BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan dengan kesempurnaan yang berbeda. Kesempurnaan tidak hanya dilihat dari fisik, tetapi juga dilihat dari kelebihan yang dimiliki. Umumnya seseorang memandang kesempurnaan orang lain dari keadaan fisik. Keadaan fisik yang dilihat berupa alat indera yang dimiliki, seperti mata, hidung, telinga, lidah, kulit, yang sering disebut panca indera. Apabila salah satu alat indera tidak dapat berfungsi dengan baik, maka berarti seseorang mengalami suatu kecacatan fisik. Kecacatan merupakan suatu kondisi yang menyimpang dari rata-rata umunya (Solikhatun, 2013). Peneliti lebih menekankan pada kelainan pendengaran (tunarungu), dengan memilih subjek pada usia remaja, dimana remaja tersebut memperoleh tunarungu tidak sejak lahir. Sehingga pernah merasakan rasanya mendengar. Kondisi yang demikian akan membuat remaja merasakan gejolak emosi yang luar biasa. Hal ini disebabkan karena remaja tunarungu dalam kondisinya yang khusus atau luar biasa dengan berbagai kesulitan yang melekat padanya memiliki masalah utama yakni hambatan dalam berkomunikasi. Solikhatun (2013) mengemukakan bahwa bagi remaja tunarungu berkomunikasi melalui suara hampir tidak mungkin, maka segala sesuatu ditafsirkan sesuai dengan kesan penglihatannya, sehingga tidak jarang terjadi kesalahpahaman karena tidak dapat menangkap maksud dari lawan komunikasinya. Masa remaja adalah masa ketika individu dihadapkan pada pertanyaan siapa mereka, mereka itu sebenarnya apa, dan mau dibawa ke mana mereka menuju dalam hidupnya. Remaja dihadapkan dengan banyak peran yang harus dieksplorasi secara sehat. Bila remaja
1
2 mengeksplorasi peran-peran tersebut dengan sehat maka identitas diri yang positif akan terbentuk (Santrock,2003). Remaja memiliki pemikiran tentang siapakah diri mereka dan apa yang yang membuat mereka berbeda dari orang lain sehingga selalu melakukan penilaianpenilaian terhadap dirinya. Penilaian yang remaja buat terhadap dirinya meliputi berbagai domain antara lain akademik, atletik, dan penampilan fisik. Remaja sangat memperhatikan keadaan fisiknya. Penampilan yang sempurna adalah hal yang diinginkan oleh setiap remaja. Cacat-cacat badan sangat merisaukan terutama pada masa remaja karena penampilan fisik pada masa ini sangat dianggap penting. Cacat – cacat badan yang berat mempengaruhi penilaian diri remaja begitu rupa, hingga menghambat perkembangan kepribadian yang sehat (Monks, Knoer, dan Haditono, 2004). Sejumlah peneliti mengemukakan bahwa penampilan fisik merupakan suatu kontributor yang sangat berpengaruh terhadap rasa percaya diri remaja (Santrock,2003). Remaja dengan ketidakmampuan fisik atau citra tubuh yang negatif diperkirakan memiliki kesulitan untuk mengembangkan konsep diri yang positif daripada orang pada umumnya (Rice dan Dolgin, 2002). Remaja yang mengalami kelainan pada bagian fisiknya kemungkinan akan mempunyai emosi yang labil, mudah tersinggung, mudah merasa takut untuk melakukan sesuatu karena kecacatannya dan lebih sensitif pada sikap orang lain. Setiap remaja selalu berharap kehidupannya dapat dilalui dengan baik sesuai harapannya di masa yang akan datang. Namun sering kali harapan yang ada menjadi sirna karena peristiwa-peristiwa yang tidak terduga dalam kehidupannya, seperti kecelakaan, penyakit atau bencana alam yang menyebabkan remaja mengalami ketidakberfungsian anggota tubuh (Tentama, 2010). Remaja yang sebelumnya mempunyai fisik normal tentu pada akhirnya akan mempunyai berbagai permasalahan yang harus dihadapi menyangkut kondisi kecacatan tubuh yang baru diperolehnya.
