BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Agroekosistem merupakan ekosistem yang dimodifikasi dan dimanfaatkan secara langsung atau tidak langsung oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan akan pangan dan atau sandang. Karakteristik esensial dari suatu agroekosistem terdiri dari empat sifat utama
yaitu
produktivitas
(productivity),
kestabilan
(stability),
keberlanjutan
(sustainability) dan kemerataan (equitability). Untuk mencapai tujuannya, kriteria yang digunakan untuk menentukan karakteristik agroekosistem meliputi ekosistem, ekonomi, sosial, dan teknologi yang digunakan dalam budidaya. Salah satu agroekosistem yang ada, terutama dimanfaatkan dalam konservasi adalah sistem agroforestri. Manajemen agroekosistem adalah kegiatan mengelola ekosistem pada lahan pertanian sedemikian rupa sehingga seperti keadaan yang alamiah dan berkelanjutan, keadaan seperti ini diupayakan oleh manusia. Manajemen agroekosistem meliputi tiga aspek, yaitu aspek Hama Penyakit Tanaman, aspek Tanah dan aspek Budidaya Pertanian. Ketiga aspek tersebut sangat berhubungan erat satu sama lain dan juga saling mempengaruhi. Ketiga aspek tersebut dapat kita jumpai pada lahan pertanian di Desa Bayem Kecamatan Kasembon Kabupaten Malang, pada lahan pertamian ini dengan tanaman komoditas padi dapat dijumpai dua system pengelolaan hama dan penyakit yaitu, dengan pengelolaan hama terpadu (PHT) dan non pengelolaan hama terpadu (non-PHT). Untuk budiaya penanaman padi menggunakan system tanam monokultur dengan pola tanam jajar legowo, pola tanam ini bertujuan untuk mengurangi intensitas serangan hama tikus. Untuk tanah yang ada di lahan tersebut diberikan pupuk anorganik dan bokasi (bahan organic kaya nutrisi), pemberian pupuk ini perlahan-lahan sudah mulai berubah menuju pupuk alami. Dilihat dari tiga aspek tersebut dapat terlihat bahwa petani sudah menerapkan system manajemen agroekosistem yang berkelanjutan. Keadaan ini diharapkan terus berjalan dan semakin baik agar didapatkan hasil produksi pertanian yang optimal baik secara kualitas dmaupun kuantitasnya, namun juga memperhatikan keseimbangan lingkungan yang ada.
1
1.2.Tujuan -
Untuk mengetahui agroekosistem lahan basah dan lahan kering
-
Untuk mengetahui agroekosistem yang ada di lahan dengan komoditas padi
-
Untuk mengetahui hubungan tiga aspek dalam manajemen agroekosistem
1.3.Manfaat Adapun manfaat dari pembuatan makalah dan praktikum ini adalah dapat mengetahui dan memahami agroekosistem yang ada pada lahan pertanian padi serta dapat menganalisi hubungan antara aspek HPT, BP, dan TANAH dalam manajemen agroekosotem.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Agroekosistem Lahan Basah Lahan basah atau wetland (Ingg.) adalah wilayah-wilayah di mana tanahnya jenuh dengan air, baik bersifat permanen (menetap) atau musiman. Wilayah-wilayah itu sebagian atau seluruhnya kadang-kadang tergenangi oleh lapisan air yang dangkal. Digolongkan ke dalam lahan basah ini, di antaranya, adalah rawa-rawa (termasuk rawa bakau), paya, dan gambut. Air yang menggenangi lahan basah dapat tergolong ke dalam air tawar, payau atau asin. Lahan basah merupakan wilayah yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dibandingkan dengan kebanyakan ekosistem. Di atas lahan basah tumbuh berbagai macam tipe vegetasi(masyarakat tetumbuhan), seperti hutan rawa air tawar, hutan rawa gambut, hutan bakau, paya rumputdan lain-lain. Pada sisi yang lain, banyak kawasan lahan basah yang merupakan lahan yang subur, sehingga kerap dibuka, dikeringkan dan dikonversi menjadi
lahan-lahan pertanian.
Baik
sebagai
lahan persawahan,
lokasi
pertambakan, maupun --di Indonesia-- sebagai wilayah transmigrasi.Mengingat nilainya yang tinggi itu, di banyak negara lahan-lahan basah ini diawasi dengan ketat penggunaannya serta dimasukkan ke dalam program-program konservasi dan rancangan pelestarian keanekaragaman hayati semisal Biodiversity Action Plan. Lahan basah digolongkan baik ke dalam bioma maupun ekosistem. Lahan basah dibedakan dari perairan dan juga dari tataguna lahan lainnya berdasarkan tingginya muka air dan juga tipe vegetasi yang tumbuh di atasnya. Lahan basah dicirikan oleh muka air tanah yang relatif dangkal, dekat dengan permukaan tanah, pada waktu yang cukup lama sepanjang tahun untuk menumbuhkan hidrofita, yakni tetumbuhan yang khas tumbuh di wilayah basah. (Anonymousa, 2012) 2.2.Agroekosistem Lahan Kering Lahan kering adalah bagian dari ekosistem teresterial yang luasnya relatif luas dibandingkan dengan lahan basah (Odum, 1971).
Selanjutnya menurut Hidayat dkk
(2000) lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi air atau tergenang air pada sebagian waktu selama setahun. Lahan kering secara keseluruhan memiliki luas lebih kurang 70 %.
Pada saat ini pemanfaatan lahan kering untuk 3
keperluan pertanian baik tanaman semusim maupun tanaman tahunan/ perkebunan sudah sangat berkembang. Pertambahan jumlah penduduk yang terjadi dengan sangat cepat menyebabkan kebutuhan akan bahan pangan dan perumahan juga akan meningkat. Sejalan dengan itu pengembangan lahan kering untuk pertanian tanaman pangan dan perkebunan untuk memenuhi kebutuhan sudah merupakan keharusan. Usaha intensifikasi dengan pola usaha tani belum bisa memenuhi kebutuhan.
Upaya lainnya dengan
pembukaan lahan baru sudah tidak terelakkan lagi. Lahan kering dapat dibagi dalam dua golongan yaitu lahan kering dataran rendah yang berada pada ketinggian antara 0 – 700 meter dpl dan lahan kering dataran tinggi barada pada ketinggi diatas 700 meter dpl (Hidayat, 2000). Pengelolaan agrokosistem lahan kering dipandang sebagai bagian dari pengelolaan ekosistem sumberdaya alam oleh masyarakat petani yang menempati areal dimana mereka menetap. Masyarakat petani menanami lahan pertanian dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dapat dikatakan sebagai bagian dari pengelolaan agroekosistem lahan kering di daerahnya. Menurut Soerianegara (1977) pengelolaan agroekosistem lahan kering merupakan bagian dari interaksi atau kerja sama masyarakat dengan agroekosistem sumberdaya alam.
Pengelolaan agroekosistem lahan kering
merupakan usaha atau upaya masyarakan pedesaan dalam mengubah atau memodifikasi ekosistem sumberdaya alam
agar bisa diperoleh
manfaat yang maksimal dengan
mengusahakan kontinuitas produksinya. Komoditas yang diusahatan tentunya disesuaikan dengan kondisi setempat dan manfaat ekonomi termasuk pemasaran.
Dalam
pembangunan pertanian berkelanjutan pengelolaan agroekosistem lahan kering dapat dipandang sebagai upaya memperbaiki dan memperbaharui sumberdaya alam yang bisa dipulihkan (renewable resourses) di daerahnya. Dalam pemanfaatan sumberdaya lahan kering untuk pertanian berkelanjutan memerlukan pendekatan lingkungan dan mengikuti kaidah pelestarian lingkungan. Pengelolaan lahan pertanian khususnya lahan kering yang lestari dan berkelanjutan memerlukan penanganan yang profesional dan mengikuti kaidah lingkungan. Menurut Goenadi (2002)
pengelolaan lahan pertanian berkelanjutan memiliki lima pilar
penyangga, yaitu Produktifitas, keamanan, proteksi, viabilitas dan akseptibilitas. Pada lahan miring dengan kemiringan diatas 15 % aapabila tanah tidak dikelola dengan baik/ditanami, maka sangat rentan terhadap terjadinya erosi diwaktu hujan. Hal ini terjadi karena tanah tidak mampu meresapkan air hujan kedalam tanah, sehingga terjadi aliran permukaan (Run of) yang menghanyutkan butiran-butiran tanah sehingga tanah menjadi tidak subur lagi. Menurut Sutono dkk (2007) akibat erosi yang terjadi selama 4
musim hujan tidak hanya menghanyutkan butiran-butiran tanah akan tetapi juga menghanyutkan pupuk dan kompos yang diberikan ketanah juga ikut hanyut sehingga tanah menjadi kurus, oleh sebab itu erosi harus dicegah sedini mungkin. Dampak dari terjaninya erosi ini adalah di daerah bagian bawah terjadinya pendangkalan pada daerah aliran sungai (DAS) yang berakibat terjadinya gangguan keseimbangan ekosistim air setempat. (Anonymousb, 2012) 2.3.Kualitas Tanah dan Kesehatan Tanah a. Kualitas Tanah Menurut The Soil Science Society of Amerika, yang dimaksud dengan Kualitas Tanah (soil quality) adalah kapasitas dari suatu jenis tanah yang spesifik untuk berfungsi di alam atau dalam batas ekosisten terkelola, untuk mendukung produktivitasbiologi, memelihara kualitas lingkungan dan mendorong kesehatan hewan dantumbuhan (Henrik, 2000) Doran dan Safley (1997) mendefinisikan kualitas tanah sebagai kecocokan sifat fisik, kimia dan biologi yang bersama-sama : 1. Menyediakan suatu medium untuk pertumbuhan tanaman dan aktivitas biologi, 2. Mengatur dan memilah aliran air dan penyimpanan di lingkungan serta 3. Berperan sebagai suatu penyangga lingkungan dalam pembentukan dan pengrusakan senyawa-senyawa yang meracuni lingkungan. Tanah disebut berkualitas tinggi bila memiliki sifat-sifat sebagai berikut: 1. Cukup tapi tidak berlebih dalam mensuplai hara 2. Memiliki struktur yang baik 3. Memiliki kedalaman lapisan yang cukup untuk perakaran dan drainase 4. Memiliki drainase internal yang baik 5. Populasi penyakit dan parasit rendah 6. Populasi organisme yang mendorong pertumbuhan tinggi 7. Tekanan tanaman pengganggu (gulma) rendah 8. Tidak mengandung senyawa kimia yang beracun untuk tanaman 9. Tahan terhadap kerusakan dan 10. Elastis dalam mengikuti suatu proses degradasi (Magdof, 2001) 5
b. Kesehatan Tanah Kesehatan tanah bisa diukur berdasarkan beberapa indikator kesuburan tanah. Beberapa indikator kesuburan tanah yang biasa digunakan oleh para ahli tanah antara lain adalah : kapasitas absorbsi, tingkat kejenuhan basa, kandungan liat dan kandungan bahan organik. Selanjutnya akan diuraikan dibawah ini. -
Kapasitas Absorbsi dihitung dengan milli equivalent, adalah kemampuan tanah untuk mengikat/ menarik suatu kation oleh partikel-partikel kolloid tanah (partikel kolloid itu terdiri dari liat dan organik), dan ini secara langsung mencerminkan kemampuan tanah melakukan aktifitas pertukaran hara dalam bentuk kation. Semakin tinggi nilai kapasitas absorbsi, maka tanah dikatakan kesuburannya semakin baik, yang biasanya susunan kationnya didominasi oleh unsur K (Kalium), Ca (Calsium) dan Mg (Magnesium), sehingga nilai pH tanah normal (berkisar 6,5).
