1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang The Group of Twenty Countries kelompok 20 ekonomi utama (G-20) adalah kelompok 19 negara dengan perekonomian besar di dunia ditambah dengan satu organisasi regional Uni Eropa. G20 mewakili 85 persen dari output global dan dua pertiga dari populasi dunia dengan negara-negara G7, 12 negara berkembang dan Uni Eropa. Keanggotaan kelompok mencakup kelompok negara-negara maju (G7) yaitu: Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris dan Amerika Serikat atau advanced countries. Berserta 12 negara berkembang yaitu ; Brazil, India, Rusia, dan China (BRIC) ; Indonesia, Afrika Selatan, Argentina, Australia, Arab Saudi, Korea selatan, Turki, Meksiko. G20 bukan merupakan organisasi internasional yang memiliki legitimasi formal dan sistem administrasi yang baku seperti institusi bentukkan brettonwoods system yaitu seperti Bank Dunia, IMF, atau organisasi lainnya seperti ADB, dan WTO. Ini bukan merupakan lembaga atau organisasi internasional, tapi sebuah forum tingkat tinggi yang menyatukan para pemimpin global untuk kerjasama ekonomi dan keuangan. G-20 dipandang sebagai kompromi baru yang lebih baik antara kerjasamakerjasama multilateral yang ada. Jumlahnya yang lebih besar, sekalipun tidak terlalu besar dibandingkan G-7, memberikan peluang bagi dialog-dialog yang lebih luwes dengan hasil nyata yang lebih cepat, jumlahnya tentu jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (192 negara) yang terkesan sangat lambat dalam penanganan isu-isu krusial yang dihadapi dunia. Dengan penetapan jumlah yang terbatas, G-20 meyakini kemampuan dan efektivitas untuk mencapai tujuan-tujuan bersama. Penciptaan awal forum ini karena keprihatinan terhadap kondisi sistem moneter dunia, yang mudah terserang krisis. Konsentrasi pembahasan forum ini mendiskusikan isu-isu moneter dan keuangan internasional dengan tujuan yang mengarah pada stabilitas finansial internasional. Namun seiring waktu, dari periode satu ke periode yang lain mengubah konsentrasi pembahasan G20. Pembahasan tidak lagi seputar isu moneter dan
2 keuangan internasional. G20 berkembang ke dalam isu perdagangan, investasi, energi dan ancaman perubahan iklim. G-20 mengalami tantangan ketika krisis finansial mulai dirasakan oleh banyak negara yang diawali dengan krisis subprime mortgage AS dan meluas di tingkat global. Krisis finansial global yang mulai menyebar melanda Uni Eropa pada tahun 2008 hingga saat ini. Krisis ekonomi tersebut telah membuat Uni Eropa mulai memasuki fase-fase sulit. Kedua krisis tersebut telah membawa implikasi buruk pada kondisi ekonomi global secara menyeluruh hampir di setiap negara baik di Kawasan Amerika, Eropa, maupun Asia Pasifik. Dampak tersebut terjadi karena tiga permasalahan yaitu adanya investasi langsung, investasi tidak langsung, dan perdagangan seperti yang telah disampaikan oleh Kuncoro, dalam Noviani, Mukti. (2014).. Saat ini, hampir semua negara-negara di dunia mengedepankan atau menganut sistem kapitalisme anglo saxon atau liberalisasi pasar. Kebijakan ekonomi anglo saxon semenjak 1980 cukup sukses dalam memacu pertumbuhan dan menciptakan lapangan kerja. Selain menciptakan kesuksesan kapitalisme anglo saxon juga menciptakan krisis. Krisis ini dimulai dari negara maju adalah hasil logis dari lonjakan aliran dana tak terbendung yang dibarengi dengan kebebasan untuk mengeksploitasi setiap kesempatan untuk mengasilkan laba jangka pendek, atau disebut juga deregulasi. Krisis ini unik, karena krisis finansial 2008 bermula dari jantung kapitalisme global dengan laissez-fairenya. Isu ini bermula dari krisis perumahan (subprime mortgage) di Amerika Serikat (AS) sejak Juli 2007 dan berakumulasi pada tanggal 15 September 2008 dengan kebangkrutan Lehman Brothers. Krisis ini mempunyai efek domino yang luas dan akhirnya menyebabkan krisis lainnya (Krisis Eropa). Dampak krisis subprime mortgage tersebut terjadi karena adanya investasi langsung, investasi tidak langsung, dan perdagangan seperti yang telah disampaikan oleh Kuncoro, dalam Noviani, Mukti. (2014). Keluar masuknya aliran dana dari satu negara ke negara lain dengan regulasi moneter tiap negara yang beragam. Mengakibatkan setiap negara memiliki risiko terkena dampak krisis. Seperti inilah historis krisis finansial Amerika Serikat dapat mempengaruhi Uni Eropa sehingga menimbulkan krisis ekonomi. Pada Intinya krisis ekonomi Uni Eropa adalah ketidakmampuan negara dalam membayar utang-utangnya. Krisis ekonomi diawali dari krisis Yunani yang kemudian
