BAB I PENDAHULUAN Sebuah artikel di Kompas dengan mengutip majalah Newsweek edisi 9 Juli 2001, mencatat tentang Indonesia bahwa negara dengan sekitar 17.000 pulau ini menyimpan 1.000 titik api yang sewaktu-waktu siap menyala.1 Colombijn dan Lindblad bahkan secara eksplisit menyatakan bahwa Indonesia adalah negara kekerasan: Indonesia adalah negara kekerasan. Orang-orang sipil dan militer kehilangan nyawa mereka dalam konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka dan tentara. Dalam Mei 1998, minggu terakhir sebelum jatuhnya Presiden Soeharto, orang-orang yang memprotes rezim tersebut dibunuh atau dilenyapkan, orang-orang Cina pemilik toko kehilangan nyawa dan harta mereka dan para perempuan Cina diperkosa di depan umum di Jakarta. Dalam minggu yang sama pusat Kota Solo hancur menjadi debu. Para transmigran Madura di Kabupaten Sambas (Kalimantan Barat) dan Sampit (Kalimantan Tengah) telah konflik berkali-kali dengan penduduk Melayu dan Dayak sejak 1996, sehingga banyak orang Madura diusir dari rumah mereka, dibunuh dan terkadang dipenggal lehernya. Dalam pemburuan dukun santet di Banyuwangi (Jawa Timur) sepanjang 1998, ratusan orang dibunuh dan yang lain gantung diri karena takut dituduh mempraktekkan ilmu sihir. Harta gereja dan orang-orang Cina dihancurkan di Situbondo dan Tasikmalaya pada tahun 1996. Orangorang Kristen menyerang dan membunuh muslim-muslim di Poso (Sulawesi Tengah). Konflik-konflik Muslim-Kristen di Maluku merenggut banyak sekali nyawa. Setelah referendum di Timor-Timur, 30 Agustus 1999, para pendukung kemerdekaan orang Timor diancam dan dibunuh, sementara Dili dan kota-kota lain dihancurkan. Provinsi Papua dihantui kekerasan karena keinginan sebagian masyarakat Papua untuk merdeka.2
Gambaran
kekerasan
di
atas
belum
termasuk
teror
bom,
tawuran
antar
kampung/geng/pelajar, penghakiman oleh massa, kekerasan dalam rumah tangga, bunuh diri, kriminalitas sehari-hari seperti perampokan, pembunuhan, pemerkosaan dan sebagainya. Di tengah maraknya kekerasan komunal pasca tumbangnya Rezim Soeharto, Franz Magnis-Suseno mengungkapkan keprihatinannya bahwa kelihatannya masyarakat 1
Maria Hartiningsih, “Mungkinkah Membangun Republik Tanpa Kekerasan?”, dalam Kompas, 3 Juli 2004, h. 41. 2 Freek Colombijn and Thomas Lindblad, “Introduction”, dalam Roots of Violence in Indonesia, h.1.
1
kita sedang sakit, kesalahpahaman kecil di tempat keramaian dapat dengan mudah menjadi pertumpahan darah yang seringkali melibatkan komunitas masing-masing. Apalagi begitu agama terlibat, mekanisme pembentukan solidaritas dapat berubah menjadi gerakan yang berdampak nasional. Meskipun mempunyai latar belakang dan kondisi lokal yang khusus dan berbeda, konflik-konflik ini semakin lama semakin lebih sederhana, yaitu menjadi konfrontasi antara Kristen dan Islam.3
Kekerasan: ilegal, serangan fisik atau luka yang dapat dihindarkan? Kekerasan sering dipahami sebagai penggunaan kekuatan secara ilegal atau amoral. Namun masalahnya, pemahaman tersebut menjadi skandal ketika negara dan agama sebagai pengemban legitimasi, terlibat dalam kekerasan yang banyak makan korban tak berdosa. New Oxford Dictionary 1998 sebagaimana dikutip oleh Colombijn dan Lindblad menyatakan kekerasan adalah tingkah laku yang melibatkan kekuatan fisik dengan maksud untuk melukai, merusak atau membunuh seseorang atau sesuatu.4 Pengertian ini mengandung bias yang bisa menjadi ketidakadilan ketika gerakan non kekerasan / perdamaian hanya diharapkan dari para pelaku kekerasan. Tentang hal ini, Y.B. Mangunwijaya pernah mengatakan dengan sinis bahwa masalah perdamaian memang bukan masalah orang kecil, karena orang kecil selalu menderita terus; yang suka pada perdamaian adalah orang kaya, pemimpin, kaum vested interest.5 Karena itu, seperti dikemukakan oleh Peter W. Macky, sebaiknya kekerasan dipahami sebagai luka yang sebenarnya dapat dihindarkan namun diderita oleh seseorang.6 Definisi ini, kata Macky, memusatkan pada penderitaan korban: tidak ditanyakan apakah penderitaan itu disebabkan oleh serangan fisik atau tidak, juga tidak ditanyakan apakah orang-orang yang terlibat melakukannya sesuai hukum atau tidak. Yang ditanyakan hanyalah apakah orang-orang sudah dilukai padahal sebenarnya dapat dihindarkan jika orang-orang lain peduli untuk itu.
3 Franz Magnis-Suseno, “Faktor-Faktor yang Mendasari Terjadinya Konflik antara Kelompok Etnis dan Agama di Indonesia: Pencegahan dan Pemecahan”, dalam Konflik Komunal di Indonesia Saar Ini, h.121. 4 Freek Colombijn and Thomas Lindblad, Op.Cit, h.3. 5 Y.B. Mangunwijaya, “Perdamaian Itu Bukan Masalah Orang Kecil”, dalam Agama dan Kekerasan, h.70-71. 6 Peter W. Macky, Violence: Right or Wrong?, h.17.
