BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sebagai sebuah negara yang memiliki wilayah yang sangat luas, amat penting bagi Rusia untuk menyatukan rakyatnya yang terdiri dari ratusan kelompok etnis yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda. Karenanya, Rusia memberlakukan kebijakan Rusifikasi teruntuk semua orang yang berada di dalam wilayah Rusia. Menurut Berdyaev, kebijakan Rusifikasi ialah me-Rusia-kan segala sesuatu hasil peradaban manusia ke dalam bentuk yang diterima oleh bangsa Rusia, melalui asimilasi budaya dan proses-proses kebudayaan lainnya.1 Kebijakan Rusifikasi telah ada bahkan pada zaman kekaisaran Rusia demi pembentukan nasionalisme serta membentuk karakter orang-orang Rusia sebagai sebuah bangsa. Salah satu kebijakan Rusifikasi ini ialah penyeragaman bahasa yang digunakan di Rusia, yakni bahasa Rusia.2 Asimilasi kebudayaan etnis mayoritas (yakni etnis Rus’) terhadap kebudayaan etnis-etnis minoritas menjadi cara yang paling efektif untuk mempertahankan kekuasaan Rusia di daerah-daerah seperti Siberia, Asia Tengah, dan Kaukasus pada masa Kekaisaran. Bahasa sebagai salah satu unsur budaya menjadi kunci untuk keberhasilan strategi asimilasi ini. Pada masa Uni Soviet, kebijakan Rusifikasi ini tetap menjadi alat untuk menciptakan budaya nasional yang seragam.3 Pada awal pembentukannya, wilayah Rusia tidak seluas seperti yang kita ketahui saat ini. Sejak Tsar Ivan IV melakukan ekspansi dan berhasil menaklukkan wilayah-wilayah seperti Kazan, Astrakhan, serta sebagian Siberia, Rusia menjelma menjadi sebuah wilayah kekaisaran yang multietnis; dari Asia Tengah hingga Sakhalin.4 Untuk melegitimasi kekuasaannya di daerah-daerah, Kekaisaran Rusia tidak hanya menggunakan kekuatan militer tetapi juga menggunakan kebijakan Rusifikasi. Istilah Rusifikasi (Obrusenie) digunakan untuk menjelaskan proses penyebaran budaya Rusia kepada etnis-etnis selain etnis Rus’. Etnis Rus’ percaya bahwa mereka telah memberikan kebudayaan yang lebih ‘tinggi’ dengan landasan agama Kristen Orthodox kepada masyarakat yang memiliki kebudayaan lain yang 1
N. Berdyayev, Russian Idea, dalam D. Hermaswangi, Kebijakan Vladimir Putin dalam Menghadapi Gerakan Etnonasionalis Chechnya dalam kurun waktu 2000‐2005, FIB UI, Depok, 2008 2 B. Anderson, ‘Estimating Russification of Ethnic Identity among Non‐Russians in the USSR’, Demography, Vol. 20, No. 4 (November 1983), hal. 461‐489 3 Y. Kristiningrum, Penerapan Politik Bahasa Rusia Sebagai Strategi Integrasi Nasional, FIB UI, Depok, 2012, hal. 24 4 Y.Kristiningrum, hal. 25
1
dinilai lebih ‘rendah’. Kebijakan Rusifikasi ini dibuat atas nama etnis Rus’ dan hal ini membuat asumsi umum bahwa etnis Rus lebih unggul dari etnis-etnis yang lain di wilayah Kekaisaran Rusia. Dengan demikian, masyarakat yang menerima atau mengadopsi budaya Rus dan Kristen Ortodox menjadi bagian dari masyarakat yang memiliki tingkat kebudayaan 'tinggi' termasuk di dalamnya adalah pengadopsian bahasa Rusia dan abjad Kirillik. Kebijakan Rusifikasi tidak semata-mata digunakan untuk menunjukkan keunggulan budaya Rus’ dibanding budaya lain; kebijakan ini digunakan sebagai alat politik untuk menjaga daerah kekuasaan Kekaisaran Rusia dari ancaman atau pengaruh bangsa lain. Karenanya, Rusifikasi bahasa tidak hanya sebagai sebuah politik bahasa yang telah