BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang 8 juli 2013, menjadi moment yang sulit terlupakan bagi saya. Karena di hari tersebut
menjadi moment bersejarah dimana awal dari latar belakang
penyusunan tulisan ini. Pada tanggal 8 juli 2013 saya dinyatakan lolos dan diterima sebagai mahasiswa pascasarjana antropologi UGM, dengan bersyarat. Dari awal kejadian itu ada perubahan besar yang akan saya hadapi. Salah satunya menjadi bagian dari masyarakat Yogyakarta, atau lebih tepatnya menjadi pendatang yang akan tinggal sementara selama masa studi. Untuk mempermudah masa-masa perkuliahan di Yogyakarta, maka diperlukan persiapan yang matang untuk memenuhi kebutuhan saya selama tinggal di daerah yang biasanya hanya saya singgahi disaat masa-masa liburan saja. Salah satunya kebutuhan itu adalah tempat tinggal. Hampir 12 tahun umur saya habiskan di kota Semarang, tinggal berdua bersama Eyang putri. Sedangkan orang tua tinggal terpisah jauh di Kalimantan. Keluarga besar dan kerabat jauh semuanya tinggal di Semarang dan daerah sekitarnya. Dihadapkan permasalahan karena tidak memiliki kerabat yang tinggal di Yogyakarta, memaksa saya mencari tempat tinggal sementara. Dengan minim informasi dan bermodal nekat, beberapa hari saya mencari kamar kost yang kiranya memenuhi kriteria saya.
Awalnya saya berencana untuk mendapatkan kamar kost yang bebas. Bebas dari aturan, bebas dari pantauan pemilik rumah maupun tetangga dan aparat desa agar bisa bebas melakukan apapun yang tidak bisa dilakukan saat di rumah. Bukan hal yang aneh bila seorang pemuda single mencari tipe rumah kost semacam itu, terutama kalangan mahasiswa. Karena kost bebas telah menjadi bagian dari fasilitas mewah, saya pun tidak bisa mendapatkanya karena biaya sewa kost semacam itu terbilang tinggi. Yang kemudian menyadarkan saya bila kebebasan itu mahal harganya. Dan takdir berkehendak lain, karena akhirnya saya mendapatkan rumah kost di sebuah jalan buntu yang menyediakan fasilitas kamar 3x4 meter yang bisa disewa pertiga bulan dan tinggal bersama keluarga sang pemilik kamar kost. Walaupun harga sewanya perbulan yang ditawarkan tidak begitu murah, tetapi suasana yang ditawarkan menyesuaikan apa yang saya inginkan. Sebuah kamar jika kita membuka pintunya bisa langsung melihat ke alam luar, bukan dinding bangunan. Dengan kamar kost yang langsung berhadapan dengan teras depan, maka akan menyejukkan kamar dan menghilangkan rasa pengap. Sirkulasi udara yang lancar, angin segar Sleman yang masih bisa saya rasakan langsung masuk ke dalam kamar. Dikelilingi hutan dengan beragam pohon besar menambah keasrian alam yang sejuk walaupun hutan itu hanya hutan peninggalan milik UGM yang dulu dijadikan sebagai tempat budidaya ulat sutra. Ditambah posisi rumah yang terbilang jauh dari jalan utama membuat nuansa tenang tanpa harus terpolusi oleh beragam suara kendaraan bermotor.
Selain lingkungan yang nyaman, ekpetasi saya yang awalnya memandang rumah kost tanpa kehadiran induk semang perlahan mulai sirna. Tidak bisa dipungkiri tinggal bersama keluarga pemilik kost sangat membantu saya mengenali lingkungan sekitar. Bahkan muncul rasa ketergantungan kepada Pak kost saat menghadapi permasalahan. Beberapa kali saya meminta rujukan Pak kost, untuk mencari tempat-tempat tertentu yang masih asing bagi saya. Rasa nyaman tinggal di sana membuat saya terbuai dan mengobati kekecewaan atas kebebasan yang gagal saya dapatkan. Muncul kompromi kepada kebiasaan yang biasanya saya lakukan di rumah Semarang. Kebiasaan mendengarkan film atau musik dengan volume tinggi maupun berteriak tak jelas saya coba kurangi agar tidak mendapat teguran dari pemilik rumah yang lebih menyukai nuansa rumah yang tenang dari kebisingan. Setelah beberapa bulan tinggal, muncul perasaan suntuk dan bosan karena tidak bisa melakukan yang sering saya lakukan saat di rumah Semarang. Muncul juga rasa ketidaknyamanan dikala mendapatkan situasi kamar yang berantakan. Maklum kamar tidur yang saya sewa tidak hanya untuk tempat tidur semata tetapi juga tempat dimana saya makan, ngemil, diskusi kelompok hingga shalat-pun semua saya lakukan di kamar yang berukuran 3X3 m ini. Ada perasaan kontras yang saya rasakan dan membandingkan saat tinggal di rumah dan tinggal di kost baru ini. Akses kamar mandi yang cukup jauh membuat saya tidak bisa menahan buang air kecil yang sering saya lakukan di rumah saat sedang asik menonton
