BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Peningkatan persaingan industri baik industri manufaktur maupun industri jasa akibat adanya perdagangan bebas menyebabkan seluruh industri berusaha untuk melakukan perbaikan berkelanjutan dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitasnya. Salah satu contoh industri yang persaingannya semakin ketat baik dengan industri lokal, nasional, maupun internasional adalah corporate chain store. Menurut Saladin (2003) corporate chain store (jaringan toko korporat) merupakan jaringan dua toko atau lebih yang dimiliki dan dikendalikan secara bersama-sama yang melakukan pembelian dan perdagangan secara terpusat serta menjual lini produk yang sejenis. Corporate chain store semakin berkembang tidak hanya di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya tetapi di kota kecil seperti Yogyakarta saat ini telah banyak terjadi persaingan corporate chain store. Hal tersebut dikarenakan Yogyakarta merupakan salah satu wilayah yang padat penduduk dan merupakan daerah wisata sehingga banyak wisatawan baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri yang berkunjung ke kota Yogyakarta. Melihat kondisi kota Yogyakarta yang memberikan prospek cukup baik bagi perkembangan corporate chain store, terjadi peningkatan jumlah corporate chain store tidak hanya berskala internasional dan nasional namun juga berskala lokal. Perbedaan yang terjadi diantara corporate chain store berskala internasional, nasional, dan lokal adalah pada aspek Supply Chain Management (SCM). “Supply chain is a global network of organizations that cooperate to improve the flows of material and information between suppliers and customers at the lowest cost and the highest speed” (Govil & Proth, 2002). Corporate chain store berskala internasional dan nasional telah menggunakan jaringan SCM yang terintegasi dengan baik, sedangkan untuk corporate chain store berskala lokal belum sepenuhnya menggunakan standarisasi tertentu pada jaringan rantai
1
2
pasoknya, sehingga hal tersebut dapat menyebabkan timbulnya permasalahan pada pemenuhan kebutuhan konsumen akibat ketidaktersediaan barang. Jadi, salah satu hal yang mampu membuat perusahaan lokal tetap bertahan ditengah persaingan yang semakin ketat adalah penyediaan produk yang tepat bagi konsumen di waktu yang tepat dan dalam biaya ekonomis. Ketersediaan produk dan harga jual yang ekonomis hanya dapat terjadi jika terdapat koordinasi yang baik antara pihak-pihak dalam rantai pasoknya. Koordinasi antara pihak-pihak dalam rantai pasok tidak hanya melibatkan koordinasi persediaan saja, tetapi juga informasi tentang pasar yang berguna bagi perencanaan perusahaan. Kekurangan persediaan produk pada retailer/warehouse akan berakibat kehilangan penjualan, sedangkan jika kelebihan maka akan berakibat menumpuknya produk dan meningkatnya biaya pemeliharaan persediaan. Selain itu, koordinasi dengan seluruh retailer yang ada sebagai salah satu mata rantai pasok adalah penting, di mana kantor pusat dapat berbagi informasi dan mengumpulkan informasi mengenai masing-masing suplier agar pengelolaan suplai dan perencanaan penjualan produk dapat dilakukan dengan lebih baik. Dengan demikian perencanaan dan pengaturan yang baik pada sisi supplier, warehouse, dan seluruh cabang retailer sangat dibutuhkan untuk memperoleh keuntungan yang optimal. Pemenuhan permintaan konsumen secara optimal erat kaitannya dengan inventori atau jumlah persediaan yang ada. Masalah yang sering dihadapi oleh corporate chain store adalah inventori yang berlebih untuk barang-barang yang memiliki tingkat penjualan yang rendah dan stock out untuk barang-barang yang laku di pasaran (Amer, 2009). Menurut Hsieh (2003) tujuan dari semua model dan teknik inventori adalah untuk menentukan secara rasional berapa jumlah barang yang harus dipesan dan kapan waktu pemesanannya. Maka dari itu, perusahaan harus mencapai sebuah keseimbangan antara level inventori yang rendah dan tinggi di mana minimasi biaya merupakan faktor utama dalam menentukan keseimbangan tersebut (Hsieh, 2003). Jadi, kontrol persediaan merupakan sebuah hal yang penting dalam Supply Chain Management karena secara signifikan dapat meningkatkan keuntungan perusahaan (Xiaobin et al., 2007).
