1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahan bakar bensin merupakan produk komersial dengan volume terbesar di dunia. Bahan bakar bensin adalah substansi kompleks dengan komposisi yang bervariasi tergantung dari sumber bahan dasarnya (minyak mentah), proses penyaringan, spesifikasi formula, musim dan faktor lainnya (Grebic et al., 2007). Formulasi bahan bakar bensin mengandung komponen folatil dan non folatil dengan derajat daya penguapan yang lebar. Dalam kondisi normal pada pengguna bahan bakar bensin dan fasilitas produksi bahan bakar bensin, paparan terutama terjadi melalui inhalasi atau zat yang menguap (Benson et al., 2001). Emisi uap bensin maupun asap kendaraan bermotor telah dikenali sebagai sumber paparan baik pada kelompok pekerja maupun non-pekerja terhadap komponen organik zat folatil. Dari beberapa jenis komponen organik zat folatil, BTEX ( benzene, toluene, ethylbenzene dan xylene) merupakan empat jenis zat yang banyak diteliti karena banyak terkandung di dalam bahan bakar bensin dan asap mesin kendaraan (Lee et al., 2002). Risiko terjadinya kanker akibat terpapar bahan bakar bensin yang mengandung benzena telah menjadi pembicaraan sejak dahulu. Tetapi sekitar tahun 1990 benzena digunakan sebagai indikator terhadap paparan bahan bakar bensin terutama pada pekerja di SPBU. Kadar volume benzena dalam bahan bakar bensin berkisar antara 2-
2
6% di Negara Nordic. Waktu kerja yang diperbolehkan adalah 8 jam sehari, para petugas SPBU di Nordic terpapar benzena sekitar 0.5-1 mg/m3 (Lee et al., 2002). Paparan terhadap uap
bensin di SPBU terutama saat pengisian bahan bakar
bensin ke tangki mobil. Pengisian 30 liter yang mengandung 5% volume benzena ke dalam mobil, terdapat sekitar 700 mg benzena yang terhirup. Konsentrasi total hidrokarbon di udara saat proses pengisian bahan bakar bensin adalah 10 sampai 100 kali lipat benzena. Petugas SPBU juga dapat terpapar gas emisi kendaraan, termasuk polisiklik aromatik hidrokarbon, aldehid, dan 1,3-butadiene (Lee et al., 2002). Penelitian yang dilakukan di Negara Nordic mengenai insidensi kanker pada 19.000 petugas SPBU dari Denmark, Norway, Sweden, dan Finland. Mereka diidentifikasi sejak tahun 1970 dan diikuti sampai 20 tahun kedepan, terdapat 1.300 petugas menderita kanker (Lynge et al., 1997). Hasil studi yang dilakukan oleh Ditjen PPM & PL, tahun 1992 hasil pemeriksaan kualitas udara disekitar stasiun kereta api dan terminal di kota Yogyakarta sudah menurun, yaitu kadar debu rata-rata 699 ug/m3, kadar SO2 sebesar 0,03-0,086 ppm, kadar NOx sebesar 0,05 ppm dan kadar hidrokarbon sebesar 0,350,68 ppm. Hidrokarbon di udara akan bereaksi dengan bahan-bahan lain dan akan membentuk ikatan baru yang disebut polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) yang banyak dijumpai di daerah industri dan padat lalu lintas. Bila PAH ini masuk dalam paru-paru akan menimbulkan luka dan merangsang terbentuknya sel-sel kanker (Soemarno, 2007).
3
Menurut The International Agency for research on Cancer (IARC, 1987, 1999, 2000), dan The United States Environmental Protection Agency (USEPA, 2004) telah mengevaluasi bahan dalam BTEX yang berpotensi karsinogenik seperti terdapat pada tabel 1 di bawah ini (McCauley, 2004). Tabel 1. Klasifikasi karsinogenik bahan BTEX menurut Christchurch, 2004/2005 Keterangan Benzene Toluene Ethylbenzene Xylene
Klasifikasi IARC Grup 1 Grup 3 Grup 2B Grup 3
Klasifikasi USEPA IRIS Kategori A Kategori D Kategori D ND
ND : tidak ada penilaian karsinogen yang tersedia. Grup 3 : terklasifikasi sebagai karsinogen. Grup 2B : kemungkinan karsinogen terhadap manusia. Grup 1 : bahan tersebut (campuran) sebagai karsinogen pada manusia. Kategori D : tidak diklasifikasikan sebagai karsinogen. Kategori A : karsinogen pada manusia.
Paparan asap rokok dapat menyebabkan hilangnya silia, hyperplasia kelenjar, peningkatan sel goblet, perubahan epitel torak bertingkat bersilia ke metaplasia skuamosa sampai karsinoma in situ (Gluck et al., 1996). Gluck (2003), meneliti kemungkinan efek samping akibat terpapar buangan gas disel dalam jangka waktu lama pada mukosa hidung, dengan menggunakan cara penyikatan dan kemudian dilakukan pemeriksaan sitologi ditemukan
tidak terbukti adanya perubahan
sitopatologi yang progresif. Hasil temuan tersebut dapat dideskripsikan sebagai inflamasi kronik pada mukosa membran hidung akibat terpapar buangan gas disel dalam
jangka
waktu
lama
(chemical-induced
rhinitis).