film. Kebiasaan berlari menuju kamar mandi juga terganggu karena kecepatan yang saya keluarkan tidak mencapai top speed bila saat berada di rumah. Atau juga saat lapar melanda, yang dulunya cukup berjalan beberapa langkah untuk mengambil makanan yang telah disiapkan sebelumnya tetapi kini harus menempuh beberapa ratus meter melewati dari satu tempat ke tempat lain. Efisiensi yang umumnya saya dapatkan di rumah Semarang menjadi terbatas saat berada di kost. Karena sebagian kebutuhan saya tidak terpenuhi di kost karena minimnya mobilitas ruang yang dapat saya akses, hanya diantara kamar kost dan kamar mandi. Segala kebutuhan terpaksa dipenuhi di satu ruangan semata, terkecuali kebutuhan privat semisal mandi. Dirumah saya cenderung beraktifitas dengan menyesuaikan ruangan, sedangkan kamar kost yang saya miliki harus ditata sedemikian rupa agar dapat memenuhi segala bentuk aktifitas. Hal tersebut juga tidak hanya dirasakan oleh saya, termasuk juga keluarga pemilik rumah. Seperti ibu kost yang kebingungan menjemur cuciannya karena jemuran telah terpenuhi pakaian dalam anak kost. Atau motor Pak kost yang terpaksa basah kehujanan karena garasi penuh dengan motor-motor anak kost. Ternyata bagi pemilik kost juga terdapat ruang-ruang yang tidak bisa digunakan semaksimal mungkin seperti pada umumnya, yang diakibatkan perubahan nilai ruang karena akses publik dan privat yang saling bergeser. Aktifitas yang terjadi juga menjadi kaku dan tidak selugas saat berada di rumah sendiri. Muncul perasaan sungkan dan beban tidak ingin merepotkan pemilik rumah, karena adanya kesadaran pada diri sendiri yang merasa lebih
cocok untuk dikatakan menumpang daripada menyewa. Ketergantungan pada lingkungan kost yang nyaman dan cocok, membuat saya untuk lebih berhati-hati dalam berkelakuan selama di rumah kost. Lebih tepatnya menghindari kemarahan Pak kost karena kegiatan yang dianggap mengganggunya dan dapat berakibat larangan untuk tinggal di tempatnya lagi. Apa yang saya rasakan mungkin sedikit tergambarkan pada buku karyanya Shiraishi (2001). Orde Baru yang menjadi tema besar dalam pembahasan Sasaki, tetapi ia juga melibatkan rumah sebagai sumber dari pembelajaran awal tentang bapak yang menjadi dasar dari simbol bapak pembangunan. Walaupun rumah disini tidak secara detail dibahas baik dari struktur bangunan maupun nilai, tetapi konstruksi-kontruksi pemikiran akan rumah dalam pembelajaran anak-anak dalam mengenal negaranya dapat menjadi sumber bahan dalam menyajikan pemikiran yang melawan arus beserta gaya bahasa yang lebih manusiawi. Dalam tulisan Sasaki rumah merupakan lingkungan yang memberikan perlindungan dalam kebersamaan dan menjadi tempat kehangatan secara luas. Konteks dalam rumah menjadi media pusat peristiwa-peristiwa yang di ceritakan secara nyata oleh Sasaki. Karena dalam karyanya, Sasaki menganggap rumah yang ia tinggali selama di Indonesia merupakan tempat kehangatan yang akan selalu dikenang olehnya. Meneliti perubahan tempat tinggal juga menunjukkan perubahan kebudayaan seperti hasil Nursito (2005) yang menyimpulkan arsitektur Jawa merupakan arsitektur yang terus berkembang dan berubah sesuai kemajuan jaman. Yang meliputi perubahan fisik baik susunan atap, ruang, lantai dan bangunan
pendukung. Perubahan fungsi seperti kantor, sekolah, kios, toko, wartel, rumah kontrakan. Perubahan nilai ekonomi, relasi, etika, estetika dan pragmatis. Perubahan filsafah seperti makna bahan bangunan, warna bangunan serta penyesuaian dengan prinsip nut jaman kelakon. Perubahan kepemilikan karena perjualbelian maupun kontrakan. Perubahan eksterior dalam perubahan komponen bangunan, bahan bangunan dan peralatan pembangunan. Dan perubahan interior yang meliputi perubahan tata ruang dan isinya. Semua perubahan tersebut dipengaruhi oleh berbagai macam faktor seperti faktor kebutuhan pragmatis, kebutuhan ekonomi, kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan perubahan relasi masyarakat yang saling berkaitan. Pada kasus ini, saya ingin mencoba memaparkan hubungan relasi yang terjalin para penghuni rumah kost yang meliputi pemilik rumah dengan anak kost. Rumah telah menjadi arena interaksi bagi sekelompok penghuninya, diantara pemilik dan penyewa. Dari interaksi yang terjadi memberikan dampak yang besar bagi kedua belah pihak baik anak kost maupun pemilik kost. Mulai sikap patuh anak kost terhadap induk semangnya dan juga berkurangnya mobilitas pemilik rumah di wilayah rumahnya sendiri. Fokusnya akan berpusat pada hubungan saling membutuhkan sesama penghuni yang didasari relasi Patron Klient serta memicu pergeseran terhadap aspek ruang spasial dalam rumah kost sebagai arena tinggal.