3 menyebar ke Irlandia, Portugal, Spanyol, dan Italia. Bank Sentral Eropa (European Central Bank) yang memiliki tanggung jawab dalam masalah moneter negara zona euro. telah memberlakukan aturan bahwa rasio utang negara zona euro tidak boleh di atas 60% dari GDP-nya dan defisit tiap negara tidak boleh di atas 3% dari GDP. Krisis Yunani merupakan kesalahan dari decision policy semenjak tahun 1974. Beralihnya sistem pemerintahan Yunani, yang berawal dari junta militer menjadi sosialis. Pemerintahan Yunani baru, mengambil utang dalam jumlah besar untuk membiayai goverment expenditure (belanja pemerintah) berupa belanja subsidi, dana pensiun, dan gaji PNS. Pada tahun 1993, utang yunani terus bertambah, hingga berada pada posisi jauh melebihi GDP. Krisis yang berasal dari negara-negara maju (AS dan UE), yang merupakan pusat kapitalisme global. Menimbulkan animo mengenai efektifitas G-20. Historis penanganan krisis global, biasanya dominasi diatasi oleh International Financial Institusion (IFIS) seperti International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB) bersama negaranegara maju. Saat ini, AS dan UE, beserta IFIS (IMF dan Bank Dunia), justru membutuhkan bantuan likuiditas yang berasal dari negara-negara berkembang. Bantuan likuiditas bagi AS dan UE dipergunakan untuk mengisi kekosongan kas negara. Sementara itu, penambahan likuiditas bagi IFIS, dimaksudkan untuk meningkatkan dana yang dipergunakan membantu negara-negara yang mengalami kekeringan dana. Kebijakan counter cyclical dan kucuran likuiditas diharapkan menjadi pemicu pemulihan perekonomian global. Menurut berbagai literatur kebijakan publik, stimulus fiskal merupakan suatu instrumen ekonomi yang potensial untuk menahan perlambatan ekonomi. Abimanyu 1 (2011) mengatakan bahwa bentuk dan komposisi dari stimulus fiskal secara garis besar terdiri atas dua sumber, yakni penurunan beban pajak bagi wajib 1
Anggito Abimanyu, pada tahun 2009 menjabat sebagai kepala kebijakan fiscal, departemen keuangan dan merupakan staf pengajar FE UGM. Abimanyu, A. 2011. Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal. www.pajak.go.id/perpustakaan/index.php?p=show_detail&id=482 .Diakses 20 Juni 2012.
4 pajak (tax cut) dan alokasi belanja (government expenditure), khususnya belanja subsidi kepada rumah tangga dan belanja infrastruktur. G20 telah melaksanakan komitmen dalam KTT Washington, London, Pittsburgh, yaitu melaksanakan kebijakan fiskal stimulus 2% PDB, melakukan rekapitalisasi perbankan dan restrukturisasi aset bermasalah dengan biaya sebesar US$2-2,5 triliun, penambahan resources IMF sebesar US$500 miliar dan alokasi SDR untuk menambah likuiditas dunia sebesar US$250 miliar. Hingga di tahun 2012 pada KTT di Los Cabos, Mexico G20 sepakat untuk menambah dana talangan melalui Dana Moneter Internasional IMF sebanyak 430 milyar dolar AS. Meminta anggotanya untuk melaksanakan komitmen kebijakan fiskal stimulus 3% PDB. Terakhir, peningkatan kapital ADB 200% dan penambahan pendanaan dari Bank Pembangunan Multilateral dan Regional (Multilateral / Regional Development Bank) sebesar US$300 miliar serta pembiayaan perdagangan (trade financing) sebesar US$ 250 miliar untuk mengompensasi kemerosotan aliran modal ke negara berkembang. Segala macam cara telah dilakukan G-20 untuk mendapatkan titik penyelesaian krisis global subprime mortgage dan krisis utang UE. Namun efektifitas penyelesaian G20 masih dipertanyakan. Evaluasi agenda G20 bisa dilihat melalui pertumbuhan ekonomi dari sisi
barang dan jasa. Penurunan ekspor berimbas pada menurunnya
aktivitas ekonomi masyarakat. Sehingga menyebabkan pertumbuhan ekonomi berjalan lambat. Bank Dunia dan ADB, memperkirakan laju pertumbuhan ekonomi turun yakni 6,3% 2. Dan dalam laporan tahunan "World Economic Outlook”, IMF menilai bahwa pertumbuhan ekonomi dunia saat ini masih terlalu lemah untuk menekan tingginya tingkat pengangguran, inflasi dan sebagainya. Krisis Subprime Mortgage dan krisis utang UE, menjadi pembuka jalan bagi perubahan mendasar. Tidak hanya diseputar tata ekonomi global, namun juga bagi struktur politik global. Joseph P Quinlan dalam Syamsul Hadi (2011), menyatakan bahwa krisis global menandai akhir kejayaan AS dan terbentuknya mekanisme balance of 2
Azis, Harry Azhar. 2012. Laju Pertumbuhan Internasional. http://hharryazharazis.com/pdf/1171/.cnet. Diakses 2 September 2014.