3 Remaja yang mengalami cacat, baik fisik, psikologis, kognitif, atau sosial, terhambat dalam mencapai tujuan-tujuan atau kebutuhan dan potensinya secara maksimal (Mangunsong, 2009). Kekurangan atau kelainan fisik yang mungkin mengganggu perkembangan remaja antara lain adalah kelainan-kelainan pada alat tubuh yang penting untuk keperluan intelektual, berjalan, melihat, mendengar, dan berbicara. Dalam bahasa keseharian individu yang mengalami kekurangan-kekurangan tersebut dikenal dengan sebutan tunagrahita, tunadaksa, tunanetra, tunarungu dan tuna wicara. Kekurangan fisik itu biasanya membuat masyarakat memandang rendah mereka. Kekurangan dianggap sebagai kecacatan atau musibah (Lestari,2013). Begitu pula dengan remaja tunarungu, mereka mengalami hambatan dalam melakukan tugas perkembangan, seperti dalam berinteraksi dengan keluarga, teman sebaya, dan lingkungan sosialnya. Kesulitan dalam berinteraksi menjadi gangguan yang mendasar bagi remaja tunarungu. Gejolak jiwa yang tidak menentu dalam mencari identitas diri membuat mereka mengalami krisis yang lebih kompleks dibanding dengan remaja yang normal. Minimnya kemampuan bahasa yang dimiliki membuat mereka tidak mampu menjalin hubungan sosial, sehingga pemenuhan kebutuhan sosialnya terhambat. Remaja tunarungu sebagaimana remaja pada umumnya melalui masa-masa perkembangan dalam kehidupannya. Perbedaanya adalah remaja dengan ketidakmampuan fisik memiliki kesulitan lebih untuk mengembangkan konsep diri yang positif sehingga cenderung ditolak orang lain (Rice dan Dolgin,2002). Kemampuan fisik yang terbatas membuat remaja difabel bergantung pada bantuan orang lain yang lebih kuat. Dalam lingkungan sosial difabel menderita tekanan psikis yang berat karena tersisih dari peran aktif dalam masyarakat (Nasirin, 2010).
4 Remaja yang menderita tunarungu merasa sangat malu, berkecil hati, merasa tidak memiliki kepercayaan diri yang secara otomatis akan berpengaruh pada keadaan psikologisnya (Mangunsong, 2009). Remaja tunarungu dalam kondisinya yang khusus atau luar biasa dengan berbagai kesulitannya mempunyai banyak masalah yang dihadapinya, terutama hambatan untuk berkomunikasi dengan orang lain. kecacatan dalam pendengaran menyebabkan remaja tunarungu tidak mampu memahami suatu kejadian atau kebutuhan secara tepat (Tanojo,1999). Pada tahun 90-an beberapa aktivis yang mempunyai kepedulian terhadap individu yang dianggap cacat ini membuat terobosan baru. Mereka adalah Mansour Fakih, Setya Adi Purwanta, dan Sukanthi
Raharjo Bintoro (Lestari, 2012). Mereka memunculkan istilah
difabell yang berarti different ability sebagai wacana tandingan untuk mengubah paradigma masyarakat terhadap orang-orang yang berbeda secara fisik atau yang mereka anggap cacat tadi. Pemakaian kata difabel dimaksudkan sebagai eufemisme, yaitu penggunaan kata yang memperhalus istilah penyandang cacat. Dengan istilah difabel, masyarakat diajak untuk merekonstruksi nilai-nilai sebelumnya, yang semula memandang kondisi cacat atau tidak normal sebagai kekurangan atau ketidakmampuan menjadi pemahaman terhadap difabel sebagai manusia dengan kondisi fisik yang berbeda yang mampu melakukan aktivitas dengan cara dan pencapaian yang berbeda pula (Nasirin, 2010). Peneliti ingin turut berjuang bersama tokoh-tokoh tersebut sehingga peneliti menggunakan istilah difabel rungu untuk menggantikan istilah tunarungu. Pemahaman baru yang muncul di masyarakat diharapkan tidak lagi memandang para difabel sebagai manusia yang hanya memiliki kekurangan dan ketidakmampuan. Sebaliknya, para difabel sebagaimana manusia umunya juga memiliki potensi dan sikap positif terhadap lingkungannya (Nasirin, 2010).