2. Masalah Penelitian
Permasalahan besar dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi bagaimana perubahan ruang spasial rumah tinggal masyarakat Jawa dari relasi antara penghuninya. Permasalahan tersebut dapat ditemukan pada salah satu perkampungan di Yogyakarta, yang kemudian muncul pertanyaan penelitian yang dapat dikemukakan yaitu antara lain adalah: a. Apa yang membuat seorang pemilik rumah mengubah rumah tinggalnya menjadi rumah kost bagi anak kost secara non komersial? b. Bagaimana bentuk proses terjadinya relasi yang terjadi antara pemilik kost dengan anak kost? c. Bagaimana perubahan konseptual keruangan pada arena tinggal rumah orang Jawa yang menambahkan fungsi sebagai rumah kost?
3. Tujuan Penelitian Penelitian ini dirancang dengan tujuan untuk menemukan beberapa pengetahuan seperti berikut ini : a. Mengetahui alasan-alasan pemilik rumah merubah rumah tinggalnya menjadi rumah kost sebagai bentuk kebutuhan adaptasi lingkungan. b. Bentuk bentuk relasi yang muncul diantara pemilik rumah kost dan anak kost yang menunjukkan jalinan relasi patronanse. c. Memahami pergeseran keruangan relasi dalam rumah orang Jawa yang dijadikan sebagai rumah kost karena dampak dari akses para anak kost yang dapat memasuki ruang-ruang privat pemilik rumah.
4. Manfaat Penelitian Setiap penelitian yang dilakukan oleh para ahli Antropologi diharapkan bisa memperoleh berbagai manfaat, baik manfaat secara teoritis maupun manfaat secara praktis. Dalam manfaat teoritis dengan melahirkan pengetahuanpengetahuan baru yang bisa saling relevan terhadap teori-teori yang mengkaji perubahan kebudayaan dan migrasi, yang mampu memberikan prakiraanprakiraan terhadap gejala-gejala dalam masalah kebudayaan dan migrasi. Dan manfaat praktis yang dapat menyadarkan dan membuat kita kembali mereflektifkan akan kehidupan manusia sekarang ini. Manfaat Teoritis 1. Melahirkan pengetahuan baru dalam memahami bentuk relasi yang bersifat saling bekerjasama diantara pemilik kost dan anak kost sebagai pendatang dan masyarakat lokal. 2. Melahirkan pengetahuan baru melihat proses relasi seimbang atau patronanse yang dapat berkembang menjadi tidak seimbang atau patronklien diantara pemilik dan anak kost. 3. Melahirkan pengetahuan baru mengenai dampak dari hubungan antara relasi pemilik dan anak kost terhadap pada akses keruangan di rumah kost sebagai salah satu bentuk rumah masyarakat Jawa masa kini.
Manfaat Praktis Manfaat praktis penelitian ini adalah memperoleh informasi dan data strategis terkait yang dapat dijadikan saran sebagai panduan membangun desain rumah kost yang mampu menjalin kenyamanan dan keharmonisan para penghuninya. Dengan mengetahui bentuk relasi diantara pemilik kost dan anak kost yang mewakili bentuk relasi diantara pendatang dan masyarakat lokal, yang menunjukkan dapat muncul jalinan kerjasama yang bertujuan saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Bentuk hubungan antar budaya yang menciptakan bentuk keharmonisan non ekonomis, menunjukkan fungsi rumah kost sebagai wadah atau lahan yang dapat menyatukan perbedaan yang selalu datang ke kota Yogyakarta. Manfaat besar yang muncul dari rumah kost yang menempatkan pemilik rumah dan anak kost dalam satu lahan yang sama dapat menjadi cara bijak untuk menempatkan para pendatang atau mahasiswa dari luar Yogyakarta untuk berada dalam pengawasan, keamanan maupun pengasuhan dalam lingkungan keluarga masyarakat lokal. Sehingga perlu perhatian lebih terhadap bangunan-bangunan yang digunakan tempat tinggal para pendatang yang lepas dari pantauan masyarakat setempat agar dapat menghindari dampak negatif yang dapat muncul seiring kedatangan para mahasiswa pendatang luar Yogyakarta.
5. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini melihat hubungan yang muncul antara penghuni kost sebagai faktor atas perubahan konsep keruangan di dalam rumah tersebut. Munculnya kebutuhan dan ketergantungan antara penghuni dengan latar belakang yang berbeda, menunjukkan hubungan yang berat sebelah. Saling mengenal, membaur, meniru maupun menolak menjadi reaksi yang bermunculan bagi setiap penghuni. Hubungan tersebut terjadi pada sebuah ruang, ruang rumah yang memediakan proses awalnya perubahan-perubahan dalam suatu ruang tinggal. Sehingga perubahan yang muncul di setiap sudut ruang, menunjukkan pergeseran pada rumah tinggal masyarakat, terutama masyarakat Jawa yang ada di padukuhan Karanggayam. Muali (2015) dalam penelitiannya yang mengkaji hubungan dalam suatu LSM bernama Jaringan Kemanusiaan Jawa Timur (JKJT) menemukan beberapa point yang menarik bagi saya, yang berguna untuk juga mengkaji hubungan relasi di rumah kost. yaitu terdapat hubungan sosial yang bersifat kekeluargaan. Dalam JKJT, seorang pembina telah dianggap seperti “Ayahnya” sendiri bagi para mantan anak jalanan. Karena kehadiran subsistensi klien yang membutuhkan sosok seorang yang mampu memberikan perlindungan, mengayomi dan memperlakukan kliennya seperti seorang anaknya sendiri. Hal serupa juga dapat saya temukan di ruang hidup kost. Dimana pemilik rumah tidak hanya berfungsi untuk menagih uang semata, tetapi ada pembelajaran hidup yang di ajarkan pada anak kost. Ada sifat mengasuh sekaligus menjaga yang ditunjukkan pemilik kost selayaknya orang tua sendiri.