5 power.. Dalam kondisi ini juga negara emerging market juga diuntungkan seperti halnya negara China, China mendapat manfaat dengan adanya krisis finansial yang terjadi di AS. AS kini semakin bergantung pada China yang merupakan pembeli terbesar dari surat-surat berharga yang dikeluarkan AS. Belum lama ini bank sentral China mengumumkan pada Maret 2009 China mengalami peningkatan cadangan devisa 16% dibandingkan dengan tahun lalu, menjadi US$1,95 triliun. Hampir separuh dari cadangan devisa China, diinvestasikan dalam bentuk surat-surat berharga dari Pemerintah AS dan beberapa negara lain. Salah satunya berupa obligasi. Pembiayaan anggaran belanja ekonomi AS. melalui surat utang (obligasi). Surat obligasi Amerika Serikat merupakan alat utama yang digunakan pemerintah Amerika Serikat untuk membiayai utang federal dari total level U.S Treasury security yg diselenggarakan untuk privat, kepemilikan asing memegang 31,64% dari total surat obligasi Amerika Serikat3. Di tahun 2009, untuk menyelesaikan krisis subprime mortgage, AS juga menganggarkan US$ 11,56 trilyun untuk memerangi krisis, di mana US$ 2,90 trilyun di antaranya dikeluarkan sebagai paket bailout dan stimulus ekonomi. Barack Obama dan tim ekonominya setuju menghidupkan ekonomi dengan rangsangan permintaan lewat peningkatan anggaran pemerintah. Di periode ini AS sudah memiliki defisit anggaran sekitar 6 persen dari PDB dan kemungkinan akan naik lagi menjadi 12 persen. 4 Dapat disimpulkan, bahwa AS sangat membutuhkan dana besar yang dimiliki oleh China untuk membiayai defisit neraca pembayarannya yang terus membesar. Selain pembelian ke AS, China juga melakukan pembelian dalam jumlah besar surat berharga yang dikeluarkan IMF untuk memperbesar dana atau likuiditas pada organisasi keuangan internasional (IFIS) yang merupakan institusi bentukkan Brettonwoods System, praktis dikendalikan oleh Pemerintah AS.
3
U.S Treasury security, 2012. Why Growth Matters More Than Debt. http://www.american.com/archive/2012/january/why-growthmatters-more-than-debt.Diakes 5 November 2012. 4
Koran Kompas. 2009. G-20 Optimistis Bisa Bersepakat. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/03/15/06265936/G 20.Optimistis.Bisa.Bersepakat. Diakses 27 September 2009.
6 China menggunakan liberalisme barat melalui institusi keuangan global dan kerjasama G20 berskala internasional untuk mengimbangi hagemoni AS yang mulai melemah. perubahan dalam sistem internasional ditandai oleh munculnya China sebagai rising power dan hagemoni AS yang menunjukan adanya distribusi power di antara keduanya. Jika ditinjau dari konsep structural power, transisi kekuatan menuju ke negara emerging market (China) belum memungkinkan untuk terealisasi. Namun kegagalan ekonomi politik barat (kapitalisme-neoliberalis) yang ditunjukkan dengan krisis negaranegara advance countries (AS dan UE) telah menimbulkan ketidakpercayaan terhadap kepemimpinan Barat. Ideologi ekonomi politik Barat yang dianggap gagal sehingga mengembangkan spekulasi pergeseran kekuatan ke China. Transisi power China bukan merupakan ancaman, karena perilaku peaceful rise China. Esensi dari Peaceful rise China adalah tidak akan menggunakan perang dan kekerasan dalam kebangkitan powernya. Semenjak era pemerintahan Deng Xiao Ping hingga saat ini, China selalu berusaha untuk tetap berada pada jalur “kebangkitan yang damai” yaitu jalur yang berada dalam sistem liberal barat. China memang sengaja berada dalam poros sistem barat. China dapat mengambil manfaat liberalisme yang kemudian membawa China pada
kemajuan ekonomi seperti saat ini. Konsistensi China juga
ditunjukan dengan keikutsertaannya dalam institusi-institusi internasional, seperti IMF, Bank Dunia dan WTO yang merupakan institusi bentukkan Bretton Woods System, yang merupakan produk hagemoni AS. Perubahan dalam sistem internasional ditandai oleh munculnya China sebagai rising power dan hagemoni AS yang menunjukan adanya distribusi power di antara keduanya.
1.2 Rumusan Masalah Dengan melihat keseluruhan latar belakang di atas, maka rumusan yang membangun penelitian ini adalah: 1. Bagaimana G20 mengatasi krisis keuangan, berhasil atau tidak berhasil. Jika berhasil berarti efektif dan tidak berhasil berarti G20 berjalan dengan tidak efektif ?
7 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan umum untuk mendeskripsikan kepentingan (national interest) dari negara AS, UE dan China. Negara-negara maju (AS dan UE), yang merupakan pusat kapitalisme global, saat ini mengalami krisis keuangan. Sehingga AS dan UE, beserta IFIS (IMF dan Bank Dunia)yang seharusnya menjadi penyedia likuiditas, justru membutuhkan bantuan likuiditas yang berasal dari negara-negara berkembang (China). Sebaliknya China menggunakan momentum krisis, sebagai strategi tetap pada ideologi liberalisme barat melalui institusi keuangan global dan kerjasama G20 berskala internasional sebagai rising power. Sementara tujuan khususnya yaitu untuk mengetahui keberhasilan G20 mengatasi krisis keuangan. G20 dapat dikatakan efektif (dapat menyelesaikan) ataukah tidak efektif (tidak dapat menyelesaikan) krisis keuangan. Hal tersebut akan bermanfaat bagi studi Hubungan Internasional, khususnya kajian ekonomi politik internasional dalam upaya kerja sama internasional ad hoc. Demi mencapai tujuan penelitian tersebut maka penulis menerapkan beberapa pembatasan dalam penulisan Tesis ini. Pembatasan yang pertama yaitu pembatasan periode waktu. Fokus analisis Tesis adalah pembahasan krisis keuangan global periode 2008 hingga 2013. Penulis memilih titik awal tahun 2008 dikarenakan tahun 2008 merupakan awal terjadinya krisis subprime mortgage AS. Sedangkan di periode tahun 2010-2013, merupakan periode timbulnya krisis keuangan baru di UE. Penyebab krisis UE ini, tidak lepas dari efek domino AS yang luas dan akhirnya menyebabkan krisis lainnya (Krisis Eropa).