-
Kejenuhan Basa, nilainya dalam bentuk persen, mencerminkan akumulasi susunan kation. Peningkatan nilai persen kejenuhan basa mencerminkan semakin tingginya kandungan basa-basa tanah pada posisi nilai pH tanah yang menyebabkan nilai kesuburan kimiawi optimal secara menyeluruh. Nilai kesuburan kimiawi secara sederhana dicermnkan oleh nilai pH, karena nilai pH akan mampu mempengaruhi dan mencerminkan aktifitas kimiawi sekaligus aktifitas biologis dan kondisi fisik di dalam tanah.
-
Kandungan liat, merupakan ukuran kandungan partikel kolloid tanah. Partikel dengan ukuran ini (kolloid) akan mempunyai luas permukaan dan ruang pori tinggi sehingga mempunyai kemampuan absorbsi juga tinggi serta diikuti kemampuan saling tukar yang tinggi pula diantara partikel kolloid. Kemampuan absorbsi ini bisa untuk air maupun zat hara, sehingga menjadi cermin peningkatan kesuburan tanah. Namun jika kandungan liat pada komposisi dominan atau tinggi menjadi tidak ideal untuk budidaya maupun pengolahan tanah. Kandungan liat yang tinggi menyebabkan perkolasi, inlfiltrasi, permeabilitas, aerasi tanah menjadi lebih rendah sehingga menyulitkan peredaran air dan udara. (Anonymousc, 2012)
6
2.4.Hama dan Penyakit penting tanaman pada Agroekosistem yang diamati 2.4.1. Hama Penting a. Penggerek Batang (Stem Borer)
Gambar 1. Padi yang terserang sundep Penggerek batang merupakan hama paling menakutkan pada pertanaman padi, karena sering menimbulkan kerusakan berat dan kehilangan hasil yang tinggi. Di lapang, kehadiran hama ini ditandai oleh kehadiran ngengat (kupu-kupu) dan kematian tunas padi, kematian malai, dan ulat penggerek batang. Hama ini merusak tanaman pada semua fase tumbuh, baik pada saat pembibitan, fase anakan, maupun fase berbunga. Bila serangan terjadi pada pembibitan sampai fase anakan, hama ini disebut sundep, dan jika terjadi pada saat berbunga, disebut beluk. Sampai saat ini belum ada varietas yang tahan penggerek batang. Oleh karena itu gejala serangan hama ini perlu diwaspadai, terutama pada pertanaman di musim hujan. Waktu tanam yang tepat, merupakan cara yang efektif untuk menghindari serangan penggerek batang. Hindari penanaman pada musim Desember-Januari, karena suhu, kelembaban, dan curah hujan pada saat itu sangat cocok bagi perkembangan penggerek batang, sementara tanaman padi yang baru ditanam, sangat sensitif pada hama ini. Tindakan pengendalian harus segera dilakukan, kalau > 10% rumpun memperlihatkan gejala sundep atau beluk. Insektisida yang efektif terhadap penggerek batang tersedia di kios-kios sarana pertanian, terutama yang berbahan aktif: karbofuran, bensultaf, karbosulfan, dimenhipo, amitraz, dan fipronil. Sebelum menggunakan suatu produk pestisida, baca dan fahami informasi yang tertera pada label. Kecuali untuk kupu-kupu yang banyak beterbangan, jangan memakai pestisida semprot untuk sundep dan beluk.
7
b. Tomcat
Gambar 2. Imago tomcat Serangga tomcat kumbang ini sejatinya merupakan spesies kumbang Paederus fuscipes. "Masyarakat menyebutnya tomcat, mungkin karena bentuknya sepintas seperti pesawat tempur Tomcat F-14,Nama tomcat sendiri sebenarnya di luar negeri merupakan merek produk pengontrol populasi hewan pengerat dan produk lem semut. Tomcat juga merupakan produk pestisida. Kumbang tomcat dalam bahasa Inggris juga sering disebut rove beetle. Jenis kumbang ini mencakup famili Staphylinidae, terdiri dari ribuan genus dan kurang lebih 46.000 spesies. Spesies Paederus fiscipes adalah salah satu jenis kumbang yang masuk dalam genus Paederus. Totalnya, ada sekitar 12 spesies yang masuk genus tersebut. Ciri-ciri serangga ini adalah memiliki kepala warna hitam, dada dan perut berwarna oranye, dan sayap kebiruan. Warna mencolok berfungsi sebagai peringatan bagi predatornya, bahwa serangga ini punya racun. Ukurannya sekitar 7-10 mm. Tomcat biasa hidup di persawahan. Pada siang hari, serangga ini biasa terbang di tanaman padi untuk mencari mangsa berupa wereng dan hama padi lainnya. Jadi, sebetulnya kumbang tomcat ini atau Paederus fuscipes adalah serangga yang bermanfaat bagi petani karena membantu mengendalikan hama-hama padi," jelas Aunu. Pada malam hari, serangga ini cenderung tertarik pada cahaya lampu. Adapun dermatitis yang dialami warga diakibatkan oleh racun paederin yang diproduksi serangga dengan bantuan bakteri. Racun akan keluar saat serangga dalam bahaya atau dipencet. (Anonymousd, 2012)
8
c. Walang sangit/rice bug Leptocorisa oratorius (Fabricius)
Gambar 3. Walang sangit Walang sangit merupakan hama yang umum merusak bulir padi pada fase pemasakan. Mekanisme merusaknya yaitu menghisap butiran gabah yang sedang mengisi.