Muali juga menunjukkan balasan yang diberikan sesuai keinginan patron berupa nilai-nilai sosial sesuai yang telah diajarkan. Seperti kedisiplinan, kemandirian, kepatuhan dan kepedulian dengan sesama. Jika melihat dalam kehidupan anak kost, upaya bersikap seperti apa yang diinginkan pemilik kost dapat terlihat dari aturan-aturan yang diciptakan dalam ruang lingkup rumah kost tersebut. Adapun aturan tersebut tidak hanya sebatas sebagai pengendali sosial, tetapi bentuk pertukaran di luar faktor ekonomi. Bentuk pertukaran lain yang menginginkan anak-anak kost menjadi apa yang diinginkan pemilik kost yang bisa saling menjaga keharmonisan dan kenyamanan tempat tinggal. Selain itu juga terdapat penelitian sebelumnya yang melihat bagaimana hubungan dalam kelompok dan dampak implikatifnya terhadap ruang spasial oleh Firzandy (2015). Pada penelitiannya ia mencoba mengungkapkan hubungan sosial di dalam suatu kelompok pentas seni Miss Tjitjih1 yang membangun hubungan patron serta melihat implikasinya terhadap aspek ruang spasial dan ruang daur hidupnya pada bangunan di tempat pentas mereka. Firzandy menyatakan hubungan patron klien dalam suatu kompleks memberikan pengaruh besar terhadap ruang hidup kelompok. Ia juga menegaskan bahwa hubungan sosial antara manusia memiliki pengaruh besar terhadap bentuk ruang dan perubahan yang terjadi didalamnya. Sekaligus bahwa manusia membangun karena ia bermukim dan bukan sebaliknya.
1
Kelompok sandiwara kesenian tradisional Sunda yang telah menjadi icon dan trademark di Jakarta pada masanya.
Apa yang dihasilkan Firzandy memiliki nilai kesamaan dengan apa yang saya kaji dalam penelitian ini. Relasi diantara penghuni rumah dalam tatanan pemilik dan pendatang menjalin kegiatan dan aktivitas yang mempengaruhi nilainilai keruangan. Apalagi rumah tinggal yang dijadikan usaha kost tersebut merupakan rumah masyarakat Jawa. Rumah Jawa yang walau mengikuti perkembangan zaman dan keadaan lingkungan sekitarnya, masih memiliki nilai yang dimiliki rumah Jawa tradisional dulu. Disatu sisi ruang-ruang rumah Jawa telah banyak mengalami perubahan, tetapi disisi lain perubahan tersebut masih memiliki fungsi yang dimiliki rumah Jawa pada umumnya. Melihat pemikiran Arya Ronald (2005, 3-12) yang mengkonsepkan masyarakat Jawa dengan nilai dan pengetahuan kejawennya dianggap sebagai masyarakat yang hidup harmonis dengan lingkungan sekitarnya dalam bentuk kepercayaan primitif dengan sifat-sifat khusus. Meliputi keselarasan antara kawula lan gusti2 dan antara manusia dengan lingkungan sekitarnya (mikrokosmos dan makrokosmos)3. Kebutuhan masyarakat Jawa sendiri disederhanakan menjadi tiga hal yaitu pangan, sandang dan papan. Untuk kebutuhan papan memiliki arti tersendiri bagi orang Jawa sebagai kebutuhan akan longkangan (ruang), panggonan (tempat menjalani kehidupan), panepen (tempat kediaman) dan palungguhan (tempat berinteraksi). Adapun Ronald (1988) lainnya dalam tulisannya mengemukakan bagi keluarga Jawa, rumah merupakan ungkapan status ekonomi dan relasi sehingga
2 3
Manusia dan pencipta Hubungan antara diri sendiri dan masyarakat luas
diperlukan perencanaan dan dibuat dengan hati-hati agar dapat memberikan jaminan kehidupan yang lebih baik. Rumah Jawa tidak sebatas untuk memenuhi kepentingan keluarga inti saja, melainkan juga menampung keluarga lain. Bentuk perwujudan yang tidak efisien tetapi dapat dibuktikan dengan sangat efektif. Tulisan ini cukup memberikan masukan besar bagi beragam kajian yang melihat rumah kost hanya sebatas muncul karena faktor perekonomian semata. Menjadi arena relasi lokal dan pendatang yang terikat tidak secara ekonomi tetapi juga relasi kekerabatan demi memenuhi kebuthan masing-masing. Rumah tinggal orang Jawa selalu memperhatikan keselarasan dengan kosmosnya dalam pengertian selalu memperhatikan dan menghormati potensipotensi yang ada disekitar lingkungannya (Kartono, 2005). Konsep ruang yang diciptakan tidak identik dengan konsep ruang barat tetapi memiliki watak tempat (place) yang sangat dipengaruhi oleh dimensi waktu dan ritual. Rumah Jawa memiliki pusat dan daerah secara oposisi binair, dimana ruang yang terjadi memiliki hirarkhi ruang yang ditata secara unik dengan menggunakan aspek pencahayaan. Dari beragam sumber tersebut, dapat membantu penelitian ini untuk mengetahui pandangan orang Jawa sebagai pemilik rumah terhadap para pendatang anak kost yang memicu perubahan. Beragam perubahan pada nilai dan fungsi tata ruang rumah Jawa tersebut dapat menjelaskan pergeseran kostmologi rumah Jawa yang berlaku di masa ini yang diakibatkan migrasi anak kost dan menjadi media proses akulturasi. Dalam penelitian ini akan rumah Jawa masa kini
dengan fungsi sebagai rumah kost, dan mengemukakan temuan nilai-nilai maupun simbol rumah tradisional Jawa yang masih bertahan. Pandangan masyarakat Jawa terhadap para pendatang yang tinggal di rumah mereka dan perilaku-perilaku yang muncul diantara para penghuninya akan membawa kepada suatu konsep baru dalam memaknai keberadaan rumah yang selalu berubah mengikuti masa dan pemiliknya. Guna membantu penelitian ini lebih jauh, maka diperlukan kerangka teori yang telah digunakan oleh para ilmuwan relasi-budaya.