1.4 Literatur Riview Terdapat beberapa penelitian, yang membahas kerjasama G-20 , khususnya dalam isu Krisis Keuangan Global, seperti yang ditulis oleh Denis Pejl Toruan dan proyek riset : Peran Indonesia dalam G-20 ditulis oleh Yulius,dkk. 1.4.1 Kerjasama G-20 Dan Kontribusi Penanganan Krisis Subprime Mortgage Dan Krisis Finansial (2008-2009). Tujuan dari Tesis ini adalah untuk mengetahui bagaimana kontribusi G-20 dalam proses penanganan krisis finansial global 2008-2009 dan dominasi peran negara terhadap
8 sector perekonomian (sektor finansial). Proses penanganan krisis finansial global pada periode itu diwarnai oleh berbagai aktivitas ekonomi-politik internasional dan melibatkan institusi internasional lain di luar negara. Dominasi peran negara digambarkan oleh Denis PEJL Toruan (2010) sebagai permasalahan utama dalam forum G-20. Mengingat Efektivitas forum G-20 ditentukan oleh negara. Negara dapat menentukan compliance atau non compliance terhadap agenda G-20. Namun peran negara dapat dikuatkan dan dilemahakan terhadap penanganan krisis finansial melalui forum G20. Denis menggambarkan institusi IMF dan FSB, terlibat secara khusus dalam reformasi sistem finansial yang dicanangkan. Tesis Denis menerangkan korelasi penguatan atau pelemahan peran negara terhadap penanganan krisis finansial melalui forum G-20, dengan menilik peran International Monetary Fund (IMF) dan Financial Stability Board (FSB). Penelitian Denis lebih berfokus pada bidang finansial. Pada bidang finansial. Hal ini dapat dilihat dari tema-tema utama yang dibahas terpusat pada masalah keuangan dan moneter G-20. selain itu, didalam bab dua, denis menceritakan secara detil dan terperinci, situasi dan kondisi, International Monetary System saat ini. Pembahasan Denis yang terfokus pada bidang finansial ini, disesuaikan dengan bahasan pertemuan komunike yang diambil. Denis membatasi penelitiannya pada komunike setelah krisis subprime mortgage, ditahun 2008-2009, yang terdiri atas tiga komunike. Untuk mendapatkan gambaran apakah negara-negara G20 saling bekerjasama atau berkonflik, Denis mempergunakan teori rezim Internasional. Melalui ukuran Basic Causal Variabel (BCV) sebagai input, yang terdiri atas agenda G-20, menghasilkan relative behaviour atau outcome yang berisi perilaku negara-negara.
9 1.4.2 Proyek Riset G-20: Peran Indonesia Dalam G-20: Latarbelakang, Peran Dan Tujuan Keanggotaan Indonesia. Penelitian Yulius P Hermawan.,Wulani S., Getruida, dan Sylvie Tanaga ( 2011 ) merupakan Proyek Riset Kantor Perwakilan Indonesia bekerjasama dengan Departemen Hubungan Internasional Universitas Parahyangan. Riset ini bertujuan untuk mengetahui Latarbelakang, Peran Dan Tujuan Keanggotaan Indonesia dalam G-20. Kurun waktu penelitian di fokuskan pada pertemuan G-20 tahun 2008 di Washington, hingga 2010 di Korea selatan. Riset ini menjabarkan korelasi Indonesia dengan forum G-20. menurut Yulius, dkk; latar belakang Indonesia masuk ke dalam forum ini untuk kepentingan nasionalnya. Di forum G-20, Indonesia dipandang sebagai Negara demokratis dan menjadi sarana promosi citra Indonesia yang mendatangkan investasi bagi perekonomian Indonesia. Tidak hanya itu, di dalam G-20, Indonesia dapat melihat kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh negara maju, kemudian menerapkannya pada negara sendiri. Sedangkan untuk latar belakang, menurut Yulius, dkk, terdapat lima latar belakang Indonesia dapat bergabung dengan G-20, yaitu : Pertama, Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang karena pertumbuhan ekonominya tercatat cukup penting di antara negara-negara berkembang lainnya. Kedua, Indonesia merupakan Negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat setelah China, Amerika Serikat dan India. Ketiga, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan karenanya dapat memainkan peran potensial untuk menjembatani perbedaan-perbedaan di antara peradaban dunia. Keanggotaan Indonesia dalam klub dapat membantu memperbaiki citra tentang perbedaan antara Barat dan Islam. Keempat, Indonesia merupakan negara demokrasi baru yang dalam proses konsolidasi. Keanggotaan Indonesia dapat memberikan inspirasi ke negara-negara lain untuk mempromosikan demokrasi dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi tinggi. Kelima, secara geografis Indonesia memiliki posisi yang signifikan. Indonesia merupakan satusatunya anggota ASEAN yang menjadi anggota tetap G-20. Tentu saja bisa ditambahkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang di masa lalu pernah terpuruk oleh krisis ekonomi yang dahsyat dan kini telah berhasil mengatasinya dengan relatif baik. Kalau Indonesia berhasil memainkan peran membawa kepentingan negara
10 berkembang, Indonesia dapat berkontribusi dalam menjawab inti persoalan legitimasi yang selama ini menghantui G-20. 1.4.3 Ketidakefektifan G-20 Dalam Menyelesaikan Krisis Finansial Global 2008 Tujuan dari jurnal yang ditulis oleh Rusthon Arif (2013) ini adalah untuk mengungkapkan tentang ketidakefektifan dari G-20 dalam menyelesaikan persoalan krisis global pada tahun 2008. Tepatnya tentang mengapa G-20 tidak dapat secara efektif membawa kerjasama multilateral dalam menyelesaikan krisis keuangan global. Ketidakefektifan G-20 dalam menyelesaikan krisis keuangan tahun 2008 berkaitan dengan rezim penyangga utama yang ditetapkan di G-20 oleh pihak AS dalam kondisi krisis di mana kemudian tidak ada rezim finansial yang mampu bertanggung jawab dalam menjawab bahwa G-20 memiliki banyak masalah untuk mensinkronisasikan sistem keuangan global. Tidak adanya instrumen dalam mengimplementasikan Dewan Stabilitas Keuangan pun meninggalkan masalah tersendiri dalam penanganan krisis keuangan. Selain itu, munculnya kekuatan baru, dalam hal ini Cina, sebagai penyeimbang bagi dominasi AS dalam perekonomian sehingga dapat mengatur sistem keuangan internasional, menjadi sangat sulit.