5 Livneh dan Antonak (2005, dalam Rahman 2006) menyatakan bahwa pola pikir masyarakat yang memandang sebelah mata kaum difabel akan berakibat pada terbatasnya akses sosial sehari-hari. Hal itu akan memunculkan dampak psikososial yang tidak diinginkan, seperti rendahnya konsep diri, persepsi diri yang kaitannya dengan cara individu memandang dirinya dan penampilannya sendir (body image), munculnya penolakan diri (denial), keadaan depresif, bahkan sampai dengan menarik diri (withdrawl) dari pergaulan sosial sehari-hari. WHO menyebutkan seseorang dapat menjadi difabel karena beberapa hal, diantaranya kelainan bawaan dan kondisi perinatal, kecelakaan (kecelakaan kendaraan bermotor, keracunan, kecelakaan karena jatuh, kebakaran, perang dan penyebab eksternal lain termasuk faktor alam dan lingkungan) dan penyakit/sakit (Fujiura & Kmitta, 2001). Banyak hal yang menyebabkan seseorang manjadi difabel, akan tetapi peneliti akan fokus pada difabel rungu yang disebabkan karena kecelakaan atau penyakit. Hal ini dikarenakan para difabel ini pernah mengalami masa-masa dimana indera pendengarannya masih berfungsi dengan baik. Seseorang yang menjadi difabel secara tiba-tiba biasanya memiliki reaksi awal seperti perasaan terguncang, takut, cemas, sedih, dan marah. Penyebabnya seseorang tersebut sulit untuk menerima kondisinya yang telah menjadi difabel (Lestari, 2013). Menjadi difabel menuntut adaptasi dari individu yang mengalaminya. Individu berusaha menyeimbangkan kondisinya setelah terjadi bencana di dalam dirinya. Penyendang difabel akan mengalami stress akibat menjadi difabel dan memiliki keterbatasan dalam melakukan suatu pekerjaan. Difabel akibat kecelakaan ataupun musibah merupakan suatu hal yang sulit diterima oleh mereka yang mengalaminya sehingga tidak mengherankan jika penyandangnya memperlihatkan gejolak emosi terhadap kecacatan yang dialami, sehingga dapat menimbulkan kondisi yang membuat stres (Damayanti & Rostiana, 2003).
6 Penelitian Damayanti dan Rostiana (2003) menunjukkan bahwa dari penelitian terhadap keempat difabel pasca kecelakaan masing-masing subjek membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai tahap penerimaan diri setelah kecelakaan atau penyakit yang dialami sehingga dinamika emosinya juga bervariasi. Penerimaan diri yang baik sangat membantu remaja difabel dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan dan beraktivitas dengan baik. Kegagalan dalam penerimaan diri juga memunculkan rasa malu, sensitif dan tidak terhindarkan juga hinaan, celaan sering diterima dari lingkungan sekitarnya yang akan menyebabkan penyandang disabilitas menarik diri dari pergaulannya (Purnaningtyas, 2012). Fenomena seperti ini banyak ditemukan di kehidupan sehari-hari di masyarakat tetapi kurang mendapat perhatian dari masyarakat. Penelitian ini akan meneliti penerimaan diri remaja difabel rungu yang disebabkan karena penyakit atau kecelakaan, yang dahulu indera pendengarnya masih berfungsi dengan baik, karena sebuah kecelakaan atau penyakit menyebabkan kemampuan mendengar menjadi berkurang bahkan hilang. Disabilitas pada sebagaian masyarakat masih dipandang sebagai sebuah aib, tidak seorangpun yang mau untuk menerima keadaan disabilitas, meskipun itu sebuah kejadian yang tidak sengaja. Individu yang mengalami disabilitas yang awalnya normal tentu memerlukan upaya dan realitas untuk bisa menerima disabilitas tersebut. Kecelakaan atau penyakit yang menyebabkan disabilitas biasanya respon yang muncul awalnya adalah stress, putus asa, rendah diri, merasa tidak berharga dan seringkali individu tersebut menjadi sangat senditif. Namun bagaimanapun disabilitas adalah suatu realitas. Ketika terjadi atau menimpa seseorang maka tidak terelakkan sehingga satu-satunya hal yang dapat dilakukan adalah menerima kondisi disabilitas sebagai sebuah realitas (Purnaningtyas, 2012).