6. Kerangka Konseptual Untuk menjawab pertanyaan penelitian, maka penulis mencoba untuk menyusun kerangka konsep yang menjadi acuan dalam penelitian ini. Rumah kost yang dipilih dalam penelitian ini adalah rumah tinggal yang dihuni pemiliknya sekaligus membuka usaha sewa kamar kost dengan memanfaatkan lahan atau ruang yang ada. Sehingga dalam rumah kost terdiri dari dua jenis penghuni, yaitu keluarga pemilik rumah dan anak kost yang menyewa kamar kost untuk kurun waktu tertentu. Keberadaaan kedua jenis penghuni dalam satu ruang tinggal yang sama saling berinteraksi dan terikat karena tempat (place) dan ruang (space) pada rumah kost. Persis seperti yang dinyatakan Levi-Strauss yang menguraikan tentang rumah atau masyarakat-rumah sebagai bentuk khusus kekerabatan yang terletak diantara masyarakat unilineal, masyarakat yang hubungan sosialnya disusun
melalui kekerabatan, dengan masyarakat yang kompleks yang disusun melalui hak milik (Newberry, 2013: 99). Anak kost yang datang berasal dari daerahnya masing-masing, kemudian bersama pemilik rumah menempati ruang tinggal dalam suatu bangunan rumah yang teratur, dikotakkan dan seragam yang berada dalam suatu ruang tinggal. Baik dari anak kost maupun pemilik kost merupakan sama-sama pendatang yang tinggal di daerah Karanggayam. Walaupun pemilik kost juga pendatang, tetapi keberadaanya yang telah tinggal di wilayah mereka dalam jangka waktu yang lama menghilangkan label pendatang di masyarakat sekitar. Lamanya mereka menetap telah membuat sejarah yang memiliki kenangan atas tempat tinggalnya. Faktor lingkungan yang belum menjadi perkampungan yang ramai menuntut mereka untuk menciptakan usaha kost-kostan. Dengan memanfaatkan ruang-ruang yang ada para pemilik rumah ini mengharapkan kehadiran anak kost untuk membangun kehidupan secara komunal demi mendapatkan rasa aman dan nyaman di wilayah rumah tinggal mereka dan tentu saja berdampak pada perekonomian keluarga. Rumah kost menjadi tempat dalam proses menciptakan ruang (space) dimana para penghuni saling berinteraksi satu sama lain, membangun relasi-relasi sosial baru dalam kurun waktu tertentu tetapi melintasi batas-batas etnis, agama, sosial maupun kelas sosial yang menyertainya. Ikatan yang terjalin diantara pemilik kost dan anak kost menghasilkan bentuk relasi yang tidak semata sebatas pemilik dan penyewa. Terdapat bentuk ikatan lain yang bertujuan untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Sehingga ikatan yang muncul menunjukkan
hubungan resiprositas yang memiliki nilai keseimbangan dalam kehidupan sosial. Dasarnya hubungan resiprositas memiliki prinsip bahwa orang harus membantu mereka yang pernah membantunya atau setidak-tidaknya jangan sampai merugikan (Scott, 1989: 255). Terdapat bentuk hubungan yang muncul dari relasi penghuni kost yang saling membangun persahabatan dan kekerabatan yang dekat. Hubungan berbentuk timbal balik ini merupakan bentuk relasi sosial yang dipengaruhi oleh resiprositas sebanding, dimana hubungan pertukaran terjadi dengan mengharapkan balasan yang sebanding (Sjafri Sairin dkk, 2002: 55). Pembayaran uang sewa terhadap kamar-kamar kost yang disediakan wujud dari kerjasama diantara anak kost dan pemilik kost. Selain itu setiap pihak memiliki kesadaran untuk menjaga lingkungan agar dapat menunjang kenyamanan rumah tinggal pemilik kost dan lingkungan yang cocok untuk belajar bagi anak kost. Kemudian relasi antara para penghuni rumah kost dikarenakan sama-sama saling menguntungkan. Karena tujuan utama dari kedua belah pihak yang terikat dalam kesepakatan, adalah untuk mendapatkan keuntungan berupa sumber daya, barang maupun jasa yang tidak dapat diperoleh tanpa pertukaran. Anak kost terbantu karena kesediaan pemilik kost menyewakan kamar sehingga anak kost mendapatkan tempat tinggal sementara dan menyelesaikan studinya. Dampak dari usaha kost tersebut juga membantu pemilik rumah secara ekonomi dan status relasinya karena dihormati oleh anak-anak kost serta kebutuhan tinggal secara komunal di lingkungan barunya.