1.5 Kerangka Teoritis Teori adalah bentuk penjelasan paling umum yang memberitahu mengapa sesuatu terjadi dan kapan sesuatu bisa diduga akan terjadi. Proses pembentukkan teori (theory building) dimulai dari konseptualisasi (perumusan, pengembangan dan pendefinisian konsep). Kemudian penyusunan proposisi teoritis dengan menghubungkan konsepkonsep dalam format yang bermakna. Teori menggabungkan serangkaian konsep menjadi suatu penjelasan yang menunjukkan bagaimana konsep-konsep itu secara logis saling berhubungan (Mas’oed, 1990). 1.5.1 Rezim Internasional Konsep rezim internasional banyak mempengaruhi efektif dan tidak efektifnya sebuah kerjasama internasional. Keberadaan penyangga rezim internasional membuat peran organisasi internasional lebih signifikan. Rezim berasal dari tradisi liberal yang
11 berargumen bahwa berbagai institusi atau rezim internasional mempengaruhi perilaku negara-negara (maupun aktor internasional yang lain) Krasner (1982). Rezim internasional muncul untuk menjawab kemungkinan kerjasama antar negara dalam situasi anarki sistem internasional yang tidak memiliki otoritas kekuasaan terpusat. Anarkhi tidak berarti chaos karena masih terdapat aturan (rules) dalam sistem internasional. Terdapat banyak definisi rezim internasional namun yang banyak menjadi rujukan adalah pendapat Krasner (1983) yaitu ” International Regimes are defined as principles, norms, rules, and decision-making procedures around which actor expectations converge in a given issue area”. Rezim dapat didefinisikan mencakup seperangkat prinsip-prinsip, norma-norma, aturan-aturan dan prosedur pembuatan kebijakan yang implisist maupun eksplisit yang muncul dari bertemunya ekspektasi para aktor di dunia internasional. Sejumlah
pengertian
rezim
menunjukkan
koherensi
pengertian
rezim
sebagaimana yang disampaikan Krasner. Keohane dan Nye (1977) mendefinisikan rezim sebagai ”sets of governing arrangements” yang termasuk didalamnya “networks of rules, norms and procedures that regularized behavior and control its affects”. Rezim internasional dianggap memiliki kemampuan mengkoordinasikan perilaku negara. Rezim harus difahami sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar ‘perjanjian sementara’ (temporary agreement) sesaat yang dapat berubah oleh setiap terjadi perpindahan pergeseran power dan interest seperti yang dikatakan Robert Jervis (1978). G20 merupakan rezim, yang tidak memiliki institusi atau kantor tetap. Setiap tahun, terjadi pergantian troika (kepemimpinan) untuk pengadaan summit. Meskipun tidak legally binding (mengikat secara hukum) namun G20 menghasilkan seperangkat prinsip-prinsip, norma-norma, aturan-aturan dan prosedur pembuatan kebijakan. 1.5.2 Hegemoni Dalam Rezim Internasional Dalam teorinya Gilpin mengatakan bahwa stabilitas hegemoni menegaskan pentingnya kehadiran suatu kekuatan dominan atau hegemon dalam ekonomi dunia yang terbuka dan liberal. Kehadiran sebuah hegemon diperlukan karena aktor dominan dalam ekonomi dan politik internasional adalah penting untuk menciptakan standar global. G20 membutuhkan negara yang mampu menjaga stabilitas kerjasamanya.
12 Teori ini tidak mengatakan bahwa ekonomi internasional tidak akan dapat eksis dan berfungsi tanpa kehadiran hegemoni. Teori ini mengatakan bahwa tipe tertentu dari orde ekonomi internasional, dalam hal ini liberal, tidak dapat maju dan mencapai perkembangan penuh tanpa kehadiran suatu kekuatan hegemoni. Yang harus digarisbawahi di sini yakni bahwa teori ini tidak beranggapan bahwa struktur politik hegemoni menentukan kebijakan perdagangan atau transaksi ekonomi. Kebijakan perdagangan ditentukan oleh koalisi kepentingan domestik, sementara transaksi ekonomi ditentukan oleh variabel-variabel ekonomi. Dengan adanya kekuatan hegemoni Gilpin (1987). Ketika negara-negara lain mungkin mendapatkan manfaat dari rezim. Hegemon akan menggunakan kekuatan mereka semaksimal mungkin untuk menciptakan rezim. Penarikan diri hegemon dari rezim akan membuat keefektifan rezim akan berkurang Krasner (1982). Rezim menjalankan fungsi penting yang dibutuhkan dalam hubungan antar negara. Rezim merupakan aktor independen dalam politik internasional. Rezim ketika dilembagakan akan dijaga keutuhannya sehingga kehadirannya dapat memberikan pengaruh
politik
melebihi
independensi
negara-negara
yang
menciptakannya.