2
Tiga Bentuk Kekerasan dan Akibatnya Dalam buku The Passion of Political Love, Thomas Cullinan mengemukakan tiga bentuk kekerasan, yakni: 1) hot violence: kekerasan berupa serangan fisik; 2) cold violence: kekerasan melalui struktur yang menindas; 3) cool violence: kekerasan berupa pembiaran yang melegitimasi hot violence dan cold violence.7 Sebuah film berjudul The General’s Daughter,8 menceritakan seorang perempuan cantik, kapten Angkatan Darat Amerika Serikat, ditemukan mati dicekik dalam keadaan bugil dengan kedua tangan dan kaki terpentang, terikat pada pasak-pasak tenda. Setelah diusut, sekalipun jelas ada seseorang yang membunuhnya, tidak ada tanda-tanda pemerkosaan. Bahkan terungkap bahwa korban memiliki kehidupan lain yang tersembunyi, yakni ia mengadakan perang psikologis terhadap ayahnya dengan melakukan hubungan seks kekerasan, yang telah dilakukannya dengan hampir semua staf pria ayahnya dan posisi korban ketika dibunuh ternyata merupakan reka ulang sebuah peristiwa yang dialaminya 7 tahun yang sebelumnya, yang ingin ia perlihatkan kepada ayahnya, Sang Jenderal. Peristiwa itu terjadi ketika ia masih di tahun kedua dalam pendidikan militernya dimana ia adalah seorang perempuan cerdas, cemerlang, nomor satu di angkatannya. Dalam sebuah latihan besar-besaran di malam hari, ketika terpisah dari kelompoknya, ia diperkosa sepanjang malam sampai hampir mati oleh setengah lusin tentara bertopeng. Akibatnya ia menderita depresi berat, penyakit kelamin dan hamil. Ayahnya yang sedang bertugas di luar negeri, langsung menjenguknya setelah mengadakan kesepakatan dengan atasannya untuk merahasiakan peristiwa itu, demi Akademi Militer, demi Angkatan Darat, dengan imbalan kenaikan pangkat. Begitu tiba di kamar rumah sakit, Sang Jenderal menggenggam telapak tangan putrinya (yang dibalas dengan genggaman penuh percaya) dan berbisik lembut, “Ayah menyayangimu, percayalah kepada ayah, ayah menghendaki yang terbaik bagimu. Kau percaya kepada ayah, seperti biasanya?” Putrinya mengangguk lemah dengan tatapan penuh harap. Ayahnya balas menatap penuh keyakinan dan berkata lembut tapi mantap, “Lupakanlah…..semua itu tidak pernah terjadi!”, sambil mengecup kening putrinya dengan penuh kasih sayang. Putrinya hanya terbelalak tidak percaya dan genggaman tangannya pun mengendor. Sejak saat itu, ia menyelesaikan pendidikan militernya dan 7 8
Paul Nzacahayo, “Afrika: Rwanda”, dalam Agama sebagai Sumber Kekerasan?, h.5. Film ini disutradarai oleh Simon West berdasarkan novel dari Nelson DeMille dengan judul yang sama.
3
seolah menjalani hidup seperti biasa hingga menjadi seorang kapten. Tetapi di balik semuanya itu, hidupnya tidak pernah sama lagi seperti sebelumnya, karena setelah diperkosa, ia mengalami peristiwa yang lebih buruk lagi: pengkhianatan ayahnya, orang yang paling dipercayainya, seorang jenderal yang diharapkan bisa memberikan keadilan kepadanya. Film tersebut mengilustrasikan dengan gamblang bagaimana kombinasi hot violence (oleh para pemerkosa), cold violence (oleh Akademi Militer, Angkatan Darat dan juga negara) dan cool violence (oleh ayahnya, Sang Jenderal) mengakibatkan luka siksaan yang menyakitkan pada korbannya. Kekerasan merupakan pengkhianatan dan pengkhianatan tidak hanya menyakitkan tetapi juga menghancurkan kepercayaan.
Masyarakat, Agama dan Kekerasan Menurut Durkheim, agama adalah sebuah sistem terpadu kepercayaankepercayaan dan praktek-praktek yang berhubungan dengan hal-hal yang sakral, yakni hal-hal yang terpisah dan terlarang, yang menyatukan semua pendukungnya ke dalam satu komunitas moral yang disebut umat.9 Definisi tersebut didasarkan pada pandangan bahwa fenomena keagamaan selalu mengandaikan pembagian dua bagian terhadap seluruh alam semesta, yang diketahui dan dapat diketahui, ke dalam dua golongan yang mencakup semua yang ada, tetapi secara radikal terpisah satu sama lain. Hal-hal yang sakral adalah hal-hal yang dilindungi dan diisolir oleh larangan-larangan, sedangkan hal-hal yang profan adalah hal-hal yang kepadanya larangan-larangan tersebut diterapkan dan harus tetap berjarak dengan yang sakral.10 Hal-hal yang sakral bukan hanya dipercayai memiliki kekuatan
yang bisa berdampak secara fisik yang
membuatnya ditakuti, tetapi juga merupakan kekuatan moral yang mengikat setiap anggota masyarakat dan mempersatukan mereka dalam sebuah tatanan sosial, yang membuatnya dihormati11 Ciri khas dari hal-hal yang sakral adalah keabsolutannya.12 Sejalan dengan pengertian agama di atas, bisa dikatakan bahwa setiap masyarakat merupakan sebuah komunitas moral, yang anggota-anggotanya dipersatukan oleh fakta bahwa mereka berpikir dengan cara yang sama mengenai dunia yang sakral dan 9
Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life, h.62. Emile Durkheim, Op.Cit, h.56. 11 Emile Durkheim, Op.Cit, h.218-219. 12 Emile Durkheim, Op.Cit, h.53. 10
4
