BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) pertama kali ditemukan tahun 1953 di Fillipina. Selama tiga dekade berikutnya, kasus
demam
berdarah
dengue/sindrom
renjatan
dengue
ditemukan di negara-negara lain, termasuk Indonesia. Pada tahun 1968, penyakit DBD dilaporkan di Surabaya dengan jumlah orang yang terinfeksi sebanyak 58 orang dan 24 orang diantaranya meninggal dunia atau dapat dikatakan angka kematian mencapai 41,3% (Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi, 2010). Penyakit
DBD
hingga
sekarang
masih
merupakan
salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia.
Terhitung
sejak
tahun
1968
hingga
tahun
2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara (Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi, 2010). Pada tahun 2009-2011 terdapat sekitar 126.908 kasus DBD dengan rerata kematian sekitar 1100 kasus dan Indonesia menempati posisi ke-2 kejadian tertinggi di dunia, setelah Brazil (Arivianti, 2012).
1
2
Vektor aegypti
DBD
sebagai
merupakan
di
vektor
nyamuk
mempunyai
Indonesia utama.
permukiman,
habitat
adalah
nyamuk
Nyamuk
Ae.
stadium
Aedes aegypti
pradewasanya
perkembangbiakan
di
tempat
penampungan air/wadah yang berada di permukiman dengan air yang relatif jernih (Sukowati, 2010). Ae. aegypti tersebar luas di seluruh pelosok tanah air (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Peningkatan curah hujan berdampak pada
peningkatan
dapat
habitat
meningkatkan
larva
kepadatan
nyamuk.
populasi
Kondisi
nyamuk
ini
(Patz,
2006). Namun di Indonesia musim kering pun populasinya tetap banyak karena orang cenderung menampung air dan di daerah sulit air orang menampung air di dalam bakbak air/drum, sehingga nyamuk dan jentik selalu ada sepanjang tahun (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Vaksin untuk pencegahan terhadap infeksi virus dan obat
untuk
proses
penyakit
penelitian,
DBD
belum
sehingga
ada
dan
masih
pengendaliannya
dalam
terutama
ditujukan untuk memutus rantai penularan, yaitu dengan pengendalian vektor
telah
vektornya. banyak
Beberapa
diketahui
metode dan
pengendalian
digunakan
oleh
program pengendalian DBD di tingkat pusat dan di daerah yaitu:
1.)
Manajemen
lingkungan
untuk
mengurangi
habitat perkembangan nyamuk vektor; 2.) pengendalian
3
biologis
dengan
bakteri
dan
predator
larva;
3.)
pengendalian kimiawi dengan salah satunya temephos; 4.) partisipasi masyarakat dengan melakukan 3M (menguras tempat
penampungan
air,
menutup
rapat
tempat
penampungan air, dan menimbun barang bekas) atau PSN (Pemberantasan
Sarang
Nyamuk);
5.)
perlindungan
individu dengan menggunakan repellent, memasang kelambu dan
menggunakan
pakaian
lengan
panjang,
serta
6.)
peraturan perundangan tentang pengawasan penyakit yang berpotensi wabah seperti DBD (Sukowati, 2010). Pengendalian secara kimiawi masih paling populer baik
bagi
program
pengendalian
DBD
dan
masyarakat.
Penggunaan insektisida dalam pengendalian vektor DBD bagaikan pisau bermata dua, artinya bisa menguntungkan sekaligus
merugikan
insektisida resistensi
kimia vektor,
(Sukowati, (sintetik)
terbunuhnya
2010). dapat
target
Penggunaan menimbulkan
bukan
sasaran
(parasitoid, predator, dan serangga berguna lainnya), residu insektisida dan pencemaran lingkungan (Munif, et al.,
1996).
Alternatif
penggunaan
tanaman
sebagai
insektisida sintetik telah diteliti. Tanaman sebagai insektisida bersifat lebih murah, mudah diperoleh serta ramah lingkungan (Maiherizansyah, 2006).