Apabila
diganggu,
serangga
akan
mempertahankan
diri
dengan
mengeluarkan bau. Selain sebagai mekanisme mempertahankan diri, bau yang dikeluarkan juga untuk menarik walang sangit lain dari species yang sama. Walang sangat merusak tanaman ketika mencapai fase berbunga sampai matang susu. Kerusakan yang ditimbulkannya menyebabkan beras berubah warna dan mengapur, serta gabah menjadi hampa. d. Belalang hijau
Gambar. 4 Belalang Belalang
adalah
seranggaherbivora
dari
subordo
Caelifera
dalam
ordoOrthoptera.Serangga ini memiliki antena yang hampir selalu lebih pendek dari tubuhnya dan juga memiliki ovipositor pendek. Suara yang ditimbulkan beberapa spesies belalang biasanya dihasilkan dengan menggosokkan femur belakangnya terhadap sayap depan atau abdomen (disebut stridulasi), atau karena kepakan sayapnya sewaktu terbang. Femur belakangnya umumnya panjang dan kuat yang cocok untuk melompat.Serangga ini umumnya bersayap, walaupun sayapnya kadang tidak dapat dipergunakan untuk terbang.Belalang betina umumnya berukuran lebih besar dari belalang jantan. Dalam Agama Islam, Belalang adalah salah satu dari dua hewan yang apabila telah terlebih dahulu mati masih dihalalkan untuk dimakan. 9
e. Capung
Gambar. 5 Capung Capung ditengarai jadi indikator masih sehatnya udara di suatu wilayah.Untuk mengetahui lebih banyak tentang binatang yang lincah terbang dan warna yang cantik serta sayap yang indah terterpa sinar matahari ini, baca yang satu ini. Capung yang terdiri dari 5.000 spesies di dunia ini masuk dalam kelompok serangga yang tergolong dalam rodo Odonata.Ia bisa hidup mulai dari ketinggian lebih dari 3.000 meter diatas permukaan laut di hutan, sawah, kebun, sungai, dan danau. Capung tak bisa hidup jauh dari air. Capung adalah serangga yang mengalami metamorfosis yang tidak sempurna, yaitu telur, nimfa, dan dewasa.Ia senang bertelur di daerah yang berair. Saat masih menjadi nifa, capung akan memangsa berudu dan ikan-ikan kecil, lalu setelah dewasa ia akan menyantap serangga seperti kutu, ngengat, nyamuk, kupu-kupu, juga kepik. Kelebihan capung ada banyak, misalnya pada bagian yang paling menonjol dari capung yaitu matanya.Pada sepasang matanya terdapat 30.000 lensa berbeda, sehingga pandangannya sangat luas. Selain itu capung adalah serangga tercepat di dunia, ia mampu terbang dengan kecepatan 97 km/jam dan mampu melakukan perjalanan sejauh 137 km dalam satu hari. Capung ditengarai jadi indikator masih sehatnya udara di suatu wilayah.Untuk mengetahui lebih banyak tentang binatang yang lincah terbang dan warna yang cantik serta sayap yang indah terterpa sinar matahari ini, baca yang satu ini. Capung yang terdiri dari 5.000 spesies di dunia ini masuk dalam kelompok serangga yang tergolong dalam rodo Odonata.Ia bisa hidup mulai dari ketinggian lebih dari 3.000 meter diatas permukaan laut di hutan, sawah, kebun, sungai, dan danau. Capung tak bisa hidup jauh dari air. Capung adalah serangga yang mengalami metamorfosis yang tidak sempurna, yaitu telur, nimfa, dan dewasa.Ia senang bertelur di daerah yang berair. Saat masih menjadi nifa, capung akan memangsa berudu dan ikan-ikan kecil, lalu setelah dewasa ia akan menyantap serangga seperti kutu, ngengat, nyamuk, kupu-kupu, juga kepik.
10
f. Laba-laba
Gambar. 6 Laba-laba Laba-laba, atau disebut juga labah-labah, adalah sejenis hewan berbuku-buku (arthropoda) dengan dua segmen tubuh, empat pasang kaki, tak bersayap dan tak memiliki mulut pengunyah.Semua jenis laba-laba digolongkan ke dalam ordo Araneae; dan bersama dengan kalajengking, ketonggeng, tungau —semuanya berkaki delapan— dimasukkan ke dalam kelas Arachnida.Bidang studi mengenai laba-laba disebut arachnologi. Laba-laba merupakan hewan pemangsa (karnivora), bahkan kadang-kadang kanibal.Mangsa utamanya adalah serangga. Hampir semua jenis laba-laba, dengan perkecualian sekitar 150 spesies dari suku Uloboridae dan Holarchaeidae, dan subordo Mesothelae, mampu menginjeksikan bisa melalui sepasang taringnya kepada musuh atau mangsanya. Meski demikian, dari puluhan ribu spesies yang ada, hanya sekitar 200 spesies yang gigitannya dapat membahayakan manusia. Tidak semua laba-laba membuat jaring untuk menangkap mangsa, akan tetapi semuanya mampu menghasilkan benang sutera --yakni helaian serat protein yang tipis namun kuat-- dari kelenjar (disebut spinneret) yang terletak di bagian belakang tubuhnya. Serat sutera ini amat berguna untuk membantu pergerakan laba-laba, berayun dari satu tempat ke tempat lain, menjerat mangsa, membuat kantung telur, melindungi lubang sarang, dan lain-lain. (Anonymouse, 2012)
11
2.4.2. Penyakit Penting a. Hawar Daun Bakteri (Xanthomonas campestrispv. Oryzae)
Gambar 7. Daun yang terserang penyakit hawar
Hawar daun bakteri (HBD) merupakan penyakit bakteri yang tersebar luas dan menurunkan hasil sampai 36 %.Penyakit terjadi pada saat musim hujan atau musim kemarau yang basah, terutama pada lahan sawah yang selalu tergenang, dan dipupuk N tinggi (> 250 kg Urea/ha). Penyakit HDB menghasilkan dua gejala khas, yaitu kresek dan hawar.Kresek adalah gejala yang terjadi pada tanaman berumur < 30 hari (persemaian atau yang baru pindah).Daun-daun berwarna hijau kelabu, melipat, dan menggulung.Dalam keadaan parah keadaan daun menggulung, layu, dan mati, mirip tanaman yang terserang penggerek batang atau terkena air panas (lodoh).Sementara, hawar merupakan gejala yang paling umum pada tanaman yang telah mencapai fase tumbuh anakan sampai fase pemasakan. Gejala diawali dengan timbulnya bercak abu-abu (kekuningan) umumnya pada tepi daun. Dalam perkembangannya gejala akan meluas, membentuk hawar, dan akhirnya daun mengering. Dalam keadaan lembab (terutama pagi hari), kelompok bakteri, berupa butiran berwarna kuning keemasan, dapat dengan mudah ditemukan pada daun-daun yang menunjukkan gejala hawar. Dengan bantuan angin, gesekkan antar daun, dan percikan air hujan, massa bakteri ini berfungsi sebagai alat penyebar penyakit HDB. b. Busuk batang / stem rot (Magnaporthe salvinii ) Busuk batang merupakan penyakit yang menginfeksi bagian tanaman dalam kanopi dan menyebabkan tanaman menjadi mudah rebah.Untuk mengamati penyakit ini, kanopi pertanaman perlu dibuka.Perlu diwaspadai apabila terjadi kerebahan pada pertanaman, tanpa sebelumnya terjadi hujan dengan angin yang kencang.
12
Gejala awal berupa bercak berwarna kehitaman, bentuknya tidak teratur pada sisi luar pelepah daun dan secara bertahap membesar.Akhirnya, cendawan menembus batang padi yang kemudian menjadi lemah, anakan mati, dan akibatnya tanaman menjadi rebah. Stadia tanaman yang paling rendah adalah pada fase anakan sampai stadia matang susu. Kehilangan hasil akibat penyakit ini dapat mencapai 80 %. Pemupukan tanaman dengan dosis 250 Kg urea, 100 Kg SP36 dan 100 Kg KCI per ha dapat menekan perkembangan penyakit.Untuk menghindari penyebaran lebih luas lagi, keringkan tanaman sampai pada saat panen tiba. c. Bercak Cercospora/Narrow Brown Leaf Spot (Cercospora oryzae)
Gambar. 8 Padi yang terserang C. oryzae
Bercak cercospora disebabkan oleh jamur Cercospora oryzae.Penyakit menyebabkan kerusakan yang serius pada pertanaman dilahan yang kurang subur.Penyakit menghasilkan gejala lurus sempit berwarna coklat pada helaian daun bendera, pada fase tumbuh-pemasakan.Gejala juga dapat terjadi pada pelepah dan kulit gabah.Penyakit dikendalikan oleh pemupukan berimbang yang lengkap, dengan dosis 250 Kg urea, 100 Kg SP36, dan 100 Kg KCI per ha. d. Blas /blast (Pyicularia grisea)
Gambar. 9 Gejala serangan P. grisea
Semula penyakit blas dikenal sebagai salah satu kendala utama pada padi gogo.Tetapi sejak akhir 1980-an, penyakit ini juga sudah terdapat pada sawah 13
beririgasi.Penyakit yang mampu menurunkan hasil yang sangat besar ini disebabkan oleh jamur patogen Pycularia grisae. Penyakit blas menimbulkan dua gejala khas, yaitu blas daun dan blas leher. Blas daun merupakan bercak coklat kehitaman, berbentuk belah ketupat, dengan pusat bercak berwarna putih. Sedangkan blas leher berupa bercak coklat kehitaman pada pangkal leher yang dapat mengakibatkan leher malai tidak mampu menopang malai dan patah. Kemampuan patogen membentuk strain dengan cepat menyebabkan pengendalian penyakit ini sangat sulit. Penyakit ini dikendalikan melalui penanaman varietas tahan secara bergantian untuk mengantisipasi perubahan ras blas yang sangat cepat, dan pemupukan NPK yang tepat.Penanaman dalam waktu yang tepat dan perlakuan benih dapat pula diupayakan.Bila diperlukan dapat menggunakan fungisida yang berbahan aktif metil tiofanat, fosdifen, atau kasugamisin.