hubungannya dengan dunia yang profan, dan oleh fakta bahwa mereka menerjemahkan ide-ide bersama ini ke dalam praktek-praktek bersama.13 Dengan demikian, masyarakat dipersatukan oleh agama, yang memiliki fungsi identitas (membentuk rasa kebersamaan dan saling memiliki) sekaligus ideologis (menyediakan kerangka interpretasi dan juga legitimasi).14 Karena itu masyarakat tidak bisa lepas dari hal-hal yang sakral. Durkheim mengamati bahwa sepanjang sejarah, masyarakat terus-menerus menciptakan hal-hal yang sakral dari sesuatu yang biasa saja. Masyarakat tidak hanya menyakralkan manusia, tetapi juga segala sesuatu termasuk ide-ide.15 Apa yang membuat sesuatu menjadi sakral? Jawabannya, menurut Durkheim, adalah opini publik, yang ditanamkan melalui pendidikan dan dipelihara oleh praktekpraktek yang menyakralkan hal-hal yang dianggap sakral.16 Opini publik akan berubah ketika masyarakat berubah atau dengan kata-kata Durkheim, hal-hal agung di masa lampau yang membuat leluhur kita sangat antusias, tidak lagi membangkitkan semangat yang sama dalam diri kita karena kita sudah terbiasa sehingga tidak menyadarinya atau karena hal-hal tersebut tidak lagi bisa menjawab aspirasi kita saat ini.17 Tetapi ada satu dimensi yang nampaknya kurang jelas diungkapkan oleh Durkheim, yaitu adanya ancaman kekerasan dalam masyarakat dan bagaimana kekerasan tersebut diubah menjadi sumber daya yang positif bagi masyarakat.18 Girard berpendapat bahwa bukan sekedar opini publik tetapi sebenarnya kekerasan lah yang menyebabkan sesuatu menjadi sakral.19 Kekerasan adalah jantung dan jiwa tersembunyi dari yang sakral.20 Kesakralan dalam agama membuat kita bisa membedakan yang benar dari yang salah, sehingga memberi legitimasi kepada kekerasan yang benar untuk mengalahkan kekerasan yang tidak benar. Karena itulah dikatakan: agama melindungi kita dari kekerasan sama seperti kekerasan mencari perlindungan dalam agama.21 Inilah yang menjadi landasan yang menentukan sistem dan menegakkan struktur sebuah masyarakat, serta membentuk opini publik. 13
Emile Durkheim, Op.Cit, h.59. Francois Houtart, “Kultus Kekerasan Atas Nama Agama: Sebuah Panorama”, dalam Agama sebagai Sumber Kekerasan?, h.xv-xvi. 15 Emile Durkheim, Op.Cit, h.243-244. 16 Emile Durkheim, Op.Cit, h.236-245. 17 Emile Durkheim, Op.Cit, h.475. 18 Rene Girard, Violence and the Sacred, h.306. 19 Rene Girard, Op.Cit, h.1. 20 Rene Girard, Op.Cit, h.31. 21 Rene Girard, Op.Cit, h.24. 14
5
Lebih lanjut dijelaskan oleh Girard bahwa ketika kekerasan yang benar tidak bisa lagi dibedakan dengan kekerasan yang tidak benar, keadilan tidak bisa dibedakan dengan kejahatan, dengan sendirinya telah terjadi desakralisasi terhadap hal-hal sakral yang melandasi struktur masyarakat dan kekerasan yang benar pun kehilangan legitimasinya, sehingga menimbulkan krisis korban dimana kekerasan timbal balik yang menular, menyebar ke seluruh masyarakat.22 Korban-korban akan terus berjatuhan di antara pihak-pihak yang bertikai sampai ditemukannya korban pengganti yang dapat dikambinghitamkan23 atau ditegakkannya sistem hukum yang dapat dipercaya.24
Pluralitas, Ketidakadilan dan Kekerasan di Indonesia Indonesia adalah negara yang sangat plural dari segi budaya. Adeney-Risakotta mengungkapkan bahwa secara tipologis di Indonesia terdapat 3 jaringan makna dengan pola pikir, praktek dan institusi masing-masing, yang saling bersaing, yakni agama, modernitas dan budaya nenek moyang.25 Pluralitasnya akan semakin nampak jika kita menyadari bahwa pada kenyataannya ada beranekaragam jaringan makna dalam setiap tipe jaringan makna dan terjadi dialektika antar jaringan makna yang membentuk antitesis maupun sintesis yang berbeda-beda. Setiap jaringan makna memiliki hal-hal sakralnya sendiri, yang menentukan identitas dan membentuk ideologi komunitasnya. Karena itu persaingan antar jaringan makna yang berbeda di Indonesia memang berpotensi menimbulkan kekerasan komunal. Tetapi apakah bisa dikatakan perbedaan tersebut yang menyebabkan kekerasan? Jika demikian, maka solusinya hanya dua: penyeragaman atau pemisahan. Solusi pertama telah diterapkan oleh Rezim Soeharto dan penyeragaman ternyata identik dengan penindasan terhadap yang berbeda dengan rezim tersebut. Solusi kedua, jika diterapkan dengan konsisten maka akhirnya setiap orang akan hidup terisolir sendirisendiri, karena setiap individu adalah unik. Karena itu tak heran jika pandangan tersebut ditolak dan umumnya orang berpendapat bahwa sumber kekerasan adalah ketidakadilan dalam lingkup lokal, nasional maupun internasional.26 22
Rene Girard, Op.Cit, h.49. Rene Girard, Op.Cit, h.79-80. 24 Rene Girard, Op.Cit, h.15. 25 Bernard T. Adeney-Risakotta, Kuasa, Agama dan Teror di Indonesia, Bab I, h.3-5. 26 Franz Magnis-Suseno, Op.Cit, h.122-124. 23
6
