BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Penelitian ini mendiskusikan female foeticide dan infanticide sebagai sebuah fenomena politik pendisiplinan tubuh perempuan dalam kehidupan sosial masyarakat India. India merupakan sebuah negara dengan kekuatan global yang besar pada abad ke-21 dengan realitas kesenjangan sosial yang lebar. Hal ini muncul di banyak bidang kehidupan, seperti dalam hal kesempatan bekerja, akses dalam mendapatkan perawatan kesehatan, dan hal-hal yang terkait hak kepemilikan individu. Masih banyak kesenjangan yang cukup besar antara tujuan yang tercantum dalam konstitusi, undang-undang, kebijakan, rencana program dan mekanisme terkait di satu sisi dan realitas situasional dari situs perempuan di India. Perempuan India selama ini rawan menjadi korban kekerasan seperti pemerkosaan, penculikan, kejahatan mahar yang meliputi penyiksaan, pelecehan seksual, dan pembunuhan berbasis gender. Segala bentuk kejahatan yang harus dihadapi perempuan India merupakan salah satu implikasi dari budaya patriarki, dan juga menjadi akar penyebab terjadinya pembunuhan berdasarkan gender (gendercide) yaitu female foeticide dan infanticide pada bayi atau janin yang diketahui berjenis kelamin perempuan.1 Female foeticide dan infanticide merupakan tindakan yang saling berkaitan, dimana ketika foeticide gagal dilakukan, maka berlanjut pada tindakan infanticide. Female foeticide atau sex-selective abortion merupakan upaya pengguguran janin ketika janin yang dikandung oleh sang ibu diketahui berjenis kelamin perempuan, dan jika upaya pengguguran janin tersebut gagal atau sudah terlanjur dilahirkan, maka bisa berlanjut pada tindakan female infanticide yaitu upaya pembunuhan pada orok yang sudah dilahirkan dan diketahui berjenis kelamin perempuan. Kedua tindakan ini mengakibatkan berkurangnya populasi perempuan di India dan dikategorikan sebagai sebuah upaya gendercide. Allison Pearson, “In the Third World, Unwanted Baby Girls ‘Dissapear’. Its Called Gendercide. And it’s Happening in this Country, too”, The Telegraph, 24 Februari 2012,
diakses pada 19 april 2016 1
Fenomena female foeticide dan infanticide muncul dalam bentuk ketidakseimbangan dalam rasio kelamin penduduk dan di beberapa negara bagian India. Rasio jenis kelamin anak perempuan terhadap anak laki-laki mengalami penurunan menjadi kurang dari 800:1000. Dari tahun 1991 sampai 2001, tingkat kelahiran bayi perempuan ada di angka 18 bayi perempuan per 1000 kelahiran, sedangkan tahun 2011 tingkat kelahiran bayi perempuan mengalami penurunan yaitu 13 bayi perempuan per 1000 kelahiran.2 Data yang dicantumkan ini merupakan data yang diambil setelah India meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), tetapi dengan adanya penurunan tingkat kelahiran bayi perempuan ini jelas menunjukkan bahwa ada peningkatan genosida perempuan, dan data ini tidak mendukung klaim bahwa CEDAW seharusnya mampu mengurangi tingkat kekerasan pada perempuan.3 Tabel 1 menjelaskan bagaimana data statistik kelahiran bayi perempuan di India berdasarkan sensus yang dilakukan dalam siklus sepuluh tahun sekali:
Tabel 1 0-6 Age Group Child Sex Ratio in India for the Year 1981, 1991 and 2001
Sumber: R. Dagar, Identifying and Controlling Female Foeticide and Infanticide in Punjab, halaman 3-4
B. Khanna, “CEDAW and The Impact on Violence Against Women in India”, UW Bothell Policy Journal, 2013, hal. 35-36 3 R. Dagar, Identifying and Controlling Female Foeticide and Infanticide in Punjab, Chandigarh: Institute for Development and Communication, 2002, hal. 3-4 2
Tabel ini menunjukkan adanya penurunan jumlah anak perempuan di India, dimana rasio jumlah anak perempuan umur 0-6 tahun di tahun 1981 adalah 962:1000, sepuluh tahun berikutnya yaitu tahun 1991 rasio anak perempuan semakin mengalami penurunan yaitu 945:1000, dan sensus berikutnya pada tahun 2001 anak perempuan semakin sedikit dengan rasio 928:1000. Data sensus pada tabel ini menyimpulkan bahwa jumlah anak perempuan di India mengalami penurunan setiap sepuluh tahun sekali, dengan asumsi berkurangnya jumlah bayi perempuan tersebut disebabkan karena adanya praktik-praktik aborsi janin (foeticide) ataupun karena pembunuhan orok (infanticide).4 Total keseluruhan penduduk India dari sensus terakhir yang dilakukan pada tahun 2011 menunjukkan total penduduk sebanyak 1.210.569.573, dengan jumlah anak laki-laki umur 0-6 tahun adalah 85.732.470 dan anak perempuan 0-6 tahun sebanyak 78.754.680 seperti yang digambarkan pada Tabel 2:
Tabel 2 Total Jumlah Penduduk India Tahun 2001 dan 2011
Sumber: CensusInfo India 2011, censusindia.gov.in/2011census/censusinfodashboard/
Hasil pendataan sensus India tahun 2011 menunjukkan ada selisih antara laki-laki dan perempuan sebanyak 6.986.790, dan ketidakseimbangan rasio anak laki-laki dan perempuan di India ini tidak hanya terjadi di tahun 2011 saja. Karena seperti yang telah ditunjukkan pada
4
R. Dagar, Identifying and Controlling Female Foeticide and Infanticide in Punjab, p. 3-4
