BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Perekonomian Indonesia pada tahun 2011 mengalami pertumbuhan cukup tinggi yaitu sebesar 6,5 persen dibanding tahun 2010 (BPS, 2012). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Indonesia tidak terlepas dari sumbangan sektor industri. Berita resmi statistik dari BPS tahun 2012 mengemukakan sumber pertumbuhan terbesar pada total PDB berasal dari sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 1,6 persen (lampiran 1.1). Kegiatan industri memberikan kontribusi cukup signifikan, namun kegiatan industri yang berkembang pesat memunculkan berbagai persoalan, antara lain lokasi yang paling tepat untuk melakukan kegiatan. Penentuan lokasi industri dihadapi hampir semua kegiatan industri menengah dan besar. Persoalan lokasi kegiatan dihadapi oleh perusahaan baru yang untuk pertama kali mencari tempat, perusahaan yang ingin merelokasi kegiatannya, dan juga perusahan yang ingin membuka cabang usaha. Pengusaha harus mempertimbangkan keberadaan faktor produksi dan juga permasalahan amdal. Untuk menentukan lokasi yang terbaik seorang pengusaha harus mempertimbangkan berbagai faktor seperti faktor produksi, faktor lingkungan, dan faktor pendukung lainnya. Penentuan lokasi ini perlu dipertimbangkan sehubungan dengan sumber input dan pasar bagi output, serta aksesibilitas. Faktor sumberdaya alam yang dimiliki tiaptiap daerah turut serta menentukan pola persebaran industri suatu wilayah. Banyak industri mengelompok atau terkonsentrasi dalam satu wilayah. Pemusatan industri ini salah satunya karena ada keunggulan komparatif wilayah tersebut. Teori keunggulan komparatif mengemukakan bahwa negara berdagang untuk memperoleh keuntungan dari perbedaan sumberdaya alam yang dimiliki dan akan berspesialisasi berdasarkan keunggulan komparatif yang dimilikinya (Kuncoro, 2002). Teori keunggulan komparatif menunjukkan peranan sumberdaya alam sangat menentukan jenis dan arah kegiatan dalam suatu wilayah. Kekayaan sumberdaya alam merupakan modal yang sangat besar untuk mengembangkan kegiatan ekonomi seperti industri. Kekayaan alam dapat menjadi bahan baku kegiatan ekonomi. 1
Kekayaan alam yang berbeda antar wilayah akan berpengaruh pula pada jenis dan skala industri. Pembangunan kegiatan industri manufaktur tidak akan sama antara satu wilayah dengan wilayah yang lain. Kota-kota besar merupakan tempat yang paling ideal untuk menempatkan aktivitas ekonomi dan juga pusat-pusat kegiatan industri manufaktur. Pada umumnya kota besar untuk menempatkan perusahaan induk sebagai tempat administrasi dan sebagai pusat hubungan dengan perusahaan pendukung ataupun dengan konsumen, sedangkan untuk kegiatan produksi ada di pinggiran kota yang masih mempunyai lahan cukup luas. Perusahaan pusat berperan sebagai pelaksana administrasi, riset dan pengembangan, dan pemasaran dikarenakan di daerah perkotaan pada umumnya dapat memperoleh berbagai fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan dalam pengembangan kegiatan industri dengan mudah. Kota mempunyai tingkat aksesibilitas yang tinggi sehingga memudahkan dalam kegiatan sosial, ekonomi, dan pemasaran. Pinggiran kota dipilih sebagai tempat produksi selain lahan yang tersedia pada umumnya masih luas, juga karena di daerah pinggiran masih jarang penduduk sehingga
polusi
yang
dikeluarkan
tidak mengganggu
masyarakat.
Namun
pembangunan industri yang di pinggiran kota pada umumnya akan menarik penduduk untuk mendekat hingga akhirnya industri tersebut menjadi di tengah pusat keramaian (Morris, 2005). Akhirnya pembangunan industri yang pada awalnya jauh dari permukiman menjadi berada di tengah-tengah permukiman penduduk. Pemusatan industri juga mengakibatkan terjadinya pemusatan aktivitas manusia. Adanya pemusatan industri dan pemusatan manusia mengakibatkan terjadinya pengelompokan kegiatan ekonomi hal tersebut tentunya akan membawa dampak terhadap perkembangan wilayah. Pemusatan-pemusatan aktivitas manusia cenderung mengumpul karena pertimbangan mencari keuntungan ekonomi dengan memanfaatkan lokasi yang saling berdekatan satu sama lain. Lokasi yang saling berdekatan dapat memanfaatkan keuntungan transportasi dan keuntungan iklan. Keuntungan transportasi artinya kemudahan-kemudahan trasportasi akibat berkumpul dalam satu wilayah seperti misalnya dapat mendatangkan bahan baku secara kolektif atau bersama-sama. Keuntungan lokasi industri dalam satu wilayah juga akan mendapat keuntungan iklan, maksudnya pengusaha tidak perlu membuat iklan sendiri-sendiri akan tetapi iklan dapat dibuat secara kolektif oleh pemerintah seperti 2
misalnya pemerintah membuat iklan ”Desa Kerajinan Kasongan” atau ”Kerajinan Perak Kotagede”. Keuntungan iklan akan semakin terasa apabila sudah ada pengusaha di wilayah tersebut yang sukses. Kesuksesan satu pengusaha akan menarik konsumen untuk datang dan pada saat datang melihat kegiatan lain di sekitarnya. Kondisi tersebut akan semakin menggembirakan pasar, sehingga lokasi-lokasi tersebut dipandang investor sebagai lokasi investasi yang sangat menguntungkan. Banyak investor yang memutuskan untuk meletakkan kegiatannya pada wilayahwilayah padat seperti itu. Untuk itu kegiatan ekonomi yang potensial sesuai sumberdaya yang dimiliki wilayah tersebut sebagai sektor unggulan sangat penting untuk memunculkan ”multiplier effect” (ME) atau dampak berganda dari suatu aktivitas ekonomi dengan aktivitas ekonomi lainnya sehingga variasi kegiatan ekonomi semakin berkembang. Menurut
Kementerian
Koordinator
Bidang
Perekonomian
(2011)
pengembangan kegiatan ekonomi yang memunculkan Multiplier effect sangat mungkin berkembang di berbagai daerah di Indonesia. Hal tersebut disebabkan karena potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang sangat berlimpah. Kekayaan sumber daya alam, jumlah penduduk yang besar dan produktif, serta akses yang strategis ke jaringan mobilitas global mendukung terwujudnya pembangunan lebih baik. Kondisi ini merupakan keunggulan komparatif Indonesia yang harus terus dikembangkan. Perkembangan kualitas Sumberdaya Manusia Indonesia sangat pesat sehingga dapat mengelola keunggulan komparatif yang dimiliki secara baik. Kemampuan sumberdaya manusia yang ada untuk pembangunan dapat terjadi di seluruh wilayah. Hal tersebut terjadi karena perbaikan sarana dan prasarana
pengangkutan dan
komunikasi memungkinkan orang bersedia untuk pindah ke jarak yang lebih jauh namun mempunyai potensi tinggi. Kemudahan sarana dan prasarana transportasi akan menurunkan biaya pengangkutan. Pertimbangan yang dipergunakan dengan biaya angkut yang lebih murah dan mudah akan dapat membawa bahan baku dan output kemanapun. Pengusaha tidak lagi memikirkan keberadaan bahan baku dalam suatu wilayah, sehingga kegiatan usaha dapat berkembang dimanapun.