7 Kondisi kecacatan pada remaja difabel rungu akibat kecelakaan seringkali dihadapkan pada kenyataan bahwa dirinya berbeda dengan individu lain yang tidak menyandang cacat. Keadaan seperti itu tentu saja akan mempengaruhi pandangan remaja difabel akibat kecelakaan tentang keberadaan dirinya dan akan mempengaruhi juga penerimaan diri individu terhadap kekurangan yang dihadapi (Lewis, dalam Demartoto 2005). Selain harus menghadapi pergolakan dengan dirinya sendiri, para difabel „dadakan‟ juga harus siap menghadapi kemungkinan adanya dskriminasi terhadap kaum difabel. Hal ini terungkap dari penemuan WHO (2013) tentang diskriminasi terhadap kaum difabel. Orang yang memiliki disabilitas nyatanya tidak diperlakukan setara dengan orang normal dalam berbagai aspek kehidupan seperti akses ke pusat layanan kesehatan, pekerjaan, pendidikan atau partisipasi politik. Pandangan masyarakat yang negatif terhadap kelompok difabel menyebabkan kelompok tersebut sulit untuk mendapatkan kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama dengan masyarakat lainnya di segala aspek kehidupan dan penghidupan. Mansour Fakih menjelaskan bahwa ada kelompok masyarakat yang sama sekali tidak mau tahu dengan difabel, tetapi tidak sedikit pula yang merasa perlu untuk berbuat sesuatu kepada difabel (Demartoto, 2005). Hak-hak difabel yang antara lain berupa hak memperoleh pendidikan, kesempatan kerja dan pengembangan ekonomi, menggunakan fasilitas umum, berkomunikasi dan mendapatkan informasi, perlindungan hukum, peran politik, jaminan sosial dan kesehatan serta pengembangan budaya tidak akan pernah mereka dapatkan sebagaimana mestinya. Kalaupun ada, pemberian hak tersebut hanya merupakan lips service atau bahkan promosi untuk kepentingan penguasa. Remaja difabel rungu membutuhkan banyak dukungan, bimbingan, dan bantuan dari orang sekitarnya, terutama orang tuanya. orang tua menjadi pihak yang berperan dalam
8 menentukan perkembangan fisik, mental, intelektual, dan emosional remaja tunarungu. pemberian cinta dan kasih sayang, stimulasi perkembangan, dan pemenuhan kebutuhan dasar pangan, sandang, papan, dan kesehatan merupakan fondasi bagi kehidupan bagi remaja tunarungu dan menjadi modal utama rasa aman, terlebih ketika mereka mengeksplor dunianya (Purnawati, 2008). Pada dasarnya remaja difabel mempunyai harapan untuk diterima masyarakat sesuai dengan keadaan dirinya. Akan tetapi pada kenyataannya ada beberapa orang yang kurang dapat menerima remaja dengan kondisi kekurangan fisik. Sikap tersebut kemungkinan akan menyakitkan bagi remaja, maka akan mempengaruhi penerimaan dirinya. Sebagai akibatnya remaja akan menarik diri dari lingkungan sosial, menutup diri, dan aktivitas sosialnya terganggu. Remaja yang mampu mengembangkan relasi dirinya dengan baik dalam hal ini mampu mengenali dirinya dengan baik, sehingga dalam keadaan apapun mampu menghadapi masyarakat maupun lingkungan dan tidak terpengaruh sikap masyarakat pada kondisi keluarganya. Melalui penerimaan diri ini, diharapkan penyandang difabel rungu tidak hanya mengakui kelemahan dan terpaku pada keterbatasan saja, tetapi harus mampu memanfaatkan berbagai potensi yang masih dimilikinya, sehingga mampu menjalani kehidupan secara normal.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti ingin memahami bagaiamana penerimaan diri remaja difabel rungu yang tidak sejak lahir. Maka dapat diajukan pertanyaan utama sebagai rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu: Bagaimana proses penerimaan diri remaja difabel rungu?
9 C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami proses penerimaan diri remaja difabel rungu. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu psikologi pada penelitian selanjutnya mengenai proses penerimaan diri remaja difabel rungu. 2. Manfaat Praktis Peneliti berharap bahwa hasil penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi dan referensi khususnya bagi para orang tua, konselor, guru dan masyarakat dalam upaya membimbing dan memotivasi untuk meningkatkan penerimaan diri pada remaja difabel rungu. Selain itu penelitian ini juga diharapkan membantu prkatisi untuk memahami dinamika psikologis remaja difabel rungu yang tidak sejak lahir.