tabel sebelumnya yaitu Tabel 1, sensus yang dilakukan persepuluh tahun selalu menunjukkan adanya ketidakseimbangan rasio antara anak laki-laki dan anak perempuan. Bisa diasumsikan adanya upaya kontrol sosial terhadap rasio jenis kelamin penduduk India. Data sensus menunjukkan adanya korelasi positif antara kondisi sosial-ekonomi dan budaya yang terdapat di India dan rasio jenis kelamin yang tidak seimbang. Abad ke-21 yang ditandai dengan kondisi teknologi yang lebih canggih dan pembangunan yang secara normatif dipandang lebih baik justru terdapat potensi melakukan kontrol terhadap kelompok-kelompok sosial. Adanya tes pendeteksian dini pada kehamilan dianggap menjadi faktor yang memungkinkan identifikasi kelompok sosial yang mengarah pada tindakan female foeticide.5 Hal ini dibuktikan dengan data yang menunjukkan bahwa pihak medis yang menentang foeticide justru ikut serta melakukannya karena dua alasan, yaitu adanya tekanan yang timbul dari persaingan tidak sehat di jasa kesehatan sehingga instansi medis yang tidak memberikan pelayanan aborsi tidak akan laku di pasaran masyarakat India, dan yang kedua adalah implikasi yang akan didapatkan oleh perempuan yang tidak melakukan aborsi, maka ketika kembali ke rumahnya mereka akan mendapatkan kekerasan dari suaminya.6 Ditemukannya lebih dari 10.000 kasus female foeticide dan infanticide membuat pemerintah India terus memperketat regulasi untuk menekan kasus ini, seperti Dowry Prohibition Act 1961, amandemen Hindu Succession Act, pembentukan National Mission for Empowerment of Woman, program One Plus One, The Pre-natal Diagnostic Techniques Act 1994, dan masih banyak kebijakan lainnya. Meskipun berbagai kebijakan telah diterapkan, kasus female foeticide dan infanticide masih mengalami peningkatan. Fenomena female foeticide dan infanticide jika dibaca sebagai relasi politik menunjukkan adanya faktor kekuasaan dalam relasi gender. Peran gender dari seorang ibu selama ini diasosiasikan dengan mengurus anak yang dilahirkannya.7 Dalam kasus female foeticide dan infanticide di India, seorang ibu yang secara normatif sering diidentikan dengan sosok feminin dengan perilaku yang lemah lembut, perasa dan penuh kasih sayang seolah menjadi sosok 5
R. Dagar, Identifying and Controlling Female Foeticide and Infanticide in Punjab, hal. 1 Sneh Lata Tandon dan Renu Sharma, “Female Foeticide and Infanticide in India: An Analysis of Crimes against Girl Childres”, International Jurnal of Criminal Justice Science, Vol 1 Issue 1 Januari 2006, India, University of Delhi, hal. 2 7 J.C. Mosse, Half The World, Half a Chance: An Introduction to Gender and Development, dalam Bahasa Indonesia: Gender dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, p. 38-39 6
maskulin yang selalu dikaitkan dengan otonomi, rasional, objektif dan bertindak dengan menggunakan logika. Penulis berasumsi bahwa hal ini tidak terlepas dari bagaimana relasi gender dalam lingkungan masyarakat dibangun. Penelitian ini menjadi penting ketika melihat bagaimana sebuah fenomena female foeticide dan infanticide menjadi suatu tindakan terkait dengan pendisiplinan tubuh perempuan yang melibatkan berbagai aspek dalan lingkungan masyarakat India. Keputusan dari ibu sebagai individu pengambil keputusan tidak dapat dipisahkan dari relasi politik yang memungkinkan terjadi. Di dalamnya terdapat peran masyarakat dan lembaga-lembaga dalam masyarakat. Bahkan negara sekalipun menjadi arena dimana politik pendisiplinan tubuh perempuan berlangsung, sehingga pemerintah negara sebagai lembaga tertinggi yang secara normatif bertugas untuk mengatur masyarakatnya justru dipertanyakan perannya dalam mengatasi kasus ini. Penulis ingin mengamati female foeticide dan infanticide sebagai bentuk pendisiplinan tubuh perempuan dalam budaya patriarki masyarakat India. Pendisiplinan ini juga mungkin terjadi karena tubuh perempuan menjadi target utama represi ketika terjadi tekanan yang mengancam kebutuhan hidup. Yang ingin dikaji lebih lanjut adalah bagaimana relasi kekuasaan beroperasi sehingga tubuh manusia seolah menjadi suatu milik pribadi8 dan ketika tubuh itu mengancam kebutuhan individu yang merasa memilikinya, maka pemiliknya berhak melakukan tindakan dengan dalih melakukan sebuah tindakan pendisiplinan. Foeticide maupun infanticide bisa jadi merupakan sebuah cara mendisiplinkan tubuh perempuan dalam menghadapi konsekuensi sosial peran gender yang melekat pada tubuh bayi-bayi perempuan ketika mereka dewasa. Pendalaman terhadap fenomena ini oleh karenanya diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai dominasi kekuasaan dan politisasi terhadap tubuh perempuan.
8
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of Prison, ____, New York, Vintage Books A Division of Random House, hal. 11
1.2.Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka penulis memformulasikan rumusan masalah sebagai berikut: “Bagaimana politik pendisiplinan tubuh berlangsung dalam kasus female foeticide dan infanticide di India?”