3
Pembangunan yang terus berlangsung di berbagai sektor menjadikan Indonesia berubah tidak lagi negara yang mengandalkan sektor Agraris namun menjadi negara dengan proporsi industri manufaktur dan jasa yang lebih besar. Dibuktikan dari sumbangan sektor industri terhadap PDRB sangat besar yaitu sepertiga dari total PDRB. Kemajuan ekonomi juga telah membawa peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang tercermin tidak saja dalam peningkatan pendapatan per kapita, namun juga dalam perbaikan berbagai indikator sosial dan ekonomi lainnya termasuk Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dalam periode 1980 dan 2010, Indeks Pembangunan Manusia meningkat dari 0,39 ke 0,60 (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011). Peran pembangunan industri dalam perekonomian Indonesia sangat terasa. Peningkatan taraf ekonomi masyarakat menambah beragam aktivitas ekonomi masyarakat yang akhirnya berpengaruh pada perkembangan kota.
Pembangunan
industri yang pesat dapat merubah penampakan suatu kota dan lingkungan sekitarnya. Pinggiran kota yang selama ini selalu identik dengan daerah pertanian sudah tidak lagi terlihat di kota-kota besar. Menurut Fujita (1999) daerah pinggiran kota tidak lagi menjadi sabuk pertanian (farm belt) tetapi telah beralih menjadi sabuk industri kecil dan atau jasa (micro scale enterprises belt). Kondisi tersebut mulai dirasakan di wilayah Pulau Jawa. Banyak lahan-lahan pertanian di pinggiran kota besar telah berubah menjadi kegiatan non pertanian seperti bangunan untuk perumahan, kegiatan industri, perdagangan dan jasa. Pembangunan kegiatan industri yang merubah lahan pertanian menjadi non pertanian, berakibat memperluas perkembangan kota. Perkembangan kota tersebut akhirnya akan menghubungkan satu kota dengan kota-kota di dekatnya dan membentuk sebuah koridor. Bentukan koridor yang disebabkan oleh perkembangan kegiatan industri sudah terjadi di beberapa wilayah. Koridor yang terbentuk di Pulau Jawa sangat terlihat yaitu membentang dan mengikuti jalur transportasi antara kotakota besar. Menurut Firman (1996) pada tahun 2020 tidak kurang dari 100 juta penduduk
akan
bermukim
di
koridor-koridor
Yogyakarta, dan Surabaya-Malang.
4
Jakarta-Bandung,
Semarang-
Perkembangan pembangunan di Koridor Jakarta-Bandung, Surabaya-Malang, Semarang-Yogyakarta akan terus berlangsung dengan kecepatan yang berbeda. Hal yang perlu dicermati adalah perkembangan kawasan pinggiran kota-kota yang dilalui, karena kawasan ini tengah dan akan terus terjadi perkembangan kegiatan perkotaan khususnya perumahan baru, kawasan industri, tempat-tempat rekreasi. Perubahan dan perkembangan kegiatan tersebut tentunya akan berpengaruh juga terhadap kondisi pusat kota. Perpindahan dan perkembangan kegiatan industri ke luar kota tentunya akan berakibat pada restrukturisasi kota inti. Akibat restrukturisasi tersebut terjadi pergeseran fungsinya dari manufaktur ke pusat kegiatan keuangan (finance), perdagangan, dan jasa. Kegiatan jasa yang juga terus berkembang akan menggeser kegiatan manufaktur semakin ke wilayah pinggir, apalagi dengan dikembangkannya kawasan industri dengan berbagai fasilitas untuk menunjang dan mempermudah kegiatan industri di pinggiran kota menyebabkan industri dengan mudah memindahkan lokasi kegiatannya. Wilayah pinggiran kota yang masih perdesaan dengan lahan pertanian berubah dengan bangunan-bangunan industri tidak dapat terelakkan. Untuk mengatasi kondisi tersebut, pembangunan dan pengembangan koridor ekonomi Jawa yang ditetapkan dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) mempunyai tema Pendorong Industri dan Jasa Nasional (Gambar 1.1), dengan strategi khusus Koridor Ekonomi Jawa adalah mengembangkan industri yang mendukung pelestarian daya dukung air dan lingkungan. Untuk itu pengembangan industri yang mendukung lingkungan menjadi prioritas utama. Pembangunan industri yang berwawasan lingkungan dimaksudkan untuk mendorong terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berimbang, berkeadilan, dan berkelanjutan. Pengembangan industri yang mendukung pelestarian lingkungan sangat perlu dilakukan karena pertumbuhan pembangunan di koridorkoridor antar kota besar di Pulau Jawa (Jakarta-Bandung, Semarang-Yogyakarta, Semarang-Solo, Surabaya-Malang) sangat tinggi, sementara lahan yang ada sangat sempit, sehingga pembangunan industri harus memperhatikan kelestarian lingkungan sehingga pembangunan dapat berkelanjutan. 5
Gambar 1.1 Masterplan MP3EI Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011 6
Dalam pelaksanaan Masterplan dilakukan dengan terobosan-terobosan baru dan bukan kegiatan bisnis seperti yang sudah berjalan (Business As Usual). Untuk itu MP3EI memiliki dua kata kunci, yaitu percepatan dan perluasan. Adanya masterplan ini, diharapkan semua wilayah mampu mempercepat pengembangan berbagai program pembangunan yang ada, terutama dalam mendorong peningkatan nilai tambah sektor-sektor unggulan ekonomi, pembangunan infrastruktur dan energi, serta pembangunan sumberdaya manusia (SDM) dan Iptek. Koridor Ekonomi Jawa yang ditetapkan sebagai pusat kegiatan industri dan jasa memiliki beberapa hal yang harus dibenahi, antara lain (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011): 1.
