BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Malaysia mencerminkan kompleksitas migrasi internasional, menjadi negara
penerima dan pengirim tenaga kerja. Sementara pekerja asing, tenaga kerja upah rendah yang dapat membantu pertumbuhan nasional Malaysia, memenuhi kekurangan tenaga kerja di dalam negeri, namun akses yang tidak terkontrol terhadap tenaga kerja asing tidak berkeahlian yang bersedia dibayar murah juga dapat menghambat peningkatan ekonomi dan menimbulkan masalah politik, keamanan, serta sosial (Pillai, 1995). Uraian tersebut menggambarkan peliknya situasi ketenagakerjaan di Malaysia, terutama dalam menyikapi hubungan ketenagakerjaan dengan Indonesia. Migrasi pada dasarnya merupakan suatu bentuk proses diversifikasi dari suatu konteks kerentanan (Ellis, 2000). Minimnya potensi diversifikasi pada masyarakat perdesaan yang diakibatkan oleh minimnya aset yang dimiliki menghasilkan pilihan rasional untuk bermigrasi dan mencari penghidupan yang lebih baik. Kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup, kalah dalam persaingan untuk memenuhi kebutuhan hidup mengakibatkan kecenderungan masyarakat untuk bermigrasi. Migrasi sendiri menurut IOM dalam Laporan Penelitian IOM (2010) didefinisikan sebagai suatu bentuk perpindahan seseorang atau kelompok orang dari satu unit wilayah geografis menyeberangi perbatasan politik atau administrasi dengan keinginan untuk tinggal dalam tempo waktu tak terbatas atau untuk sementara di suatu tempat yang bukan daerah asal. Migrasi ini tentu bertujuan untuk mendapatkan pekerjaan. Migrasi yang terjadi dapat berupa perpindahan penduduk dalam skala nasional maupun internasional. Hal ini merupakan kecenderungan urbanisasi. Proses urbanisasi dipicu oleh kurangnya lapangan pekerjaan di desa karena minimnya sumberdaya yang dapat dimanfaatkan maupun tingginya tingkat persaingan, sehingga pihak yang tidak mampu bersaing akan cenderung menyingkir dan mencari sumber penghidupan di wilayah lain. Hal inilah yang memicu kerentanan.
1
Empat fakta tidak terbantahkan yang menentukan pemikiran terkait prospek dari urbanisasi di abad ke-21 (McGee, 2009) antara lain: Pertama, data statistik pertama kali dalam sejarah global dunia menyatakan bahwa mayoritas populasi tinggal di wilayah perkotaan. Kedua, kecenderungan dari pertumbuhan populasi perkotaan akan terjadi di Afrika dan Asia yang mencakup hampir dua pertiga dari populasi dunia, dimana saat ini di banyak negara proporsi populasi yang tinggal di wilayah perkotaan hampir mencakup 50 persen. Ini menghasilkan implikasi demografi yang signifikan dan itu berarti volume peningkatan populasi perkotaan akan menjadi tidak sejajar dalam sejarah manusia. Ketiga, realitas demografi yang baru ini secara bersama akan membentuk aktivitas perekonomian, sosial, dan politik yang akan membutuhkan pemikiran kembali terhadap penanaman konsep sejarah akan kota dan desa. Penanaman konsep sejarah tersebut mempunyai keterkaitan terhadap demografi, politik, sosiologi, dan perekonomian untuk mendefinisikan kembali istilah “kota” dan “desa”. Keempat, peningkatan integrasi ekonomi terhadap dunia tersebut merupakan dampak dari globalisasi dimana hal tersebut menciptakan potensi yang lebih besar terhadap perubahan ekonomi dan meningkatkan tantangan terhadap keberlanjutan bentuk perkotaan yang sudah ada. Migrasi tenaga kerja yang dikaji dalam penelitian ini meliputi migrasi penduduk dari desa ke kota dan segala aspek yang terkait di dalamnya. Mengacu pada hal tersebut, migrasi internasional dan proses urbanisasi ini telah menjadi fenomena yang berkembang sejak beberapa dasawarsa terakhir dan dengan berdasar pada uraian tersebut, penelitian ini akan mengkaji proses-proses dan faktor penarik dan pendorong yang terjadi dalam migrasi ketenagakerjaan dalam lingkup internasional.