Keadilan adalah sesuatu yang sakral dalam hidup bersama. Plato menyatakan dengan tepat bahwa di mana pun, dalam negara, keluarga, tentara bahkan di antara gerombolan perampok dan pencuri, ketidakadilan mengakibatkan bertindak bersama menjadi tidak mungkin, karena akan terjadi perpecahan, pertengkaran dan apapun akan bermusuhan dengan dirinya sendiri dan dengan segenap lawan dan dengan semua yang adil.27 Namun ketidakadilan sering dimengerti hanya sebagai perlakuan diskriminatif, sehingga mengaburkan masalah sebenarnya. Padahal ketidakadilan bukan hanya dirasakan ketika kita diperlakukan secara diskriminatif, tetapi juga dan terutama ketika orang-orang yang merupakan representasi keadilan (aparat negara, agamawan, pemimpin adat, kaum intelektual, orangtua dan sebagainya) melakukan ketidakadilan, secara sadar atau tidak sadar. Secara sadar, jika ia melakukan ketidakadilan dan tahu bahwa itu tidak adil. Secara tidak sadar, jika ia melakukan ketidakadilan dan mengklaimnya sebagai keadilan, tetapi korbannya merasa bahwa itu tidak adil. Keduanya dan terutama yang kedua, tidak hanya menyakitkan korbannya, tetapi juga melenyapkan kepercayaan orang terhadap hal-hal sakral yang diwakili pelakunya. Karena itu ketidakadilan adalah identik dengan kekerasan. Akar kekerasan adalah lenyapnya perbedaan antara yang sakral dengan yang profan, antara keadilan dengan ketidakadilan, antara kebaikan dengan kejahatan. Ketika keadilan nampak sebagai ketidakadilan dan kebaikan dirasakan sebagai kejahatan, maka orang-orang akan kehilangan kepercayaan terhadap semua itu dan beralih kepada halhal sakral yang lain. Jika masyarakat kehilangan kepercayaan kepada hukum, maka mereka akan beralih suku, agama, ras dan golongan. Jika masyarakat tidak bisa lagi percaya kepada demokrasi maka mereka akan kembali kepada otoritarianisme atau militerisme. Jika mereka tidak percaya lagi kepada kapitalisme, mereka akan menganut komunisme, sosialisme atau feodalisme. Di Indonesia, kekerasan memiliki sejarah yang sangat panjang, bahkan Nordholt menyebutnya sebagai genealogi kekerasan yang yang dapat ditelusuri jejaknya hingga zaman pra kolonial. Kekerasan yang menyeret kita semakin jauh dari negara hukum menuju ke negara preman.28 Mungkin hukum dan keadilan di negeri ini sudah kehilangan sebagian besar kesakralannya pada tahun 1965 ketika militer bersama-sama dengan orang-orang beragama membantai ratusan ribu sampai jutaan orang-orang 27 28
Franz Magnis-Suseno, 13 Model Pendekatan Etika, h.30-31. Henk Schulte Nordholt, “A Genealogy of Violence”, dalam Roots of Violence in Indonesia, h.33-54.
7
Indonesia yang dianggap komunis (baca: atheis).29 Kemudian untuk membenarkan semua itu, pemerintah mendirikan Monumen Pancasila Sakti guna memperingati kekejaman komunis dan kepahlawanan militer, monumen yang menciptakan mitos yang melandasi berdirinya Orde Baru. Mitos tersebut menjadi luntur karena kekejaman militer sendiri dan diungkapnya versi lain dari peristiwa 1965, yakni versi korban. Masalahnya sekarang bukan rekonsiliasi yang bisa diselesaikan hanya dengan meminta maaf, tetapi bagaimana mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap hukum dan keadilan di negeri ini. Gambarannya adalah seperti yang diungkapkan oleh Pramoedya Ananta Toer sebagai tanggapan terhadap tulisan Goenawan Mohamad yang menegurnya karena menolak permintaan maaf Abdurahman Wahid saat menjadi presiden: Saya menganggap permintaan maaf Gus Dur dan idenya tentang rekonsiliasi cuma basa-basi. Dan gampang amat meminta maaf setelah semua yang terjadi itu. Saya tidak memerlukan basa-basi. Gus Dur pertama-tama harus menjelaskan dia berbicara atas nama siapa. Mengapa harus dia yang mengatakannya? Kalau dia mewakili suatu kelompok, NU misalnya, kenapa dia berbicara sebagai presiden? Dan jika dia berbicara sebagai presiden, kenapa lembaga-lembaga negara dilewatinya begitu saja? Sekalipun dalam kapasitasnya sebagai presiden, Gus Dur tidak bisa meminta maaf. Negara ini mempunyai lembagalembaga perwakilan, dan biarkan lembaga negara seperti DPR dan MPR mengatakannya. Bukan Gus Dur yang harus mengatakan itu. Yang saya inginkan adalah tegaknya hokum dan keadilan di Indonesia. Orang seperti saya menderita karena tiadanya hokum dan keadilan. Saya kira masalah ini urusan negara, menyangkut DPR dan MPR, tetapi mereka tidak bicara apa-apa. Itu sebabnya saya menganggapnya sebagai basa-basi. Saya tidak mudah memaafkan orang karena sudah terlampau pahit menjadi orang Indonesia. Buku-buku saya menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah lanjutan di Amerika, tetapi di Indonesia dilarang. Hak saya sebagai pengarang selama 43 tahun dirampas habis. Saya menghabiskan hampir separuh usia saya di Pulau Buru dengan siksaan, penghinaan dan penganiayaan. Keluarga saya mengalami penderitaan yang luar biasa. Salah satu anak saya pernah melerai perkelahian di sekolah, tapi ketika tahu bapaknya tapol justru dikeroyok. Isteri saya berjualan untuk bertahan hidup, tapi selalu direcoki setelah tahu saya tapol. Bahkan sampai ketua RT tidak mau membuatkan KTP. Rumah saya di Rawamangun Utara dirampas dan diduduki militer, sampai sekarang. Buku dan naskah karyakarya saya dibakar. Basa-basi baik saja, tapi hanya basa-basi. Selanjutnya mau apa? 29
Henk Schulte Nordholt, Op.Cit, h.43-44.