Mengurangi
tingginya
tingkat
kesenjangan
PDRB
dan
kesenjangan
kesejahteraan antar provinsi di dalam koridor; Seperti terlihat secara nyata DKI Jakarta dan Provinsi Banten yang bersebelahan, namun PDRBnya sangat berbeda; 2.
Pemerataan pertumbuhan yang tidak merata sepanjang rantai nilai, kemajuan sektor manufaktur tidak diikuti kemajuan sektor-sektor yang lain. Diharapkan kemajuan sektor industri akan diikuti oleh sektor yang lain;
3.
Meningkatkan
investasi domestik maupun asing; peningkatan investasi di
semua sektor dapat mengaktifkan pergerakan ekonomi; 4.
Meningkatkan infrastruktur dasar yang kurang memadai. Seperti jalan antar kota. Pola perubahan struktur ekonomi Indonesia harus sejalan di semua wilayah.
Perubahan struktur ekonomi sesuai dengan potensi masing-masing wilayah. Kecenderungan proses transformasi struktural yang terjadi di wilayah Provinsi Jawa Tengah sudah sejalan dengan perubahan yang ada di Indonesia secara umum, dimana terjadi penurunan kontribusi sektor pertanian, sementara kontribusi sektor industri dan sektor perdagangan dan jasa cenderung meningkat. Perkembangan struktur ekonomi ke arah kegiatan industri dan kegiatan perdagangan, serta jasa sudah terlihat dari sektor industri yang memberikan sumbangan tinggi terhadap pembentukan PDB (Product Domestic Bruto) industri pengolahan non migas dan penurunan sumbangan sektor pertanian. 7
Dalam PDRB Jawa Tengah terlihat industri sudah berhasil meningkatkan kontribusinya terhadap pendapatan daerah. Kontribusi tersebut sebenarnya dapat lebih ditingkatkan apabila permasalahan mendasar seperti lemahnya prasarana dan sarana transportasi dan berbagai unsur penunjang kegiatan industri dapat diselesaikan. Kurangnya sarana dan prasarana penunjang kegiatan industri menyebabkan kesenjangan pembangunan daerah, sehingga menjadikan ekonomi biaya tinggi dibeberapa wilayah. Perkembangan pembangunan ekonomi sudah banyak memberikan kemajuan untuk mengurangi tingginya biaya ekonomi. Pembangunan di daerah dapat meningkatkan penggunaan bahan baku dan bahan penolong lokal sehingga dapat menekan biaya produksi. Kendala lain dalam pengembangan kegiatan industri di Koridor Jawa Tengah adalah masih belum optimalnya kapasitas produksi dan masih terbatasnya penguasaan pasar domestik. Untuk mengatasi kondisi tersebut Koridor Ekonomi Jawa dibagi menjadi sembilan kawasan pengembangan dengan konsentrasi pengembangan sesuai potensi masing-masing wilayah. Pembangunan industri yang direncanakan untuk wilayah Jawa Tengah menurut MP3EI adalah industri makananminuman, dan industri tekstil. Potensi industri tersebut memang sangat terlihat di Jawa Tengah. Pembangunan industri tersebut terlihat mengelompok di beberapa kota dan belum merata ke semua wilayah di Jawa Tengah. Pengelompokan ini terlihat membentuk koridor antar kota. Pembentukan koridor antar kota semakin berkembang dengan adanya rencana pembangunan jalan. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah merencanakan pembangunan jalan tol yang menghubungkan Kota Semarang dan Kota Surakarta yang merupakan Pusat Kegiatan Nasional (PKN) (gambar 1.2). Sebagai pusat kegiatan, Kota Semarang dan Kota Surakarta tentunya membutuhkan berbagai fasilitas. Pembangunan jalan tol diharapkan dapat memperlancar semua kegiatan yang ada. Realisasi pembangunan jalan tol yang menghubungkan Kota Semarang dan Kota Surakarta (Tol Semarang-Solo) saat ini sudah mulai berjalan di wilayah Kota Semarang. Sementara untuk kota/kabupaten yang lain sudah tertuang dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) kabupaten/kota. Melihat hal tersebut menunjukkan keseriusan pemerintah Jawa Tengah untuk membangun Koridor Semarang-Solo secara terpadu. 8
Gambar 1.2 Rencana Pembangunan Jalan Sumber: RTRW Jawa Tengah (2010) 9
Pembangunan jalan tol memang belum terealisir secara penuh, namun saat ini sudah ada jalan besar yang cukup memadai untuk memperlancar kegiatan antar kota. Akibat adanya jalan tersebut maka banyak tumbuh berbagai kegiatan di sekitar jalan, dan akhirnya membentuk koridor. Koridor yang terbentuk di Provinsi Jawa Tengah akibat adanya pengelompokan-pengelompokan perkembangan industri antara lain Koridor Semarang-Solo. Di Koridor Semarang-Solo berkembang industri sangat tinggi, hal yang menarik adalah dalam koridor yang tidak terlalu panjang terjadi pembangunan industri yang tidak sama. Kota Salatiga yang letaknya berbatasan langsung dengan Kota metropolitan Semarang
dan termasuk dalam kawasan
perkotaan Jawa Tengah serta dalam tata ruang nasional termasuk dalam kawasan strategis nasional, mempunyai industri yang paling sedikit dibanding kabupaten lainnya. Padahal menurut Morris seharusnya Kota Salatiga ini mempunyai industri yang banyak. Akan tetapi justru Kota Surakarta yang jauh dari Ibu Kota Provinsi dan kota metropolitan mempunyai industri sedang dan besar dalam jumlah banyak. Selain itu dalam rencana tata ruang Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Salatiga termasuk dalam kawasan pengembangan Kedungsepur (Kendal Demak,Ungaran, Salatiga, Semarang, Purwodadi) mempunyai andalan pertanian, industri, dan pariwisata. Hal tersebut menunjukkan bahwa banyak faktor yang berpengaruh sehingga perkembangan satu sektor dapat berbeda-beda. Apabila dilihat secara keseluruhan, memperlihatkan perkembangan jumlah industri memusat di wilayah Kota Semarang dan Kota Surakarta. Untuk itu sangat menarik untuk diteliti mengapa terjadi pengelompokan dalam satu wilayah yang jauh dari kota besar. Apakah berkaitan dengan sumberdaya alam ataukah sumberdaya manusia yang dimiliki wilayah tersebut, ataukah infrastruktur yang ada. Keterkaitanketerkaitan apa yang ada sehingga industri dapat berkembang di suatu wilayah, bagaimana pola dan proses perkembangannya. Dari sini akan dapat dilihat apakah industri tersebut memang dapat dikembangkan lebih lanjut untuk meningkatkan pembangunan kawasan ataukah perlu penataan ulang. Pembangunan sebuah industri tidak hanya membawa industri tersebut semata, namun mencakup kesejahteraan masyarakat. Hal ini terungkap dalam berbagai dampak yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Dampak lokasi industri terungkap dalam berbagai bentuk yang dapat dikelompokkan menjadi dampak 10
ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya. Dampak ini harus diperhitungkan dalam perencanaan
pembangunan.