2.5.Pengaruh populasi musuh alami terhadap agroekosistem Ekosistem pertanian tanaman pangan umumnya bersifat kurang stabil yang dicirikan oleh diversitas struktur komunitas yang rendah. Susunan jala makanan (food web) pada ekosistem ini bersifat sederhana sehingga populasi suatu jenis organisme (khususnya yang berstatus hama) berada dalam keadaan tidak seimbang, bahkan dapat mengalami eksplosi. Biodiversitas ekosistem tanaman pangan dapat dipertahankan pada taraf tinggi dengan cara memanipulasi lingkungan, sehingga tercipta kondisi yang menguntungkan bagi spesies-spesies untuk saling berinteraksi dalam ekosistem. Musuh alami sebagai salah satu komponen ekosistem berperan penting dalam proses interaksi intra- dan inter-spesies. Karena tingkat pemangsaannya berubah-ubah menurut kepadatan populasi hama, maka musuh alami digolongkan ke dalam faktor ekosistem yang tergantung kepadatan (density dependent factors). Ketika populasi hama meningkat, mortalitas yang disebabkan oleh musuh alami semakin meningkat, demikian pula sebaliknya. (Stehr 1975) Musuh alami dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan dan mengatur populasi hama pada tingkat keseimbangan umum (general equilibrium position), baik secara alamiah maupun buatan. Pemanfaatannya secara alamiah dapat dilakukan melalui konservasi dan peningkatan efektivitas musuh alami, antara lain dengan menerapkan teknik budi daya yang baik, dan menggunakan pestisida secara bijaksana, sehingga tidak mengganggu kehidupan musuh alami. Pemanfaatan musuh alami secara buatan dapat dilakukan dengan 14
cara pelepasan (augmentation) setelah dibiakkan/diperbanyak di laboratorium, introduksi, dan kolonisasi musuh alami. (Watson et al. 1976)
2.6.Dampak manajemen agroekosistem terhadap kualitas dan kesehatan tanah a. Peningkatan bahan organic tanah yang merupakan suatu sistem kompleks dandinamis, yang bersumber dari sisa tanaman dan atau binatang yang terdapat di dalam tanah yangterus menerus mengalami perubahan bentuk, karena dipengaruhi oleh faktor biologi, fisika, dankimia (Kononova, 1961). Bahan organik tidak mutlak dibutuhkan di dalam nutrisi tanaman, tetapi untuk nutrisi tanaman yang efisien, peranannya tidak boleh ditawar lagi. Sumbangan bahan organik terhadap pertumbuhan tanaman merupakan pengaruhnya terhadap sifat-sifat fisik, kimia dan biologis daritanah. Mereka memiliki peranan kimia di dalam menyediakan N, P dan S untuk tanaman perananbiologis di dalam mempengaruhi aktifitas organisme mikroflora dan mikrofauna, serta perananfisik di dalam memperbaiki struktur tanah dan lainnya. b. Membentuk agregat tanah yang lebih baik dan memantapkan agregat yang telah terbentuk sehingga aerasi, permeabilitas dan infiltrasi menjadi lebih baik. Akibatnya adalah daya tahantanah terhadap erosi akan meningkat. Meningkatkan retensi air yang dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman. c. Meningkatkan retensi unsur hara melalui peningkatan muatan di dalam tanah . Kegiatan jasad mikro dalam membantu dekomposisi bahan organik meningkat. Bahan organik segar yang ditambahkan ke dalam tanah akan dicerna oleh berbagai jasad renik yang adadalam tanah dan selanjutnya didekomposisisi jika faktor lingkungan mendukung terjadinya proses tersebut. Dekomposisi berarti perombakan yang dilakukan oleh sejumlah mikroorganisme(unsur biologi dalam tanah) dari senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana. Hasildekomposisi berupa senyawa lebih stabil yang disebut humus. Makin banyak bahan organik maka makin banyak pula populasi jasad mikro dalam tanah (Stevenson, 1994) Selain itu adanya managemen agroekosistem adalah antara lain: Mengimmobilisasi senyawa antropogenik maupun logam berat yang masuk ke dalam tanah, Meningkatkan kapasitas sangga tanah,Mensuplai energi bagi organisme tanah, Meningkatkan organisme saprofit dan menekan organisme parasit bagi tanaman. 2.7.Kriteria indikator dalam pengelolaan agroekosistem yang sehat dan berkelanjutan a. Kimia Tanah -
Bahan organik tanah merupakan penimbunan dari sisa-sisa tanaman dan binatang yang sebagian telah mengalami pelapukan dan pembentukan kembali. Sumber primer bahan organik tanah dapat berasal dari Seresah yang merupakan bagian 15
mati tanaman berupa daun, cabang, ranting, bunga dan buah yang gugur dan tinggal di permukaan tanah baik yang masih utuh ataupun telah sebagian mengalami pelapukan. Dalam pengelolaan bahan organik tanah, sumbernya juga bisa berasal dari pemberian pupuk organik berupa pupuk kandang, pupuk hijau dan kompos, serta pupuk hayati (inokulan). Bahan organic tersebut berperan langsung terhadap perbaikan sifat-sifat tanah baik dari segi kimia, fisika maupun biologinya, diantaranya : Memengaruhi warna tanah menjadi coklat-hitam, Memperbaiki struktur tanah menjadi lebih remah, Meningkatkan daya tanah menahan air sehingga drainase tidak berlebihan, kelembapan dan tempratur tanah menjadi stabil, Sumber energi dan hara bagi jasad biologis tanah terutama heterotrofik. Tanah yang sehat memiliki kandungan bahan organik tinggi, sekitar 5%. Sedangkan tanah yang tidak sehat memiliki kandungan bahan organik yang rendah. -
pH Tanah (Kemasaman Tanah) dan Adanya Unsur Beracun. Tanah bersifat asam dapat pula disebabkan karena berkurangnya kation Kalsium, Magnesium, Kalium dan Natrium. Unsur-unsur tersebut terbawa oleh aliran air kelapisan tanah yang lebih bawah atau hilang diserap oleh tanaman. pH tanah juga menunjukkan keberadaan unsur-unsur yang bersifat racun bagi tanaman. Pada tanah asam banyak ditemukan unsur alumunium yang selain bersifat racun juga mengikat phosphor, sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman. Pada tanah asam unsurunsur mikro menjadi mudah larut sehingga ditemukan unsur mikro seperti Fe, Zn, Mn dan Cu dalam jumlah yang terlalu besar, akibatnya juga menjadi racun bagi tanaman. Tetapi dengan pH yang agak masam belum tentu kebutuhan tanaman terhadap pH tanah tidak cocok karena itu tergantung dari komoditas tanaman budidaya yang dibudidayakan. Untuk pengelolaan pH tanah yang berbeda-beda dalam suatu agroekosistem maka apabila suatu lahan digunakan untuk pertanian maka pemilihan jenis tanamannya disesuaikan dengan pH tanah apakah tanaman yang diusahakan sesuai dan mampu bertahan dengan pH tertentu.
-
Ketersediaan Unsur Hara, Unsur hara yang digunakan tanaman untuk proses pertumbuhan dan perkembangannya diperoleh dari beberapa sumber antara lain : Bahan organik, mineral alami, unsur hara yang terjerap atau terikat, dan pemberian pupuk kimia.
16
b. Fisika Tanah -
Kondisi kepadatan tanah, Widiarto (2008) menyatakan bahwa, ―Bahan organik dapat menurunkan BI dan tanah yang memiliki nilai BI kurang dari satu merupakan tanah yang memiliki bahan organik tanah sedang sampai tinggi. Selain itu, Nilai BI untuk tekstur berpasir antara 1,5 – 1,8 g / m3, Nilai BI untuk tekstur berlempung antara 1,3 – 1,6 g / m3 dan Nilai BI untuk tekstur berliat antara 1,1 – 1,4 g / m3 merupakan nilai BI yang dijumpai pada tanah yang masih alami atau tanah yang tidak mengalami pemadatan‖. Sedangkan untuk nilai BJ tanah, menurut literature (Anonymous, 2012) menyatakan bahwa, ―Pada tanah secara umum nilainya BJ antara 2,6 – 2,7 g.cm-3, bila semakin banyak kandungan BO, nilai BJ semakin kecil‖.
-
Kedalaman efektif tanah adalah kedalaman tanah yang masih dapat ditembus oleh akar tanaman. Pengamatan kedalaman efektif dilakukan dengan mengamati penyebaran akar tanaman. Banyakya perakaran, baik akar halus maupun akar kasar, serta dalamnya akar-akar tersebut dapat menembus tanah, dan bila tidak dijumpai akar tanaman maka kedalaman efektif ditentukan berdasarkan kedalaman solum tanah (Hardjowigeno, 2007).
-
Erosi Tanah adalah terangkutnya atau terkikisnya tanah atau bagian tanah ke tempat lain. Meningkatnya erosi dapat diakibatkan oleh hilangnya vegetasi penutup tanah dan kegiatan pertanian yang tidak mengindahkan kaidah konservasi tanah. Erosi tersebut umumnya mengakibatkan hilangnya tanah lapisan atas yang subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman. Oleh sebab itu erosi mengakibatkan terjadinya kemunduran sifat-sifat fisik dan kimia tanah.
c. Biologi Tanah -
Keanekaragaman biota dan fauna tanah, ditunjukkan dengan adanya kascing Biota tanah memegang peranan penting dalam siklus hara di dalam tanah, sehingga dalam jangka panjang sangat mempengaruhi keberlanjutan produktivitas lahan. Salah satu biota tanah yang paling berperan yaitu cacing tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cacing tanah dapat meningkatkan kesuburan tanah melalui perbaikan sifat kimia, fisik, dan biologis tanah. Kascing (pupuk organik bekas cacing atau campuran bahan organik sisa makanan cacing dan kotoran cacing) mempunyai kadar hara N, P dan K 2,5 kali kadar hara bahan organik semula, serta meningkatkan porositas tanah (pori total dan pori drainase cepat meningkat 1,15 kali). Cacing jenis ‗penggali tanah‘ yang hidup aktif dalam tanah, 17
walaupun makanannya berupa bahan organik di permukaan tanah dan ada pula dari akar-akar yang mati di dalam tanah. Kelompok cacing ini berperanan penting dalam mencampur seresah yang ada di atas tanah dengan tanah lapisan bawah, dan meninggalkan liang dalam tanah. Kelompok cacing ini membuang kotorannya dalam tanah, atau di atas permukaan tanah. Kotoran cacing ini lebih kaya akan karbon (C) dan hara lainnya dari pada tanah di sekitarnya. (Hairiah, 2004).