8
Maukah negara mengganti kerugian orang-orang seperti saya? Negara mungkin harus berutang lagi untuk menebus mengganti semua yang saya miliki. Minta maaf saja tidak cukup. Dirikan dan tegakkan hokum. Semuanya mesti lewat hukum. Jadikan itu keputusan DPR dan MPR. Tidak bisa begitu saja basa-basi minta maaf. Tidak pernah ada pengadilan terhadap saya sebelum dijebloskan ke Buru. Semua menganggap saya sebagai barang mainan. Betapa sakitnya ketika pada 1965 saya dikeroyok habis-habisan, sementara pemerintah yang berkewajiban melindungi justru menangkap saya. Ketika dibebaskan 14 tahun lalu, saya menerima surat keterangan bahwa saya tidak terlibat G30S-PKI. Namun, setelah itu tidak ada tindakan apa-apa. Dalam buku saya Nyanyi Sunyi Seorang Bisu yang terbit pada 1990 juga terdapat daftar 40 tapol yang dibunuh Angkatan Darat. Tapi tidak pernah pula ada tindakan. Saya sudah kehilangan kepercayaan. Saya tidak percaya Gus Dur. Dia, seperti juga Goenawan Mohamad, adalah bagian dari Orde Baru. Ikut mendirikan rezim. Saya tidak percaya dengan semua elite politik Indonesia. Tak terkecuali para intelektualnya; mereka selama ini memilih diam dan menerima fasisme. Mereka semua ikut bertanggung jawab atas penderitaan yang saya alami. Mereka ikut bertanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan Orde Baru.30
Yang gawat, sampai saat ini pun tentara nampaknya masih alergi dengan kata “kebenaran”, sehingga menghendaki kata itu dihapuskan dari judul Rancangan UndangUndang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Katanya, “Kalau semuanya diungkap, akan jauh dari rujuk karena akan ada pengadilan. Mari kita kubur masa lalu dan menuju masa depan.” 31 Menarik sekali bahwa di sini rujuk dipertentangkan dengan pengadilan, rekonsiliasi dipertentangkan dengan keadilan. Pandangan demikian sebenarnya bukan hanya dianut oleh tentara, tetapi juga mungkin oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Bukankah kebanyakan kita lebih suka “damai” daripada berurusan dengan pengadilan? Mengapa? Pertama, mungkin karena kita sendiri bersalah dan takut dihukum; kedua, baik salah ataupun tidak, kita takut diperlakukan tidak adil oleh pengadilan. Mengenai yang kedua, Kwik Kian Gie menggambarkan dengan lugas bahwa dalam sistem pengadilan kita, dari penyidikan sampai vonis hukum dijadikan ajang komersial
30 Pramoedya Ananta Toer, “Saya Bukan Nelson Mandela (Tanggapan buat Goenawan Mohamad)”, dalam Pramoedya Ananta Toer: Perahu yang Setia dalam Badai, h.110. Merupakan tanggapan atas tulisan Goenawan Mohamad yang memintanya untuk menerima permintaan maaf Abdurrahman Wahid, seperti Mandela memaafkan rezim kulit putih yang telah menindas bangsanya, bahkan memenjarakannya. 31 SUT, “Pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Titik Beratkan Rekonsiliasi”, dalam Kompas, 20 Juli 2004, h.9.
9
sehingga yang membayar lebih banyak yang menang.32 Bagaimana bisa ada rekonsiliasi tanpa kebenaran / keadilan. Jika keadilan tidak ditegakkan, orang-orang tidak akan percaya kepada keadilan, dan rekonsiliasi yang dihasilkan pun semu. Hanya kelihatannya saja damai, tetapi sebenarnya tetap ada “perang dingin” yang menunggu pemicu dan kesempatan untuk menjadi kekerasan terbuka. Dalam cerpennya, Puthut E.A mengisahkan bagaimana narator sebagai seorang peneliti di sebuah daerah bernama Dalam, merasa diteror oleh sepasang mata. Ia menjadi ketakutan sekaligus penasaran, sampai pemilik mata itu sendiri bercerita kepadanya: Waktu aku kecil, Dalam adalah hutan yang menghijau…..Hanya beberapa keluarga yang tinggal di sana….Kami hidup dari hutan. Lalu datanglah orang-orang itu, orang-orang yang mengaku berpendidikan. Mereka membangun kompleks perumahan untuk orang-orang yang mengelola hutan. Lalu satu per satu kemudian, ada sekolahan, ada tempat ibadah, ada tanah lapang. Dalam beberapa tahun, banyak sekali orang yang datang. Tiba-tiba kami punya pasar, balai desa, jalan diperlebar, angkutan dan mobil melintas. Membawa baru, dan membawa pergi apaapa yang dulu kami hormati dan junjung tinggi. Mau tidak mau kami masuk dalam kehidupan mereka. Anak-anak dari keluarga kami bersekolah, hutan dan alam adalah uang. Listrik masuk. Tidak terlalu ada beda antara siang dan malam. Ikan-ikan di sungai menyusut, binatang-binatang hutan langka. Hutan-hutan diatur dan dipetak-petak. Kami tidak bisa leluasa lagi keluar masuk hutan, mendapatkan apa yang kami butuhkan . Mereka menjaga hutan seperti menjaga barang perhiasan. Mereka membawa senapan yang siap ditembakkan bagi penebangan-penebangan. Tetap saja ada kayu yang hilang, yang tidak mungkin kami lakukan. Orang-orang kekurangan uang yang melakukannya, dan mereka mendiamkannya, bahkan ada yang diamdiam dari mereka sengaja melindungi dan membantu menjualnya….Mereka bilang akan mengelola hutan dengan baik, tapi itu semua bohong, Diam-diam di antara mereka sendiri telah mencurinya. Mereka tidak benar-benar menjaga alam. Orang-orang yang dulu menggantungkan hidupnya dari hutan diajari bertani dengan sistem tumpang sari, tapi kebutuhan yang diajarkan mereka datang lebih cepat dan besar. Kami berubah dengan merasa semakin miskin. Tiba-tiba kami ingin punya televisi, ingin punya sepeda motor, dan hasil dari pertanian seperti itu tidak memungkinkan. Lalu di antara kami yang menebangnya, menjual dengan diam-diam ke orangorang mereka. Tetap juga mereka yang kaya. Yang menebang yang kena resikonya , tapi mendapatkan hasil yang tidak seberapa. Jika ada pemeriksaan dari pusat, kami yang kena. Rumah-rumah kami digeledah, 32
Kwik Kian Gie, “KKN Akar Semua Permasalahan Bangsa”, dalam Kompas, 4 Agustus 2004, h.4.