1.3.Tinjauan Pustaka 1.3.1. Makna dari Pendisiplinan Tubuh Pada bagian ini penulis berusaha untuk melihat bagaimana sebuah tindakan foeticide maupun infanticide sebagai salah satu bentuk pendisiplinan tubuh, sehingga penulis memetakan beberapa literatur terkait pemaknaan dari apa yang dimaksud dengan pendisiplinan tubuh. Pendisiplinan tubuh bisa dimaknai dengan banyak definisi tergantung bagaimana seseorang melihatnya dari sudut pandang yang mereka yakini, seperti berikut: Pertama, berdasarkan karya jurnal Margaret D. Kamitsuka yang berjudul “Feminist Scholarship and its Relevance for Political Engagement: The Test Case of Abortion in the US”, Kamitsuka melihat kasus foeticide ataupun infanticide dengan menggunakan prinsip Personal is Political. . Prinsip ini berusaha menjelaskan tentang keterkaitan antara dimensi politik dan agama yang tidak bisa dipisahkan, dan kedua dimensi ini menghasilkan efek sosial-politik. Prinsip ini melihat dunia pada dasarnya dipenuhi konflik karena adanya kepentingan tumpang tindih sehubungan dengan makro-politik serta masalah pribadi. Dalam hidup, manusia dituntut untuk mengambil keputusan dalam hidupnya, dan tindakan foeticide merupakan upaya mengendalikan tubuh mereka sendiri sebagai bentuk pendisiplinan tubuh. Tindakan foeticide yang dilakukan perempuan adalah contoh kurangnya kontrol politik atas tubuhnya sendiri. Sejarah panjang menunjukkan bahwa tubuh perempuan sering dipolitisasi, sehingga perempuan dekat dengan tindakan perbudakan dan kekerasan. Maka tindakan foeticide merupakan salah satu bentuk keputusan politis yang mereka ambil untik mendisiplinkan tubuhnya sendiri atau untuk mengontrol dirinya sendiri dari kemungkinan-kemungkinan masalah pribadi yang bisa muncul karena kelahiran seorang anak.
Kedua, Navtej Purewal (2014) dalam penelitiannya yang berjudul “Identities: Global Studies in Culture and Power” berusaha menjelaskan tentang fenomena foeticide berdasarkan konsep Discipline Michel Foucault. Dalam konsep Foucault yang digunakan oleh Purewal, disiplin beredar melalui beberapa sirkuit kekuasaan, seperti individu, keluarga, rumah tangga dan masyarakat. Dalam kasus female infanticide dan foeticide di India, kekuatan disiplin bekerja di level individu, dimana kondisi manusia dilihat sebagai sebuah tubuh, lalu kemudian difokuskan pada populasi yang lebih luas untuk menanamkan keteraturan atau kedisiplinan. Teknologi kekuasaan dan pendisiplinan dimasukkan dalam dimensi tubuh, rahim, dan hubungan kekerabatan. Tindakan aborsi (foeticide) janin perempuan merupakan salah satu upaya pendisiplinan yang pada hal mendasar dibentuk oleh preferensi anak dalam konteks ekonomi politik keluarga, dimana adanya persepsi positif untuk anak laki-laki dan negatif untuk anak perempuan. Argumen Purewal kemudian berlanjut pada analisis di level negara, dimana pemerintah merupakan salah satu pemegang kekuasaan yang telah berupaya melakukan kontrol pada masyarakatnya dengan menggunakan strategi discipline-mechanism yang dikombinasikan dengan discipline-blockade untuk menanggapi pelaku female foeticide dan infanticide. Tetapi penguasa yang bisa menjalankan kontrol sosial dan menggerakkan normalisasi bukan hanya pemerintah, tetapi juga keluarga dan institusi masyarakat. Dan yang terjadi pada kenyataannya, kekuasaan di level individu dan keluarga lebih kuat sehingga wacana mitos dan patriarki yang beredar di lingkungan keluarga dan masyarakat mampu mengkontrol tindakan seseorang untuk melakukan female foeticide dan infanticide. Sedangkan di satu sisi, pemerintah India dengan gencar menerapkan kebijakan anti-aborsi yang kemudian terjadilah benturan antara pendisiplinan di lingkungan keluarga yang lebih kuat dibandingan dengan yang diupayakan pemerintah. Terdapat jurang antara wacana publik dan diskursus diranah private terkait kasus female infanticide dan foeticide, dimana wacana publik menyuarakan anti-aborsi, sedangkan di sisi lain diskursus mengenai ideologi patriarki masih terus dinormalisasi. Akibatnya, regulasi pendisiplinan terhadap tubuh perempuan melalui tindakan infanticide atau foeticide terjadi secara diam-diam, Melalui penelitian ini Purewal menunjukkan bahwa pendisiplinan tubuh yang berlandaskan konsep Foucault terjadi pada dua level analisis.
1.3.2. Fenomena Female Infanticide dan Foeticide di level Individu, Masyarakat dan Negara
Jika dilihat berdasarkan akar permasalahannya, maka tindakan female foeticide dan infanticide bisa terjadi sebagai hasil kekuasaan di beberapa level interaksi, yaitu masyarakat, individu dan negara. Sudut pandang yang pertama adalah dilihat dari kondisi sosial masyarakat, dimana seperti yang ditulis dalam sebuah jurnal yang ditulis oleh Pramod Kumar Srivastava (2014) dengan judul “Female Infanticide in 19th – Century India: A Genocide?”, tulisan Dr. Kavita Koradia (2013) dalam jurnal yang berjudul “Female Foeticide and Infanticide: An Educational Programme for Adolescent of Jaipur City”, dan sebuah laporan hasil dari Working Group on the Girl Child dalam Conference of NGOs with Consultative Status with the United Nations (CONGO) yang dilaksanakan di Jenewa dengan judul “A Girl’s Right to Live”. Dalam tulisannya, Srivastava mencoba melihat bagaimana sebuah tindakan infanticide dan foeticide menjadi begitu lumrah terjadi di lingkungan masyarakat India. Ia fokus pada sejarah, dimana adanya penafsiran dalam kitab suci agama kuno Hindu yang mengatakan bahwa untuk mencapai sebuah keselamatan, maka seseorang harus memiliki anak laki-laki. Karena anak laki-lakilah yang kelak menjadi penebus hutang ayahnya, sehingga anak laki-lakilah yang berhak mewarisi harta ayahnya. Penafsiran inilah yang kemudian membuat masyarakat India menjadi negara dengan sistem patriarki dan cenderung lebih menginginkan anak laki-laki, sehingga dimulailah tindakan infanticide yang terus berlanjut hingga masa kolonialisme Inggris. Pasca-kolonial, ketika penemuan teknologi semakin berkembang maka alat pendeteksi janin telah ditemukan dan semakin mempermudah tindakan aborsi atau foeticide. Dalam tulisannya ini, Srivastava mempertegas bahwa tindakan female foeticide dan infanticide ini tidak terlepas dari faktor historis sosial budaya yang panjang.