4
Apium
graveolens,
di
Indonesia
dikenal
sebagai seledri, dapat tumbuh baik di dataran rendah maupun tinggi (Thomas, 2012). Seledri merupakan herba tegak, biasanya ditanam di sawah dan di ladang-ladang yang bertanah lembab dengan tinggi dapat mencapai 50 cm (Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, 2008). Seledri memiliki
banyak
apigenin. saponin
Selain dan
flavonoid larva
kandungan
flavonoid
flavonoid,
tanin
seledri
(Dalimartha,
memiliki
cara
(antifedant),
kerja
sebagai
yakni juga
2006).
dan
mengandung
Pada
menghambat stomach
apiin
larva,
daya
makan
poisoning
atau
racun perut. (Kardinan, 1999). Saponin dapat menurunkan aktivitas (Dinata,
enzim 2008).
pencernaan Tanin
dan
dapat
penyerapan menurunkan
makanan kemampuan
mencerna makanan dengan cara menurunkan aktivitas enzim pencernaan
(protease
dan
amilase)
serta
mengganggu
aktivitas protein usus. Respon jentik terhadap senyawa ini
adalah
menurunnya
laju
pertumbuhan
dan
gangguan
nutrisi (Dinata, 2008). Kandungan ini dapat larut pada pelarut polar, salah satunya etanol (Harborne, 1984). Etanol bersifat lebih selektif, bakteri sulit tumbuh dalam
etanol
absorbsinya
20%
baik,
ke
atas,
etanol
tidak
dapat
beracun,
bercampur
netral,
dengan
air
pada segala perbandingan, panas yang diperlukan untuk
5
pemekatan lebih sedikit (Hargono, 1986). Oleh karena itu,
peneliti
ingin
mengetahui
potensi
daun
seledri
sebagai larvisida terhadap larva nyamuk Ae. aegypti.
B. Rumusan Masalah Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: 1.
Apakah
ekstrak
etanol
daun
seledri
(Apium
graveolens) memiliki efek larvisida terhadap larva Ae. aegypti? 2.
Adakah hubungan antara konsentrasi ekstrak etanol daun
seledri
(Apium
graveolens)
dengan
kematian
larva Ae. aegypti? 3.
Apakah kematian larva Ae. aegypti meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi ekstrak etanol daun seledri (Apium graveolens)?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum: Mengetahui seledri aegypti.
efek
(Apium
larvisida graveolens)
ekstrak terhadap
etanol larva
daun Ae.
6
2. Tujuan Khusus: Mengetahui etanol
hubungan
daun
antara
seledri
konsentrasi
(Apium
ekstrak
graveolens)dengan
kematian larva nyamuk Ae. aegypti.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Memberikan
informasi
ilmiah
tentang
tanaman
yang
memiliki efek larvisida alami. 2. Manfaat Aplikatif Memberikan tanaman
informasi
yang
alternatif
dapat
larvisida
kepada
masyarakat
digunakan yang
sebagai
alami
dan
tentang bahan ramah
lingkungan. 3. Peneliti
Menambah pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan sebuah penelitian serta menambah ilmu pengetahuan tentang pengendalian vektor demam berdarah secara alami.
E. Keaslian Penelitian Sepengetahuan peneliti, penelitian tentang ekstrak etanol
daun
seledri
sebagai
larvisida
untuk
larva
nyamuk Ae. aegypti belum pernah dilakukan. Penelitian
7
yang
pernah
dilakukan
adalah
tentang
daya
repelan
minyak atsiri cengkih, pala, dan seledri dalam sediaan losion terhadap nyamuk Ae. aegypti (Ardiansyah, 2012), ekstrak eter biji srikaya sebagai larvisida untuk larva nyamuk
Ae.
aegypti
(Hardian,
2009),
ekstrak
etanol
kulit buah sirsak sebagai larvisida untuk larva nyamuk Ae. aegypti (Imanilllah, 2012), ekstrak eter kulit buah sirsak sebagai larvisida untuk larva nyamuk Ae. aegypti (Irzan, 2012), dan ekstrak kloroform kulit buah sirsak sebagai larvisida untuk larva nyamuk Ae. aegypti (Syah, 2012).