BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Apendiks merupakan salah satu organ yang fungsinya belum diketahui
secara pasti. Apendiks sering menimbulkan masalah kesehatan, salah satunya adalah apendisitis (Sjamsuhidayat & Jong, 2005). Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks yang mengenai seluruh organ tersebut (Price & Wilson, 2006). Infeksi bakteri sebagai salah satu pencetus apendisitis dan berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya seperti sumbatan pada lumen, hyperplasia jaringan limfe, tumor apendiks, dan cacing askaris dapat juga sebagai penyebab sumbatan. Erosi mukosa apendiks karena parasit E.histolytica juga dapat menyebabkan apendisitis (Sjamsuhidayat & Jong, 2005). Apendisitis merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling sering dijumpai. Apendisitis biasanya memiliki tanda dan gejala berupa nyeri atau rasa tidak enak di sekitar umbilikus dan umumnya berlangsung lebih dari 1 atau 2 hari. Selanjutnya bergeser ke kuadran kanan bawah dengan disertai anoreksia, mual, muntah (Price & Wilson, 2006). Tanda Rovsing dapat timbul bila dilakukan penekanan di kuadran kiri bawah, namun nyeri yang dirasakan pada kuadran kanan bawah. Apabila sudah terjadi ruptur apendiks, nyeri yang dirasakan akan lebih menyebar. Distensi abdomen dapat terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi pasien dapat memburuk (Smeltzer dan Bare, 2002 ).
1
2
Insiden apendisitis dapat terjadi kira-kira 7% dari suatu populasi pada waktu yang bersamaan dalam hidup mereka, apendisitis dapat di temukan pada semua umur, namun pada anak usia kurang dari satu tahun insidennya jarang dilaporkan. Insiden tertinggi biasanya terjadi pada usia 20-30 tahun. Menurut jenis kelamin kejadian pada usia 20-30 tahun laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan (Sjamsuhidayat & Jong, 2005). Insiden terjadinya apendisitis akut di Amerika Serikat pada tahun 2006 ditemukan sekitar 250.000 kasus. Apendisitis akut terjadi 7% dari populasi Amerika Serikat, dengan insiden 1,1 kasus tiap 1000 orang per tahun (Eylin, 2009). Berdasarkan data yang didapatkan menurut Depkes RI tahun 2009, jumlah pasien yang menderita penyakit apendisitis di Indonesia berjumlah sekitar 27% dari jumlah penduduk di Indonesia.
Menurut Dinkes
Provinsi Bali pada tahun 2009 apendisitis sendiri menduduki peringkat 10 penyakit rawat inap RSUD se-Bali, tercatat 1156 kasus. Meningkat 87% pada tahun 2011 menjadi 2162 kasus dan menduduki peringkat 5 penyakit rawat inap RSUD se-Bali. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di BRSU Tabanan didapatkan data bahwa Length of Stay pasien apendiktomi yaitu 3 hari. Pada 3 bulan terakhir (Juli - September 2013) terdapat 135 kasus apendisitis akut. Dimana pada bulan Juli terdapat 43 (31,8%) kasus apendisitis, pada bulan Agustus terdapat 50 kasus (37%), dan pada bulan September terjadi 42 kasus (31%) kasus apendisitis. Jadi, rata-rata pasien yang menderita apendisitis dalam sebulan yaitu 45 pasien.