Inti
dari
perencanaan
pembangunan
adalah
mengusahakan tercapainya dampak positif dan menghindarkan terjadinya dampak negatif bagi masyarakat. Perkembangan yang tidak merata ini sangat menarik untuk diketahui karena hal ini berkaitan erat dengan kebijakan pengembangan wilayah suatu kawasan sehingga tidak salah langkah untuk penentukan kebijakan berikutnya.
1.2. Perumusan Masalah Perkembangan pembangunan industri ke arah pinggiran kota di Pulau Jawa mulai dirasakan. Perkembangan tersebut karena adanya perkembangan kegiatan perkotaan seperti perumahan, kawasan bisnis, dan lain-lain. Fenomena lain adalah bergesernya fungsi kawasan industri di pusat kota menjadi kawasan bisnis dan juga bertambahnya penduduk kota sehingga industri yang berada di kawasan padat penduduk sudah tidak layak. Kondisi tersebut memaksa industri untuk berpindah di daerah pinggiran yang masih relatif kosong. Perkembangan pembangunan ke arah pinggiran ini akhirnya membentuk suatu koridor yang menghubungkan antar kota besar. Fenomena tersebut saat ini sudah terlihat di beberapa kota seperti Jakarta-Bandung, Surabaya-Malang, dan Semarang-Solo. Pembentukan Koridor Semarang-Solo terlihat dari perkembangan industri di antara Kota Semarang dan Kota Surakarta(Solo) relatif lebih cepat dibanding kawasan lain di Jawa Tengah. Menurut tata ruang wilayah Provinsi Jawa Tengah, Koridor Semarang-Solo ini sebenarnya merupakan sebagian dari rencana pembangunan terpadu Joglosemar (Jogjakarta Solo dan Semarang). Kawasan Joglosemar ini akan membentuk segitiga yang menghubungkan Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sukoharjo, Kota Surakarta, Kabupaten Klaten, D.I. Yogyakarta, Kabupaten Magelang, Kota Magelang, dan Kabupaten Temanggung. Pembangunan aktivitas industri di wilayah tersebut sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat yang tertuang dalam program Masterplan Percepatan dan perluasan pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Dalam program tersebut Provinsi Jawa Tengah ditetapkan sebagai pendorong pembangunan industri dan jasa, khususnya 11
industri makanan dan minuman, serta industri tekstil. Kota Semarang dan Kota Surakarta (Solo) menjadi pusat kegiatan nasional yang diharapkan dapat menjadi pemicu kota/kabupaten di sekitarnya. Untuk menindaklanjuti rencana pembangunan tersebut, Kawasan Jogjakarta, Surakarta/Solo dan Semarang direncanakan menjadi kawasan terpadu dan akan dibuat jaringan jalan bebas hambatan (tol) yang melewati kota-kota tersebut. Selama ini sudah ada jalan negara yang menghubungkan kawasan ini dan sudah baik namun akan ditingkatkan menjadi jalan tol. Adanya jaringan jalan yang cukup baik, memudahkan akses ke seluruh kawasan dan akan berdampak positif bagi kota-kota di sekitarnya. Pembangunan kota-kota kecil seperti Kota Salatiga, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Temanggung diharapkan akan semakin cepat. Hal yang menarik adalah tidak semua kota-kota kecil yang dilalui jalur jalan ini berkembang dengan arah yang sama. Kota-kota yang memperlihatkan perkembangan industri cukup tinggi berada di sebelah timur kawasan ini, dan membentuk koridor yang membentang dari Kota Semarang sampai Kota Surakarta/Solo. Dampak terbentuknya koridor SemarangSolo ada pada kota-kota kecil yang dilalui antara kota besar tersebut. Di dalam koridor inipun tidak semua wilayah memperlihatkan perkembangan yang sama. Kota Salatiga mempunyai kegiatan industri paling sedikit dibanding enam kabupaten lainnya di dalam koridor ini. Kabupaten Klaten tidak tepat di jalur Semarang-Solo, namun pertumbuhan industri di kabupaten ini cukup tinggi hal ini dimungkinkan adanya multiplier effect dari kawasan tersebut. Banyak investor yang menanamkan modalnya di kawasan ini, selain itu banyak pula pembangunan perumahan untuk tempat tinggal pekerja industri. Perkembangan pembangunan kegiatan industri memperlihatkan adanya perbedaan jenis industri yang berkembang di masing-masing kabupaten dalam Koridor Semarang-Solo. Kota Semarang mempunyai perkembangan industri tertinggi diantara 6 kabupaten/kota yang masuk dalam koridor. Industri yang paling berkembang di Kota Semarang adalah industri pangan, kayu, bambu, rotan, rumput & sejenisnya untuk perabot rumah tangga, dan industri pakaian jadi. Kabupaten Semarang berkembang industri makanan, minuman, & tembakau. Secara nasional 12
yang tertuang dalam MP3EI Koridor Jawa Tengah ditetapkan untuk pengembangan industri-industri makanan dan minuman
industri tekstil. Kegiatan industri makanan dan
banyak terdapat di wilayah ini, sementara untuk tekstil kurang
berkembang namun yang berkembang adalah industri pakaian jadi. Perbedaan jenis industri yang berkembang dalam suatu wilayah juga menarik. Kondisi tersebut terjadi apakah karena sumberdaya seperti dikemukakan dalam teori keunggulan komparatif.