10
atau saat kami menebang, mereka datang bersenjata dan menangkap kami. Harus tetap ada yang dianggap pencuri, sekalipun hasil terbesarnya ada pada mereka sendiri…..Sekarang, hutan itu habis. Terbukti mereka tidak bisa menjaganya, sebab mereka sendiri yang mencurinya. Memang ada beberapa di antara kami yang menebangnya, itu karena kebutuhan yang mereka ajarkan. Anak-anak kami yang merengek minta sepeda dan mobil-mobilan. Perempuan-perempuan kami harus ikut arisan, rapat, pengajian. Semua itu artinya uang. Itu pun tidak seberapa yang kami dapatkan, dibanding dengan yang mereka dapatkan. Sebentar lagi, bukitbukit itu juga akan rata dengan tanah. Setelah tidak ada kayu, mereka akan mengambil tanah dan batu.33
Selanjutnya, yang tak kalah menarik adalah reaksi narator: Aku terperanjat seperti diingatkan. Dengan cepat kuraba tas punggung yang ada di samping dudukku. Tas berisi berkas-berkas penelitian tentang kandungan tanah dan batu di daerah Dalam.34
Cerita tersebut jelas berlatarbelakang proses pembangunan dimana sebuah hutan berubah menjadi desa. Namun kita bisa membayangkan pola umum yang sama berlaku dalam pembangunan desa menjadi kota kecil, kota kecil menjadi kota besar, dan seterusnya. Dari sudut pandang kaum proletar, mitos pembangunan memiliki pola yang sama, yaitu eksploitasi, penggusuran dan penindasan. Berdasarkan data yang dikumpulkan hingga Februari 2004, Biro Pusat Statistik melaporkan bahwa angka kemiskinan Indonesia mencapai 16,6 persen.35 Ini berarti, di antara 217 juta penduduk Indonesia 36,1 juta orang miskin. Yang dimaksud miskin adalah orang yang mengkonsumsi kurang dari 2100 kalori per hari dan tidak dapat memenuhi kebutuhan nonpangan yang mendasar. Bayangkan! 36,1 juta orang yang kelaparan, kekurangan pakaian dan mungkin tidak punya rumah atau tinggal di rumahrumah kumuh yang sewaktu-waktu bisa digusur, rentan terhadap penyakit atau kalau sakit tidak punya uang untuk berobat, anak-anaknya tidak bisa bersekolah karena tidak ada biaya yang kalau tidak membantu orangtuanya, terpaksa mengamen atau mengemis. Belum lagi jika mereka membandingkan hidup mereka dengan kemewahan orang lain yang mereka lihat secara langsung atau melalui media massa. Kemudian pemerintah 33
Puthut E.A, “Sisa Badai di Sepasang Mata”, dalam Kompas, 13 Juli 2003, h.18. Ibid. 35 HAR/FEY, “BPS: Ada 36,1 Juta Penduduk Miskin”, dalam Kompas, 15 Juni 2004, h.13. 34
11
yang mereka asumsikan seharusnya menolong malah mempersulit hidup mereka dan menggusur mereka dengan pistol dan pentungan. Sehingga seorang di antara mereka mengatakan sesuatu yang mungkin mewakili perasaan banyak orang di negeri ini: “Nyari uang sekarang susah. Mengapa kami tidak diberi kesempatan. Ini negara apa?” Pertanyaan tersebut bisa dijawab: “Ini negara yang membela wong gedhe, bukan negara yang baik buat wong cilik memperbaiki nasibnya!” 36 Jika negara tidak lagi dipercaya, maka hukum dan keadilan akan terletak di tangan orang-orang yang merasa menjadi korban dan komunitasnya. Karena masyarakat kita sangat plural, hukum dan keadilan macam itu mudah sekali menjadi kekerasan komunal: pengeroyokan, tawuran, kekerasan antar golongan, etnis maupun agama. Dan kekerasan tersebut biasanya diwarnai pengkambinghitaman berdasarkan cerita masa lalu setiap komunitas, dan kambing hitamnya bisa siapa saja: teroris, kaum fundamentalis, orang-orang PKI, sisa-sisa Orde Baru, pendukung RMS, Amerika, dan sebagainya; namun siapapun kambing hitamnya, yang menjadi korban biasanya adalah orang-orang yang lemah. Girard mengatakan bahwa sepanjang tidak ada lembaga yang berkuasa dan independen yang mampu mengambil alih tempat pihak-pihak yang menjadi korban dan meletakkan atas dirinya tanggung jawab pembalasan, kekerasan akan terus meningkat dan tak berkesudahan.37
Pengorbanan: Kewajiban Suci atau Aktivitas Kriminal? Kisah Abraham yang bersedia mengorbankan anaknya demi ketaatan kepada Allah merupakan harta karun bersama, rahasia menggentarkan tentang mysterium tremendum, yang dimiliki tiga agama Kitab, agama-agama dari ras Abraham.38 Tradisi Yahudi menyatakan kisah ini sebagai raison d’etre Israel dalam pandangan Bapa di surga, yang membentuk sebuah cerita yang akrab dengan pengabdian sehari-hari orang Israel.39 Dalam tradisi Kristen, kisah ini umumnya dipandang sebagai bayangan pengorbanan yang sempurna dari Yesus Kristus.40 Dan dalam tradisi Islam, Ibrahim
36
Benny Susetyo, “Negara (untuk) Wong Gedhe”, dalam Kompas, 9 Oktober 2003, h.35. Rene Girard, Op.Cit, h.17. 38 Jacques Derrida, The Gift of Death, h.64. 39 Nehema Leibowitz, Studies in Bereshit (Genesis): In the Context of Ancient and Modern Jewish Bible Commentary, h.188. 40 Walter Lempp, Tafsiran Alkitab: Kejadian 12:4 – 25:18, h.279-283. 37