berkembang dari zaman Kekaisaran, namun juga sebagai sebuah politik identitas yang menyatukan seluruh rakyat Rusia di bawah kekaisaran yang sama dan Tuhan yang sama dengan slogan ‘otokrasi, orthodoksi, dan nasionalisme’.5 Bahasa merupakan sebuah komponen kunci dari pembentukan identitas etnis, sehingga penggunaan bahasa yang seragam mengindikasikan adanya asimilasi budaya dan identitas pada minoritas-minoritas di Rusia.6 Pada tahun 1970an dan 1980an, pemerintah Soviet berperan dalam program Rusifikasi yang bertujuan untuk menghancurkan kebudayaan dan bahasa minoritas di Uni Soviet, dengan mengganti kedua hal tersebut dengan budaya dan bahasa Rusia.7 Dari 145 juta penduduk Federasi Rusia, 80% dari komposisi penduduknya merupakan etnis Rus’, sisanya yang sebanyak 20% terdiri dari 150 latar belakang kelompok etnis yang beragam. Dari keseluruhan kelompok etnis di Rusia, terdapat 13 kelompok minoritas yang berbahasa Finno-Ugrik (kurang lebih sebanyak tiga juta orang8), salah satunya adalah kelompok minoritas Mari. Orang-orang Mari tinggal di Republik Mari El yang terletak di region Volga di sebelah timur Moskow dengan jumlah penduduk sebanyak 688.000 jiwa pada Januari 2014. Republik Mari El, sebelumnya dikenal dengan nama Mari ASSR (Mari Autonomous Soviet Socialist Republic), memiliki 43,9% penduduk dari etnis Mari berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2010, dengan 47,4% populasinya merupakan orang 5
Y. Kristiningrum, hal. 25 D. Gorenburg, Soviet Nationalities and Assimilation: Forthcoming in Rebounding Identities: The Politics of Identity in Russia and Ukraine (Cambridge University Press), edited by Blair Ruble, Nancy Popson and Dominique Arel, Harvard University, hal. 1 7 C. Robert, The Last Empire: Nationality and the Soviet Future, Stanford, CA: Hoover Institute Press, 1986 dalam D. Gorenburg 8 European Parliament, ‘Violations of Human Rights and Democracy in the Republic of Mari El in Russian Federation’ (online), 12 Mei 2005, http://www.europarl.europa.eu/sides/getDoc.do?pubRef=‐ //EP//TEXT+CRE+20050512+ITEM‐025+DOC+XML+V0//EN, diakses pada 1 Januari 2013 6
2
orang Rus’ dan sisanya merupakan orang-orang Tatar, Chuvash, dan suku bangsa lainnya.9 Sejak akhir 1950an hingga awal 1970an, kaum Mari kehilangan hampir seluruh hak-hak etnisitas mereka; pada tahun 1960an pengajaran bahasa lokal mereka dilarang.10 Bagi kaum minoritas di Rusia yang berbahasa Finno-Ugrik seperti kaum Mari, kepunahan bahasa lokal merupakan sebuah hal yang harus mereka hadapi karena hanya orang-orang yang sudah tua dan beberapa akademisi yang dapat menggunakan dan melestarikannya. Terdapat hanya ada sedikit buku, koran, radio dan program TV dan pendidikan yang minim mengenai bahasa ibu mereka. Rusifikasi ini kemudian berujung kepada Rusosentris; yang diterapkan di sistem pendidikan dan media siar dan merupakan ‘agresi Imperial’ yang kemudian menyebabkan populasi beberapa etnis menurun dengan drastis, dan peristiwa ini dapat dikatakan sebagai cultural genocide.11 Leonid Markelov dipilih Duma pada tahun 1991 sebagai perwakilan ke Republik Mari El. Ia kemudian memenangkan pemilihan presiden di Republik Mari El pada tahun 2000 dengan bantuan kampanye media secara masif.12 Pada masa pemerintahan Markelov, pemukulan dan penindasan kerap terjadi kepada para jurnalis yang kritis