Semua di wilayah ini mempunyai akses
transportasi yang sangat baik sehingga bukan masalah lagi apabila harus mendatangkan bahan baku dari daerah lain sehingga sumberdaya wilayah bukan merupakan satu-satunya alasan. Berbagai pertimbangan dapat mempengaruhi keputusan investor. Pembangunan industri yang merupakan pabrik pengolahan memang membutuhkan daerah atau kawasan yang relatif belum padat penduduk apalagi pada industri menengah dan besar, kecuali perusahaan induk yang hanya mengatur administrasi dan riset dapat berada ditengah kota dan hanya membutuhkan lahan yang tidak terlalu luas. Polusi
yang diakibatkan oleh limbah hasil pengolahan
industri akan mempengaruhi kesehatan penduduk. Faktor tersebut menjadi salah satu pertimbangan seorang pengusaha untuk menetapkan suatu lokasi menjadi lokasi pabriknya, selain dari pertimbangan produksi lainnya, dan juga pertimbangan tata ruang atau kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah setempat dan berbagai peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Penetapan AMDAL sebagai salah satu prasyarat yang harus dipenuhi oleh pemilik industri sebelum membangun usahanya. Berbagai pertimbangan tersebut mengakibatkan pembangunan industri di suatu kawasan tidak sama. Ada industri yang mengelompok dalam satu kawasan, namun ada pula yang menyebar tak teratur, namun ada pula yang menyebar beraturan. Kondisi tersebut terjadi sepanjang Koridor Semarang-Solo, tentunya terdapat beberapa faktor yang mempengaruhinya. Hal yang sangat menarik untuk ditelaah dan dianalisa lebih jauh adalah terlihat adanya perbedaan pembangunan industri di perkotan dan perdesaan. Secara empiris terlihat bentukan pola keruangan yang sangat berbeda antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Atas dasar kondisi tersebut maka penelitian ini berusaha mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi 13
lokasi industri menengah dan besar di Koridor Semarang-Solo dan bentukan pola keruangan yang terjadi di masing-masing wilayah perkotaan dan perdesaan. Pola keruangan yang terjadi tentunya tidak secara tiba-tiba. Bentukan pola yang terjadi membutuhkan suatu proses. Perkembangan pertumbuhan tidak sama ke semua arah sehingga proses yang terjadi juga tidak akan sama. Selama beberapa tahun akan terjadi proses perubahan yang menunjukkan arah perkembangan menuju pola keruangan. Untuk itu proses keruangan yang terjadi penting pula dilihat agar dapat memperkirakan perkembangan pembangunan
yang akan datang. Adanya
proses yang terus menerus mengakibatkan perbedaan pola keruangan lokasi industri menengah dan besar di koridor Semarang-Solo akan selalu berubah. Untuk itu permasalahan-permasalahan tersebut sangat penting untuk dikaji lebih dalam melalui pendekatan proses keruangan dan pola keruangan.
1.3. Tujuan Sektor industri menengah dan besar merupakan salah satu sektor penting dalam pertumbuhan ekonomi wilayah. Perubahan arah pembangunan yang tidak memungkinkan untuk tetap mempertahankan sektor pertanian sebagai basis ekonomi menyebabkan sektor industri menjadi salah satu harapan peningkatan ekonomi wilayah. Kondisi tersebut menjadikan pertumbuhan sektor industri sangat penting, sehingga perkembangan orientasi pembangunan ekonomi menarik untuk dilihat lebih jauh. Untuk itu tujuan utama penelitian ini adalah mengkaji perkembangan industri di Koridor Semarang-Solo, baik dari pola keruangan yang terbentuk dan faktor-faktor yang menyebabkan perkembangan tersebut, untuk memudahkan operasionalisasi tujuan tersebut diperinci menjadi: 1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi lokasi industri di Koridor Semarang-Solo 2. Mengidentifikasi proses keruangan perubahan lokasi industri tahun 2006 dan 2011 yang ada di Koridor Semarang-Solo 3. Menemukan pola keruangan lokasi industri tahun 2006 dan 2011 di Koridor Semarang-Solo 14
1.4. Roadmap Penelitian Penelitian ini berawal dari penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu, seperti yang pernah dilakukan oleh Wahyudin (2003) yang meneliti ketimpangan spasial dan perubahan struktural pada industri manufaktur Indonesia dengan menggunakan metode indeks entropi theil, uji chow, dan CUSUM kuadrat. Hasil penelitian Wahyudin menunjukkan konsentrasi spasial cenderung meningkat. Perkembangan industri ini berkaitan dengan kawasan industri. Konsentrasi industri terbentuk akibat banyak pembangunan kawasan industri. Kondisi ini terjadi sejak ditetapkan Keppres no 53 tahun 1989 tentang pembentukan kawasan industri. Perkembangan konsentrasi tersebut dibuktikan juga dari penelitian Hidayati dan Mudrajat Kuncoro (2004) yang meneliti aglomerasi industri di lingkup greater Jakarta-Bandung. Penelitian ini membuktikan terbentuknya Koridor JakartaBandung selama dekade terakhir. Penelitian Kuncoro (2004) yang berjudul Adakah perubahan konsentrasi spasial industri manufaktur di Indonesia tahun 1976-2001. Penelitian ini melihat pengaruh deregulasi perdagangan antara 1985-1997 terhadap penyebaran dan atau meningkatkan konsentrasi spasial industri manufaktur di Indonesia dan juga pengaruhnya terhadap konsentrasi geografis industri manufaktur di Indonesia. Penelitian Arifin (2009) mengamati pertumbuhan ekonomi tingkat kabupaten pada empat koridor di Provinsi Jawa Timur, menganalisis ketimpangan, dan menganalisis konvergensi antar kabupaten. Penelitian Hidayati dan Kuncoro serta
penelitian
Arifin
selain
membuktikan
terbentuknya
kawasan
juga
memperlihatkan perkembangan yang mengelompok dan pembangunan kawasan industri banyak mengarah keluar kota, sehingga mengakibatkan terhubungnya kotakota sekitar. Penelitian-penelitian terdahulu tersebut menginspirasi untuk melakukan penelitian di Provinsi Jawa Tengah. Pada sebagian wilayah Provinsi Jawa Tengah juga terlihat perkembangan pembangunan industri yang menarik jika dilihat secara spasial. Untuk melihat lebih jauh faktor yang mempengaruhi, beberapa penelitan terdahulu yang menjadi dasar dalam penelitian ini seperti penelitian Busra (2005) berjudul Aglomerasi dan pertumbuhan industri manufaktur di Nanggroe Aceh Darusalam tahun 1997-2002 melihat pola konsentrasi daerah-daerah industri 15