18
BAB III METODE PELAKSANAAN
3.1.Waktu dan Tempat Praktikum dilakukan pada hari minggu, tanggal 29 April 2012. Bertempat di Dusun Bayem, Kasembon, kabupaten Malang. Praktikum dimulai pada pukul 10.00 WIB. Dalam 1 kelompok besar praktikum, praktikan dibagi menjadi 3 kelompok kecil. Pembagiuan tersebut dimaksudkan untuk mempermudah pengamatan untuk aspek BP, Tanah, dan HPT. Komoditas yang diamati adalah komoditas padi varietas Inpari-13 dengan sistem PHT. Pengamatan aspek BP adalah mewawancarai petani mengenai seluk beluk budidaya komoditas. Untuk aspek HPT praktikum dilakukan dengan menangkap hama dengan swip net dan dengan jebakan pitt fall. Sedangkan untuk aspek Tanah yakni mengambil sampel tanah, seresah, kascing dan cacing.
3.2.Alat, Bahan dan Fungsi a. Alat -
-
-
BP
Alat perekam
: untuk merekam percakapan dengan petani
Alat tulis
: untuk mencatat percakapan
Kuisioner
: lembar wawancara
Kapas
: untuk menyerap etanol pada pembiusan serangga
Plastik
: untuk tempat meletakkan serangga
Karet
: untuk mengikat plastik
Swip net
: untuk menangkap serangga yang terbang diudara
Fial film
: untuk meletakkan serangga
Baskom kuning
: untuk tempat menjebak serangga
Plastik
: untuk tempat meletakkan sampel tanah, cacing, kascing
HPT
Tanah
dan seresah
Ring
: untuk mengambil sampel tanah
Balok kayu
: sebagai alas saat memukul ring 19
Karet
: untuk mengikat plastik
Palu
: untuk memukul balok kayu
Plastik
: untuk wadah tanah
Cetok
: untuk mengambil sampel
Cairan etanol
: untuk membius serangga
Air
: untuk membuat cairan sabun
Detergen
: untuk membius serangga
Tanah
: sebagai bahan praktikum
b. Bahan -
-
HPT
Tanah
3.3.Cara Kerja Secara Umum a. Lapangan -
BP Siapkan daftar Pertanyaan untuk Petani
Siapkan Recorder
Mulai wawancara dengan petani
Analisis data -
HPT Siapkan alat dan bahan (sweep net, plastic, dan baskom)
Ayunkan sweep net secara perlahan 3 kali ayunan
Masukkan hama/serangga ke dalam plastik
Hitung intensitas penyakit pada tiap plot
Ambil perangkap veromon yang sudah disiapkan 24 jam sebelumnya dan Hitung jumlah serangga yang tertangkap 20
-
Tanah Siapkan alat dan bahan
Tentukan areal lahan yang sudah panen
Ambil sampel komposit dengan ring, 4 plot
Masukkan sampel tanah pada kantong plastik
Ambil sampel seresah pada tiap plot
Jika terdapat cacing dan kascing ambil dan masukkan dalam kantong plastic
Dokumentasi
b. Laboratorium -
Biologi Tanah Ambil seresah yang akan di oven
Bungkus seresah dengan kertas
Timbang seresah Masukkan seresah pada oven selama 3 hari dengan suhu 72oC
Timbang seresah dan catat hasilnya
21
-
Fisika Tanah Siapkan alat dan bahan
Ratakan permukaan tanah sejajar dengan ring
Ukur tinggi dan diameter ring
Hitung berat tanah
Pindahkan sampel tanah ke kaleng
Timbang tanah beserta kalengnya Oven tanah tadi selama 24 jam dengan suhu 110oC
Timbang sampel tanah yang sudah di oven
Kemudian haluskan tanah yang sudah di oven
Timbang tabu Erlenmeyer
Masukkan tanah 20 gram pada labu erlenmeyer
Tambahkan air hangat sebanyak 100 ml Kocok dan dipanaskan pada suhu 100oC
Kemudian dinginkan dengan air
Timbang hasilnya
22
-
Kimia Tanah A. C-Organik Ambil erlenmeyer 500 ml
Ambil sampel tanah sebanyak 0.5 gram yang lolos ayakan 0.5 mm
Tambah K2Cr2O7 10 ml Tambah H2SO4 20 ml Diamkan selama 30 menit
Tambah aquadest 200 ml
Tambah H3PO4 85% 10 ml Difenilamina 30 tetes
Titrasi dengan FeSO4 sampai berwarna hijau
Hasil ml blanko dan ml sampel
B. pH Timbang 10 gram sampel tanah
Tambahkan aquadest 10 ml
Kocok + 1 jam
Ukur pH dengan pH meter
Hasil pH 23
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.Hasil 4.1.1. Kondisi Umum Lahan Pada praktikum Manajemen Agroekosistem di daerah Kasembon. Luas lahan yang dikelola dalam satu hamparan adalah 0,5 ha. Jenis tanah pada daerah setempat adalah Lempung berliat. Kondisi Agroekosistem didesa ini
masuk pada
Agroekosistem lahan kering dengan sistem tanam Agroforestri. Dengan tanaman pokok adalah Pohon Jati dan tanaman pendukungnya adalah Durian, Mahoni, Kopi, Mangga, dan Pisang. Sistem Pengairan yang dilakukan adalah dengan sistem tadah hujan. Pengolahan tanahnya mulai mencoba menggunakan sistem pertanian organik, yang semula pemupukan menggunakan pupuk kimia yaitu phonska akan tetapi pada saat ini sudah mulai mengganti menggunakan pupuk organik yaitu bokashi yang didapat dari bantuaan Universitas Brawijya. 4.1.2. Pemeliharaan Tanaman Petani yang bernama Pak Ansori yang lahir pada tahun 1968 merupakan anggota dari sekolah lapang yang diadakan oleh Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya ini mempunyai suatu petak sawah tanaman padi dengan ukuran luas lahan yang dikelola dalam satu hamparan adalah 10x80 m2 yang ditanam dengan sistem jajar legowo. Varietas yang dipakai oleh bapak Ansori saat ini adalah inpari 13, sebelum mengikuti sekolah lapang varietas yang dipakai adalah ciherang. Sistem tanam yang digunakan adalah monokultur. 4.1.3. Sistem Tanam Dalam penanaman padi, jarak tanam yang digunakan adalah 20x10x40 m2. Pada tiap 100m2 beliau membutuhkan 2,5 kg benih tanaman padi. Bibit yang diperoleh Pak Anshori diperoleh dari pihak sekolah lapang yang beliau ikuti. Pemupukan dilakukan dua kali, yaitu sebelum dan sesudah tanam ketika berumur 30 hari, pupuk yang digunakan adalah bokashi dengan takaran 1 ton/100 m2, urea 40 kg, dan phonska 10 kg. Irigasi yang digunakan adalah irigasi permukaan, yang bersumber dari air sungai yang terdekat. Dalam pengendalian OPT Pak Anshori memanfaatkan musuh alami yang ada, dan tanpa ada campuran pestisida.
24
4.1.4. Hasil Pengamatan Keanekaragaman Arthropoda Data Hama Tanaman Padi No
NAMA
HAMA
MUSUH ALAMI
1.
Tomcat
2.
Belalang hijau
3.
Laba – laba
1 ekor
4.
Capung
1 ekor
5.
Walang sangit
2 ekor
Jumlah
5
1 ekor 3 ekor
3
Tabel. 1 Data Hama Tanaman Padi Perhitungan : %Hama
:
A/B X 100%
5/8 x 100 % = 62.5 % % Musuh Alami :
C/B X 100% 3/8X 100% = 37.5 % Data hama Pantrap 1
No.
NAMA
HAMA
MUSUH ALAMI
1.
100 % Belalang hijau
3 ekor
Tabel. 2 Data Hama Pantrap 1
Data hama pantrap 2 No.
NAMA
HAMA
MUSUH ALAMI
1.
50 % Tomcat
1 ekor
2.
