BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia sangat besar, realisasi konsumsi bahan bakar minyak nasional pada 2012 mencapai 75,07 juta kiloliter. Volume konsumsi itu terdiri atas BBM subsidi 45,07 juta kiloliter dan nonsubsidi 30 juta kiloliter. Pada tahun 2013 konsumsi bahan bakar bersubsidi sejumlah 49 juta kiloliter (Ratna, 2013). Kendaraan bermotor untuk angkutan jalan menggunakan sekitar 88% dari seluruh konsumsi BBM untuk kendaraan bermotor angkutan (Sitorus et al., 2014). Bahan bakar minyak mengandung bahan kimia beracun yang dapat terpajan pada manusia. Bahan kimia beracun yang terkandung dalam BBM tersebut antara lain adalah benzena, toluena, ethylbenzena, xylene (BTEX) yang merupakan zat volatil atau volatile organic compounds (VOCs), total petroleum hydrocarbon (TPH) yang mengandung senyawa VOCs dan semi-VOCs, serta polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH) yang merupakan senyawa semi-VOCs. Dari keenam bahan kimia tersebut pajanan benzena yang berdampak paling serius terhadap kesehatan (ATSDR, 2005; EPA, 2008). Benzena pada udara lingkungan bersumber dari asap rokok, uap dan pembakaran bensin yang mengandung benzena (sampai 5% benzena), industri petrokimia dan proses pembakaran. Kandungan benzena udara daerah pedesaan dan kota sekitar 1 µg/m3 dan 5–20 µg/m3. Kandungan benzena di dalam dan luar ruangan lebih tinggi di dekat
1
2
sumber emisi
benzena seperti stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU)
(WHO-Europe, 2000). Distribusi BBM pada kendaraan bermotor sebagian besar melalui SPBU yang merupakan prasarana umum yang disediakan oleh PT. Pertamina untuk masyarakat luas guna memenuhi kebutuhan bahan bakar. Pada umumnya SPBU menjual bahan bakar sejenis premium, solar, pertamax dan pertamax plus (Pertamina, 2012). Pekerja SPBU yang bertugas pada pengisian BBM memiliki risiko pajanan yang tinggi terhadap bahan kimia beracun dalam BBM. Pajanan tersebut terutama melalui inhalasi zat volatil BBM dengan pajanan yang kontinu. Menurut penelitian Egeghy et al. (2000) pembeli BBM yang melakukan pengisian sendiri ke kendaraan bermotor dapat terpajan benzena dari penguapan dari tangki kendaraan saat pengisian, tangki penyimpanan bawah tanah, tumpahan BBM dan emisi kendaraan. Pajanan benzena yang paling besar berasal dari perpindahan uap dari tangki bahan bakar. Rata-rata pajanan benzena pada pekerja SPBU adalah 0,12 ppm (Egeghy et al., 2000; ATSDR, 2005). Hidung secara fisiologis berfungsi sebagai pertahanan lini pertama dalam membersihkan udara inspirasi dari partikel debu, bakteri, virus dan membawa partikel-partikel tersebut yang tertangkap di lapisan mukosa ke arah nasofaring dan orofaring. Fungsi tersebut dilakukan oleh silia dan selimut mukus yang dikenal sebagai sistem mukosiliar (Ballenger, 1997; Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007). Sistem mukosiliar dapat bekerja efektif jika produksi mukus dan aktivitas silia dalam keadaan normal. Bersihan mukosiliar yang baik akan
3
mencegah terjadinya infeksi di dalam hidung dan sinus paranasal (Ballenger, 1997; Cohen, 2006). Bersihan mukosiliar hidung dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah faktor fisiologis, penyakit dan lingkungan. Penggunaan bahan bakar bensin yang semakin meningkat mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan akibat polusi udara. Manusia merupakan penghirup udara melalui hidung, rongga hidung merupakan tempat awal yang terluka jika diinduksi oleh iritan hirup, tempat partikel terdeposisi, dan tempat absorbsi gas dan uap yang potensial berbahaya (Houtmeyers et al., 1999; Gluck et al., 2003). Senyawa iritan yang paling sering adalah aldehid dan VOCs. Paparan mukosa hidung terhadap senyawa iritan menyebabkan hiper-reaktifitas membran mukosa dan terjadinya inflamasi pada mukosa hidung (Riechelmann, 2004). Pajanan terhadap zat volatil benzena, toluena dan xylene pada mukosa hidung dapat menyebabkan kehilangan silia dan nekrosis sel epitel mukosa hidung (Norton, et al., 1985). Hiper-reaktifitas, inflamasi kehilangan silia dan nekrosis sel mukosa hidung ini akan mengganggu transpor mukosiliar hidung (TMSH), pajanan zat volatil benzena, toluena dan xylene pada mukosa hidung yang semakin lama akan mengakibatkan kelainan mukosa hidung yang semakin meningkat (Riechelmann, 2004). Lama pajanan gas volatil terhadap mukosa hidung berkorelasi positif terhadap perpanjangan waktu TMSH.
Penelitian
Horasanli et al. (2015) didapatkan adanya korelasi lama kerja sebagai ahli anestesi yang terpajan zat volatil dengan waktu TMSH.
4
B. Perumusan Masalah Para pekerja di SPBU bekerja dekat dengan bensin dan terpajan dengan zat volatil BTEX. Senyawa BTEX bersifat iritan yang dapat menyebabkan inflamasi, hiper-reaktifitas membran mukosa, kehilangan silia dan nekrosis sel epitel mukosa hidung. Semakin lama paparan zat volatil BTEX pada mukosa hidung akan mengakibatkan kelainan mukosa hidung yang semakin meningkat. C. Pertanyaan Penelitian Apakah terdapat korelasi antara lama kerja dengan waktu TMSH pekerja SPBU? D. Keaslian Penelitian Penelusuran kepustakaan yang peneliti lakukan, belum ditemukan penelitian yang meneliti korelasi lama kerja dengan waktu TMSH pada pekerja SPBU. Terdapat beberapa penelitian sebelumnya yang meneliti tentang pajanan zat volatil terhadap waktu TMSH. Peneliti menemukan beberapa jurnal penelitian yang dapat digunakan sebagai acuan, di antaranya adalah: 1) penelitian mengenai waktu TMSH pada perokok dan bukan perokok oleh Stanley et al. didapatkan adanya waktu TMSH yang lebih panjang dan berbeda bermakna dibanding bukan perokok, 2) penelitian Priscilla et al. (2011) mengenai perbandingan penggunaan bahan bakar kayu dan bahan bakar gas untuk memasak yang didapatkan perpanjangan waktu TMSH pada pengguna bahan bakar kayu dengan perbedaan yang bermakna dibanding pengguna gas, 3) Horasanli et al. (2015) melakukan penelitian mengenai TMSH pada ahli anestesi yang terpapar oleh zat volatil anestesi yang mendapatkan hasil adanya korelasi positif antara lama kerja dengan
5
waktu TMSH ahli anestesi. Penelitian berkaitan dengan korelasi lama kerja dengan waktu TMSH pada pekerja SPBU, sepanjang pengetahuan peneliti belum pernah dilaporkan dalam literatur yang ada. E. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menentukan bukti medis korelasi antara lama kerja dengan waktu TMSH pekerja SPBU. F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan untuk kesehatan dan keselamatan kerja bagi pekerja SPBU yang ada di Indonesia.