1.2
Masalah Penelitian Migrasi merupakan salah satu bentuk diversifikasi penghidupan. Namun
bagaimana jika proses migrasi dan aktivitas penghidupan di luar negeri ini terkendala oleh adanya regulasi dan birokrasi yang berujung pada aspek legalitas tenaga kerja. Faktor legalitas ini tentu berpengaruh pada keberhasilan migrasi dan penghidupan migran. Status legalitas ini tentu dapat dipengaruhi oleh kepemilikan 2
aset di daerah asal, sebagai contoh konkret misalnya pengaruh kepemilikan modal finansial terhadap status legalitas terkait pembiayaan migrasi. Penelusuran terkait kepemilikan aset di daerah asal dapat dilakukan dan dapat dianalisis pola hubungannya terhadap status legalitas. Konteks kerentanan yang menjadi titik utama kajian penghidupan dapat tercipta akibat proses yang terjadi selama migrasi. Kurangnya dukungan dalam aset finansial dan aset sumberdaya manusia dapat menjadi faktor yang mempengaruhi legalitas tenaga kerja ini. Para tenaga kerja dengan pendidikan rendah yang kurang memiliki pengetahuan di bidang administrasi kenegaraan dan finansial harus dihadapkan pada berbagai birokrasi. Namun hal ini dapat disiasati dengan melakukan pendaftaran di Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia melalui jaminan majikan ataupun syarikat dengan melakukan pemotongan upah untuk mencicil biaya permit yang merupakan realisasi dari Program 6P, apabila mereka telah diterima kerja. Faktor kerentanan yang bersifat “seasonality” terdiri dari faktor risiko, fluktuasi kebutuhan tenaga kerja, dan faktor keterampilan yang mendasari persaingan antar tenaga kerja asal Indonesia dalam mencari majikan dan syarikat yang mau mempekerjakan, merupakan suatu bentuk kompetisi yang menciptakan kerentanan dan peluang tersendiri. Penelitian ini mengkaji proses-proses yang terjadi, dan juga mengkaji kepemilikan aset di daerah asal serta bagaimana aset tersebut mempengaruhi status legalitas yang kemudian digolongkan menjadi tiga golongan untuk memudahkan pembahasan. Golongan pertama adalah status pekerja legal yang diindikasikan dengan kepemilikan permit, tenaga kerja yang merupakan warganegara sementara dengan I.C. Merah, dan tenaga kerja yang berubah kewarganegaraan menjadi warga negara Malaysia dengan I.C. Biru. Golongan kedua adalah tenaga kerja semi-ilegal, yaitu tenaga kerja yang bermigrasi secara sirkulasi dalam kurun waktu kurang dari tiga puluh hari dengan memanfaatkan waktu kunjungan paspor. Golongan ketiga adalah tenaga kerja ilegal yang tidak memiliki waktu kunjungan maupun izin kerja. Lebih lanjut penelitian ini juga mengkaji mengenai faktor apa saja yang mempengaruhi besar kecilnya pendapatan setiap bulan sebagai indikasi keberhasilan migrasi secara riil.
3
Rumusan Masalah Penelitian 1. Apa sajakah faktor pendorong dan penarik para tenaga kerja ini untuk meninggalkan daerah asal dan bekerja di Kampung Pandan Dalam Malaysia dan apa sajakah yang terjadi pada proses migrasinya? 2. Bagaimana keterkaitan antara kepemilikan aset di daerah asal dengan status legalitas pekerja, dan apakah status legalitas turut mempengaruhi keberhasilan migrasi tenaga kerja asal Indonesia?
1.3
Tujuan Penelitian 1. Mengkaji faktor-faktor dan proses yang mendorong dan menarik tenaga kerja Indonesia untuk bekerja di Malaysia. 2. Mengkaji keterkaitan antara kepemilikan aset di daerah asal tenaga kerja dengan status legalitas, dan mengkaji peranan status legalitas tenaga kerja asal Indonesia terhadap keberhasilan migrasinya.
1.4
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan sebagai berikut: 1. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar (S1) Sarjana Geografi dengan program studi Pembangunan Wilayah. 2. Sebagai informasi bagi penentu kebijakan baik pemerintah maupun nonpemerintah dalam rangka pengambilan keputusan yang berkaitan dengan ketenaga kerjaan, terutama terkait masalah suaka dan perlindungan para TKI yang sedang bekerja di luar negeri. 3. Sebagai sumber referensi untuk penelitian-penelitian yang akan datang.
