatan, kecepatan, dan kelenturan saja, melainkan faktor psikis yang akan sangat memengaruhi performa atlet dalam bertanding di kejuaraan olahraga. Kegiatan pelatihan fisik yang telah dilakukan sesuai prosedur dan jadwal akan sia–sia tanpa adanya faktor psikologis. Seorang atlet juga harus meningkatkan stabilitas emosional khususnya untuk menghadapi perasaan negatif seperti rasa kecewa, khawatir, takut kalah dan lainnya. Hal ini didukung oleh Santosa (dalam Yulianto, 2006) berpendapat bahwa untuk dapat berprestasi atlet perlu dipersiapkan mentalnya agar mereka mampu mengatasi ketegangan yang sering dihadapinya baik pada saat berlatih berat maupun pada saat berkompetisi. Pembinaan mental inipun bergantung oleh pelatih dan terkait dengan faktor komunikasi yang terjalin antara pelatih dan atlet (Arisanti, 2009). Hal ini sesuai dengan gambaran konseptual oleh Ahola (dalam Fuoss dan Tropmann, 1981) yang mengatakan olahraga atletik memerlukan adanya pengembangan tidak hanya dari faktor intrapersonal (kemampuan, bakat), namun juga faktor interpersonal (hubungan pelatih dan atlet). Jika hanya salah satu faktor saja yang dikembangkan maka akan mengakibatkan tidak maksimalnya performansi dari seorang atlet. Dalam hal mengembangkan kemampuan ini maka dibutuhkan usaha untuk membangun komunikasi yang baik antara pelatih dan atlet. Jika tidak, bisa terjadi miskomunikasi yang akan berujung ke ketidakpercayaan akan kepemimpinan dari atlet kepada seorang pelatih.
8 Hubungan antara pelatih dan atlet pun menjadi sangat krusial dalam membina mental sang atlet dalam hal olahraga. Dunia tidak bisa lepas dari istilah atlet dan pelatih. Atlet itu ibarat murid dan pelatih sebagai guru. Atlet dipandang sebagai sosok yang mempunyai kepribadian unik dan prinsip yang dipegang teguh akan dirinya. Begitu pula pada sosok pelatihyang dipandang mempunyai kepribadian berbeda, berjiwa kepemimpinan, berpengalaman, dan teoritis.Jika keduanya dipertemukan, terjadi beragam model komunikasi dan metode latihan yang pasti berbeda satu sama lain. Dari beragam kejadian tersebut pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan tersendiri, karena itu tidak ada pelatih yang murni ideal atau sempurna dalam mendidik atletnya namun semua pasti mengharapkan yang terbaik untuk atletnya. Dalam mengisi peran sebagai atlet, seseorang harus melakukan aktivitas berdasar pada program yang dirancang pelatihnya. Atlet mempunyai kewajiban untuk menuruti semua perintah atau saran yang diberikan dari pelatihnya. Dalam proses ini, harus terjalin hubungan antara pelatih dan atlet yang baik dan intim sehingga tidak terjadi benturan konflik antar kepentingan. Dalam mengisi peran sebagai pelatih, seseorang harus melibatkan diri secara total dengan atlet asuhannya. Seorang pelatih tidak hanya berperan sebagai guru dan selalu mengurusi masalah atau hal-hal yang berkaitan dengan olahraganya saja, tetapi pelatih juga harus berperan sebagai teman, orangtua, bahkan konselor bagi atlet asuhannya. Dalam perannya sebagai teman, seorang pelatih harus mampu memposisikan dirinya sebagai pendengar yang baik. Hal ini mengartikan bahwa ketika terdapat masalah dari atlet asuhannya, pelatih harus mampu menjadi seorang ”teman” yaitu mendengarkan curahan hati dan saling berbagi dalam hal pendapat. Pelatih juga harus mempunyai karisma sosok ”orang tua”, yang berarti sosok yang dihormati, berjiwa kepemimpinan, dan pemberi saran yang baik. Dalam hal ini, semua
9 saran dan perintah dari pelatih harus mampu dilaksanakan oleh atlet asuhannya. Di kesehariannya juga pelatih harus tegas dan disiplin dalam membina atletnya. Kepedulianakan masalah yang dihadapi atletnya juga akan membantu pelatih sebagai pemberi saran yang baik. Pada perannnya sebagai psikolog, keterlibatan yang mendalam antara pelatih dengan atlet asuhannya harus dilandasi oleh adanya empati dari pelatih terhadap atletnya tersebut. Empati ini merupakan kemampuan pelatih untuk dapat menghayati perasaan atau keadaan atletnya, yang berarti pelatih dapat mengerti atletnya secara total tanpa ia sendiri kehilangan identitas pribadinya. Untuk mengerti keadaan atlet dapat diperoleh dengan mengetahui atau mengenal hal-hal penting yang ada pada atlet yang bersangkutan. Pengetahuan sekadarnya saja tidak cukup bagi pelatih untuk mengetahui keadaan psikologi atletnya. Dasar dan sikap mau memahami keadaan psikologi atletnya adalah pengertian pelatih bahwa setiap orang memiliki sifat-sifat khusus yang memerlukan penanganan khusus pula dalam hubungan dengan pengembangan potensinya. Dengan demikian dapat diharapkan bahwa atlet sebagai seorang yang ingin mengembangkan prestasi, akan mempunyai kepercayaan penuh terhadap pelatihnya. Dalam pelaksanaannya, tidak mudah untuk menjalankan peran pelatih dan atlet sebagaimana mestinya. Pelatih yang tidak mampu memotivasi atletnya hanya akan berfungsi ibarat sebagai penunjuk jalan, tahu arah yang akan dituju namun tidak dapat mengontrol yang dipandunya. Atlet hasil buah didiknya pun juga hanya akan menerima ”hasil” saja tanpa tahu esensi dari sebuah “proses”. Sekali lagi komunikasilah kunci dari masalah ini. Berdasarkan beberapa pemaparan tersebut, peneliti memilih topik ini karena memang diduga ada hubungan positif antara komunikasi pelatih dan atlet dengan motivasi atlet dalam berlatih.
10 B.
Rumusan Masalah
Permasalahan yang diajukan dalam penelitian adalah, ”Apakah ada hubungan antara komunikasi atlet-pelatih dengan motivasi berlatih pada atlet bulutangkis di Yogyakarta?”
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara komunikasi atlet dan pelatih dengan motivasi berlatih pada atlet bulutangkis.
D.
Manfaat Penelititan
Manfaat secara teoritis ialah utuk memberi pengetahuan lebih dalam bagi ilmu psikologi tentang psikologi olahraga dan dinamikanya yang berkaitan dengan komunikasi atlet-pelatih guna meningkatkan motivasi berlatih atlet dalam bidang olahraga. Manfaat praktis secara langsung ialah memberi masukan terhadap pelatih dalam membangun relasi yang baik dengan atletnya guna meningkatkan motivasi atlet dalam bidang olahraga prestasi.