Walaupun begitu posisi anak kost dapat menjadi pihak yang bergantung pada pemilik kost. Bergantungnya anak kost terhadap pemilik kost telah memposisikan anak kost sebagai klien yang berada dibawah pemilik kost sebagai patron. Yang menjadikan anak kost bergantung pada pemilik rumah bukan karena ketersediaan kamar kost semata, tetapi lingkungan tinggal yang sesuai dengan kebutuhan anak kost dimana ia sulit untuk mencari di rumah kost lainnya. Kedekatan secara personal kepada seluruh penghuni juga menjadi faktor anak kost untuk tidak ingin pindah dan memilih untuk bertahan di rumah kost padahal ia memiliki kemampuan untuk memilih tempat tinggal baru. Berubahnya relasi dari yang seimbang kemudian menjadi tidak seimbang merupakan pilihan dari tiap anak kost. Karena hubungan patron klien adalah hubungan timbal balik antar individu yang bersifat pribadi (Ahimsa 2007: 183). Keputusan tersebut membuat posisi anak kost berada dibawah pemilik kost, tetapi saling memberikan keuntungan masing-masing yang menjadi ciri dalam relasi patron klien memiliki ikatan secara khusus di lingkungan rumah kost dan pemilik kost. Ikatan yang terbangun bersifat memiliki kedekatan lebih diantara penghuni lain sehingga ia mendapatkan akses maupun fasilitas lebih yang tidak didapatkan anak kost lainnya. Sesuai apa yang dinyatakan Foster bahwa hubungan patron klien tidak tumbuh sendiri, tetapi lahir menurut kebutuhan pihak-pihak tertentu. Bila seseorang ingin memiliki relasi tertentu dengan pihak lain maka ia harus memberikan terlebih dahulu (Ahimsa, 2007: 11). Dapat terjadinya relasi yang tidak seimbang tersebut disebutkan oleh Legg (1984) yang mengemukakan terdapat tiga syarat agar terjalin hubungan antara
Patron Klien, yaitu pertama penguasaan sumber daya yang tidak sama, kedua hubungan yang bersifat khusus, pribadi dan mengandung kemesraan, ketiga berdasarkan azas saling menguntungkan. Pemilik kost merupakan pihak yang memiliki sumber daya yang dibutuhkan oleh anak kost. sumber daya tersebut adalah ruang-ruang kamar kost yang ada di wilayah rumahnya. Hubungan diantara pemilik dan anak kost yang berhasil akan membangun kekerakabatan yang dekat, hampir sedekat orang tua dan anak. Relasi patron klien yang lekat dengan kehidupan feodal rasanya bisa dilihat dalam lingkungan urban. Walaupun hubungan yang identik dengan ketidakseimbangan terkesan samar terlihat karena setiap masing-masing pihak memiliki kuasanya tersendiri. Tetapi ikatan kebutuhan satu sama lain memang tidak bisa terelakkan. Selain itu hubungan timbal balik yang seimbang diantara pemilik kost dan anak kost menimbulkan perasaan terimakasih, legitimasi dan rasa ketidaknyamanan untuk merepotkan pihak lain. Disini siapapun yang tinggal dan menjadi anak kost, akan memiliki sikap untuk sungkan dan tunduk kepada pemilik rumah dalam suatu ikatan yang berkembang menjadi rasa tidak enak untuk merepotkan penghuni lain. Dari munculnya relasi yang kompleks tersebut menunjukkan bila rumah kost tidak semata hanya terbuat dari semen, bata, kayu maupun material bangunan lainnya, tetapi rumah juga terdiri dari manusia. Ada kandungan nilai-nilai budaya masyarakat yang membuatnya dan hubungan diantara penghuninya. Dalam kajian ilmu Antropologi rumah tidak sebatas dilihat dari sisi bentuk bangunan, tetapi juga struktur perlambangannya yang menunjukkan suatu bentuk hubungan
kekerabatan yang memiliki makna dalam masyarakat, seperti laki-laki dan perempuan, umum dan pribadi, formal dan informal, atau juga pemilik kost dan anak kost yang menjadi pusat kajian penelitian ini. Pada penelitian ini konteks rumah kost sebagai arena tinggal, faktor ruang tinggal menjadi salah satu faktor yang dominan yang dijadikan bahan bargaining antara pemilik dan anak kost. dalam berbagi ruang, para penghuni rumah kost saling berinteraksi, berkomunikasi, bertindak dan membangun relasi sosial baru dan menciptakan batas-batas ruang yang menggeserkan nilai ruang rumah tinggal pada umumnya. Terutama karena keberadaan kamar kost sebagai sumber munculnya relasi diantara penghuni. Kamar kost sebagai ruang yang memiliki keunikan dibandingkan ruang lain, karena disatu sisi dapat menjadi privat yang tertutup bagi pemilik rumah tetapi disisi lain juga dapat menjadi ruang publik yang dapat mengundang lebih banyak orang asing masuk ke dalam area rumah tinggal. Sehingga ruang tersebut berdampak pada pegeseran terhadap ruang-ruang tinggal yang bersifat privat dan terbatas menjadi publik dan terbuka bagi siapa saja, baik anak kost maupun tamu-tamu yang dibawanya. Dalam hal ini tidak secara otomatis menciptakan klien yang berada diposisi patronnya demi kehidupan bersama dalam substensi pembagian ruang tinggal. Karena kenyamanan dan perasaan betah tinggal dalam lingkungan suatu rumah pada anak kost terkadang menjadi aspek yang lebih penting daripada sekedar penyediaan kamar semata. Keberadaan kamar kost menjadi aspek penting yang membuat situasi dan kondisi yang terkadang menguntungkan bagi anak kost karena