Sementara Srivastava fokus pada historis yang panjang mengenai munculnya female foeticide dan infanticide, laporan CONGO lebih melihat ke dalam akar permasalahan kasus ini, mengapa hingga masa moderen seperti sekarang tindakan yang telah terjadi sejak masa India Kuno dalam realitanya masih terus terjadi dan mengalami peningkatan. CONGO melihat bahwa akar permasalahan utama dari tindakan female foeticide dan infanticide ini adalah karena kondisi sosial masyarakat India yang masih menjalankan sistem-sistem budaya patriarki yang berdampak pada kondisi perekonomian suatu keluarga yang memiliki anak perempuan , dimana adanya pembagian pola pikir yang berbeda tentang anak perempuan dan anak laki-laki. Interaksi di level kedua adalah adanya tekanan dari dalam diri individu yang dijelaskan dalam “Preventive Measures for Elimination of Female Foeticide” karya B.R.Siwal dan penelitian Reylaura M.Cantave (2014) dengan judul “Female Foeticide, Infanticide, and Gender Inequality Concern in India: Role of Policy”. Dalam tulisan Siwal, ia menyampaikan bahwa tindakan female foeticide dan infanticide terjadi karena tekanan dalam diri individu atau pihak yang melakukannya. Membesarkan anak perempuan merupakan hal yang berat bagi individu yang memiliki anak perempuan karena dianggap kurang menguntungkan dari segi ekonomi dibandingkan anak laki-laki. Sehingga argumen utama yang disampaikan Siwal adalah melihat female foeticide dan infanticide dilakukan atas dasar keinginan pribadi seorang individu dengan meyakini pilihannya bahwa membunuh anak perempuannya lebih baik dibandingkan harus menanggung beban dikemudian hari. Hal ini menunjukkan bahwa sebuah status sosial seorang individu lebih penting dibandingkan nilai kehidupan seorang anak perempuan. Tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan Siwal, Centave juga berpendapat yang sama dalam tulisannya mengenai tindakan female foeticide dan infanticide cenderung terjadi di lingkungan keluarga dengan kondisi perekonomian yang minim. Memiliki pendidikan tinggi, kemakmuran ekonomi dan memiliki keluarga yang sehat justru cenderung terhindar dari mindset tindakan foeticide dan infanticide, dan tindakan ini cenderung dilakukan oleh perempuan yang kurang dalam wawasan dunia luar sehingga apa yang ada dalam pikirannya masih terbelenggu dogma agama dan ia kurang memiliki kapasitas untuk membuat keputusan sendiri, terutama yang mencangkup pengendalian atau
kontrol pada tubuh sendiri. Sistem patriarki menyebabkan laki-laki memiliki kontrol tubuh terhadap perempuan yang kemudian mempengaruhi psikologis diri perempuan yang akhirnya mengalami tekanan akan dampak kekerasan yang mereka alami sehingga demi keberlangsungan hidupnya, sang ibu akhirnya melakukan foeticide atau infanticide terhadap calon anak perempuannya. Dan level analisis ketiga adalah negara atau pemerintah yang disampaikan oleh Pramod Kumar Srivastava (2014) dalam penelitiannya yang berjudul “Female Infanticide in 19th – Century India: A Genocide?” dan jurnal karya Dr.Krushna Chandra Jena yang berjudul “Female Foeticide in India: Serious Challenge for the Society”. Pada level analisis ini, kedua literatur tidak melihat negara sebagai penyebab dari terjadinya female infanticide dan foeticide, tetapi lebih melihat kondisi pemerintah yang tidak mampu menekan angka pembunuhan bayi atau janin perempuan di India. Dalam tulisannya Srivastava menjabarkan dengan runut bagaimana perkembangan pemerintahan India mulai sejak pra-kolonial hingga saat ini, dengan berbagai kebijakan yang telah diterapkan untuk menekan tindakan female foeticide dan infanticide tetapi nyatanya belum mampu mengadopsi strategi-strategi yang baik dalam melakukan pengontrolan tindakan masyarakat. Kondisi masyarakat India yang memiliki banyak jenis kepercayaan atau keyakinan menjadi salah satu kelemahan pemerintah India dalam mengontrol masyarakatnya. Penelitian yang dilakukan Srivastava berusaha mengungkap historis tentang tindakan yang pernah dilakukan pemerintah India baik pada masa pra ataupun pasca yang cenderung pengimplementasiannya yang kurang efektif sehingga tidak mampu menekan banyaknya kasus female infanticide dan foeticide, sedangkan tulisan yang disampaikan oleh Dr.Krushna lebih terperinci mengenai isi-isi akan kebijakan pemerintah India. Tulisan Dr.Krushna menjadi pelengkap penelitian Srivastava dengan menyampaikan evaluasinya terhadap pemerintah India, dimana Dr.Krushna merasa bahwa undang-undang dan peraturan hukum yang ketat tidak akan mampu mengurangi tindakan ini terjadi kembali di masyarakat tanpa adanya pendekatan ataupun sosialisasi khusus untuk masyarakat akan pentingnya seorang anak perempuan dan apa konsekuensi yang akan mereka hadapi jika