dan juga pendukung oposisi (pro dengan hak-hak asasi kaum Mari). Selain itu, hukum yang melindungi penggunaan bahasa Mari tidak dapat diimplementasikan karena bahasa tersebut dipandang sebagai sebuah bahasa yang mencederai Federasi Rusia.13 Leonid Markelov pun terpilih kembali menjadi presiden Republik Mari El pada 19 Desember 2004. Kaum Mari dinilai memiliki kesusahan pada pendidikan bahasa mereka sendiri sebagai bahasa ibu, terdapatnya campur tangan politik yang dilakukan oleh administrasi di institusi budaya Mari, kuota representasi politik yang terbatas bagi etnis Mari14, dan adanya seranganserangan yang ditujukan kepada perwakilan-perwakilan di asosiasi nasional Mari. Pada tahun 9
Menurut data yang diberikan oleh Yevgeniy Chashkin, pemimpin organisasi Mari Ushem European Parliament, ‘Violations of Human Rights and Democracy in the Republic of Mari El in Russian Federation’ (online), 12 Mei 2005, http://www.europarl.europa.eu/sides/getDoc.do?pubRef=‐ //EP//TEXT+CRE+20050512+ITEM‐025+DOC+XML+V0//EN, diakses pada 1 Januari 2013 11 The Economist, ‘The Dying Fish Swims in The Water’, 20 Desember 2005,
, diakses pada 27 Desember 2012 12 Helsingin Sanomat, ‘Leonid Markelov, the President of the Mari Republic’, 27 Desember 2001, , diakses pada tanggal 27 Desember 2012 13 Helsingin Sanomat, ‘Finno‐Ugric Mari People of Central Russia complain of ethnic persecution’, 27 Desember 2001, , diakses pada 27 Desember 2012 14 World Security Network, ‘Vladimir Kozlov, Chairman of All‐Mari Council: “Protect the Mari Culture in the Russian Republic of Mari El now, Mr.Putin!”’, 12 Mei 2005, http://www.worldsecuritynetwork.com/Europe‐ Russia/no_author/Vladimir‐Kozlov‐Chairman‐of‐the‐All‐Mari‐Council‐Protect‐the‐Mari‐culture‐in‐the‐Russian‐ Republic‐of‐Mari El‐now‐President‐Putin, diakses pada 25 Maret 2014 10
3
2001, setahun setelah Markelov dilantik menjadi presiden, tiga jurnalis dibunuh di Republik Mari El.15 Dengan latar belakang Markelov yang merupakan seorang Rus’ tulen dan utusan Duma, ia berpendapat bahwa kehadiran minoritas Mari mengancam nasionalisme di republik yang ia pimpin. Para editor koran di Republik Mari El juga tidak berani mempublikasikan opini-opini orang-orang Mari karena khawatir diberhentikan dari pekerjaan mereka. Teror, pemukulan, dan pembunuhan terlihat nyata mengancam eksistensi orang Mari sebagai sebuah entitas suku bangsa. Selain itu, sekolah-sekolah bahasa Mari ditutup dan pengajaran bahasa Mari hanya diperbolehkan di tingkat sekolah dasar saja. Guru-guru kesenian dan kebudayaan dipecat dan digantikan dengan guru-guru dari mayoritas, yakni dari etnis Rus’.16 Hanya bahasa Rusia yang diperbolehkan untuk digunakan pada sistem administrasi dan birokrasi di Mari El, yang kemudian memunculkan argumentasi bahwa hak-hak kaum minoritas Mari benar-benar diabaikan, membuat sebuah asumsi bahwa asimilasi yang berupa Rusifikasi hampir berjalan secara sempurna.17 Namun demikian, dalam empat tahun terakhir ini, menurut Yevgeniy Chashkin, organisasi Mari Ushem mampu membuka kembali Mari Youth Theater, menerbitkan koran nasional mereka sendiri dengan nama Kugarnya (Hari Jumat dalam bahasa Mari), merayakan hari-hari pahlawan nasional mereka, dan merayakan festival 10 Desember dengan Hari Menulis Mari. Masih menurut Chashkin, dalam 25 tahun terakhir ini, Mari Ushem