manufaktur, dan menguji pengaruh kekuatan aglomerasi terhadap pertumbuhan tenagakerja pada sektor industri manufaktur di Nanggroe Aceh Darusalam. Penelitian Permadi (1991) Mengkaji penanaman modal dalam proses penentuan lokasi kegiatan industri. Hasil penelitian tersebut menyatakan lokasi industri ditentukan dengan pertimbangan keuntungan maksimal. Faktor yang sangat dipertimbangkan dalam penentuan lokasi industri adalah faktor tenaga kerja, pengangkutan, dan fasilitas komunikasi. Jenis industri yang dilakukan juga dapat mempengaruhi konsentrasi industri, seperti penelitian yang pernah dilakukan Arifin (2006) mengidentifikasi pola konsentrasi
spasial
industri
sedang
dan
besar
yang
berbasis
perikanan
mempergunakan SIG dan regresi linier ganda. Arifin menemukan lokasi industri manufaktur yang berbasis perikanan cenderung terkonsentrasi di Kabupaten Banyuwangi, Pasuruan, Sidoarjo, dan Kota Surabaya. Faktor yang mempengaruhi adalah penyerapan tenagakerja, input, dan pendapatan. Penelitian terdahulu telah menjadi dasar untuk melakukan penelitian ini. Hasil-hasil penelitian tersebut memunculkan ide untuk melakukan penelitian dengan fokus kewilayahan. Penelitian-penelitian terdahulu belum ada yang melihat adanya perbedaan perkembangan pembangunan industri di wilayah perdesaan dan perkotaan. Pembaharuan penelitian kajian spasio temporal lokasi industri menengah dan besar di Koridor Semarang-Solo terhadap penelitian sebelumnya adalah kajian pola keruangan penyebaran industri manufaktur skala menengah dan besar di Koridor Semarang-Solo dengan membedakan wilayah perdesaan dan perkotaan. Metode yang dipergunakan perhitungan regresi, GIS, dan perhitungan analisa tetangga
terdekat.
mengidentifikasi
Sebelum
proses
menemukan
yang terjadi
pola
keruangan,
dengan metode
GIS.
peneliti
juga
Metode
GIS
memperlihatkan arah perkembangan pembangunan lokasi industri, meluas, menyempit, atau tetap. Selain itu metode penelitian ini menggabungkan antara metode kuantitatif dan kualitatif merupakan metode baru dalam penelitian. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu dan kedudukannya terhadap penelitian sebelumnya dapat dilihat dalam Gambar 1.3
16
Tren Lokasi Industri
Individu Pembangunan industri masih menyebar sesuai kebutuhan masing-masing perusahaan.
Kawasan Terjadi pengelompokanpengelompokan di dalam kota dan berkembangnya kawasan industri sesuai Keppres no 53 tahun 1989
Penelitian Pendukung
Fokus Penelitian lokasi industri mengelompok menurut wilayah desa dan kota
Setelah Tahun 2000
Sebelum Tahun 1990
Permadi (1991) Kuncoro (2004)
Aglomerasi koridor Pembanguna lokasi industri mengelompok mengarah ke luar kota menuju kota besar di dekatnya
Wahyudin (2003), Busro (2005)
Hidayati dan Mudrajat Kuncoro (2004) Arifin (2009), Simbolon dan Tri Achmadi (2012)
Gambar 1.3. Keterbaruan Penelitian 17
Budiani (2015), Kajian Spasio-Tem poral Lokasi Industri Menengah dan Besar di Koridor SemarangSolo 2006 dan 2011
1.5.Manfaat Penelitian 1.5.1.Akademis Belum banyak penelitian tentang lokasi kegiatan industri di dalam ilmu geografi. Selama ini penelitian lokasi industri lebih banyak dikaji dari disiplin ilmu ekonomi yang lebih menekankan perhitungan-perhitungan matematis dan kurang melihat unsur sosialnya. Untuk itu secara akademis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan perbendaharaan teoritik atau konseptual dalam studi geografi industri. Perkembangan industri dilihat melalui pendekatan keruangan
yang
merupakan salah satu pendekatan dalam ilmu geografi. Penelitian ini membuktikan teori dan konsep-konsep geografi industri yang berkaitan dengan lokasi industri. Penelitian ini dapat memperkaya khasanah keilmuan terutama disiplin ilmu geografi. Hasil penelitian ini sangat penting khususnya terkait dengan kajian-kajian aspek geografi manusia yang menyangkut aktivitas manusia di bidang ekonomi. Kegiatan industri tidak hanya perhitungan matematis namun juga pertimbangan dan kondisi dari manusia pelakunya, sehingga di dalam kegiatan ini analisa geografi manusia harus dilibatkan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan bagi peneliti yang terkait dengan geografi menusia khususnya pada bidang geografi industri.
1.5.2.Praktis Penelitian ini dari sisi praktis diharapkan dapat bermanfaat bagi: 1. Pemerintah khususnya Provinsi Jawa Tengah sebagai bahan pertimbangan penyusunan rencana pembangunan dan pengendalian pengembangan industri. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengurangi permasalahan dalam pembangunan yang tidak merata sehingga kesejahteraan dapat dirasakan di semua wilayah. 2. Dinas perindustrian dan instansi terkait dalam pertimbangan pemberian izin pendirian industri baru 3. Dunia
usaha
khususnya
industri
pengembangan usaha.
18
dan
perdagangan
untuk
kajian
1.6. Keaslian Penelitian Penelitian yang berkaitan dengan penyebaran industri sudah cukup banyak diteliti sebagaimana telah dijelaskan dalam roadmap penelitian, namun penelitian tentang konsentrasi industri dengan melihat wilayah desa kota melalui pendekatan ilmu geografi belum pernah dilakukan, penelitian yang banyak dilakukan dari ilmu ekonomi sehingga penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Secara rinci tujuan yang pertama, dan kedua pada penelitian penelitian ini belum ada yang melakukan penelitian. Namun sebenarnya beberapa penelitian sudah menganalisa faktor yang berpengaruh, hanya tidak secara eksplisit di dalam tujuan penelitian.