tetap memilih melakukan infanticide atau foeticide. Meningkatkan realisasi nilai anak perempuan di mata keluarganya sendiri menjadi tantangan terbesar pemerintah India. Penelitian yang mengambil kasus female foeticide dan infanticide bukanlah hal yang baru, begitu juga halnya dengan kajian penelitian mengenai pendisiplinan tubuh. Disiplin ilmu yang menggunakan kajian ini cenderung lebih kepada ilmu-ilmu yang menekankan pentingnya diskursus dengan melakukan pendalaman ke satu obyek penelitian seperti ilmu antropologi dan filsafat, sedangkan masih sangat sedikit peneliti dari ilmu sosial yang mendalami kajian pendisiplinan tubuh. Sehingga penulis merasa kajian ini akan menjadi penelitian yang menarik jika dimasukkan ke dalam rana ilmu sosial dan politik, dengan menggunakan fenomena sosial female foeticide dan infanticide sebagai studi kasusnya. Beberapa penelitian terdahulu cenderung hanya fokus pada satu level analisis ketika menganalisis fenomena female foeticide dan infanticide. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis berusaha mengisi kekosongan dari penelitian-penelitian sebelumnya, dimana penulis ini melihat mekanisme atau regulasi pendisiplinan tubuh yang terjadi pada perempuan India dalam tiga level analisis, yaitu level individu, masyarakat dan negara. Penulis akan berusaha menganalisis bagaiamana tubuh perempuan dipolitisasi oleh kekuasaan yang berada di sekitarnya sehingga berpengaruh cukup besar pada lingkungan sosial. Tiga level analisis yang digunakan akan saling terkait, sehingga nantinya akan ditemukan mekanisme pendisiplinan tubuh yang terjadi di beberapa aspek yang merupakan sebuah fenomena sosial.
1.4.Kerangka Konseptual Penulis akan menggunakan beberapa konsep analitis yang dibangun oleh Michel Foucault untuk membantu menjawab pertanyaan penelitian, menganalisis teks, wacana dan representasi budaya sebagai sumber kekuasaan disiplin. Foucault melihat bahwa kekuasaan juga merupakan proses yang melibatkan agensi, wacana dan praktik yang mengalir dari bawah ke atas, serta bekerja untuk tujuan pembebasan.9 Hal ini berguna untuk mengamati politik 9
B. Agger, Critical Social Theories: An Introduction, dalam Bahasa Indonesia: Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya, penerjemah Nurhadi, 2008, Yogyakarta, Kreasi Wacana, hal. 282
kekuasaan terhadap tubuh perempuan yang terjadi di masyarakat India dan bagaimana struktur kekuasaan itu beroperasi sehingga kasus female foeticide dan infanticide menjadi suatu hal yang dianggap lumrah terjadi. Konsep yang akan digunakan adalah technologies of power, regime of truth dan technologies of self, dimana konsep ini membantu menganalisis apakah sang ibu merupakan agen yang “berkuasa” atau justru menjadi korban dari sistem politik.
1.4.1. Technologies of Power Dalam kasus female foeticide dan infanticide, kekuasaan beroperasi pada pada tubuh manusia, sehingga Foucault melihat fenomena ini sebagai hal yang terkait dengan seksualitas yang dibahas dalam konsep technologies of power. Konsep ini lebih dikenal dengan biopower atau biopolitics dimana secara umum melihat adanya kekuasaan atas tubuh manusia dan disiplin mengenai kontrol tubuh individu atau populasi.10 Konsep ini menempatkan hidup manusia di bawah tatanan politik11. Konsep ini berbeda dengan cara berpikir Marxis yang melihat bahwa kekuasaan adalah sesuatu yang dimiliki eksklusif oleh negara atau penguasa untuk melancarkan dominasinya terhadap kelas bawah, melainkan lebih kepada melihat bahwa kekuasaan adalah suatu bentuk strategi, seperti yang dinyatakan oleh Jorgensen dan Marianne12:
“Apa yang membuat kekuasaan tetap langgeng, apa yang membuatnya bisa diterima, adalah kenyataan bahwa kekuasaan tidak hanya memberi kita kekuasaan untuk berkata tidak, namun kekuasaan melewati dan menghasilkan sesuatu, menimbulkan kesenangan, membentuk pengetahuan, memproduksi wacana (diskursus). Kekuasaan perlu dianggap sebagai jaringan produktif yang melewati lembaga sosial secara keseluruhan, lebih dari sebagai sesuatu yang bersifat negatif yang fungsinya untuk melakukan penindasan.”13
Kekuasaan tidak dapat dialokasikan tetapi terdapat dimana-mana. Sebagaimana yang dikatakan oleh Foucault:
10
Michel Foucault, The History of Sexuality Vol.1: The Will to Knowledge, 1998, London, Penguin, hal. 140 G. Ritzer, Teori Sosial Postmoden, penerjemah M. Taufik, 2003, Yogyakarta, Kreasi Wacana, hal. 67 12 Phillips, L. & Jorgensen, M.W., Discourse Analysis as Theory and Method. Dalam Bahasa Indonesia: Analisis Wacana: Teori dan Metode, penerjemah Suyitno, 2007, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hal. 25 13 Phillips, L. & Jorgensen, M.W, Analisis Wacana, hal.25 11
“Secara umum harus diakui bahwa kekuasaan lebih beroperasi daripada dimiliki. Kekuasaan tidak merupakan hak istimewa yang didapat atau dipertahankan kelas dominan, tetapi akibat dari keseluruhan posisi strategisnya, akibat yang menunjukkan posisi mereka yang didominasi.” 14 Kekuasaan yang dimaksudkan di konsep ini lebih kepada kuasa yang bekerja pada level institusi kecil seperti keluarga, hubungan suami-istri, antar sahabat, anak dan orang tua, bahkan pada sepasang kekasih sekalipun mengandung dan memproduksi kekuasaan. Tetapi segala kuasa tersebut tidak bisa dilihat dengan sederhana dari satu peristiwa saja, melainkan melalui jalinan peristiwa yang saling berkaitan dan kekuasaan ini telah mempengaruhi setiap aspek kehidupan manusia moderen. Foucault melihat bahwa tubuh manusia merupakan salah satu objek dari strategi politik dan strategi kekuasaan, dimana nantinya akan terbentuk disiplin-disiplin yang merupakan teknologi untuk mengatur individu berperilaku.15 Tubuh menjadi wilayah dimana relasi kuasa berjalan diatasnya, dan relasi kuasa itu