12
dalam kisah ini adalah simbol manusia yang menempatkan dirinya dalam barisan orangorang yang baginya pengorbanan diri demi melayani Allah adalah sesuatu yang paling utama dalam hidup ini.41 Namun, sebagaimana diungkapkan Derrida, ada semacam ironi dimana pembacaan, interpretasi dan tradisi tentang kisah pengorbanan dalam Kejadian 22:1-19 telah menjadi situs pengorbanan berdarah setiap hari: Mesin-mesin kematian yang tak terhitung jumlahnya memulai perang di mana-mana. Bukan perang antara responsibilitas dan irresponsibilitas tetapi hanya antara persembahan-persembahan yang berbeda dari pengorbanan yang sama, tatanan-tatanan responsibilitas yang berbeda, tatanan-tatanan lain yang berbeda: religius dan etis, religius dan etispolitis, teologis dan politis, teologis-politis, teokratis dan etis-politis, dan seterusnya; tertutup dan terbuka, profan dan sakral, khusus dan umum, manusia dan bukan manusia. Perang pengorbanan berkobar tidak hanya di antara agama-agama Kitab dan ras-ras Abraham yang jelas merujuk kepada pengorbanan Ishak, Abraham atau Ibrahim, tetapi antara mereka dan dunia miskin lainnya, dalam mayoritas luas umat manusia dan juga mereka yang hidup (tanpa menyebut yang lain, mati atau tidak hidup, mati atau belum lahir) yang bukan umat Abraham atau Ibrahim, semua yang lain yang baginya nama Abraham atau Ibrahim tidak berarti apapun karena nama itu tidak berhubungan dengan apapun.42 Nampaknya, sekalipun dalam masyarakat yang memandang ritual pengorbanan hewan sebagai perbuatan yang menjijikkan, tidak berguna dan kejam,43 pengorbanan manusia tetap menjadi ritual sehari-hari. Menurut Girard, ada ambivalensi dalam ritual pengorbanan dimana tindakan pengorbanan memiliki dua aspek yang berlawanan, sekali waktu nampak sebagai kewajiban suci yang jika diabaikan akan mengakibatkan bahaya besar, di lain waktu nampak sebagai aktivitas kriminal yang dapat menimbulkan bahaya yang sama besarnya.44 Tetapi banyak penafsir modern yang berusaha menghindari ambivalensi tersebut untuk mencegah asosiasi apalagi identifikasi agama dengan kekerasan.
Biasanya
penghindaran itu dilakukan dengan menolak unsur pengorbanan manusia dalam Kejadian 22:1-19. Pengorbanan Ishak menimbulkan kontradiksi dimana banyak penafsir memuji kebesaran Abraham yang begitu mengasihi Allah sehingga bersedia 41
Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur-an: Text, Translation & Commentary, h.1206. Jacques Derrida, Op.Cit, h.70. 43 Robert Davidson, Knowing Christianity: The Old Testament, h.104. 44 Rene Girard, Op.Cit, h.1. 42
13
mengorbankan yang terbaik kepadaNya, namun ketika benar-benar ada orang yang meyakini bahwa yang terbaik itu adalah Ishak atau anaknya sendiri, maka orang itu akan dihakimi sebagai penyembah berhala atau orang yang kerasukan setan.45
Inilah
yang disebut oleh Kierkegaard sebagai kontradiksi antara ekspresi etis (membunuh Ishak) dan ekspresi religius (mengorbankan Ishak).46 Kontradiksi menimbulkan ancaman kehilangan iman sehingga mendorong orang saleh untuk membela Allah dengan berusaha memisahkan antara agama dan kekerasan, antara perintah Allah dengan keinginannya sendiri, sebagaimana digambarkan oleh Kierkegaard:
Ia mendaki Gunung Moria, tetapi Ishak tidak memahaminya. Lalu tiba-tiba Abraham berpaling darinya, dan ketika Ishak kembali menatap, wajah Abraham telah berubah, sorot matanya liar, rupanya mengerikan. Ia mencengkeram leher Ishak, melemparkannya ke tanah, dan katanya, “Anak bodoh, apa kau anggap aku ini ayahmu? Aku adalah seorang penyembah berhala. Apa kau anggap ini adalah perintah Allah? Bukan, ini adalah keinginanku sendiri.” Ishak gemetar dan dalam kengeriannya berseru, “Oh Allah di surga, kasihanilah aku. Allah Abraham, kasihanilah aku. Karena aku tidak punya ayah di bumi, jadilah Engkau ayahku!” Tetapi dengan suara rendah Abraham berkata kepada dirinya sendiri, “Oh Tuhan di surga, terima kasih. Sesudah semua ini, lebih baik baginya untuk percaya bahwa aku seorang monster, daripada ia harus kehilangan imannya kepadaMu.” 47
Dalam gambaran tersebut, Abraham menyatakan kepada Ishak bahwa Allah tidak pernah memerintahkannya untuk membunuh Ishak dan usaha untuk membunuh Ishak berasal dari keinginannya sendiri, namun kenyataannya ia berusaha membunuh Ishak demi menjalankan tugas dari Allah. Tindakan Abraham tersebut justru menunjukkan bahwa esensi perbedaannya bukan terletak antara agama dan kekerasan, melainkan antara kekerasan yang benar yang diperintahkan oleh Allah dengan kekerasan yang tidak benar yang berasal dari keinginan sendiri. Kekerasan yang tidak benar dipandang sebagai penyembahan berhala, sedangkan kekerasan yang benar merupakan penyembahan kepada Allah.