1.5
Tinjauan Pustaka
1.5.1
Keterkaitan Desa-Kota
1.5.1.1 Konteks Desa-Kota Konteks desa-kota di sini mengacu pada hubungan antara desa dan kota dengan konteks desa sebagai penyedia bahan mentah dan setengah jadi, tenaga kerja dan sebagai wilayah demand terhadap barang-barang dan jasa perkotaan. Sedangkan kota berfungsi sebagai pusat layanan untuk desa hinterland mereka, 4
menawarkan outlet untuk produk pedesaan, pelayanan publik dan komersial, serta kesempatan kerja (DFID, 2002). Mengacu pada konteks tersebut, aliran migrasi merupakan suatu konsekuensi. Tacoli dan Mabala (2010) dalam Schutten (2012) mendeskripsikan perhatian terhadap pentingnya hubungan desa-kota untuk seluruh pembangunan dalam studi kasus di empat daerah di Mali, Nigeria, Tanzania dan Vietnam. Masing-masing studi kasus mengeksplorasi dengan cara yang berbeda dimana migrasi berkaitan dengan pengembangan daerah pedesaan dan perkotaan. Dengan berubahnya hubungan ini, mereka mengamati transformasi penghidupan. Perubahan ini secara umum dibentuk oleh kesempatan kerja baru yang muncul. Hubungan desa-kota pada perkembangannya tidak hanya terbatas pada wilayah perkotaan dan wilayah perdesaan di sekitarnya. Hubungan ini meluas dengan adanya perkembangan teknologi informasi dan transportasi yang menciptakan suatu hubungan global dan arus migrasi ketenaga kerjaan. Pesatnya pertumbuhan negara Malaysia ditandai dengan peningkatan cakupan pelayanan bisnis dan ekonomi yang tampak dari dibangunnya banyak perusahaan dan korporasi perusahaan internasional. Tingkat pendidikan yang tinggi serta laju pertumbuhan penduduk yang rendah di wilayah perkotaan Kuala Lumpur memicu tren peningkatan kesejahteraan sehingga mereka mampu mempekerjakan orang-orang pada sektor domestik dan juga mempekerjakan migran sebagai tenaga kerja mereka.
1.5.1.2 Konteks Geografi Rumusan hakikat dari pendekatan ilmu geografi digunakan sebagai landasan dasar untuk memberikan warna sebuah karya ilmiah sebagai bentuk scientific dignity dalam bidang geografi. Untuk pendekatan baru yang diadopsi, peneliti harus tetap berorientasi pada salah satu atau gabungan dari ketiga macam pendekatan utama geografi yang menekankan pada space sebagai variable, man-environment interrelationship, atau regional complex system agar fitrah georafi tidak hilang (Goodall, 1987 dalam Yunus, 2010). Senada dengan definisi di atas, dalam Hay (2000) kajian mengenai fenomenologi seperti halnya yang dikaji dalam penelitian ini, merupakan bagian dari kajian geografi manusia kontemporer. Kajian geografi manusia kontemporer mempelajari tempat, masyarakat, individu, wacana, persepsi, dan fragmentasi bentang lahan. Unsur dari paradigma geografi menjadi tolok ukur untuk 5
mempersepsikan fenomena yang ada di masyarakat, menggali data yang ada dan merepresentasikannya menjadi suatu teori yang dapat menjelaskan fenomena yang terjadi. Kajian mengenai migrasi dapat menjadi kajian yang mendasarkan pada paradigma geografi, yaitu aspek kompleks wilayah. Pendekatan kualitatif ini digunakan dalam menjawab pertanyaan besar, “Mengapa orang-orang bermigrasi? Apakah yang menjadi faktor-faktor yang melatarbelakangi hal tersebut?” Hal tersebut yang melatarbelakangi penelitian ini, dan memposisikan metode analisis data kualitatif sebagai metode yang dapat menjawab pertanyaan tersebut melalui pendekatan ilmiah secara alamiah atau disebut juga pendekatan naturalistik disamping tetap menggunakan analisis kuantitatif dalam menyajikan kecenderungan kepemilikan aset dalam setiap tipologi tenaga kerja yang bermigrasi.
1.5.1.3 Hubungan Desa-Kota Hubungan antara desa dan kota serta strategi peningkatan penghidupan masyarakat desa yang bekerja di perkotaan merupakan inti dari penelitian ini. Merujuk pada deskripsi hubungan antara desa dan kota, maka digunakan istilah “rural-urban linkages” yang mengacu pada transformasi peningkatan penghidupan melalui proses diversifikasi, dimana mobilitas dan migrasi memiliki hubungan dekat dengan diversifikasi penghidupan (Tacoli, 2004). Aliran ketenaga kerjaan dari desa dan kota merupakan suatu bentuk implikasi yang menggambarkan hubungan tersebut. Aliran ketenaga kerjaan ini timbul akibat proses diversifikasi penghidupan dalam bentuk migrasi.
1.5.2
Urban Bias
1.5.2.1 Konteks Urban Bias dalam Migrasi Konsep “urban bias” mengalami banyak perkembangan dalam perumusan gejalanya. Corbridge dan Jones (2005) merumuskan perbedaan pendapat terkait urban bias. Lipton menekankan definisi pada ketidakseimbangan pembangunan antara desa dan kota. Pertumbuhan kota seperti yang dijelaskan lebih lanjut oleh Corbridge dan Jones (2005) meliputi pertumbuhan kota yang berenergi negatif karena adanya spekulan (rent seeking), yaitu para spekulan ekonomi yang menghabiskan sumberdaya yang ada untuk kepentingan pribadi maupun koorporasi. Sedangkan pertumbuhan dengan energi positif adalah kemampuan kota untuk 6
melakukan “spill-over effect” untuk menyebarkan kemakmuran ke wilayah di sekitarnya. Poin ini menjembatani pendapat Ellis dan Harris (2004) dalam Corbridge dan Jones (2005), yang mengatakan bahwa mobilitas dan migrasi merupakan elemen dalam pembangunan ekonomi atas keterjangkauan jarak dan adanya faktor informasi dan transportasi.