telah melakukan hal-hal luar biasa mengingat kondisi politik yang tidak memadai di Republik Mari El untuk mengakomodasi hak-hak asasi mereka. Organisasi masyarakat ini berdiri pada tahun 19 Maret 1917 sebelum Revolusi Bolshevik, tetapi kemudian harus mati pada masa Uni Soviet. Organisasi ini kemudian kembali bergerak pada tahun 1990.Perlawanan yang dilakukan oleh kelompok minoritas Mari di Mari El terhadap kebijakan Rusifikasi terhitung sejak dari zaman Kekaisaran, Uni Soviet, dan Federasi Rusia menjadikan bahasan ini menarik untuk dikaji oleh penulis, mengingat kebijakan ini terus menerus diimplementasikan kepada kelompok-kelompok minoritas di Rusia. 15
The Baltic Times, ‘Europarliament hits Russia where it hurts’, 18 Mei 2005, , diakses pada 27 Desember 2012 16 Finno Ugric People, ‘Mari El: Needing an Orange Revolution against Moscow’s meddling in their internal affairs’, , diakses pada 1 Januari 2013 17 European Parliament, ‘Violations of Human Rights and Democracy in the Republic of Mari El in Russian Federation, 12 Mei 2005, http://www.europarl.europa.eu/sides/getDoc.do?pubRef=‐ //EP//TEXT+CRE+20050512+ITEM‐025+DOC+XML+V0//EN, diakses pada 1 Januari 2013
4
1.2. Rumusan Masalah Skripsi ini akan menjawab sebuah permasalahan, yakni: Mengapa Minoritas Mari di Republik Mari El menentang kebijakan Rusifikasi? 1.3. Landasan Konseptual Guna menjawab dan menganalisa permasalahan yang telah penulis tuliskan di atas, landasan konseptual yang akan penulis gunakan ialah: Teori Pemberontakan Minoritas Dalam bukunya yang berjudul Why Minorities Rebel, Ted Robert Gurr menjelaskan sebab-sebab terjadinya perlawanan yang dilakukan oleh kelompok minoritas. Identitasidentitas kelompok minoritas akan lebih menonjol dalam merespon tantangan-tantangan dari luar, namun justru akan melemah ketika kelompok-kelompok tersebut diharuskan untuk menghadapi integrasi nasional. Kelompok-kelompok minoritas akan memberontak bila terdapat ketimpangan; baik secara politik, ekonomi, maupun perbedaan perlakuan negara. Kelopok-kelompok minoritas ini terbagi menjadi lima macam, yakni ethnoclasses, ethnonationalists, indigenous people, communal contenders, dan militan sects.18 Gurr menyebutkan relative deprivation sebagai salah satu penyebab mengapa minoritas memberontak. Relative deprivation merupakan sebuah hal yang terjadi karena kurangnya sumber daya untuk mempertahankan gaya hidup, kegiatan, dan fasilitas yang dimiliki oleh individu atau kelompok minoritas. Kurangnya sumber daya ini diakibatkan oleh ketimpangan yang menimpa minoritas dalam mengakses berbagai aspek kehidupan, seperti aspek politik, sosial budaya, dll. Definisi ini kemudian menghadirkan perbandingan objektif antara kelompok minoritas dengan masyarakat lainnya secara keseluruhan. Menurut Gurr, relative deprivation merupakan penyebab potensial akan terjadinya perubahan dan penyimpangan sosial, seperti kerusuhan, terorisme, perang sipil, dan tindakan kejahatan. Pada kelompok etnonasionalis, ada dua perspektif yang disajikan oleh Gurr tentang pemberontakan minoritas, yakni perspektif primordialis dan instrumentalis. Primordialis memandang bahwasannya tindakan nasionalisme etnis merupakan upaya pertahanan tradisi adat, dan bahwasannya ikatan primordial seperti suku, agama, dan ras merupakan sumber 18