Ketidakefektifan agenda G-20 khususnya dalam penanganan krisis finansial global. Dalam sistem internasional, negara hagemon menjadi pemain kunci. Menurut Gilpin (1987) seorang hagemon menganggap dirinya memiliki tanggung jawab untuk menjadi “pemimpin” (Leadership responsibility). Selain itu, negara hagemon juga didorong oleh kepentingan nasionalnya untuk menjalankan tugas sebagai “pemimpin”. Seiring dengan adanya perubahan atau dinamika dalam sistem internasional, posisi hagemon dalam dunia internasional tidak selamanya akan terus berada di puncak. Ia dapat mengalami penurunan. Seperti yang dicontohkan oleh Gilpin, dimana AS sedang mengalami penurunan hagemoni. Posisi Hagemoni dalam dunia internasional akan menurun seiring dengan munculnya negara-negara dengan ekonomi yang berkembang pesat, dimana “kekuatan” baru inilah yang menjadi penanggung “the cost of global hagemony” dalam suatu waktu, hagemon akan mengalami penurunan dalam hal kemampuan untuk mengatur dan menstabilkan sistem ekonomi. Hal ini kontras dengan syarat sebuah negara ketika muncul
13 sebagai hagemon di mana ia harus memiliki kemampuan untuk menjamin stabilitas sistem internasional. Jika berbicara tentang perubahan dalam sistem internasional, maka hal yang perlu digaris bawahi adalah apakah emerging power akan menjadi penantang atau pemelihara sistem internasional yang sudah ada (system challenger or maintainer). Apakah China akan bersikap menantang international order yang telah ada atau justru bekerjasama dengan sistem. Mearsheimer dalam Kai Hei (2009) menyatakan tidaklah mudah untuk meramalkan apa yang menjadi intense dari sebuah negara, termasuk China. Realis percaya bahwa China akan berupaya untuk menjadi penantang dan mengubah sistem yang sudah ada. Neorealis sedikit percaya bahwa China masih mungkin mengikuti sistem yang sudah ada, tapi dengan catatan AS juga harus tetap mempertahankan engagement policy-nya dan membuat China menjadi pemangku kepentingan yang bertanggung jawab. 1.5.3 Collective Action Problems Dari konsep rezim internasional tersebut, peneliti menurunkannya pada permasalahan dalam rezim G20 sebagai langkah meyelesaikan krisis keuangan internasional. Secara konkret, tindakan collective actions Sandler (2004) mengatakan bahwa yang dilakukan oleh G20 dalam menyelesaiakan krisis finansial seperti yang sudah dilakukan atau dihasilkan selama pertemuan-pertemuan negara anggota G20 agar bisa tercapai pertumbuhan ekonomi yang signifikan dan krisis finansial AS berserta UE segera terselesaikan. Sandler (2004) menyatakan bahwa krisis yang banyak melanda dunia internasional disebabkan oleh kegagalan pasar terkait dengan externalities, barangbarang publik dan free riders, serta terbukanya akses yang muncul akibat kegagalan hak kepemilikan. Tindakan collective actions G20 dalam rangka penanganan krisis finansial tersebut menimbulkan masalah baru yakni munculnya Free rider Sandler (2004). Konsep free rider ini muncul karena akibat dari tindakan collective action G20, semangat menyelesaian krisis finansial oleh organisasi internasional G20 tidak diimbangi dengan semangat setiap anggota G20 sebab setiap anggota G20 mempunyai kepentingan nasional, yang kepentingan nasional tersebut bertentangan dengan program yang di agendakan oleh G20. Free rider mendapat keuntungan akibat adanya perpindahan modal
14 dari negara maju ke negara berkembang. Free rider memanfaatkan keadaaan tersebut tanpa melakukan agenda yang sudah ditetapkan oleh G-20. Dalam kondisi krisis global tersebut dapat dilihat suatu fakta bahwa hegemoni AS sedang mengalami penurunan dan dunia sedang berada dalam periode itu. Saat kekuatan terbesar ini surut, maka akan ada konfigurasi baru. Problematisnya kehadiran free riders dan public goods tersebut mendorong apa yang kemudian disebut sebagai dilema atas aksi bersama (collective action problems) terutama kerjasama yang dibutuhkan diantara aktor-aktor yang rasional. Aktor dalam hubungan internasional, terutama negara, memiliki fokus untuk melindungi dan mengejar kepentingan negaranya sendiri daripada kebaikan dunia. Egosime tiap-tiap negara memunculkan hambatan baru dalam pelaksanaan aksi kolektif global. Untuk mengatasinya, aksi kolektif membutuhkan perolehan keuntungan yang cukup bagi para aktor sehingga aktor-aktor tersebut dapat termotivasi untuk membentuk suatu aksi global (Sandler, 2004). 1.5.4 Efektivitas Rezim Internasional Karns dan Mingst (2004) menyatakan
bahwa mengukur tingkat efektivitas
merupakan tugas yang besar dalam pembuatan kebijakan publik baik di tingkat lokal, nasional regional ataupun global. Tata pengaturan global harus efektif dalam pengertian mampu memberi perhatian besar, dan bila perlu, membantu memecahkan masalahmasalah global. Forum harus bisa menjembatani antara mekanisme yang dibangun dan program-program aktivitas kongkrit untuk menerapkan mekanisme tersebut. Lembaga khusus harus dapat menjamin dilaksanakannya keputusan-keputusan yang telah disepakati di dalam forum. Untuk mengukur tingkat kolaborasi suatu rezim, diperlukan terlebih dahulu analisis terhadap efektivitas suatu rezim yang ditentukan Sr adalah Stringency (kekuatan aturan), Cr adalah Compliance (ketaatan anggota rezim terhadap aturan), dan Br berarti efek samping yang dihasilkan rezim. Dengan kata lain kita harus memeriksa terlebih dahulu output, outcome dan impact dari rezim G20 tentang komitmen-komitmen agenda untuk menentukan efektivitas rezim tersebut. Compliance merupakan konsepsi kunci penting untuk dapat membuat tata kelola global berfungsi dengan efektif. Konsepsi ini juga penting untuk menjawab keraguan