50% Capung
1 ekor
Tabel. 3 Data Hama Pantrap 2
25
4.1.5. Hasil Perhitungan Intensitas Penyakit Data Penyakit Tanaman Padi 1. Plot 1 Skor
Jumlah
∑ skor x jumlah
0
88
0
1
5
5
2
1
2
3
3
9
4
1
4
Jumlah
98
20
Tabel. 4 Data Penyakit Tanaman Padi Plot 1 ∑
Intensitas Penyakit =
= 5,1 % 2. Plot 2 Skor
Jumlah
∑ skor x jumlah
0
6
0
1
4
4
2
2
4
3
3
9
4
3
12
Jumlah
18
29
Tabel. 5 Data Penyakit Tanaman Padi Plot 2 ∑
26
= 27,7 % 3. Plot 3 Skor
Jumlah
∑ skor x jumlah
0
73
0
1
7
7
2
4
8
3
2
6
4
3
12
Jumlah
89
33
Tabel. 6 Tabel Data Penyakit Tanaman Padi Plot 3 ∑
= 8,14 % 4. Plot 4 Skor
Jumlah
∑ skor x jumlah
0
45
0
1
6
6
2
2
4
3
4
12
4
5
20
Jumlah
62
42
Tabel. 6 Data Penyakit Tanaman Padi Plot 4 ∑
= 16,9 %
27
5. Plot 5 Skor
Jumlah
∑ skor x jumlah
0
69
0
1
3
3
2
1
2
3
3
9
4
2
8
Jumlah
78
22
Tabel. 8 Data Penyakit Tanaman Padi Plot 5 ∑
= 7.05 %
=12,978 %
28
Segi Tiga Fiktorial
Gambar. 10 Segitiga Fiktorial 29
Pembahasan Dalam pengamatan di Kasembon prosentase antara musuh alami dan hama tidak seimbang. Dari pengambilan dengan swepnet prosentase musuh alami 37,5% dan hama 62,5%. Sedangkan penangkapan pantrap 1 tidak didapatkan hama sama sekali dah hanya di didominasi dengan adanya musuh alami. Hal tersebut dapat terjadi mungkin saat penangkapan serangga dengan menggunakan pantrap adalah areal yang lebih di dominasi dengan musuh alami. Sedangkan pantrap 2 didominasi juga dengan adanya musuh alami. Maka, dalam kondisi lahan tanaman padi tersebut ekosistem tidak seimbang. Karena dengan adanya musuh alami yang lebih mendominasi maka musuh alami tersebut akan berubah menjadi predator dan dapat berpengaruh pada hasil produksi tanaman padi. Ketidak seimbangan ekosistem tersebut juga dapat diakibatkan karena konsep pengendalian hama dan penyakit yang dilakukan dengan konsep non PHT. Sedangkan untuk itensitas penyakit di dapatkan data pada tanaman padi untuk plot 1 adalah 5,1 % untuk plot 2 adalah 27,7 % plot 3 adalah 8,14 ,plot 4 adalah 16,9 dan untuk plot terakir adalah 7.05 % dan untuk rata-rata dari itensitas penyakit adalah 12,978 % .Hasil dari presentae tersebut adalah dengan menggunakan rumus : ∑(
)
Keterangan : I
: Intensitas serangan
n
: Jumlah daun dari tiap katagori serangan
v
: nilai skala dari tiap katagori serangan
Z
: nilai skala dari katagori serangan tertinggi
N
: Jumlah daun yang diamati
dengan presentase tersebut dapat di simpulkan bahwa agroekosistem dari lahan tanaman padi tersebut termasuk baik karena itensitas serangan penyakit masih di bawah 50% dari seluruh areal pertanaman. Dengan data yang di dapatkan tersebut maka tidak perlu dilakukan pengendalian secara intensif. Karena dengan pengendalian secara tradisonal sudah dapat menekan jumlah serangan penyakit pada suatu areal pertanaman padi di desa bayem. PHT merupakan konsep sekaligus strategi penanggulangan hama dengan pendekatan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan yang terlanjutkan. Ini berarti bahwa pengendalian hama harus terkait dengan 30
pengelolaan ekosistem secara keseluruhan. Pengelolaan ekosistem dimaksudkan agar tanaman dapat tumbuh sehat sehingga memiliki ketahanan ekologis yang tinggi terhadap hama. Untuk itu, petani harus melakukan pemantauan lapang secara rutin. Dengan demikian, perkembangan populasi dan faktor-faktor penghambat lainnya dapat diatasi/diantisipasi dan faktor-faktor pendukung dapat dikembangkan. Apabila dengan pengelolaan ekosistem tersebut masih terjadi peningkatan populasi dan serangan hama, langkah selanjutnya adalah tindakan pengendalian. Sasaran PHT adalah: 1) produktivitas pertanian mantap tinggi, 2) penghasilan dan kesejahteraan petani meningkat, 3) populasi hama dan kerusakan tanaman karena serangannya tetap berada pada tingkatan yang secara ekonomis tidak merugikan, dan 4) pengurangan resiko pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida. Strategi PHT adalah memadukan secara kompatibel semua taktik atau metode pengendalian hama. Taktik PHT, terutama adalah: 1) Pemanfaatan prosss pengendalian alami dengan mengurangi tindakan-tindakan yang dapat merugikan atau mematikan perkembangan musuh alami, 2) Pengelolaan ekosisem melalui usaha bercocok tanam, yang bertujuan untuk membuat lingkungan tanaman menjadi kurang sesuai bagi perikehidupan hama serta mendorong berfungsinya agensia pengendali hayati, 3) Pengendalian fisik dan mekanis yang bertujuan untuk mengurangi populasi hama, mengganggu aktivitas fisiologis hama yang normal, serta mengubah lingkungan fisik menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan perkembangan hama, dan 4) Penggunaan pestisida secara selektif untuk mengembalikan populasi hama pada tingkat keseimbangannya. Selektivitas pestisida didasarkan atas sifat fisiologis, ekologis, dan cara aplikasi. Penggunaan pestisida diputuskan setelah dilakukan analisis ekosistem terhadap hasil pengamatan dan ketetapan ambang kendali. Pestisida yang dipilih harus yang efektif dan direkomendasikan. Ada empat prinsip yang harus dilaksanakan dalam penerapan PHT, yaitu pembudidayaan tanaman sehat, pelestarian musuh alami, pemantauan secara rutin, dan pengambiian keputusan pengendalian oleh petani. Menurut data yang kita peroleh didapatkan serangga dan musuh alami yang lebih banyak dari pada penyakitnya. Hal ini dikarenakan PHT lebih memposesikan kepada perlindungan penyakit pada suatu tanaman budidaya, dengan criteria hama yang ditemukan adalah capung, belalang hijau, wereng, tomcat, laba-laba, kumbang kubah spot M dan kumbang kubah spot bulan sabit. Dimungkinkan PHT yang dilakukan kurang efisien karna system pemberantasannya memakai pestisida
nabati. untuk kondisi lingkungan didesa
kasembon tersebut relative subur dan cocok untuk dibudidayakan tanaman padi. Dari hasil
31
identitas penyakit didapat dengan melakukan pengambilan sempel pada lima titik dengan metode sampling.
4.1.6. Hasil Pengukuran Kondisi Tanah a. Biologi Tanah Seresah Daun
Berat Basah
Berat Kering
A
3.2
2.4
B
3.7
2
C
4.6
3
D
4.2
1.8
Tabel. 9 Data Seresah Daun Vegetasi yang terdapat pada lahan Kasembon yaitu tanaman padi, dan terdapat pula vegetasi pohon sengon.
Pada plot yang kami amati, tidak
terdapat kascing karena tidak terdapat cacing. Hal ini dikarenakan lahan digunakan untuk tanaman komoditas padi yang selalu tergenang oleh air. Cacing tidak dapat bernafas pada keadaan tanah yang tergenang, juga dikarenakan disana hanya terdapat seresah daun, aktivitas dari cacing tanah akan meningkat bila cukup bahan organic. b. Fisika Tanah Perhitungan Berat Isi
Sampel Diameter Panjang Berat Total
Ka Sub Tb + K
To + K
K
Ka
BI
A
5.5
4.8
170.08
175.98
106.29
5.9
0.69
0.88
B
5.5
4.8
188.12
194.02
124.16
5.9
0.59
1.04
C
5.5
4.8
171.81
177.71
88.89
5.9
1.07
0.73
D
5.5
4.8
199.51
205.41
119.9
5.9
0.75
1.00
Tabel. 10 Data Berat Isi
32
Keterangan : Tb
: Berat Basah Tanah
To
: Berat Kering Tanah
K
: Berat Kaleng
Rumus BI
𝐵𝐼
𝑚𝑝 𝑉𝑡
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 ( 𝐾𝑎) 𝑉𝑡
𝐾a = 𝑚𝑝
(𝑇𝑏 𝑘) (𝑇𝑜 𝑘) (𝑇𝑜 𝑘) 𝑘
𝑥
𝑐𝑚
𝑚𝑎
Keterangan : mp
: Massa padatan
Ka
: Kadar air
Vt
: Volume tanah
BI
: Berat isi
A. 𝐾a =
(
B. 𝐾a =
(
C. 𝐾a =
(
D. 𝐾a =
(
) ( (
) ) (
(
B. C. D.
)
) ) (
(
)
) ) (
(
)
)
𝑉𝑡
A.