3
Apabila diagnosis apendisitis sudah jelas tindakan yang paling tepat dilakukan adalah pembedahan apendiks. Pembedahan merupakan suatu tindakan operatif dengan membuka dan menampilkan bagian tubuh yang akan di obati dengan cara invasive. Pembukaan bagian tubuh ini pada umumnya di lakukan dengan melakukan insisi. Setelah itu ditampilkan dan dilakukan perbaikan dan selanjutnya diakhiri dengan penutupan dengan melakukan penjahitan pada luka (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005). Kasus apendiktomi di Valencia, Spanyol selama periode 10 tahun (19982007) teridentifikasi terjadi 44.683 kasus untuk apendiktomi (andreu et.al., 2009). Berdasarkan studi pendahuluan yang di lakukan peneliti di BRSU Tabanan ruang Bougenville didapatkan data bahwa jumlah pasien apendiktomi yang dirawat yaitu berjumlah 69 orang (Juli – September 2013). Pada bulan Juli didapatkan pasien yang menjalani apendiktomi sebanyak 21 pasien (30,5%), sedangkan pada bulan Agustus terdapat 25 (36,2%) pasien yang menjalani apendiktomi, dan pada bulan September terdapat 23 pasien (33,3%) yang menjalani apendiktomi. Jadi, rata-rata pasien per bulannya yang menjalani apendiktomi di ruang Bougenville yaitu 23 orang. Anestesi merupakan tindakan untuk menghilangkan rasa nyeri dan rasa takut saat pembedahan untuk menciptakan kondisi yang optimal (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005). Anestesi umum akan menimbulkan efek kehilangan seluruh sensasi, kesadaran dan amnesia saat dilakukan tindakan pembedahan. Anestesi juga dapat mengganggu fungsi gastrointestinal yaitu menghambat motilitas gastrointestinal dan menyebabkan mual. Normalnya, pada tahap pemulihan
4
motilitas usus terdengar lemah sampai hilang pada ke empat kuadran (Price & Wilson, 2006). Pengaruh agens anestesi dapat menghambat impuls saraf parasimpatis ke otot usus. Kerja anestesi tersebut memperlambat atau menghentikan gelombang motilitas yang dapat berakibat terjadinya ileus paralitik (Stefanus, 2013). Terhambatnya impuls saraf parasimpatis akan menyebabkan pelepasan asetilkolin juga tehambat. Secara normal, asetilkolin dilepaskan oleh saraf parasimpatik nervus vagus, dimana asetilkolin yang dilepaskan tersebut diterima oleh reseptor muskarinik pada pleksus mienterikus intestinal (Guyton, 2007). Fungsi dari pleksus mienterikus ini adalah mengatur aktivitas motorik disepanjang usus, dan apabila asetilkolin dihambat pelepasannya yang dikarenakan efek dari anestesi tersebut maka akan terjadi penurunan kecepatan konduksi gelombang eksitatori disepanjang dinding usus halus sehingga dapat menurunkan motilitas usus (Sjamsuhidajat & Jong, 2005). Pasien yang belum pulih motilitas ususnya setelah pembiusan dapat menderita ileus obstruktif atau obstruksi intestinal bila dalam waktu tersebut diberikan asupan makanan (Potter & Perry 2006). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti selama 16 hari (28 Oktober – 12 November 2013) pada pasien apendiktomi pada hari ke-0 di ruang Bougenville BRSU Tabanan, didapatkan data dari 7 orang pasien yang menjalani apendiktomi rata-rata motilitas usus pasien 3 kali per menit. Jika dibandingkan dengan motilitas usus normal 5-12 kali per menit (Smeltzer & Bare 2004) haya terdapat 1 pasien yang motilitas ususnya normal. Disini peneliti dapat menyimpulkan bahwa pasien apendiktomi mengalami penurunan motilitas usus.
5
Untuk perawatan pasien apendiktomi di ruang Bougenville, pasien di anjurkan untuk melakukan ambulasi dini. Untuk nutrisi, pasien diperbolehkan makan setelah 5-6 jam setelah post operasi dan atau sudah flatus, pasien diberikan makanan yang berbentuk lunak terlebih dahulu seperti bubur. Untuk perbaikan motilitas usus sendiri peneliti belum menemukan pemakaian kompres hangat pada pasien apendiktomi guna memulihkan motilitas usus di BRSU Tabanan. Pasien sebelum dilakukan tindakan apendiktomi menjalani puasa selama kurang lebih 8 jam dan setelah operasi harus menjalani puasa kembali 5-6 jam. Karena itu pasien sering mengeluh karena harus menunggu waktu yang lama untuk dapat makan dan minum, sehingga pasien menanggung rasa lapar dan haus yang cukup lama. Semakin lama pemulihan peristaltik usus dari pasien maka semakin lama juga pasien mendapatkan asupan nutrisi dan itu dapat menimbulkan dampak negatif bagi proses penyembuhan pasien pasca operasi. Semakin lama length of stay pasien di rumah sakit semakin buruk penilaian terhadap rumah sakit tersebut. Hal itu dikarenakan length of stay (LOS) merupakan salah satu indikator dari penilaian dalam akreditasi sebuah rumah sakit. Semakin lama pemulihan pasien pasca operasi, semakin lama pula pasien dalam posisi tirah baring. Semakin lama pasien tirah baring akan meningkatkan terjadinya komplikasi seperti pembentukan thrombus sehingga aliran balik vena mengalami hambatan (Windiarto, 2011). Intervensi yang biasanya dilakukan pada pasien pasca pembedahan untuk mempercepat pemulihan motilitas usus antara lain melakukan ambulasi dini pada pasien. Namun, ambulasi dini memiliki peran kecil hingga tidak berarti dalam pemulihan Postoperative ileus, meskipun memiliki kegunaan dalam pencegahan