Lokasi penelitian dari seluruh hasil penelusuran literatur berbeda,
Penelitian yang mengemukakan faktor yang berpengaruh yang dilakukan oleh Wahyudin (2003) dan penelitian Kuncoro (2004) mengambil lokasi di seluruh wilayah Indonesia. Penelitian Busro(2005) mengambil lokasi di Nanggroe Aceh Darusalam, Penelitian Hidayati (2004) berlokasi di Jakarta dan Bandung, dan Arifin (2006) mengambil lokasi di Jawa Timur, sementara penelitian
ini berlokasi di
Koridor Semarang-Solo. Selain itu pada penelitian-penelitian pendekatan yang digunakan lebih banyak dengan pendekatan ilmu ekonomi, sedang pada penelitian ini menggunakan pendekatan keruangan yang dipergunakana dalam ilmu geografi. Tujuan ketiga penelitian yang dilakukan ini ada persamaan pada tujuan pertama Wahyudin, tujuan kedua Hidayati (2004), tujuan ketiga Busro (2005), dan tujuan Arifin (2006) namun metode yang dipergunakan berbeda. Penelitian Wahyudin(2003) mempergunakan indeks entropi theil. Penelitian Hidayati, Arifin dan Busro mempergunakan metode GIS, sedang penelitian ini mempergunakan analisa tetangga terdekat dan pola keruangan menggunakan SIG. Metode penelitian terdahulu mempergunakan metode analisa kuantitatif, sementara dalam penelitian ini memadukan dua metode yaitu metode kuantitatif dan metode kualitatif. Metode kualitatif
hasil wawancara (indept interview) dengan
pelaku usaha dipergunakan untuk memperkuat analisa kuantitatif yang sangat minim informasi. Secara lebih rinci perbedaan penelitian yang dilakukan dengan penelitian sebelumnya dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut:
19
Penulis, tahun Permadi, Agus (1991)
Boasson, Emil.(2002)
Judul Preferensi Penanam Modal Terhadap Faktor Lokasi Industri
The Development And Dispersion of Industries At The County Scale In The United States 19691996: An Integration of Geographic Information Systems (Gis), Location Quotient, and Spatial Statistics Wahyudin, M Ketimpangan Spasial (2003) dan Perubahan Struktural Industri Manufaktur Berorientasi Eksport (Indonesia, 19901999)
Tujuan
Tabel 1.1. Penelitian Sebelumnya Metode
Hasil
Mengkaji penanaman Tabel frekuensi modal dalam proses penentuan lokasi kegiat an industri
Pertimbangan lokasi yang utama adalah lokasi dengan keuntungan maksimal. Faktor umum yang sangat dipertimbangkan dalam penentuan lokasi industri adalah faktor tenaga kerja, pengangkutan, dan fasilits komunikasi
Menganalisis pembangunan ekonomi regional
Analisis ekonomi regional telah dimanfaatkan untuk eksplorasi visual dan statistik pada autokorelasi dan spillover efek spasial pada konsentrasi daerah industri, perubahan struktur industri, dan keunggulan kompetitif. GIS yang tersedia seperti ArcView tidak dapat untuk pemodelan interaktif, analisis statistik spasial dan temporal, dan dinamis visualisasi antar ruang dan waktu. Evolusi distribusi industri pengelompokan spasial yang signifikan secara statistik.
Integrasi SIG location quotient (LQ), technique, Moran’s I statistic, analissi shiftshare, and Simpson’s index.
Menganalisis Indeks entropi theil, uji ketimpangan spasial Chow, CUSUM kuadrat dan perubahan structural pada industry manufaktur Indonesia yang berorientasi eksport tahun 19901999
20
Trend industri manufaktur berorientasi eksport lebih menyebar dibandingkan dengan trend tenaga kerja. Konsentrasi spasial cenderung meningkat setelah diluncurkannya beberapa paket deregulasi tahun 1996-1997. Perkembangan industry manufaktur berorientasi eksport terbukti berkaitan dengan kaawasan industry, terutama berkaitan dengan kawasan industrinberikat (bonded zone) seperti Kota Batam, Jabotabek, dan Tanjung Priuk.
Lanjutan Tabel 1.1 Penulis, Judul tahun Hidayati, Konsentrasi Amini dan Geografis Industri Mudrajad Manufaktur di Kuncoro Greater Jakarta dan (2004) Bandung Periode 1980-2000: Menuju Satu Daerah Aglomerasi?.
Kuncoro, Mudrajad. (2004)
Adakah Perubahan Konsentrasi Spasial Industri Manufaktur di Indonesia, 19762001
Tujuan
Metode
1. mengidentifikasi di Geography Information daerah mana saja System (GIS). aglomerasi industri berlokasi dalam lingkup greater (Jakarta dan Bandung), 2. mengetahui bagaimana pola dinamikanya selama periode 1980-2000.
Mengetahui deregulasi Analisa data sekunder perdagangan antara menggunakan indeks 1985-1997, mendorong entropi theil perubahankonsentrasi spasial industri manufaktur di Indonesia selama periode 19762001 Pengaruh deregulasi perdagangan dan krisis ekonomi dan perubahan mendasar dalam konsentrasi geografis industri manufaktur di Indonesia. 21
Hasil Daerah aglomerasi pada tahun pertama pengamatan hanya ditemukan di daerah metropolitan utama, dua dekade kemudian menyebar luas. Pola penyebaran aglomerasi IBM hanya bias di sekitar daerah-daerah metropolitan utama yaitu daerah yang dikenal sebagai Extended Metropolitan Region seperti Jabotabek, Kerawang, Purwakarta, dan Serang. Pada perkembangannya aglomerasi ini ternyata membentuk suatu jaringan kota yang menghubungkan aglomerasi di Greater Jakarta dan Bandung sehingga menjadi satu kesatuan aglomerasi yang besar Pola kesenjangan spasial berbentuk kurva ’U’ yang mencerminkan periode penyebaran (dispersi) kgiatan manufaktur telah digantikan oleh periode meningkatnya konsentrasi geografis. Perubahan struktural telah terjadi selama periode sebelum deregulasi perdagangan, periode pasca deregulasi perdagangan, dan krisis ekonomi. Deregulasi perdagangan, bersama serangkaian deregulasi yang diterapkan di Indonesia justru memperkuat konsentrasi spasial.
Lanjutan Tabel 1.1 Penulis, Judul tahun Busra (2005) Aglomerasi Dan Pertumbuhan Industri Manufaktur Di Nanggroe Aceh Darusalam Tahun 1997-2002.