15 tentang legitimasi dan membantu organisasi internasional untuk dapat membuat prosesnya menjadi lebih akuntabel. Konsepsi kepatuhan terkait erat dengan implikasi proses pasca pembentukan kesepakatan dalam forum G20. Secara sederhana, compliance dapat didefinisikan ketaatan anggota terhadap komitmen yang telah disepakati dalam proses organisasi. Setiap anggota kemudian akan menempatkan dirinya sebagai ‘implementating actor’, dan ‘monitoring actor.’ Setiap anggota dengan demikian ‘terikat’ untuk melaksanakan komitmen prioritas yang ditetapkan oleh forum untuk dilaksanakan oleh anggota-anggotanya dan untuk melaksanakan komitmennya sendiri yang telah disampaikan dan dicatat oleh institusi. Anggota menjadi pelaksana penerapan komitmen-komitmen tersebut dan sekaligus menjadi ‘lembaga yang berkewajiban untuk memonitor’ pelaksanaannya. Dalam hal institusi menuntut pelaporan pelaksanaan, anggota kemudian berkewajiban untuk menyusun laporan tentang pelaksanaan komitmen prioritas institusi dan komitmen anggota. Bentuk-bentuk pelaksanaan komitmen dapat berupa penyesuaian kebijakan-kebijakan nasional terhadap komitmen institusi jika ternyata sudah ada kebijakan spesifik lama yang mengatur isu spesifik yang dibicarakan dan ditetapkan dalam forum. Pelaksanaan komitmen juga dapat berupa pembentukan aturan-aturan baru jika komitmen tersebut belum diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan yang ada. Dalam hal komitmen prioritas harus dilaksanakan oleh stakeholders lain yang hadir dalam pertemuan institusi, anggota-anggota dan ketua forum akan memastikan bahwa kesepakatan institusi juga telah dilaksanakan oleh lembaga-lembaga terkait. Anggota akan menjadi ‘observance’ terhadap penerapan kesepakatan-kesepakatan tersebut. Pelaksanaan komitmen prioritas yang berimplikasi eksternal memang relatif sulit untuk memastikan ‘compliance’nya. Outreaching ke non anggota bisa membantu pelaksanaan komitmen prioritas ini. Dalam G20, compliance telah menjadi inti proses institusi dalam memastikan berfungsinya tata kelola ekonomi global. Prinsip leading by example yang menjadi nilai G20 menegaskan bahwa setiap anggota G20 diharapkan menerapkan komitmenkomitmen prioritas dan individual (compliance) karena hasilnya akan menentukan efektivitas G20.
16 1.5 Hipotesis Penelitian Mengikuti pola keterkaitan konsep, generalisasi dan teori yang disampaikan Mas’oed (1990), hipotesis dari peneltian ini adalah : ketidakefektifan G20 dikarenakan; Pertama, menurunnya hegemoni AS dalam G20, dan melemahnya kekuatan Advance Countries dalam G20. memunculkan China, China hadir sebagai sebagai rising power mengimbangi hagemoni AS yang mulai melemah. Kedua, tindakan collective actions G20 dalam rangka penanganan krisis finansial tersebut menimbulkan masalah baru yakni munculnya perilaku free rider emerging market. Ketidakefektifan G20 dalam menyelesaikan krisis finansial banyak dipengaruhi oleh negara emerging market, negara emerging market diuntungkan dengan adanya krisis finansial di negara maju karena arus modal bergerak ke negara yang masih konsen dalam bidang industri manufacture. Sehingga dampak yang dirasakan oleh negara emerging market sangatlah signifikan mulai pada peningkatan GDP sampai pada ekspansi produk ke negara lain. Tabel 1.1 Keterkaitan Konsep, Generalisasi dan Teori Konsep
Proposisi
Konsep
Rezim Internasional (Hagemoni dan Collective Action Problem)
Menurunnya hagemoni AS dan Collective action problem rezim internasional, masingmasing aktor Negara (AS, UE dan China) mempengaruhi efektivitas Rezim G20
Efektivitas Rezim
Variabel
Hipotesa
Variabel
- Menurunnya hagemoni AS dalam G20, - Melemahnya Kekuatan Advance Countries dalam G20. - Adanya Collective Action Problem terkait dengan free rider. - Tidak Adanya Kontrol Yang Memadai Pasca Komitmen, Untuk Mengontrol Aplikasi Pelaksanaan Agenda
Penarikan diri hegemon dari rezim, serta tidak adanya kontrol yang memadai pasca komitmen pada tataran aplikatif dan adanya free rider akan membuat keefektifan rezim akan berkurang.
Keefektifan rezim akan berkurang.
17 Indikator
Hipotesa Kerja
a. China hadir sebagai sebagai rising power mengimbangi hagemoni AS yang mulai melemah
Indikator
Jika tidak terdapat hegemoni G20 serta adanya Collective Action Problem, dan Tingkat kepatuhan yang berbeda antara . Negara advance countries dan b. Free Rider dilihat dari negara berkembang, maka Keuntungan akibat adanya penanganan krisis finansial perpindahan modal dari negara tidak efektif atau tidak maju ke negara berkembang berhasil.