3
Puspitasari (2013) telah melakukan penelitian di corporate chain store lokal untuk menentukan jumlah pesanan yang optimal dan safety stock yang tepat untuk jenis barang yang berbeda-beda dengan membandingkan metode berbasis logika kabur dan metode penghitungan klasik Economic Order Quantity (EOQ). Hasil yang didapat dari penelitian tersebut adalah metode berbasis logika kabur memberikan total biaya yang lebih rendah dan tidak terjadi out-of-stock dibanding dengan metode EOQ. Kuantitas order memang memegang peranan penting dalam manajemen inventori, sedangkan safety stock merupakan inventori tambahan yang membantu perusahaan dalam mencegah terjadinya out-of-stock seperti yang dikemukakan oleh Levin et al. (1992). Manajemen inventori yang baik akan meningkatkan jumlah permintaan suatu produk melalui ketersediaan inventori. Keputusan akan inventori ini harus dilakukan dengan seksama karena jumlah inventori yang besar dapat meningkatkan responsivesess namun di lain pihak dapat meningkatkan biaya. Sebaliknya, inventori yang rendah akan menurunkan biaya namun responsiveness juga akan berkurang. Oleh karena itu, keputusan mengenai replenishment inventori dapat berpengaruh langsung terhadap performa dari supply chain (Subekti, 2012). Vendor-managed Inventory (VMI) merupakan model replenishment inventori di mana supplier memiliki tanggung jawab dalam mengelola inventori retailer dan menentukan seberapa besar jumlah barang yang harus dikirim dan kapan dilakukan pengiriman (Razmi et al., 2009). VMI adalah progam partnership yang mengintegasikan operasi antara supplier dan retailer melalui sharing informasi dan business process reengineering (Pasandideh et al., 2009). Dengan bantuan teknologi informasi seperti electronic data interchange (EDI) atau internet-based XML, retailer dapat sharing data penjualan dan informasi inventori dengan supplier (point of sales) secara real time. Manfaat lain dari VMI adalah dapat meningkatkan performa supply chain dengan menurunkan level inventori dan fill rate yang lebih tinggi. Supply chain pada chain store saat ini merupakan supply chain tradisional di mana penentuan kuantitas order dilakukan oleh masing-masing retailer dengan mengirim purchase order (PO) ke gudang pusat dan gudang pusat juga akan
4
mengirim purchase order ke supplier untuk menentukan kuantitas order. Purchase order (PO) berisi kuantitas dan kode jenis barang yang dibutuhkan oleh store maupun gudang. Purchase order disusun berdasarkan jumlah barang yang dibutuhkan dengan pertimbangan faktor persediaan dan safety stock tiaptiap produk. Pada praktiknya, sering terjadi beberapa permasalahan dalam pemesanan barang dari retailer ke gudang pusat yakni dalam penentuan purchase order dengan pertimbangan safety stock hanya dilakukan secara expert judgment saja, hal tersebut dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya overstock ataupun stock out dalam persediaan produk. Selain itu, pada jenis produk yang sama dengan varian yang berbeda-beda sering terjadi kesalahan dalam penulisan kode varian barang oleh pihak retailer sehingga menyebabkan ketidaksesuaian antara barang yang dikirim oleh gudang dengan barang di retailer yang persediaannya telah habis. Pendistribusian produk dari gudang ke masing-masing retailer juga sering tidak merata dan tidak sesuai dengan purchase
order
yang
diminta.
Hal
tersebut
dikarenakan
manajemen
pengalokasian barang oleh gudang kurang baik sehingga retailer sering mengalami kekurangan persediaan karena pengiriman yang diminta tidak sesuai dengan yang dikirim oleh gudang. Jadi, setiap retailer maupun gudang pusat saat ini hanya bertanggung jawab atas pengendalian inventori dan distribusi masingmasing. Mereka hanya membangun strategi optimal bagi dirinya sendiri tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi anggota supply chain yang lain. Selain itu, ketiadaan sharing informasi antara anggota dapat mengakibatkan hulu tidak aware terhadap aktual demand pada hilir atau pasar sesungguhnya, sehingga anggota supply chain hanya menggunakan informasi pesanan replenishment dari anggota supply chain sebelumnya. Penelitian ini memberikan alternatif solusi untuk mencegah terjadinya permasalahan pada corporate chain store. Maka dari itu dilakukan implementasi VMI untuk mencapai optimalisasi alokasi distribusi produk dari gudang pusat ke tiap-tiap retailer sehingga retailer menjadi point of sales, jadi retailer tidak perlu melakukan pengiriman purchase order ke gudang pusat. Sharing informasi dilakukan dengan sebuah sistem informasi antara retailer dan gudang pusat,
5