T.R. Gurr, Why Minorities Rebel: A Global Analysis of Communal Mobilization and Conflict Since 1945, Sage Publications, April 1993
5
utama terjadinya benturan-benturan kepentingan. Pandangan instrumentalis menilai bahwa suku, agama, dan atribut identitas lainnya hanya sebatas alat untuk mengejar tujuan yang lebih besar. Aksi politik komunal (communal political action) merupakan sebuah tindakan yang diinisiasi oleh anggota-anggota kelompok minoritas untuk melawan penguasa (negara). Mobilisasi politik adalah tindakan politik yang dilakukan oleh organisasi kelompok minoritas demi meraih kepentingan kelompok minoritas tersebut. Dua hal ini dilakukan demi tercapainya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya bagi kelompok minoritas. Kelompok-kelompok minoritas yang dipaksa untuk menjadi kelas kedua oleh kelompok dominan/mayoritas biasanya memendam ketidakpuasan. Ketidakpuasan inilah yang kemudian menjadi motif kelompok minoritas untuk memberontak dari tekanan mayoritas. Efek yang timbul dari tindakan ini ialah difusi tindakan politik yang melibatkan kerabat di luar wilayah (diffusion of political action involving transnational kindred). Alasan lain mengapa kelompok minoritas memberontak ialah kuasa negara dimana penentuan identitas diri harus sesuai dengan yang diinginkan oleh negara. Kekuasaan penuh negara akan identitas diri ini akan memicu pemberontakan dari kelompok-kelompok yang tidak dapat memenuhi keinginan negara akan identitas diri. Protes Sosial dan Media Massa Herbert W. Simons menulis bahwa politik budaya sangat bergantung pada peran media massa sehingga kepentingan sebuah kelompok dapat dicapai dengan menggunakan media massa; mengingat media massa mampu meraih banyak penonton atau pembaca. Fungsi media massa tersebut kemudian dimanfaatkan untuk menjadi inspirasi atau motivasi untuk bergabung dengan pergerakan atau protes yang sedang berlangsung dan meraih simpatisan yang dapat memberi dukungan dan sumber daya yang dibutuhkan. Semakin besar pergerakan yang dilakukan, maka semakin besar dan semakin spektakuler pula aksi protesnya sehingga akan mendapatkan lebih banyak sorotan media dan pergerakan tersebut akan terus mendapatkan dukungan. Dalam hal ini, peran media sangat menguntungkan pergerakan sosial yang sedang berlangsung. Pergerakan reformis dan revolusioner harus bermain dengan media atau pergerakan tersebut beresiko untuk tidak mendapatkan dukungan dari banyak pihak sebagaimana yang sebelumnya diharapkan.19
19
H.W. Simons, ‘Soial Protest and Mass Media’, Temple University, < http://astro.temple.edu/~hsimons/social‐ movements05.html>, diakses pada Juli 2014
6
Tindakan Kolektif Transnasional Tindakan kolektif transnasional yang dikemukakan oleh Donatella della Porta dan Sidney Tarrow dalam Tansnational Processes and Social Activism ialah kampanyekampanye internasional yang telah terorganisir sebagai bagian dari jaringan aktivis dalam melawan aktor-aktor internasional, negara lain, atau institusi internasional. Sepanjang pergerakan tersebut berkembang, peran negara dapat berubah untuk aktivis-aktivis yang terlibat pada pergerakan tersebut, dan perubahan tersebut disebabkan oleh beberapa hal, seperti: Perubahan lingkungan 1. Runtuhnya rezim Uni Soviet 2. Kemajuan teknologi komunikasi dan biaya perjalanan internasional yang semakin murah 3. Kekuatan korporasi