Ketidakefektifan atau ketidakberhasilan G20 dalam penanganan krisis finansial
c. Negara advance countries, memiliki kepatuhan (compliance) yang tinggi,untuk memenuhi komitmen-komitmen prioritas KTT. Sedangkan negaranegara berkembang tidak memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi Variabel independent dari penelitian ini adalah kepentingan (national interest) AS dan UE, berserta China dalam rezim G20 sedangkan variabel dependentnya adalah. Keberhasilan atau Ketidakberhasilan G20 dalam penanganan krisis finansial
1.7 Metodologi Penelitian 1.7.1 Metodologi Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan jenis deskripsi analitis. Kualitatif adalah tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata – kata tertulis dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati, didukung dengan studi literatur atau studi kepustakaan berdasarkan pendalaman kajian, pustaka, berupa data dan angka, sehingga realitas dapat dipahami dengan baik.
Metode deskriptif analitis
bertujuan untuk menggambarkan, menelaah serta menganalisis dan mengklarifikasi fenomena yang terjadi seputar objek penelitian sebagai usaha menjawab rumusan masalah. 1.7.2 Tekhnik Pengumpulan Data Tekhnik pengumpulan data dapat dilakukan dengan menggunakan metode library research (studi kepustakaan), metode interview (wawancara), metode observasi (terjun
18 ke lapangan). Penelitian ini menggunakan tekhnik studi kepustakaan (library research). Metode library research dilakukan dengan mengumpulkan dokumen-dokumen yang sekiranya bisa dipergunakan untuk mengupas masalah. Dokumen dapat berupa teks-teks tertulis dari buku, jurnal, majalah, tabloid, koran, situs-situs resmi milik pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat yang diakses melalui internet serta` sumber-sumber lain yang dianggap relevan. Dengan studi kepustakaan ini penulis berharap nantinya bisa menemukan data-data dan fakta-fakta yang relevan untuk menganalisis permasalahan yang sedang dikaji. 1.7.3 Jangkauan penelitian Jangkauan penelitian meliputi rangkaian negosiasi dalam tiga periode G20 sejak tahun 2008-2012, meliputi: periode krisis subprime mortgage KTT Washington (14-15 November 2008), KTT London (1-2 April 2009), dan Pittsburgh (24-25 September 2009). Periode pasca krisis krisis Eropa Toronto (26-27 Juni 2010) dan Seoul (11-12 November 2010), KTT Channes (3 November 2011) dan Los Cabos (18-19 Juni 2012). Mengingat agenda dalam G20 kompleks, mencakup beragam isu dan terdapat hubungan antar isu (issue lingkage) maka dalam penelitian ini dibatasi pada isu G20 menangani krisis keuangan global. 1.7.4 Tekhnik Analisis Dan Interprestasi Data. Tesis ini menggunakan data kualitatif. Menurut Moleong,J.L (2005) analisis data kualitatif merupakan upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikannya dan memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, menemukan apa yang penting dan apa yang akan dipelajari dan memutuskan apa yang akan dideskripsikan.
1.8 Sistematika Penulisan Penulisan tesis ini dikembangkan dalam lima bab, yaitu : BAB I PENDAHULUAN Bab ini memuat kerangka dasar penelitian, alasan pemilihan topik dan metode penelitian serta sistematika penulisan. Secara terinci, kandungan bab ini adalah sebagai berikut : Latar belakang masalah, tujuan penelitian, literatur riview, kerangka teoritis,
19 hubungan antar variabel, hipotesis penelitian, model analisis, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II INDENTIFIKASI KEANGGOTAAN DAN KEPENTINGAN ENTITAS G20 Bab ini lebih diarahkan untuk mendeskipsikan kronologis penyebab, efek domino dan cara atau agenda G20 menyelesaikan krisis yang terjadi di negara-negara Advance Countries (Krisis Subprime Mortgage AS, dan Krisis Utang Yunani). Setelah mendeskripsikan krisis, dilanjutkan dengan mendeskrisipkan Kepentingan AS dan Uni Eropa Membentuk G20, serta kepentingan Emerging Market (China) serta Kebijakan Ekonomi Luar Negeri China, sehingga memutuskan bergabung di G20.
BAB
III.
KEBERHASILAN,
DAN
EFEKTIVITAS
G20
MENYELESAIKAN KRISIS FINANSIAL. Bab ini, dimulai dengan menggambarkan komitmen-komitmen yang disepakati dalam G20. Komitmen utama yang disetujui G20, untuk menyelesaikan krisis Advance Countries, melalui pemberian stimulus fiskal. Kemudian dilanjutkan dengan analisis keberhasilan (efektif) atau ketidakberhasilan (tidak efektif) G20 dalam mengatasi krisis finansial global. Didapatkan ketidakberhasilan (tidak efektif)
G20, karena tidak adanya
Hegemoni. Melemahnya Hegemoni AS, karena berbagai indikator. Karena menurunnya ekonomi AS, dan lemahnya kepercayaan terhadap lembaga-lembaga bretton woods bentukan AS. Dalam situasi ini bangkit kekuatan baru (China), yang memanfaatkan kondisi ini, sehingga melemahkan hegemoni AS. Selain Hegemoni, dalam ketidakefektifan dapat dilihat dari timbulnya dilema atas aksi bersama (Collective Action Problem) G20, mempengaruhi efektivitas. Ditengarai kehadiran free rider dari negara-negara Emerging Market di G20, menyebabkan ketidakberhasilan dan ketidakefektifan G20.
Bab IV KESIMPULAN Merupakan kesimpulan dari pembahasan penulisan penelitian ini.