6
atelektasis, pneumonia, dan trombisis vena dalam. Saat dilakukan evaluasi secara spesifik untuk mengetahui perbedaan aktivitas fisik setelah operasi besar abdomen, menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan dalam pengembalian fungsi usus pada pasien, dapat dibuktikan dari tingkat aktivitas fisik pada pasien yang mendapatkan cara perawatan yang berbeda (Bailey, 2010). Selain itu, penggunaan Nasogastric Tube (NGT) biasanya juga digunakan untuk mempercepat pemulihan motilitas usus. NGT ini telah digunakan selama lebih dari 50 tahun sebagai tindakan yang mendukung pemulihan motilitas usus setelah operasi abdomen. Namun, studi terbaru menunjukkan selang (NGT) tidak harus secara rutin dipasang setelah operasi abdomen. Karena pemasangan selang NGT akan meningkatkan insiden komplikasi paru termasuk pneumonia, atelektasis dan demam (Kehlet, 2008). Menanggapi hal ini, perlunya mencari jalan atau alternative lain untuk mempercepat proses dari pemulihan motilitas usus usus pada pasien apendiktomi. Salah satu intervensi lainnya yang dapat dilakukan oleh perawat dan merupakan intervansi mandiri perawat adalah dengan memberikan kompres hangat. Pada umumnya panas memiliki efek terapeutik, meningkatkan aliran darah ke bagian tubuh yang mengalami cedera. Suhu kompres hangat yang tepat diberikan pada bagian tubuh adalah 43o – 46oC, suhu itu diberikan karena untuk mencegah terjadinya luka bakar yang tidak disengaja (Potter & Perry 2006). Sedangkan menurut Sasmito (2011) suhu yang efektif digunakan untuk mengoptimalkan fungsi saraf, memperbaiki sirkulasi darah dan metabolisme tubuh serta merangsang peningkatan sel darah putih adalah pada suhu sekitar
7
37o - 40oC. Menurut Masanori (2003) suhu yang efektif adalah pada suhu 42oC selama 20 menit, dimana kompres hangat tersebut akan memberikan efek berupa meningkatkan fungsi gastrointestinal, menurunkan tingkat kecemasan, depresi serta tingkat amarah pada pasien. Berdasarkan sumber-sumber diatas, peneliti disini memberikan kompres hangat dengan suhu 40oC – 43oC selama 30 menit yang dilakukan pada abdomen kiri pasien. Pemakaian kompres hangat di suatu area tertentu akan memberikan impuls hangat yang diterima reseptor suhu di bawah kulit abdomen dihantarkan ke sistem saraf pusat oleh serabut saraf tipe C. Hipotalamus mengatur kerja sistem saraf autonom. Saraf parasimpatis pada neuron postganglion yang terangsang akan melepaskan asetilkolin. Asetilkolin yang dilepaskan akan diterima oleh reseptor muskarinik pada pleksus mienterikus intestinal, sehingga pleksus ini akan terangsang. Salah satu efek dari rangsangan pleksus mienterikus yaitu terjadi peningkatan kecepatan konduksi gelombang eksitatorik disepanjang dinding usus, menyebabkan pergerakan motilitas usus lebih capat (Sasmito, 2011). Berdasarkan hal diatas peneliti ingin mengetahui pengaruh dari kompres hangat terhadap motilitas pada pasien apendiktomi. 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti merumuskan masalah
penelitian sebagai berikut : “Apakah ada pengaruh kompres hangat terhadap motilitas usus pada pasien apendiktomi?”
8
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui apakah ada pengaruh kompres hangat terhadap motilitas usus pada pasien apendiktomi 1.3.2 Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi karakteristik pasien apendiktomi menurut usia dan jenis kelamin b. Mengukur nilai motilitas usus sebelum dan sesudah pada pasien kelompok kontrol yang tidak diberikan kompres hangat c. Mengukur nilai motilitas usus sebelum dan sesudah pada pasien apendiktomi kelompok perlakuan yang diberikan kompres hangat d. Menganalisis pengaruh kompres hangat terhadap motilitas usus pada pasien apendiktomi 1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Praktis Melalui penelitain ini di harapkan dapat di jadikan acuan bagi perawat dalam memberikan intervensi untuk meningkatkan motilitas usus dengan menggunakan kompres hangat pada pasien yang menjalani apendiktomi. Untuk rumah sakit, kompres hangat dapat dimasukan di clinical pathway sebagai implementasi pada pasien apendiktomi.
9
1.4.2 Manfaat Teoritis a. Dalam penelitian ini tenaga kesehatan diharapkan hal ini menjadi ajang untuk menambah pengetahuan dan sebagai media penerapan ilmu yang di peroleh. b. Dapat memberikan informasi atau data dasar bagi peneliti selanjutnya bahwa kompres hangat dapat berpengaruh terhadap motilitas usus pada pasein apendiktomi.