melatih, memaksa, menyiksa, menandai, menamakan, menanamkan kekuatan dan menguasai tubuh.16 Tubuh manusia memungkinkan manusia mensituasikan diri dan tubuhlah yang menjadi titik tolak persepsi. Tubuh yang manusia miliki berada dalam dunia, ibarat hati dalam sebuah organisme. Hati menyimpan pandangan hidup yang dimaknai dengan konstan. Jika dikaitkan dengan fenomena female foeticide dan infanticide, subjek yang telah melakukan foeticide atau infanticide memiliki pandangan sendiri dalam memahami pengalaman hidupnya meskipun bertentangan dengan keadaan sosial budaya dan norma yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Pengalaman hidup dalam diri individu sangat penting untuk memahami sebuah proses sublimasi yang terjadi dalam diri subjek terlebih tubuh tersebut dihadirkan sebagai sebuah proyeksi kesadaran yang tidak dapat dilepaskan dari pengalaman subjek itu sendiri.17
Haryatmoko, “Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan”, Basis, Nomor 01-02, Tahun ke-51 (Januari-Februari 2002), hal. 8-21 15 Michel Foucault, Society Must Be Defended: Lectures at the College de France 1975-1976, 2003, hal. 239-64 16 Michel Foucault, La Volonte de Savoir, Histoire de La Sexualite, dalam Bahasa Indonesia: Ingin Tahu Sejarah Seksualitas, Terj. Rahayu S. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008, hal.28-29 17 A. Setya Karlina, Tesis: Makna dan Persepsi Aborsi dalam Perspektif Fenomenologi Persepsi Merleau Ponty, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2012, hal. 26-27 14
1.4.2. Regime of Truth Konsep technologies of power melihat bahwa kekuasaan yang bekerja di masyarakat terjadi melalui proses regulasi dan normalisasi. Pihak yang mampu menerapkan strategi kuasa, maka ia akan mampu memunculkan sebuah aturan yang kemudian dinormalisasikan sehingga aturan tersebut berlaku dalam masyarakat. Proses normalisasi ini terjadi karena adanya diskursus yang merupakan proses awal dalam membentuk dan mengarahkan dunia, dan diskursus ini erat kaitannya dengan kekuasaan. Dalam diskursus, kuasa tersebut diproduksi, direproduksi, dan memproduksi kuasa lainnya yang terbentuk dalam berbagai wujud seperti sebuah ide, perilaku, tindakan atau aksi, kepercayaan, kepemilikan, identitas simbol, relasi dan praktik yang mengonstruksi subjek dan dunia dimana praktik diskursus tersebut dilangsungkan.18 Maka, individu yang mampu membentuk realitas akan menjadi “panglima” dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Karena realitas yang ada di dunia saat ini merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu yang kemudian dikonstruksikan kembali kepada individu-individu lainnya ketika Ia berhasil menjadi “panglima”.19 Pembentukan sebuah realitas inilah yang kemudian dikenal dengan konsep Regime of Truth (Rezim Kebenaran). Regime of truth ini menghubungkan gagasan mengenai kebenaran sebagai sebuah rezim politik yang bersifat eksplisit. Rezim politik yang kemudian seolah-olah memisahkan antara kebenaran dan kesalahan. Dalam Regime of Truth, sebuah “kebenaran” terbentuk dan kebenaran yang dihasilkan tersebut akan berkelanjutan, membentuk sebuah valorisasi yang diatur oleh serangkaian mekanisme, teknik dan prosedur yang mengandung unsur ‘politik’. Sebuah Regime of Truth memproduksi kebenaran, dan kebenaran inilah yang kemudian memperkuat kekuasaan dan menjadi elemen taktis dalam sejumlah hubungan kekuasaan.20
18
Irene Tantri, Skripsi: Analisis Diskursus Michel Foucault tentang Arisan di Desa Hargomulyo Kecamatan Gedangsari Kabupaten Gunungkidul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2014, hal. 26 19 H.M.Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, 2011, Jakarta, Kencana, hal. 191-192 20 Daniele Lorenzini, “What is a Regime of Truth”, Foucault Blog: Universität Zürich, 28 Oktober 2013, diakses pada 1 April 2016
1.4.3. Technologies of Self Memproduksi kebenaran yang akhirnya memperkuat kekuasaan juga merupakan sebuah strategi yang disebut dengan technologies of the self, dimana hal ini memungkinkan individu untuk mempengaruhi orang lain melalui tindakan inidvidu pada dirinya sendiri. Technologies of the self berbicara tentang bagaimana individu membentuk moralitas yang akhirnya mereka yakini. Secara sederhana, Foucault mendefinisikan technologies of the self sebagai sebuah teknik yang memungkinkan individu untuk mempengaruhi dengan cara mereka sendiri dan melalui operasi pada tubuh sendiri, pikiran, jiwa, dan gaya hidup mereka, sehingga nantinya dapat mengubah hidup mereka dan mencapai keadaan tertentu seperti kebahagiaan dan kualitas hidup yang lebih menguntungkan. Dimana dalam konteks ini, individu mampu menciptakan kebenaran melalui jalan diskursif dan kebenaran yang mereka ciptakan mampu mempengaruhi orang lain dan diklaim sebagai suatu hal yang dapat meredakan kecemasan yang terjadi ketika kehidupan mereka menuju kegagalan.21 Kekuasaan, tubuh manusia, dan ilmu pengetahuan menjadi satu kesatuan yang saling mempengaruhi. Maka dari itu dalam membahas satu kasus, bisa menggunakan tiga konsep Foucault sekaligus karena ketiga konsep ini tidak bisa dipisahkan dan saling memperkuat dalam membedah satu studi kasus. Melalui diskursus, kehendak untuk mengetahui merupakan salah satu bentuk pencarian pengetahuan. Dan ketika seorang subjek telah mampu mendapatkan kekuasaan dari pengetahuan yang ia miliki, maka kekuasaan tersebut secara tidak langsung menjadi penyebab terbentuknya dominasi terhadap subjek lainnya (technologies of power). Sebuah pengetahuan yang memiliki otoritas dan legitimate inilah yang kemudian mempengaruhi praktik sosial individu, pola pikir, berbicara maupun bertindak (regime of truth) Ilmu pengetahuan adalah dalam bentuk wacana dan mencari ilmu pengetahuan untuk membentuk sebuah kebenaran yang diyakini oleh diri setiap individu inilah bentuk dari technologies of the self. Dengan demikian, setiap masa memiliki watak pengetahuan yang khas dan definisi pengetahuan yang khas pula. Jika terdapat pergeseran