transnasional dan institusi internasional yang makin menguat Perubahan kognitif 1. Domestikasi 2. Eksternalisasi Perubahan hubungan Hubungan yang terjalin antara pergerakan dan pemerintah merupakan sumber utama perubahan sosial.20 1.4.Hipotesis Tipologi minoritas yang dijelaskan oleh Gurr mengklasifikasikan minoritas Mari masuk ke golongan etnonasionalis. Sesuai dengan landasan konseptual di atas, maka ada berbagai sebab mengapa minoritas Mari melakukan perlawanan. Tindakan mayoritas yang menginginkan asimilasi masif dalam bentuk Rusifikasi akan menyebabkan relative deprivation; minoritas Mari tidak memiliki sumber daya untuk mempertahankan identitas bahasa, kebudayaan, dan keyakinan mereka. Rezim Kekaisaran dan Uni Soviet merupakan bentuk rezim otoriter yang menjalankan sistem demokrasi otokrasi dimana semua bentuk identitas diputuskan secara politis oleh pemerintah, yang mana kebijakan Rusifikasi merupakan salah satu bentuk dari kuasa negara akan identitas warga negaranya. Ketidakpuasan ini nanti akan menjadi motif bagi kelompok-kelompok minoritas untuk 20
D. della Porta & S. Tarrow, Transnational Processes and Social Activism, Rowman and Littlefield, 2005, hal. 9
7
memberontak dari pemerintah. Pemberontakan yang muncul besar kemungkinan untuk didukung transnational kindred atau kerabat transnasional minoritas Mari, berkat peran media massa yang digunakan dalam pergerakan nasional minoritas Mari. Dukungan kerabat transnasional ini juga terjadi karena terdapat tindakan kolektif transnasional dalam perlawanan kebijakan Rusifikasi di Republik Mari El. 1.5. Metode Penelitian Metode penelitian pembuatan skripsi ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan teknik pengumpulan data melalui studi literatur dan korespondensi. Korespondensi melalui surat elektronik akan dilakukan terhadap pakar-pakar terkait dikarenakan jarak dan waktu yang tidak memungkinkan untuk melakukan wawancara yang sesungguhnya. Korespondensi melalui surat elektronik akan melibatkan Ildiko Lehtinen, seorang penulis Hungaria-Finlandia dan kurator kebudayaan Finno-Ugrik. Korespondensi ini juga melibatkan Marja Lappalainen dan Tarmo Haikkonen dari M. A. Castrén Society, sebuah wadah penelitian mengenai kebudayaan Finno-Ugrik di Federasi Rusia, serta Yevgeniy Chashkin, pemimpin dari gerakan masyarakat Mari Ushem atau Mari Union di Republik Mari El. 1.6.Sistematika Penulisan Skripsi ini akan terdiri dari lima bab; pada bab I, penulis akan menjabarkan latar belakang permasalahan skripsi. Pada bab II, penulis akan menjabarkan sejarah Rusifikasi dan sejarah pembagian wilayah otonomi di Federasi Rusia. Permasalahan National Question atau Национальный Вопрос juga akan dibahas pada bab tersebut, sehingga kebutuhan integrasi di wilayah Rusia dan juga national building bangsa Rusia dapat dimengerti secara menyeluruh. Pada bab III, penulis akan membahas mengenai minoritas Mari, terhitung dari sejarah dan eksistensinya hingga kini. Bab ini akan mengulas minoritas Mari dari segi kependudukan, akses mereka terhadap hak minoritas dan hak eksistensi mereka. Analisa akan disampaikan oleh penulis pada bab IV, yang berisi tentang usaha-usaha minoritas Mari untuk melawan kebijakan Rusifikasi dan bertahan dari kepemimpinan Leonid Markelov. Bab V akan digunakan penulis untuk menulis kesimpulan dari skripsi ini.
8