)
𝜋𝑥𝑑 𝑥 𝑡
𝑥
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
𝑥
33
Hasil perhitungan BI (Bobot Isi) tanah pada lahan Kasembon kurang dari 1 atau ratarata pada plot yang kami amati yaitu 0,91. rendahnya nilai BI tersebut menandakan tanah tidak mengalami pemadatan dimana dapat dengan mudah meneruskan air atau ditembus oleh akar dan adanya nilai BI yang rendah dikarenakan adanya bahan organic yang menurunkan BI. Menurut Widiarto (2008), bahan organik dapat menurunkan BI dan tanah yang memiliki nilai BI kurang dari satu merupakan tanah yang memiliki bahan organik tanah sedang sampai tinggi. Selain itu, Nilai BI untuk tekstur berpasir antara 1,5 – 1,8 g / m3. Nilai BI untuk tekstur berlempung antara 1,3 – 1,6 g / m3 dan Nilai BI untuk tekstur berliat antara 1,1 – 1,4 g / m3 merupakan nilai BI yang dijumpai pada tanah yang masih alami atau tanah yang tidak mengalami pemadatan. Perhitungan Berat Jenis
Labu
Labu + To Labu + To + 100 ml
54.34
74.34
165.64
Vp
mp Labu
BJ
8.7
20
2.30
Tabel. 11 Data Berat Jenis Keterangan : Labu + To
: Berat Labu ditambah tanah oven
Vp
: Volume padatan
mp Labu
: Massa padatan Labu
BJ
: Berat Jenis (𝐿𝑎𝑏𝑢 ((𝐿𝑎𝑏𝑢 𝑇𝑜
𝐵𝐽
( ((
𝑇𝑜)
𝐿𝑎𝑏𝑢 𝑚𝑙) (𝐿𝑎𝑏𝑢
𝑇𝑜))
) )
(
))
(
)
34
Hasil perhitungan BJ (Bobot Jenis) tanah pada lahan Kasembon kurang dari 2,6 atau rata-rata pada plot yang kami amati yaitu 2,3 yang berarti BJ di daerah tersebut masih belum normal. Menurut Buck & Nyle (1982), bobot jenis partikel untuk tanah mineral berkisar antara 2,6 – 2,75. hal ini terjadi karena akuarsa, feldspar dan koloid silikat yang kerapatannya terdapat dalam kisaran ini, biasanya merupakan bagian terbesar dari tanah mineral. Selain itu, karena berat bahan organik yang lebih kecil dari berat benda padat tanah mineral yang lain dalam volume sama, jumlah bahan organik dalam suatu tanah jelas mempengaruhi bobot jenis partikel. Akibatnya tanah permukaan biasanya memiliki bobot jenis partikel yang lebih kecil dari subsoil. Dengan kata lain, semakin banyaknya bahan organik yang terkandung, maka semakin kecil lah nilai daripada bobot jenis partikel. Sedangkan, semakin banyaknya mineral berat yang terkandung di dalam tanah, maka akan semakin besar pula lah nilai bobot jenis partikel tanah tersebut. Perhitungan Porositas 𝑃𝑜𝑟𝑜𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠
𝐵𝐼 𝑥 𝐵𝐽
Keterangan : BI
: Berat Isi
BJ
: Berat Jenis A.
( )
B.
( )
C.
( )
D.
( ) Tanah di plot yang kami amati mempunyai tekstur tanah liat dengan porositas total
kurang lebih 60%. Menurut Islami dan Utomo (1995), tanah yang mempunyai struktur yang baik, ruang porinya tinggi sehingga bobot volumenya rendah. Apabila terjadi seperti itu maka akan sangat 35
berpengaruh pada tingkat penyediaan oksigen didaerah perakaran dan pada akhirnya juga akan mempengaruhi kemampuan tanaman untuk menyerap hara. Nilai porositas pada tanah pertanian bervariasi dari 40 sampai 60%. Porositas dipengaruhi oleh ukuran partikel dan struktur. Tanah berpasir mempunyai porositas rendah (40%) dan tanah lempung mempunyai porositas tinggi, jika strukturnya baik dapat mempunyai porositas 50-60%. c. Kimia Tanah Perhitungan C-organik
𝐶
𝑜𝑟𝑔𝑎𝑛𝑖𝑘
(𝑚𝑙 𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜 𝑚𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑙𝑒) 𝑥 𝑥 𝑚𝑙 𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜 𝑥
𝐾𝐴
Keterangan :
-
% C-organik ml blanko ml sample
: persentase C-organik : volume blanko : volume sample
(
)
𝐾
Menurut Kasno (2003), bahwa sebagian besar lahan sawah di Indonesia berstatus Corganik <2%. Berdasarkan hasil analisis C-organik dari delapan provinsi di Indonesia disajikan pada tabel di bawah ini. Lahan sawah di Indonesia terlihat mempunyai kadar Corganik yang relative rendah.
(Kasno, 2003) 36
Perhitungan BO
𝐵𝑂
𝑥
𝐶
𝑜𝑟𝑔𝑎𝑛𝑖𝑘
Menurut Karama et al, (1990), peran bahan organik akan lebih menonjol dimana kadar C organik tanah pada lahan sawah yang telah lama diusahakan secara intensif cenderung pada level rendah, yaitu kurang dari 2 %. Hasil penelitian di 30 lokasi tanah sawah di Indonesia yang diambil secara acak menunjukkan bahwa 68 % diantaranya mempunyai kandungan Corganik tanah kurang dari 1,5 %.
Perhitungan BOT 𝐵𝑂𝑇
𝑥
𝐶
𝑜𝑟𝑔𝑎𝑛𝑖𝑘
Suhu Tanah Suhu tanah pada lahan sawah di Kasembon adalah 27.2 oC pH Tanah pH tanah pada lahan sawah di Kasembon adalah 6.03. Menurut Tim Peneliti Uji Tanah (2005), tanah sawah umumnya mempunyai pH tanah netral sekitar 6-7. Jika tanah mineraldisawahkan (digenangi), maka pH tanah akan mengarah ke netral, atau dengan kata laintanah awal yang mempunyai pH masam akan meningkat pH-nya menuju netral,sebaliknya tanah awal yang mempunyai pH alkalin akan turun menuju pH netral.Perubahan pH tanah menuju netral mempunyai manfaat terhadap tingkat ketersedian hara tanah. Pada tanah sawah ber-pH netral ketersediaan hara dalam kondisi optimal dan unsur hara tertentu yang dapat meracuni tanaman mengendap.
37
Redoks Redoks tanah yang didapatkan adalah sebesar 33.0 mV. Menurut Conrad (1989), pengukuran potensial redoks tanah berkisar antara nilai -6 mV sampai 30,3 mV. Nilai ini jauh di atas nilai potensial redoks yang menyebabkan adanya reaksi kimia untuk pelepasan gas metana. Wihardjaka dan Setyanto (2007) mengungkapkan bahwa proses kimia untuk mengubah senyawa-senyawa di dalam tanah menjadi gas metana berkisar pada nilai potensial redoks -150 mV sampai -200 mV, bahkan kurang dari -200 mV.
4.1.7. Hasil Panen dan Pemasaran Cara panen yang digunakan oleh Bapak Anshori masih menggunaan cara yang tradisional dengan yakni dengan menggunakan alat alat tradisional. Tanaman padi tersebut dipanen setelah mencapai umur 4 bulan setelah tanam dengan hasil panen yaitu 1 ton per 100m2. Hasil panen diangkut dengan kendaraan pribadi atau motor. Sebagian hasil panen dikonsumsi sendiri dan sebagian lainya dijual dengan harga jual gabah antara Rp 2.000,00 –Rp 2.200,00, dengan harga tersebut petani mendapat keuntungan sebesar Rp2.000.000,00 per 100 m2, masalah yang dihadapi oleh petani adalah hama wereng, tikus, walang sangit, belalang hijau. Selain itu muncul juga penyakit yang diantaranya potong leher, dan tanaman yang sudah membusuk sebelum matang. Untuk mengatasi hama yang muncul, petani menggunakan pestisida yang diaplikasikan pada awal tanam, dalam hal pengairan tidak ada kendala dan air untuk irigrasi berasal dari bendungan Selorejo. Pada peluang untuk penanaman baru berdasarkan pada iklim dan kondisi pasar Bapak Anshori menggunakan pola tanam tumpangsari dan jenis komoditas tanaman cabe.
4.2.Analisis Keadaan Agroekosistem secara Umum Analisis agroekosistem merupakan salah satu metode pemantauan agroekosistem serta peramalan hama dan penyakit. Dalam kaitan dengan PHT analisis agroekosistem berkaitan dengan penentuan kemampuan merusak suatu hama atau penyakit, nilai kehilangan hasil yang ditimbulkan berkaitan dengan kerusakan yang terjadi, dan biaya pengendalian yang diperlukan untuk mengurangi kehilangan hasil. Analisis agroekosistem diperlukan sebagai dasar untuk melakukan pengambilan keputusan pengendalian hama atau pernyakit. Dari data yang diperoleh di Kecamatan Kasembon, tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh hama maupun penyakit yang menyerang pada tanaman padi, tidak terlalu berbahaya. Intensitas penyakit yang menyerang pun tidak terlalu tinggi dan 38
berbahaya. Hal ini disebabkan karena jumlah musuh alami yang lebih banyak daripada hama penyerang tanaman dimana dalam konsep PHT, musuh alami bertugas untuk mengendalikan populasi dari hama, sehingga di petak sawah yang diamati tidak terlalu banyak terserang hama dan rusak akibat penyakit. Akan tetapi dalam pengendaliannya, petani tidak terlalu memperhatikan peranan dari musuh alami. Petani lebih memilih mengendalikan hama dengan pemberantasan menggunakan pestisida. Pengendalian dengan cara pemberantasan hama menggunakan pestisida akan mengurangi bahkan menghilangkan jumlah dari populasi hama, namun hal ini akan berdampak buruk bagi populasi musuh alami yang ada. Jika populasi hama tidak seimbang dengan populasi musuh alami, maka yang terjadi adalah kekurangan bahan makanan bagi musuh alami. Akibatnya, serangga yang awalnya merupakan musuh alami akan mencari bahan makanan yang ada disekitarnya, yang nantinya akan berganti peran menjadi hama. Selain itu, kondisi lingkungan yang awalnya baik dan cocok bagi pertumbuhan tanaman, lamakelamaan akan tercemar. Oleh karena itu, jika memang populasi hama masih dapat ditoleransi maka musuh alami yang akan mengendalikannya, petani tidak perlu menggunakan pestisida untuk memberantas hama, sehingga petani tidak perlu mengeluarkan biaya untuk pembelian pestisida.