21
Nikolas Rose, Power of Freedom: Reframing Political Thought, 1999, Inggris, Cambridge University Press, hal. 88
formasi wacana-wacana di setiap masa, maka akan berimplikasi pada perubahan sosial masyarakat.22 Penulis akan menganalisis kasus pendisiplinan tubuh pada perempuan ini pada tiga level, dan dengan mengacu pada pada konsep technologies of power dan regime of truth maka penulis berharap konsep inilah yang akan menunjukkan bahwa kasus female infanticide dan foeticide terjadi karena adanya kekuasaan yang mendominasi sehingga meletakkan hidup perempuan di bawah tatanan politik, dimana kekuasaan ini telah berjalan lama dan menyusun diskursus yang kemudian dinormalisasikan oleh masyarakat sehingga berpengaruh langsung pada tindakan setiap individu. Munculnya konsep technologies of power mampu menjadi pengontrol tindakan politik dan kekuasaan yang berada di atas kehidupan manusia maupun masyarakat. Dalam kasus female foeticide dan infanticide, pelaksanaan kekuasaan yang terjadi sesuai dengan konsep ini dicirikan dengan adanya anatamo-politics yang merupakan pengembangan ide kekuasaan pada diri individu sebagai seorang aparatur disiplin yang bergerak untuk memerintah banyak orang dengan multiplisitas (keberagaman) yang ia miliki untuk disalurkan dan dibiarkan berkembang dalam diri setiap individu yang diperintahnya, hingga nantinya mereka berada dalam pengawasan, dapat dilatih, digunakan atau dimanfaatkan, serta diberi hukuman.23 Technologies of power dan regime of truth, memungkinkan melihat diskursus yang terjadi di dalam masyarakat India, dimana dalam kasus ini penulis mempergunakannya untuk melihat bagaimana politik kekuasaan mulai terbentuk di India dari segi historis yang akhirnya menjadi sebuah diskursus yang menunjukkan adanya sistem kekuasaan yang telah terinternalisasi dan dinormalisasikan di lingkungan masyarakat dan institusi kecil yaitu keluarga ataupun hubungan antara laki-laki dan perempuan. Penulis melihat bagaimana seorang menjadikan pengalaman hidupnya sebagai dasar untuk mengambil keputusan dalam konteks kontrol sosial yang terlembaga melalui technologies of self dan technologies of
22
Annisa Filania, Skripsi: Fenomena Homoseksual di Kalangan Mahasiswa dalam Perspektif Teori Seks dan Kekuasaan Michel Foucault, 2015, Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, hal. 42 23 The Anthropology of Biopolitics, Biopolitics: An Overview, 21 Januari 2013, , diakses pada 16 Maret 2016
power. Peran negara menjadi penting didiskusikan untuk menunjukkan terbentuknya institusi dan wacana public yang memberikan legitimasi bagi praktek pendisiplinan tubuh.
1.5.Argumen Utama Secara historis budaya patriarki terbentuk dan semakin diperkuat oleh dogma-dogma agama. Budaya patriarki yang semakin mengalami perkembangan akhirnya membentuk sikap dan perilaku masyarakat India. Kuatnya mitologi Hindu dibentuk oleh masyarakat Brahmana sebagai diskursus yang tertulis dalam kitab-kitab kuno India dan terkonstruksikan di lingkungan masyarakat India sehingga menghasilkan ide-ide tentang laki-laki dan perempuan. Ide-ide tersebut cenderung menempatkan posisi perempuan sebagai kaum yang tersubordinasi dengan pemaknaan bahwa perempuan adalah kaum yang merugikan. Kekuasaan Brahmana di tanah India membangun realitas sosial akan pemaknaan nilai perempuan melalui diskursus yang diproduksinya dan berhasil melakukan kontrol atas masyakarat dengan struktur diskursif yang membentuk perilaku individu di lingkungan sosialnya. Rendahnya nilai anak perempuan merupakan realitas sosial yang terbangun karena adanya mekanisme technologies of power serta regime of truth yang berlangsung, dimana strategi kekuasaan mampu menghasilkan sebuah wacana yang kemudian dikonstruksikan oleh sang pemegang kuasa sebagai sesuatu yang benar. Melalui proses regulasi serta normalisasi, female infanticide dan foeticide terjadi sebagai bentuk perilaku individu yang merespon diskursus. Tindakan perempuan dalam melakukan female infanticide atau foeticide merupakan bentuk pendisiplinan tubuhnya, dimana technologies of self melihat hal ini sebagai sebuah keputusan politis yang untuk menjaga dirinya sendiri dengan melakukan opresi pada tubuh, pikiran dan jiwanya. Ketiga konsep Foucault ini bukanlah konsep yang berdiri sendiri, namun dalam sebuah fenomena mereka saling terkait dan menciptakan kondisi sebab-akibat, karena sebuah kekuasaan, pengetahuan (diskursus), dan tubuh manusia menjadi kesatuan yang berada dalam satu lingkaran yang saling mempengaruhi.