keterbatasan akses maupun kuasa pada pemilik kost maupun sebaliknya karena pemilik kost dapat menempatkan diri dan menunjukkan dirinya sebagai kepala rumah yang harus disegani dan dihormati. Muncul pergeseran ruang (space) yang diakibatkan tempat-tempat (places) di sekitar wilayah rumah tinggal ditempati oleh anak-anak kost. Pergeseran ruang tinggal yang berdasarkan ide-ide abstrak yang dihasilkan atas konteks relasi dan kultural tertentu.4 Seperti yang dinyatakan Lang (Ronald 2005) suatu ruangan tidak terlepas dari beragam pertimbangan seperti pada sisi psikologi, kepribadian, masyarakat dan budayanya. Sebuah ruangan tidak semata terbangun untuk mengisi sebuah rumah, tetapi mengisi pandangan dan rasa kebutuhan si pemilik rumah.
7. Metode Penelitian Dalam metode penelitian ini akan menentukan (a) lokasi penelitian; (b) metode pengumpulan data, dan (c) metode analisis data a. Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan terhadap tiga rumah yang berada di perkampungan sekitar Universitas Gadjah Mada. Lebih tepatnya di kawasan Padukuhan Karanggayam, Catur Tunggal, Depok, Sleman. Latar belakang pemilihan lokasi tersebut karena penilaian penulis yang telah tinggal di
4
Dalam thesis Dyah (2005, 11-14) Suatu budaya dapat muncul dari modal-modal budaya yang terbentuk dari simbol-simbol para masyarakat urban yang menjalin beragam relasi sehingga menghasilkan identitas baru.
perkampungan tersebut hampir lebih setahun sebagai salah satu pendatang. Karena letak perkampungan tersebut di samping Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada dan Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta, membuat perkembangan usaha perekonomian, terutama rumah kost terbilang sangat cepat berkembang. Daerah Klebengan tersebut menjadi incaran utama para mahasiswa yang ingin karena aksesnya yang mudah dan cepat menuju ke UNY maupun UGM. Rumah penduduk yang akan dipilih adalah rumah tinggal pemilik yang juga digunakan untuk usaha kost-kostan. Semua rumah yang akan diteliti ditentukan berdasarkan hasil survey lapangan, yang sebelumnya sudah dilakukan pada awal penelitian lapangan. Dan penulis mengambil tiga rumah kost untuk dijadikan sumber data dalam penelitian. Tiga rumah tersebut antara lain rumah yang dimiliki Pak Ari, dimana rumah tersebut juga menjadi tempat tinggal penulis, rumah Ibu Atun dan rumah Pak Saijan. Ketiga rumah tersebut dipilih karena memenuhi standar kebutuhan penulis, salah satunya sebagai rumah dengan fungsi kost-kostan. Dalam penelitian ini, saya memiliki posisi ganda, baik sebagai etnografer dan juga menjadi bagian dari anak kost di salah satu rumah. Mengumpulkan beragam pengalaman saya menjadi sumber data penelitian sesuai dari keterampilan saya dalam mengelola data tersebut. b. Pengumpulan data
Tulisan ini merupakan hasil dari pengetahuan penulis selama tinggal di daerah penelitian. Berdasarkan interaksi-interaksi yang terjalin secara langsung baik dari teman kost dan juga para pemilik rumah menjadi modal dasar pengetahuan penulis yang tertuang kedalam tulisan ini. Spradley (2007: 6) mengatakan bahwa kebudayaan merujuk pada pengetahuan yang diperoleh, serta digunakan orang untuk menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial. Selanjutnya Spradley (2007: 4) juga mengungkapkan bahwa penelitian etnografi melibatkan aktivitas belajar mengenai dunia orang yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir dan bertindak dengan cara yang berbeda. Jadi etnografi tidak hanya mempelajari masyarakat, tetapi lebih dari itu, etnografi belajar dari masyarakat. Pengalaman secara personal, keakraban dengan informan dan pikiranpikiran yang bersifat reflektif dari penulis yang akan menjelaskan relasi antara para anak dan pemilik rumah kost dan pengaruh terhadap nilai ruang tinggal di rumah tersebut. (1) Studi Pustaka Salah satu tuntutan dalam menyusun penelitian ini adalah membaca. Karena tema yang penulis angkat merupakan tema yang bukan menjadi keahlian saya dan tidak masuk dalam ajaran kuliah yang saya tempuh sebelumnya selama masa pendidikan. Sebelumnya harus memiliki pemahaman bagaimana arsitektur ruang rumah Jawa terdahulu. Dipastikan sulit untuk mencari rumah-rumah Jawa yang masih berbentuk tradisional di saat ini. Sehingga penulis perlu
membaca berbagai sumber pustaka yang membahas rumah Jawa di masa lalu, bagaimanan sifat-sifat keruangannya dan bentuk-bentuk relasi yang terjadi yang akan membantu pandangan penulis terhadap permasalahan dalam penelitian ini. Adapun fungsi lain dalam mentelaah berbagai macam pustaka untuk membantu saya dalam menjelaskan dan mengembangkan permasalahan sesuai dengan tujuan penelitian.