1.5.2.2 Stagnansi Penghidupan Masyarakat Desa Sektor perdesaan memuat sebagian besar kemiskinan dan sumberdaya bernilai ekonomis rendah sebagai potensi kemajuan, sedangkan sektor perkotaan memuat banyak kemampuan menyambung antara organisasi dan kekuatan (Lipton, 1997:1 dalam Corbridge dan Jones, 2005). Gejala ini mengakibatkan kondisi perekonomian desa berkembang sangat pelan dan cenderung stagnan. Ketidakmampuan masyarakat desa dalam mengimbangi kemajuan kota merupakan implikasi dari pesatnya kemajuan kota dimana terjadi peningkatan daya beli masyarakat yang berimbas secara tidak langsung pada peningkatan harga komoditas barang dan jasa. Kemajuan perekonomian dan peningkatan kualitas hidup menuntut peningkatan upah minimum tenaga kerja. Hal ini tentu mempengaruhi harga komoditas barang dan jasa pada sektor perkotaan. Hal ini yang tidak dapat diimbangi oleh komoditas barang perdesaan.
1.5.3
Aspek Penghidupan
1.5.3.1 Pendekatan Penghidupan Perdesaan Aspek livelihood atau penghidupan sebagaimana dijelaskan dalam Ellis (2000) mengacu pada aspek modal (asset), proses perubahan modal menjadi aktivitas (mediating processes), serta aktivitas dan strategi penghidupan (activities and livelihood strategy). Aspek penghidupan di sini mengacu pada ketersediaan modal (asset), kemampuan untuk menggunakan atau mengaplikasikan modal menjadi aktivitas, dan berujung pada aktivitas dan strategi penghidupan itu sendiri. Hal ini terkait dengan proses diversifikasi pola penghidupan itu sendiri. Penghidupan (livelihood) didefinisikan sebagai kemampuan, aset, dan kegiatan yang diperlukan untuk menjalani kehidupan. Pengertian tersebut lebih luas daripada sekedar pendapatan atau kemampuan kerja karena meliputi hubungan yang kompleks antara kemampuan, aset, kegiatan ekonomi dan dinamika masyarakat. 7
Aset penghidupan yang dirumuskan oleh DFID (1999) meliputi modal (manusia, sosial, finansial, fisik, dan natural) dan pengaruh serta akses yang dikuasai dan dimiliki seorang atau rumah tangga atau komunitas. Chambers dan Conway (1992) dalam Ellis (2000) menuliskan pengertian penghidupan sebagai berikut: “A livelihood comprises the capabilities, assets (including both material and social resources) and activities required for a means of living. A livelihood is sustainable when it can cope with and recorver from stresses and shocks and maintain or enhance its capabilities and assets both now and in the future, while not undermining the natural resource base.”
Secara etimologis, makna kata livelihood terdiri dari aset (natural, physical, human, financial, and social), aktivitas, dan kapabilitas terhadap aset yang ada melalui perantara orang di sekitarnya atau relasi-relasinya yang kemudian bersamasama menentukan peningkatan kehidupan baik pada tingkat individual maupun rumah tangga. Kata kapabilitas didefinisikan sebagai aturan dan norma sosial yang mempengaruhi kemampuan setiap orang dalam memiliki, mengontrol, mengklaim dan menggunakan sumberdaya (Ellis, 2000).
Ilustrasi 1.1: Kerangka Kerja Penghidupan Berkelanjutan, DFID (1999)
8
Aktifitas di semua kategori merepresentasikan kontribusi potensial terhadap portofolio bertahan hidup keluarga perdesaan (Ellis, 2000). Aktivitas ini dapat berupa tindakan setiap anggota keluarga dalam melakukan kegiatan untuk menambah pendapatan keluarga, di samping melakukan pekerjaan pokoknya seharihari. o Modal natural (natural capital) merupakan kepemilikan atau penguasaan dari sumberdaya alam yang ada seperti lahan, tanaman, dan air yang dapat digunakan sebagai modal produksi. Modal natural akan berbeda antara satu wilayah dengan wilayah yang lain, dan hal ini juga akan mempengaruhi pola penghidupan masyarakat yang ada (DFID, 1999). o Modal
manusia
(human
capital)
merepresentasikan
keterampilan,
pengetahuan, kemampuan untuk bekerja, dan kesehatan yang secara bersama memungkinkan seseorang untuk mengejar strategi penghidupan yang berbeda dan mencapai tujuan penghidupannya dalam skala rumah tangga. Level modal manusia merupakan faktor dari ketersediaan dan kualitas tenaga kerja. Hal ini bervariasi tergantung dari ukuran rumah tangga, tingkat kemampuan, potensi kepemimpinan, status kesehatan, dan lain sebagainya (DFID, 1999). o Modal sosial (social capital) merupakan kekuatan untuk melakukan penghidupan
melalui
hubungan
dengan
masyarakat
sekitar,
adanya
kepercayaan, saling kerjasama yang saling menguntungkan seperti jaminan sosial (DFID, 1999). o Modal finansial (financial capital) merupakan sumberdaya keuangan yang digunakan manusia untuk mencapai tujuan penghidupan, dalam hal ini misalnya pendapatan, tabungan dan akses kredit dan sumber pendapatan lainnya (DFID, 1999). o Modal fisik (physical capital) terdiri dari infrastruktur dasar dan penghasil barang yang digunakan untuk menunjang kehidupan, misalnya berupa kendaraan, teknologi produksi, dan lain sebagainya. (DFID, 1999).