1.6.Metode Penelitian 1.6.1. Desain Penelitian Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif untuk menganalisa berbagai fakta yang tersedia dan melakukan interpretasi untuk menangkap permasalahan sosial secara akurat sehingga membantu penulis untuk menjelaskan fenomena female foeticide dan infanticide sebagai sebuah bentuk pendisiplinan tubuh perempuan. Penelitian ini akan terfokus pada praktik diskursus, sehingga sangat penting untuk melakukan penafsiran “realitas” yang dibentuk oleh praktik-praktik interpretatif. Praktik interpretatif memberikan struktuk dan makna dari pengalaman hidup sehari-hari, karena ilmu pengetahuan selalu berpijak pada yang “eksperensial” (bersifat pengalaman), sehingga penelitian ini akan memperhatikan proses, peristiwa dan otentisitas. Penulis akan melihat fungsi berbagai tindakan manusia secara eksplisit, sehingga penulis nantinya mampu memahami apa makna dan fungsi dari dilakukannya female foeticide dan infanticide. Untuk memperdalam pembedahan diskursus, penulis menggunakan pendekatan etnografi (penulisan budaya), tetapi bukan dalam konteks antropologis secara normatif, namun tentang kebudayaan yang merujuk pada pencarian ilmu pengetahuan yang digunakan untuk membentuk tingkah laku sosial.24 Metode ini akan menyertakan pengamatan serta interpretasi yang bersumber dari setiap individu sebagai hasil dari interaksinya dengan individu lain dan membantu penulis untuk menganalisis di level individu, masyarakat dan negara.
1.6.2. Objek dan Subjek Penelitian Objek penelitian ini mengarah pada proses-proses pembagian peran laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi oleh paham-paham patriarki dan struktur-struktur yang menjadi sekutunya. Hal ini memberikan dampak yang cukup penting dalam pembentukan diskursus dan pengembangan relasi sosial perempuan di ranah publik dan domestiknya yang memungkinnya terjadinya proses pendisiplinan tubuh. Subjek utama penelitian ini cenderung
24
James Spradley, The Ethnographic Interview. Dalam Bahasa Indonesia: Metode Etnografi. Terj. Misbah Zulfa Elizabeth. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.
kepada perempuan-perempuan di India, terutama bagi perempuan India yang pernah ataupun mencoba melakukan tindakan infanticide atau foeticide pada calon anak perempuannya.
1.6.3. Teknik Pengumpulan Data Dalam upaya pengumpulan data, penelitian ini menggunakan jenis data sekunder sebagai sumber utama, dimana data akan diperoleh melalui studi kepustakaan dengan mempelajari berbagai literatur mengenai sejarah dan kehidupan sosial-politik masyarakat India, tulisan ilmiah terdahulu yang pernah menjadikan kasus female infanticide dan foeticide sebagai bahan kajian, serta berbagai dokumen yang terkait dengan obyek penelitian, baik itu berupa laporan sensus penduduk ataupun laporan tindakan kriminal yang dialami oleh perempuan India.
1.6.4. Teknik Analisis Data Analisis kualitatif pada penelitian ini fokus pada penunjukkan makna, deskripsi, penjernihan, dan penempatan data pada konteksnya. Merujuk pada inti dari analisis data kualitatif terletak pada tiga subproses yang berkaitan yakni, reduksi data, penyajian data dan pengambilan kesimpulan.
Pengumpulan
data
yang
berhasil
mendeskripsikan
fenomena
tersebut
disederhanakan dan diklasifikasikan ke dalam bagian-bagian sesuai dengan kerangka konseptual. Proses reduksi ini akan menjadi dasar pemaknaan yang ditampilkan dalam penyajian data, meliputi deskripsi terstruktur, tabel, dan catatan-catatan kaki.25
1.7.Sistematika Pembahasan BAB I
memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tinjauan pustaka, kerangka konseptual, argumen uatama, dan metode penelitian.
BAB II menjelaskan diskurus problematisasi perempuan di India, dimana akan dianalisis dengan melihat kondisi status perempuan India mulai dari periode India Kuno, periode 25
Denzin Norman K. dan Ywona S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research, 2000, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
kolonialisme dan paska kolonialisme. Melalui tiga periode tersebut akan dilihat apakah status perempuan India mengalami penurunan sehingga terjadi problematisasi terhadap perempuan. BAB III melihat bagaimana mekanisme atau proses pendisiplinan tubuh perempuan berlangsung dalam kasus female foeticide dan infanticide pada tiga level analisis yaitu level individu, masyarakat dan negara. Dalam tiga level analisis tersebut akan dijabarkan bagaimana peran para perempuan, negara dan masyarakat di India dalam proses pendisiplinan tubuh perempuan. BAB IV berisi kesimpulan.