45
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling and The Sickness unto Death, h.39-40. Søren Kierkegaard, Op.Cit, h.41. 47 Søren Kierkegaard, Op.Cit, h.27. 46
14
Dari ilustrasi di atas, bisa disimpulkankan sebuah masalah, yaitu penafsiran Kejadian 22:1-19 yang menghindari ambivalensi pengorbanan untuk memisahkan kekerasan
dari
agama,
tidaklah
menghilangkan
kekerasan
melainkan
menyembunyikannya. Selanjutnya, hipotesis yang hendak dibuktikan lewat tulisan ini adalah penafsiran Kejadian 22:1-19 bisa menghindari atau mengungkapkan adanya ambivalensi dalam pengorbanan dan penafsiran yang mengungkapkan ambivalensi tersebut akan menyediakan paradigma yang lebih berguna dalam memahami kekerasan di Indonesia.
Metodologi Asumsi dalam tulisan ini adalah ada ambivalensi dalam pengorbanan dan penafsiran modern terhadap Kejadian 22:1-19 cenderung menghindari ambivalensi tersebut. Ambivalensi ini bisa diungkap secara jelas jika teks tersebut dipahami dalam kerangka ritual pengorbanan dan kemudian potensi kekerasannya disingkapkan. Paradigma adalah konsep yang diterima secara umum dalam sebuah komunitas intelektual untuk menjelaskan proses, gagasan atau kumpulan data yang kompleks.48 Penafsiran ini menggunakan pendekatan paradigmatik, yaitu dengan sengaja memanfaatkan konsep tertentu untuk memahami teks, dengan tujuan untuk melihat aspek tertentu dari teks tersebut. Ada tiga paradigma yang akan digunakan untuk memahami teks, yakni paradigma legal-etis, yang menolak pengorbanan Ishak sebagai perintah Allah, paradigma ritual pengorbanan, yang menerima pengorbanan Ishak sebagai kewajiban suci dari Allah, dan paradigma Teori Korban Pengganti dari René Girard, yang mengakui adanya ambivalensi dalam pengorbanan. Pertama, paradigma legal-etis akan digunakan untuk menggambarkan penafsiran modern dan usahanya untuk menghindari ambivalensi pengorbanan. Kedua, paradigma ritual pengorbanan akan digunakan dalam menafsirkan teks untuk mengungkap segi kesakralan dari sebuah pengorbanan. Ketiga,
untuk
menyingkapkan
segi kekerasan
pengorbanan, digunakan Teori Korban Pengganti dari Rene Girard.
kriminal dalam
49
Selain itu, untuk mendapatkan bahan-bahan yang berguna dalam mengembangkan penafsiran ini, dilakukan studi literatur terhadap penafsiran-penafsiran yang 48 49
Bnd. Webster’s New World College Dictionary 1995, h.979. Rene Girard, Op.Cit, h.309.
15
menggunakan metode kritik historis maupun kritik narasi, dari tradisi Kristen maupun Yahudi.
Sistematika Bab I dalam tulisan merupakan Pendahuluan, yang menjelaskan latar belakang, asumsi-asumsi, hipotesis, metodologi maupun sistematikanya. Kemudian dalam Bab II Menyelamatkan Akedah secara Etis?, akan disajikan tafsiran-tafsiran modern yang dianggap cukup paradigmatik, yaitu tafsiran dari Shalom Spiegel, Gerhard von Rad dan Claus Westermann. Tafsiran-tafsiran tersebut akan dibahas secara kritis untuk mengungkapkan bagaimana usaha mereka menyelamatkan kisah ini secara etis, merupakan penghindaran terhadap ambivalensi pengorbanan. Lalu dalam Bab III Pengorbanan dalam Teror, akan diungkap segi kesakralan pengorbanan melalui penafsiran teks dengan paradigma ritual pengorbanan. Dengan menghubungkan pencobaan, pengorbanan dan berkat Allah, akan diungkapkan eskatisme sekaligus antusiasme dalam Akedah. Selanjutnya, Bab IV Rahasia Akedah: Kekerasan, menyajikan penafsiran teks dengan teori Korban Pengganti dari Rene Girard untuk menyingkapkan bagaimana pengorbanan sebagai kewajiban suci, bisa menjadi kekerasan yang bersifat kriminal. Akhirnya, Bab V Penutup, merupakan kesimpulan umum dan juga akan dikemukakan relevansi penafsiran yang mengungkapkan ambivalensi pengorbanan dalam memahami kekerasan di Indonesia.
16