1.5.3.2 Konsep Penghidupan Analisa penghidupan dapat dipermudah dengan menggunakan Framework for Livelihood Analysis yaitu kerangka kerja untuk menganalisa penghidupan.
9
Konsep inti dari pendekatan penghidupan (livelihood approach) yang dirumuskan oleh DFID (1999) meliputi: a.
People centered: pendekatan ini menempatkan masyarakat sebagai pusat pembangunan. Masyarakat yang sesungguhnya lebih paham persoalan yang dihadapinya dan alternatif pilihan solusinya.
b. Holistic: merupakan pandangan yang meliputi seluruh aspek kehidupan yang terkait dan saling berkaitan. c. Dynamic: penghidupan dan kehidupan masyarakat yang dinamis mengilhami pendekatan ini. Masyarakat dan kelembagaan terus berubah dan oleh karena itu perlu proses pembelajaran. d. Build on strength: pendekatan ini memulai analisisnya dengan melihat kemampuan daripada kebutuhan. Modal potensi dan kemampuan masyarakat terus dipupuk hingga mampu menentukan sendiri langkah berikutnya. e. Macro–micro link: pendekatan ini berupaya menjembatani jarak yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri dan yang terkait dengan pihak luar seperti kebijakan pemerintah atau pengaruh kecenderungan makro. f. Sustainability: keberlanjutan penghidupan merupakan perhatian, tidak saja berorientasi jangka pendek dan kepentingan sesaat, tetapi memperhatikan keberlanjutan kepentingan generasi selanjutnya.
1.5.3.3 Konsep Strategi Penghidupan Setiap individu maupun rumah tangga pasti memiliki sistem penyesuaian diri dalam merespon perubahan yang ada baik secara perlahan maupun secara tiba-tiba dan serta merta. Untuk itu setiap orang memiliki permasalahan sendiri yang dihadapi secara berbeda, akibatnya setiap pribadi memiliki strategi yang berbeda pula. Sebuah rumah tangga, baik rumah tangga miskin atau kaya atau rumah tangga yang tinggal di perkotaan maupun di perdesaan akan didukung oleh berbagai faktor untuk tetap eksis dan stabil dalam mempertahankan kelangsungan hidup rumah tangga tersebut. Faktor yang mempengaruhi akan beragam dan berbeda antara satu rumah tangga dengan rumah tangga lain sehingga strategi yang dilakukan untuk mempertahankan hidupnya juga akan berbeda. Selain itu, adanya krisis ekonomi, kondisi lingkungan, kondisi sosial ekonomi, karakteristik jumlah keluarga 10
dan keberadaan mereka dalam komunitas sosial akan mempengaruhi suatu rumah tangga dalam melakukan strategi untuk kelangsungan rumah tangganya. Perbedaan strata sosial ekonomi yang ada menurut White (dalam Titus et al, 2008) akan menyebabkan perbedaan tipe strategi kelangsungan hidup yang digunakan. Menurutnya strategi kelangsungan hidup dapat dibedakan menjadi tiga tipe berdasarkan status sosial ekonomi yang dimilikinya, yaitu strategi survival, strategi konsolidasi, dan strategi akumulasi. 1. Strategi survival, adalah strategi yang digunakan oleh rumah tangga untuk dapat mempertahankan rumah tangganya pada tingkatan minimum dan hanya agar rumah tangga tersebut dapat bertahan hidup. Kondisi rumah tangga yang mempunyai strategi survival ini tergolong rumah tangga yang sangat memprihatinkan. 2. Strategi konsolidasi, adalah strategi pemenuhan kebutuhan hidup untuk mencapai kebutuhan pokok dan sosial. 3. Strategi akumulasi, adalah strategi pemenuhan kebutuhan hidup untuk mencapai kebutuhan pokok, sosial dan pemupukan modal terutama bagi rumah tangga yang berhasil dalam mencari laba dari investasi yang dilakukan.