Tujuan 1. mengidentifikasi pola konsentrasi daerah-daerah industri manufaktur secara spatial 2. menguji pengaruh kekuatan aglomerasi terhadap pertumbuhan tenaga kerja di sektor industri manufaktur. Mengidentifikasi pola konsentrasi spasial industri sedang dan besar yang berbasis perikanan
Arifin, Zainal. Konsentrasi Spasial (2006) Industri Manufaktur Berbasis Perikanan Di Jawa Timur (Studi Kasus Industri Besar dan Sedang) Arifin,Zainal Kesenjangan dan 1.mengamati (2009) Konvergensi pertumbuhan ekonomi Ekonomi Antar tingkat kabupaten di Kabupaten Pada empat koridor Empat Koridor di 2.menganalisis Propinsi Jawa timur ketimpangan antar kabupaten di empat koridor 3.menganalisis konver gensi antar kabupaten di empat koridor
Metode
Hasil
Metode Geografi Information System (GIS) dan analisa regresi data panel.
konsentrasi industri manufaktur di Nanggroe Aceh Darusalam tidak merata. Terdapat tiga subsektor industri manufaktur di daerah tersebut yang menyerap tenaga kerja dan menghasilkan nilai tambah yang besar yaitu industri makanan dan minuman, industri kayu, produksi kayu dan pengolahan rotan, serta industri kimia. Variabel yang berpengaruh yaitu upah, lag tenaga kerja, pendapatan perkapita.
SIG, regresi linier ganda
Lokasi industri manufaktur yang berbasis perikanan cenderung terkonsentrasi di Kabupaten Banyuwangi, Pasuruan, Sidoarjo, dan Kota Surabaya. Faktor yang mempengaruhi adalah penyerapan tenagakerja, input, dan pendapatan
Penghitungan pertumbuhan ekonomi, indeks williamson, indek entropi theil, analisis konvergensi
Pertumbuhan rata-rata kaupaten/kota di Propinsi Jawa Timur masih mengalami ketidakstabilan; masih ada peningkatan kesenjangan antar kabupaten di keempat koridor; belum adanya perbaikan pertumbuhan ekonomi pada tingkat kabupaten di keempat koridor di Propinsi jawa Timur.
22
Lanjutan Tabel 1.1 Penulis,tahun Judul Iriani, Yani Analisis Pengaruh dan Defi Faktor-Faktor Septiyanto. LokasiTerhadap (2009) Lokasi Strategis dan Penentu Lokasi Pusat Distribusi PupukUrea di PT Pupuk Kujang Woharn, Thara Wong. Mohd Yusof Hussai. Azima Abdul Manaf. (2010)
Faktor penentu pemilihan lokasi industri pembuatan: Kajian kes Kawasan Perindustrian Nilai
Yusof, Pelaburan Langsung Nooriah(2011) Asing dan Pembangunan Industri Barangan Elektrik dan Elektronik di Negeri Pulau Pinang, 1970–2007
Tujuan Merumuskan factorfaktor yang harus diperhatikan dalam penentuan lokasi Memberikan usulan alternative pusat distribusi yang strategis Mengkaji factor penentu lokasi industri manufaktur di kawasan perindustrian baru nilai, negeri Sembilan, Malaysia
Metode Analisis jalur, Dan metode promethee (Preference Ranking Organization Method for Enrichment Evaluation)
Hasil Hal yang perlu dipertimbangkandalam penentuan lokasi yaitu: lokasi strategis, fasilitas, jumlah pesaing, jarak dari pabrik ke calon lokasi, dan harga sewa kavling
kaedah frekuensi dan diskriptif.
proses perkembangan industri Barang Elektrik dan Elektronok (BEE) di Malaysia
diskriptif
perspektif pemilihan lokasi adalah berbeda di antara firma sasaran faktor utama yang mempengaruhi perletakan industri pembuatan di Kawasan Nilai. Responden di kawasan kajian lebih mementingkan faktor buruh mahir yaitu buruh mahir lelaki, pasaran luar negara, kemudahan mencapai pelabuhan, kemudahan pengangkutan jalanraya serta kemudahan angkutan kereta, kemudahan telekomunikasi dan faktor tempat atau lokasi strategis. Investasi dalam sektor industri pengolahan di Pulau Pinang menunjukkan dominasi direct capital investment yang tinggi terutamanya dari negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang yang menjadi investor awal yang datang ke Malaysia. Sektor industri BEE didominasi oleh lembaga asing yang menanam modal di Malaysia dan merupakan nadi kepada pembangunan ekonomi di Malaysia.
23
Lanjutan Tabel 1.1 Penulis,tahun Judul Simbolon, Analisis Hubungan Maulana Kluster Industri Prasetya dan dengan Tri Achmadi. Penentuan Lokasi 2012 Pelabuhan: Studi Kasus Pantai Utara Pulau Jawa Budiani, Sri Rahayu (2015)
Tujuan mengetahui keterkaitan hubungan antara industri dengan penentuan lokasi pelabuhan serta faktor yang mempengaruhinya
Kajian Spasio4. Mengidentifikasi Temporal Lokasi faktor-faktor yang Industri Menengah mempengaruhi lokasi dan Besar Di Koridor industri di Koridor Semarang-Solo Semarang-Solo Tahun 2006 dan 2011 5. Mengidentifikasi proses keruangan perubahan lokasi industri tahun 2006 dan 2011 yang ada di Koridor SemarangSolo 6. Menemukan pola keruangan lokasi industri tahun 2006 dan 2011 di Koridor Semarang-Solo
Metode metode komparasi hasil perhitungan model deterministic dan Gravitasi dengan Pembatas Tunggal, analisis korelasi (model uji kebebasan dan Crammer’s-Coefficient of Association). Regresi, GIS, tetangga terdekat
24
Hasil Hasil perhitungan menunjukkan adanya hubungan antara lokasi pelabuhan dengan lokasi industri dimana lokasi kluster industri terlebih dahulu ada dan diikuti lokasi pelabuhan. Faktor utama yang berpengaruh dalam penentuan lokasi pelabuhan adalah jumlah kunjungan kapal.
Faktor yang berpengaruh pada lokasi industri di Koridor Semarang – Solo adalah faktor transportasi, dan kepadatan penduduk. Di Perkotaan kepadatan penduduk mempunyai nilai Beta negatif, sedang di perdesaan mempunyai nilai Beta positif. Proses keruangan yang terjadi selama 5 tahun adalah kuantitas gejala bertambah dan luasan gejala meluas. Secara umum pola keruangan di seluruh Koridor Semarang-Solo adalah mengelompok. Di Perkotaan mempunyai pola keruangan area mengelompok, dan di perdesaan mempunyai pola garis memanjang