4.3.Rekomendasi Dalam manajemen atau pengelolaan agroekosistem berlanjut dan sehat perlu diperhatikan dari beberapa aspek, diantaranya pengelolaan agroekosistem dalam pengelolaan hama, konservasi air dan tanah, serta keseimbangan hama dan musuh alaminya. Pengelolaan agroekosistem dalam pengendalian hama, merupakan salah satu metode dalam Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang diterapkan dengan pendekatan ekologi. Penerapan metode ini dilakukan setelah dipahami faktor-faktor penyebab suatu agroekosistem menjadi rentan terhadap serangan hama, dan dikembangkan metodemetode yang dapat meningkatkan ketahanan agroekosistem tersebut terhadap serangan hama. Prinsip utama dalam pengelolaan agroekosistem untuk pengendalian hama adalah menciptakan keseimbangan antara hama dan musuh alaminya melalui peningkatan keragaman hayati. Peningkatan keragaman vegetasi dan penambahan biomassa, dapat meningkatkan keragaman hayati dalam suatu agroekosistem. Peningkatan keragaman vegetasi dilakukan melalui pola tanam polikultur dengan pengaturan agronomis yang optimal. Penambahan biomassa dilakukan dengan mengaplikasikan mulsa, penambahan pupuk hijau dan pupuk kandang. Kedua metode ini ditujukan untuk mendapatkan 39
produktivitas lahan yang optimal dan berkelanjutan. Untuk mencapai agroekosistem yang sehat dan berkelanjutan strategi yang dapat digunakan adalah: d. Optimalisasi daur hara dalam tanah dan pengembalian bahan organic Meningkatkan
daur
ulang
dan
optimalisasi
ketersediaan
dan
keseimbangan alur hara dapat dilakukan dengan melakukan rotasi dengan tanaman-tanaman pupuk hijau. e. Konservasi air dan tanah Memantapkan kondisi tanah untuk pertumbuhan tanaman dengan mengelola bahan organik dan meningkatkan biota tanah Pemberian biomassa pada lahan akan menambah bahan organik yang selanjutnya akan meningkatkan biota tanah yang berguna dalam peningkatan kesuburan tanah. Meminimalkan kehilangan karena keterbatasan ketersediaan air melalui pengelolaan air. Air dibutuhkan tanaman untuk dapat berproduksi optimal, sehingga ketersediaannya pada waktu dan jumlah yang cukup, sangat berpengaruh terhadap produktivitas lahan. Pengelolaan air dapat dilakukan dengan teknik-teknik pengawetan air tanah. f. Keseimbangan populasi hama dan musuh alaminya Meningkatkan keragaman spesies dan genetik dalam agroekosistem, sehingga terdapat interaksi alami yang menguntungkan dan sinergi dari komponen-komponen agroekosistem melalui keragaman hayati. Begitu pula dalam hal keseimbangan populasi hama dan musuh alaminya, jika populasi hama seimbang dengan populasi musuh alami maka akan juga terjadi keseimbangan dalam lahan agroekosistem itu sendiri. Musuh alami yang cukup dalam mengendalikan populasi hama, akan menjadikan suatu rantai makanan yang seimbang. Selain itu, Keragaman tanaman yang tinggi dapat menciptakan interaksi dan jaring-jaring makan yang mantap dalam suatu agroekosistem. Keragaman tanaman dalam suatu agroekosistem merupakan konsep dasar dalam pengendalian hayati. Peningkatan keragaman tanaman pada suatu agroekosistem dapat dilakukan melalui praktek budidaya dengan sistem tumpangsari, agroforestry atau dengan menggunakan tanaman pelindung atau penutup tanah.
40
BAB V PENUTUP
5.1.Kesimpulan -
Dari aspek Budidaya Tanaman (BP) tanaman yang dibudidayakan adalah padi. Sistem penanaman yang digunakan adalah monokultur. Untuk irigasi, petani di Kasembon menggunakan irigasi permukaan yang bersumber dari air sungai terdekat. Hasil panen yang didapatkan yaitu sekitar 1 ton per 100m2, dengan harga jual gabah antara Rp 2.000,00 –Rp 2.200,00 per kg. Masalah-masalah yang dihadapi oelh petani adalah hama dan penyakit yang dapat menyebabkan penurunan produksi.
-
Dari
aspek
Hama
Penyakit
Tanaman
(HPT)
diketahui
bahwa
keadaan
agroekosistemnya kurang seimbang karena prosentase jumlah musuh alami lebih dominan dari pada hama dan serangga lain. Sedangkan intensitas serangan penyakit pada tanaman padi masih ringan karena masih dibawah 50 %, sehingga tidak perlu pengendalian yang berlebihan. -
Dari aspek Tanah dapat disimpulkan untuk seresah didapatkan seresah daun yang jumlahnya sedikit. Untuk nilai BI mempunyai rata-rata dibawah nilai 1. Untuk nilai BJ yaitu 2,3 nilai ini masih belum menjangkau nilai BJ untukjenis tanah mineral. Untuk porositas mempunyai nilai yang baik yaitu sekitar 60 %.
C-organik
mempunyai nilai 0,61 %, nilai ini sudah memenuhi untuk kriteria C-organik lahan sawah. Bahan organic mempunyai nilai 1,05 %, nilai ini sesuai dengan kriteria pada lahan sawah
rata-rata di Indonesia. Untuk pH tanah di Kasembon cenderung
memiliki pH tanah normal yaitu sekitar 6,03.
5.2.Saran terhadap keberlanjutan manajemen agroekosistem Mengelola tanaman lebih intensif untuk menghasilkan produksi yang tinggi, dengan tidak mengesampingkan pengelolaan dari aspek budidaya, pengelolaan hama terpadu, dan pengelolaan tanah. Sehingga agroekosistem lingkungan di sekitar tetap terjaga kelestariannya.
5.3.Saran Praktikum Di mohon untuk praktikum dan fieldtrip dilaksanakan lebih baik, agar praktikum dan fieldtrip berjalan dengan baik. 41
DAFTAR PUSTAKA
Anonymousa. 2012. www.irwantoshut.com Anonymousb. 2012. www.irwantoshut.com Anonymousc. 2012. http://alulagro.blogspot.com/2011/09/kesuburan-tanah.html Anonymousd. 2012. http://blogger-jepara.blogspot.com/2012/03/sejarah-nama-seranggatomcat.html Anonymouse. 2012. http://wikipedia.org/laba-laba.html (diakses tanggal 5 Juni 2012) Buckman, Harry & Nyle C.Brandy. 1982. Ilmu Tanah. PT Bhratara Karya Aksara. Jakarta. Conrad, R. 1989. Control of methane production in terrestrial ecosystems. In M.O. Andreae and D.S. Schimel (Eds.), Exchange of Trace Gases between Terrestrial Ecosystems and the Atmosphere. John Wiley & Sons,Chichester, New York, Brisbane, Toronto, Singapore. Direktorat Pengelolaan Lahan. 2008.Pedoman teknis Pemanfaatan PUTS.DirektoratJendral Pengelolaan Lahan dan Air. Departemen Pertanian. Jakarta Hairiah, Kurniatun, dkk. 2004. Ketebalan Seresah sebagai Indikator Daerah Aliran Sungai (DAS) Sehat. FP-UB. Malang. Hardjowigeno, Saswono. 2007. ILMU TANAH. Akademika Pressindo. Jakarta Herrick, J. E. (2000). Soil Quality: an indicator of sustainable land management ?. Applied Soil Ecology. (15) 75-83. Irwanto, 2008. Peningkatan Produktivitas Lahan dengan Sistem Agroforestri. www.irwantoshut.com. Diakses tanggal 30 Mei 2012 Islami, T. dan W. H Utomo, 1995. Hubungan Tanah, Air dan Tanaman. IKIP Semarang Press, Semarang. Kasno, A., Diah Setyorini, dan Nurjaya. 2003. Status C-organik lahan sawah di Indonesia. Pros. HITI. Padang Magdoff, F. (2001). Concept, componen and strategies of soil health in agroecosystems. Journal of Nematology 33 (4); 169-172. Saragih, B. 2000. Agribisnis, Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. Yayasan
Mulia
Persada
dan
PT
Surveyor
Indonesia,
Jakarta.
Suprayogo. D, K Hairiah, N Wijayanto, Sunaryo dan M Noordwijk.2003. Peran Agroforestri
42
pada Skala Plot: Analisis Komponen Agroforestri sebagai Kunci Keberhasilan atau Kegagalan Pemanfaatan Lahan Indonesia. World Agroforestry Centre (ICRAF), Southeast Asia Regional Office. PO Box 161 Bogor, Indonesia Sutanto, S. 2002. Pertanian Organik. Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Stehr, F.W. 1982. Parasitoids and predators in pest management. In: R.L. Metcalf and W.H. Luckmann (Eds.). Introduction to Insect Management. John Wiley and Sons, New York. pp. 135-173. Stevenson, 1994. Stevenson, F.J. 1994. Humus Chemistry: genesis, composition, reactions. 2nd ed. New York: Wiley. 496 p. Tim Peneliti Uji Tanah. 2005.Buku Petunjuk Penggunaan Perangkat Uji Tanah SawahV.01.Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Watson, T.F., L. Moore, and G.W. Ware. 1976. Practical insect pest management: a selfinstructuion manual. W.H. Freeman and Company, San Francisco. Widiarto. 2008. Pengantar Ilmu Tanah. PT. Rineka Cipta Jakarta Wihardjaka, A. dan P. Setyanto. 2007. Emisi dan mitigasi gas rumah kaca dari lahan sawah dan tadah hujan. Dalam A.M. Fagi, E. Pasandaran, dan U.Kurnia (Eds.). Pengelolaan Lingkungan Pertanian menuju Mekanisme Pembangunan Bersih. Balingtan.
43
LAMPIRAN
Dokumentasi Pengambilan Sampel Tanah
44