1.5.4
Konsep Migrasi
1.5.4.1 Teori Migrasi Desa-Kota Ravenstein’s Law dalam Todaro (1976) mengemukakan teorinya, bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi migrasi di antaranya adalah: 1. Jarak migrasi. Jarak sangat mempengaruhi pengambilan keputusan untuk bermigrasi. Polarisasi pusat-pusat pertumbuhan dapat memicu migrasi menuju pusat pertumbuhan, meski harus ditempuh dalam jarak yang jauh. 2. Tahapan migrasi. Keputusan untuk bermigrasi dapat dilakukan secara bertahap, yaitu orang-orang dari perdesaan berpindah menuju pusat-pusat pertumbuhan di sekitar mereka terlebih dahulu sebelum akhirnya mereka bermigrasi lagi menuju pusat-pusat pertumbuhan yang lebih besar. 3. Stream and counterstream. Maksud dari istilah ini adalah migrasi yang dalam realitanya didominasi oleh perpindahan penduduk dari desa ke kota atas dasar motivasi ekonomi, namun tidak dapat dipungkiri adanya arus balik 11
dari kota ke desa. Ini dapat merupakan gejala keterikatan migran terhadap daerah asal. 4. Migrasi kota-desa memiliki perbedaan kecenderungan untuk bermigrasi. Maksudnya adalah, perpindahan penduduk kota menuju perdesaan memiliki kecenderungan yang sedikit. Arus migrasi sangat didominasi oleh perpindahan penduduk desa menuju kota. 5. Teknologi, komunikasi, dan migrasi. Ketiga aspek tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Contohnya adalah gejala yang terjadi dalam satu dekade terakhir. Keputusan untuk bermigrasi sangat didukung oleh adanya kemajuan teknologi dan komunikasi, sehingga migrasi internasional lebih mudah dilakukan. 6. Motivasi ekonomi. Hal ini merupakan faktor dominan yang mendasari keputusan untuk bermigrasi. Ketidakadilan hukum, pajak yang besar, iklim yang keras, lingkungan sosial yang tidak bersahabat, dan lain sebagainya merupakan faktor yang dapat mendorong orang untuk bermigrasi. Namun faktor-faktor tersebut tidak memiliki dampak yang besar dalam pengambilan keputusan untuk bermigrasi jika dibandingkan dengan motivasi untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
Teori yang lebih baru dikemukakan oleh Lee (1966, p.49) dalam Todaro (1976, p17). Teori ini menjelaskan proses migrasi yang dipengaruhi oleh empat faktor yaitu, 1) Faktor yang terdapat di daerah asal, 2) Faktor yang terdapat didaerah tujuan, 3) Rintangan antara yang terdapat di daerah asal dan daerah tujuan, 4) Faktor individu. Teori ini dimodifikasi oleh Norris (1972) dalam Mantra (2003) dengan menambahkan tiga komponen yaitu, 1) Migrasi kembali, 2) kesempatan antara, 3) Migrasi paksaan (Force migration) yang selanjutkan akan dijabarkan melalui dua contoh empiris yaitu Lundhom (2007) yang menjelaskan terkait voluntary and involuntary migration, migrasi secara voluntary dapat dikatakan migrasi dalam arti perspektif individual, terkait banyaknya alasan untuk bermigrasi sebagai pilihan yang positif. Merujuk pada teori ekonomi dan perilaku, pilihan individu yang diharapkan secara rasional dan migrasi yang demikian diasumsikan merupakan hal yang positif sejauh hal tersebut dilakukan secara sukarela dan
terjadi jika hal
tersebut memiliki manfaat bagi individu itu sendiri maupun orang lain. Secara 12
umum, migrasi ini membuka kesempatan dan memilih wilayah lain untuk ditinggali dan meningkatkan kualitas hidup. Sedangkan pada kasus migrasi involuntary, migrasi ketenagakerjaan secara terpaksa menuju wilayah perkotaan ini masih dalam perdebatan. Dengan menggarisbawahi asumsi yang terjadi yaitu adanya konflik antara kebutuhan dari masyarakat akan tenaga kerja dan kebutuhan individu untuk memilih tempat tinggal, dan individual migran ini harus membayar mahal untuk dapat bekerja di daerah tujuan yang membutuhkan tenaga kerja. Teori migrasi berdasarkan kajian ekonosentris dikemukakan oleh Todaro dalam bukunya “Internal Migration in Developing Countries” tahun 1976 dimana ia mengatakan bahwa, “The fundamental premise is that migran as decision-makers consider the various labour market opportunities available to them as between, say, the rural and the urban sectors, and choose the one which maximises their “expected” gain from migration.”