Sebagai
tambahan
ditemukannya epitel hidung yang mengalami displasia dan metaplasia pada kelompok
4
kasus dapat diindikasikan sebagai efek genotoxic akibat terpapar buangan gas disel dalam jangka waktu yang lama pada manusia (Gluck et al., 2003). Hidung sangat penting untuk membersihkan udara yang dihirup dan untuk memodifikasi respirasi dan merupakan sumber yang dapat diakses untuk penelitian paparan kontaminan airborne. Lapisan mukus sangat penting dalam mengkondisikan udara yang dihirup dan menyediakan permukaan yang lengket untuk perangkap partikel dan gas yang dihirup. Karena manusia merupakan penghirup udara melalui hidung, rongga hidung merupakan tempat awal yang berisiko terjadi kerusakan akibat induksi oleh iritan hirup, tempat partikel terdeposisi, dan tempat absorbsi gas dan uap yang potensial berbahaya (Gluck et al., 2003). Penelitian di Taiwan terhadap para petugas karcis di jalan tol yang terpapar komponen zat folatil (benzene, toluene, ethylbenzene, xylene, dan MTBE) baik pada dayshift (08:00-16:00), nightshift (16:00-24:00) dan late-nightshift (24:00-08:00), ternyata didapatkan pada petugas dengan jam kerja dayshift dan nightshift lebih banyak terpapar zat folatil dibanding yang jam kerjanya late-nightshift dikarenakan jumlah kendaraan yang lewat pada ke-2 jam kerja tersebut lebih banyak dibanding jam kerja late-nightshift. Dengan koefisien regresi ditemukan nilai positif yang mengindikasikan peningkatan laju jumlah kendaraan akan meningkatkan terpaparnya kadar VOC (Lee et al., 2002). B. Perumusan Masalah Para pekerja di SPBU yang bekerja dekat dengan zat folatil bahan bakar bensin dan gas buang pada kendaraan bermotor mempunyai kadar VOC (volatile Organic
5
Compounds) yang lebih tinggi dibanding petugas yang bekerja di dalam ruangan yang tidak secara langsung terpapar. Didapatkan 9 petugas yang terpapar langsung memiliki risiko terkena kanker 1 per 1 juta karena tingginya kadar benzena dan 1-3 butadiene (Lee et al., 2002). Efek akibat terpapar buangan gas disel dalam jangka waktu lama pada mukosa hidung didapatkan inflamasi kronik, displasia dan metaplasia (Gluck et al., 2003). Uap bensin dapat menyebabkan perubahan histologi, yang meningkat sesuai dengan durasi paparan. Didapatkan infiltrasi sel radang pada mukosa dan submukosa trakea, hilangnya silia pada epitel trakea, dan bertambahnya ukuran kelenjar submukosa trakea, terdapat kerusakan dan deskuamasi pada epitel trakea, dan infiltrasi dan menurunnya jumlah sel goblet (Al- Saggaf et al., 2009). Penelitian ini baru dilakukan pada binatang marmot, sehingga diperlukan penelitian lanjutan untuk melihat apakah terjadi perubahan sitologi yang sama pada mukosa hidung manusia. C. Pertanyaan Penelitian Apakah terdapat perbedaan gambaran sitologi mukosa hidung pada pekerja SPBU dibandingkan bukan pekerja SPBU di kodya D.I Yogyakarta? D. Keaslian Penelitian Penelitian yang berkaitan dengan perubahan histologi mukosa hidung pada petugas bea cukai pernah dilakukan di Swiss oleh Gluck et al., 2003 dengan judul sitopatologi mukosa hidung akibat paparan kronis emisi mesin disel: survey 5 tahun petugas bea cukai Swiss. Penelitian tersebut menemukan
tidak terbukti adanya
perubahan sitopatologi yang progresif. Hasil temuan tersebut dapat dideskripsikan
6
sebagai inflamasi kronik pada mukosa membran hidung akibat terpapar buangan gas disel dalam jangka waktu lama (chemical-induced rhinitis). Sebagai tambahan ditemukannya epitel hidung yang mengalami displasia dan metaplasia pada kelompok kasus dapat diindikasikan sebagai efek genotoxic akibat terpapar buangan gas disel dalam jangka waktu yang lama pada manusia. Penelitian efek inhalasi dari bahan bakar bensin kendaraan terhadap trakea marmot oleh Al-Saggaf et al., 2009 dari 30 marmot laki-laki dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kontrol dan kasus. Dan tiap kelompok ini juga dibagi menjadi 3 subkelompok berdasarkan lamanya paparan (30, 60, dan 90 hari) didapatkan semakin lama terpapar semakin meningkat perubahan pada epitel trakea marmot. Sepanjang pengetahuan peneliti, penelitian mengenai perubahan sitologi mukosa hidung akibat terpapar bahan bakar bensin pada petugas SPBU di kota Yogyakarta belum pernah diteliti. E. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bukti medis perbedaan gambaran sitologi mukosa hidung pada pekerja SPBU dibandingkan bukan pekerja SPBU di Kodya D.I Yogyakarta. F. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan untuk kesehatan kerja para pekerja SPBU yang ada di Indonesia.