(2) Observasi Partisipasi Sebagai bagian dari anak kost pada salah satu rumah kost, penulis terlibat dalam berbagai peristiwa yang terjadi di rumah kost, terutama di rumah Pak Ari. Penulis mengikuti atau menyesuaikan diri dengan sikap dan perilaku anak-anak kost lain, seperti ikut berkumpul bersama, mengobrol, maupun kegiatan lain yang diminta tolong langsung oleh pemilik kost. Terlibatnya penulis dalam beragam peristiwa yang berada dalam lingkuran hidup para penghuni kost, menjadikan penulis juga bagian dari subyek penelitian. Karena penulis meneliti apa yang penulis alami bersama penghuni rumah kost lain yang selalu dicatat untuk menjadi data, sementara yang lain menjalani begitu saja. (3) Wawancara Salah satu ciri utama dalam penelitian kualitatif adalah metode wawancara sebagai sumber data utama. Wawancara yang penulis
lakukan bukanlah sebatas wawancara yang berisi beragam pertanyaan kepada informan. Melainkan obrolan-obrolan ringan dan santai yang sering terjadi di antara penulis dan informan. Terkadang perbincangan yang tidak disengaja dan di luar agenda dan tujuan wawancara dapat menjadi sumber data tambahan maupun utama. Dengan metode wawancara yang dikemas dalam obrolan santai diharapkan informan merasa nyaman dengan penulis dan mau memberikan beragam cerita, yang umumnya menjadi data dalam penelitian yang bersifat antropologis. (4) Pendokumentasian Foto menjadi data pendukung pada penelitian ini. Selain itu foto-foto yang penulis tampilkan juga menegaskan argument-argumen bahwa rumah kost
yang peneliti ambil merupakan rumah yang
menampung keluarga pemilik dan anak kost, sehingga aktifitas mereka dapat terjadi pada lahan dan ruang yang sama. Adapun satu foto yang penulis ambil dari media internet yang menunjukkan kebutuhan kost sudah menjadi barang dagangan. Selain itu karena penelitian ini juga mengkaji dampak relasi terhadap akses keruangan rumah masyrakat Jawa masa kini, penulis juga memasukkan gambar-gambar denah rumah ketiga objek penelitian dan 1 denah yang menggambarkan konsep ruangan rumah tradisional Jawa. Tujuannya untuk menjadikan bahan perbandingan terhadap keruangan di masa dulu dan di masa sekarang.
c. Analisis Data Data yang berhasil dikumpulkan, dimana sebagian besar merupakan data kualitatif yang lebih memfokuskan pada refleksi atas peristiwa-peristiwa di dalam rumah kost yang dialami oleh individu-individu ketika berinteraksi satu sama lain. Penulis menggambarkan peristiwa apa saja yang membuat hubungan diantara pemilik dan anak kost menjadi seimbang atau relasi patronanse yang dapat menggeserkan batas-batas ruang diantara privat dan publik dalam rumah tinggal. Mengandalkan dari pengalaman penulis, pendengaran dari beragam percakapan, dan bertanya seperlunya. Selanjutnya penulis mengemukakan rangkaian tulisan dalam bab-bab yang berurutan. Pada bab pertama penulis menceritakan gagasan mengenai studi relasi diantara masyarakat lokal dan pendatang yang mengarah kepada proses perubahan akses keruangan rumah tinggal masyarakat Jawa. Bab dua saya menceritakan latar belakang wilayah padukuhan Karanggayam dan etnografi salah satu rumah yang penulis tinggal. Bab tiga merupakan gambaran yang penulis tampilkan yang menceritakan sejarah dan latar belakang pembangunan ketiga rumah dan usaha kost-kostan yang terbangun. Selanjutnya pada bab empat, penulis mencermati beragam aktifitas-aktifitas yang terjadi pada rumah kost sebagai bentuk relasi yang seimbang diantara pemilik kost dan anak kost yang bersifat non komersil. Relasi yang seimbang yang saling diberikan dapat berkembang tidak seimbang karena posisi anak kost yang seakan menggantungkan dirinya terhadap lingkungan rumah pemilik kost yang telah terbentuk. Pada bab lima penulis menunjukkan akibat dari relasi-relasi yang terbentuk dalam aktifitas para anak
kost dan keunikan dari kamar kost yang mempengaruhi ruang tinggal pemilik rumah. Yang berdampak semakin terbukanya rumah tinggal yang umum bersifat privat dan tertutup bagi orang asing, tetapi menjadi akses bagi anak kost yang dianggap layak bagi pemilik rumah. Pada bab terakhir penulis mencoba menemukan jawaban mengenai pengaruh relasi yang terbentuk dalam ruang tinggal kost yang kemudian mempengaruhi keruangan rumah tinggal dan menggeser sifat-sifat ruang yang privat dan publik.