Dapat dikatakan, faktor pendorong dari migrasi ini adalah bahwa mereka berangan-angan mendapat upah lebih jika mereka berpindah, misalkan perpindahan dari perdesaan dengan ekonomi berbasis perdesaan menuju perkotaan. Ini juga dapat digunakan dalam menjelaskan fenomena migran internasional. Dijelaskan juga dalam Todaro (1976) bahwa indikator yang mendasari para migran ini untuk pindah adalah: a) Perbedaan yang nyata dari pendapatan mereka di desa dan peluang untuk mendapat pekerjaan di kota. b) Besarnya kemungkinan para migran yang baru pindah memasuki kota ini untuk mendapatkan pekerjaan di kota. Motivasi ekonomi merupakan faktor yang dominan dalam pengambilan keputusan untuk bermigrasi, seperti halnya yang dikaji dalam penelitian ini. Perilaku migran dalam proses migrasi tersebut dilatarbelakangi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal lebih condong pada karakteristik migran itu sendiri, seperti jenis kelamin, tingkat pendidikan, status perkawinan, tanggungan keluarga, dan lain sebagainya. Sedangkan faktor eksternal sangat terkait dengan faktor-faktor yang berasal dari luar seperti kesempatan kerja, ketersediaan 13
fasilitas umum, dan lain sebagainya. Kedua faktor tersebut menimbulkan adanya motivasi untuk bermigrasi. Selanjutnya, terdapat juga model pendekatan migrasi dengan meninjau melalui faktor penarik dan pendorong (push and factor theory), dengan mengarisbawahi dari pendapat Ravenstein (1885;1889) dalam Haas (2008), migrasi dapat dipandang sebagai hal yang tidak terpisahkan dari pembangunan, dan menegaskan mayoritas penyebab dari migrasi adalah faktor ekonomis. Pola migrasi lebih jauh diasumsikan dipengaruhi oleh faktor jarak dan kepadatan penduduk (Skeldon 1997:19) dalam Haas (2008). Dalam perspektif ini, yaitu ketika orang diharapkan
pindah
dari
wilayah
berpendapatan
rendah
menuju
wilayah
berpendapatan tinggi, dan dari wilayah berkepadatan tinggi menuju wilayah dengan kepadatan rendah, hal tersebut yang mendasari dari push and pul theory (Castles & Miller 2003:22) dalam Haas (2008). Pendekatan migrasi sebagai suatu sistem (Mabogunje, 1970) menempatkan migrasi sebagai satu rangkaian sistem terbuka yang saling terkait antara desa dan kota sebagai bentuk migrasi desa-kota. Dalam uraiannya, komponen ini terdiri atas dua komponen terpenting yaitu urban control sub-system dan rural control subsystem yang menempatkan fungsi kontrol baik di desa maupun kota terkait proses migrasi, misalnya dalam fungsi rural control sub-system menempatkan kontrol pengendali migrasi yang terdapat di perdesaan yaitu jumlah anggota keluarga yang ditinggalkan, kepemilikan aset penunjang migrasi, dan lain sebagainya. Sedangkan kebalikannya yaitu urban control sub-system menempatkan ketersediaan lapangan kerja dan kebijakan terkait syarat-syarat perekrutan tenaga kerja sebagai fungsi kontrol berhasilnya migrasi. Selain itu juga terdapat komponen adjustment mechanism yang ada baik di desa maupun kota, komponen ini menjelaskan terkait proses penyesuain yang terjadi antara desa dan kota yang dilakukan oleh individu yang melakukan migrasi, yaitu konsekuensi yang ada dari aliran migrasi yaitu hilangnya pekerja aktif yang terdapat di desa misalnya. Komponen adjustment mechanism di sini menjelaskan terkait perimbangan yang ada, yaitu mengambil contoh keberhasilan migrasi yang dapat ditunjukkan dengan pendapatan yang tinggi dan kemampuan untuk mengirimkan uang kiriman ke daerah asal merupakan satu bentuk mekanisme penyesuaian. Uang kiriman yang dikirimkan digunakan untuk menghidupi keluarga di daerah asal dan secara tidak langsung turut mempengaruhi 14
perekonomian wilayah yang ditinggalkan baik dalam lingkup kecil maupun besar sesuai dengan jumlah tenaga kerja migran yang pergi. Keberhasilan dari mekanisme penyesuaian akan menstimulus migrasi menuju ke daerah tujuan migrasi tersebut, namun jika para tenaga kerja migran sebelumnya tidak berhasil akan menghambat proses migrasi tenaga kerja sesudahnya dan akan mencari daerah tujuan lain. Selain kedua komponen tersebut, komponen yang mempengaruhi adalah lingkungan diluar sistem yang berupa iklim dan musim satu wilayah, teknologi dan informasi, dan lain sebagainya.