sehingga gudang bisa memantau permintaan konsumen setiap waktu dan bisa melakukan pengiriman produk secara optimal. Hal tersebut juga didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Chopra dan Meindl (2007) yang menyatakan bahwa menghilangkan purchase order akan dapat menurunkan biaya transaksi pembelian Jadi dalam penelitian ini akan dilakukan optimalisasi inventori pada seluruh jaringan rantai pasok yang terkait yakni supplier, gudang pusat, dan retailer. Forecasting (peramalan) dilakukan untuk mengetahui pola permintaan konsumen sehingga gudang dapat menentukan alokasi distribusi yang optimal untuk tiap-tiap retailer, dan penentuan jumlah pesanan yang optimal dilakukan oleh gudang ke supplier untuk meminimalisasi biaya persediaan. Dalam model persediaan klasik, kuantitas pemesanan yang optimal adalah poin utama untuk meminimalkan total biaya persediaan tahunan, di mana total biaya persediaan tahunan tersebut merupakan fungsi dari jumlah persediaan, biaya pesan, dan biaya simpan (Hsieh, 2003). Supply chain merupakan kegiatan yang selalu diikuti oleh uncertainty, entah itu dari aliran material, arus informasi, atau hubungan seller-buyer di mana semuanya saling berikatan dan saling mempengaruhi (Zarandi et al.,2002). Pada kondisi yang sebenarnya, parameter dan variabel dalam model persediaan juga merupakan unsur yang tidak pasti. Lotfi A. Zadeh pada tahun 1965 mengembangkan teori logika kabur yang digunakan untuk menghitung variabel yang mengandung unsur ketidakpastian. Pendekatan berbasis logika kabur dapat dipertimbangkan sebagai alternatif yang lebih baik dibandingkan dengan model persediaan klasik. Maka dari itu, dalam penelitian ini menggunakan pendekatan logika kabur dalam penentuan order yang optimal dari gudang pusat ke suplier untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya overstock ataupun stock out dalam persediaan produk. Pendekatan berbasis logika kabur ini juga akan digunakan dalam penentuan alokasi distribusi seperti penelitian yang dilakukan oleh Petrovic (1996). Dengan pendekatan fuzzy logic ini dapat diperoleh nilai optimal untuk alternatif solusi alokasi distribusi produk. Untuk itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan berbasis logika kabur dalam penentuan alokasi distribusi produk dari
6
gudang pusat ke masing-masing retailer dengan mempertimbangkan kontribusi penjualan masing-masing produk, biaya transportasi, dan biaya simpan untuk mencapai keuntungan yang optimal.
1.2. Perumusan Masalah Perumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Penentuan alokasi distribusi produk dari gudang ke tiap-tiap retailer. Selama ini gudang menerima purchase order dari retailer di mana masingmasing retailer menentukan jumlah pesanan secara expert judgment dan sering terjadi kesalahan dalam pembuatan purchase order. Pendistribusian produk dari gudang ke retailer juga tidak merata. 2. Penentuan jumlah pesanan. Selama ini gudang pusat menentukan jumlah pesanan ke supplier secara expert judgment.
1.3. Batasan dan Asumsi Penelitian Batasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Produk yang diteliti adalah 13 varian produk yang memiliki tingkat permintaan relatif tinggi sehingga sering dipesan oleh tiap cabang Pamella Swalayan Supermarket ke gudang pusat. 2. Permintaan produk dari gudang ke supplier selama lead time bersifat tidak pasti. 3. Jumlah lingustic terms yang digunakan pada model fuzzy Mamdani adalah 2 dan 3. Asumsi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Pola permintaan harian seluruh produk sama dengan pola permintaan harian produk Prenagen di Pamella 1. 2. Komponen penentu goss profit terdiri dari kontribusi penjualan, biaya simpan, dan biaya transportasi. 3. Frekuensi pengiriman belum dioptimalkan, masih mengikuti frekuensi pengiriman saat ini.
7
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah. 1. untuk mengetahui jumlah alokasi yang optimal pada tiap varian produk di masing-masing cabang Pamella Swalayan Supermarket (point of sales) dengan menggunakan pendekatan fuzzy mamdani dan membandingkan hasilnya dengan pendekatan sistem dorong (push system), 2. untuk mengetahui kuantitas order yang optimal pada tiap varian produk oleh gudang ke supplier dengan menggunakan metode fuzzy for inventory dan membandingkan hasilnya dengan pendekatan EOQ, 3. untuk membandingkan gross profit secara keseluruhan yakni dari gudang pusat ke supplier dan dari gudang pusat ke seluruh cabang Pamella dengan pendekatan sistem dorong-EOQ dan fuzzy mamdani-fuzzy for inventory.
1.5. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi perusahaan dalam pengambilan keputusan penentuan alokasi distribusi barang serta pengendalian persediaan. Selain itu, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi kepustakaan di bidang teknik industri dan mampu menjadi sumber referensi untuk pengembangan penelitian selanjutnya yang memiliki topik yang sama dengan penelitian ini.