1.5.4.2 Konteks Kerentanan dalam Migrasi Internasional Status legalitas yang dimaksud dalam penelitian ini merujuk pada UndangUndang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga kerja Asal Indonesia di Luar Negeri. Status legalitas dapat diketahui dari pasal 1 ayat 1 yang menerangkan tentang izin kerja. Selanjutnya definisi tenaga kerja pada pasal 1 ayat 1 adalah tenaga kerja Indonesia, yang selanjutnya disebut dengan TKI, adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Secara tegas tertulis dalam ayat itu bahwa tenaga kerja yang bekerja di luar negeri memiliki tenggat waktu tertentu. Proses pra pemberangkatan tenaga kerja asal Indonesia ini dirinci secara detail pada pasal 31 meliputi: a. pengurusan SIP; b. perekrutan dan seleksi; c. pendidikan dan pelatihan kerja; d. pemeriksaan kesehatan dan psikologi; e. pengurusan dokumen; f. uji kompetensi; g. pembekalan akhir pemberangkatan (PAP); dan h. pemberangkatan. Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa pendaftaran dilakukan di Indonesia baik melalui Depnakertrans maupun badan swasta yang memiliki Surat Izin Pengerahan (SIP) dari Kementrian Depnakertrans Pasal 32. Tidak terdapat keterangan terkait pengurusan izin di negara tujuan, pengurusan izin kerja (Permit kerja) yang dapat diselenggarakan di Malaysia adalah melalui Program 6P. 15
Program 6P yang menargetkan PATI (Pendatang Tanpa Izin) sebagaimana disebutkan dalam website Pusat Maklumat Rakyat Malaysia, tahap pertama yaitu Pendaftaran dilaksanakan dengan tujuan untuk mendaftarkan PATI di Malaysia, dan melalui metode ini, pemerintah berpeluang mendapatkan informasi majikan PATI, selain catatan pribadi serta data biometrik PATI yang merupakan elemen dasar dalam pelaksanaan program ini yaitu mendapat informasi yang mendetail untuk digunakan dalam tahapan yang lain. Rekam data ini sejalan dengan inisiatif Pemerintah untuk menciptakan database komprehensif bagi setiap warga asing di Malaysia, sehingga memungkinkan proses pemantauan dilaksanakan secara lebih efektif, hal termasuk dalam usaha antisipasi terkait masalah pemalsuan identitas serta dokumen yang selama ini berulangkali dipalsukan karena tidak ada data biometrik . Tahap kedua adalah Pemutihan, yaitu proses yang berfungsi untuk menyaring setiap PATI yang terdaftar melalui program ini dan mengidentifikasi bila ada kebutuhan untuk mempertahankan mereka dalam sektor tertentu yang memiliki penawaran lowongan kerja melibatkan pekerja asing. Jika hasil pertimbangan menemukan fakta bahwa PATI yang terlibat sesuai untuk mengisi kekosongan tersebut, maka mereka akan diputihkan dan berikutnya dijadikan pekerja asing yang sah dengan daftar pengusaha yang terdaftar. Namun , proses pemutihan ini hanya akan mempertimbangkan untuk sektor serta negara asal PATI termasuk Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam kebijakan penggajian karyawan asing dan diberikan izin khusus oleh pemerintah termasuk sub-sektor usaha yang sedang dibekukan oleh pemerintah. Pada saat yang sama, proses pemutihan ini juga akan memperhitungkan kelayakan majikan berdasarkan kebutuhan menurut sektor dan sub-sektor yang akan ditentukan oleh kementerian/badan pengawas. Selanjutnya adalah tahap ketiga yaitu Pengampunan di mana PATI yang tidak terdaftar untuk diputihkan, atau PATI yang secara sukarela memilih untuk pulang ke negara asal mereka masing-masing akan diampuni dan diizinkan untuk pulang atas biaya sendiri tanpa dikenakan sangsi. Namun, pengampunan ini hanya terbatas kepada PATI yang melakukan pelanggaran imigrasi saja/bukan terpidana. Tahap keempat adalah Pemantauan yang akan dilaksanakan sebelum operasi penindakan terpadu terhadap PATI yang dilaksanakan secara terpadu di seluruh negara. Tindakan ini akan diberlakukan setelah adanya laporan ke seluruh 16
perusahaan dan majikan untuk memberikan peringatan dan juga memberikan pemahaman terkait risiko tindakan hukum sebagai konsekuensi jika ditemukan kasus melindungi pekerja berstatus PATI yang tidak terdaftar dalam Program 6P. Antara lain , majikan serta PATI yang bersangkutan dapat dikenakan tindakan di bawah ketentuan konstitusi Negara Malaysia yaitu UU Anti Perdagangan Orang 2007 (Amandemen 2010) dan UU Imigrasi1959/63 yang dapat menyebabkan hukuman denda hingga RM.1.000.000,00. Tahap kelima yaitu Penegakan, yaitu tingkat dimana satu operasi penegakan terpadu akan dilaksanakan secara terpadu dan digerakkan dengan tujuan untuk mendeteksi dan menangkap PATI serta majikan yang diidentifikasi masih melakukan pelanggaran imigrasi. Tahap keenam dan terakhir adalah Pengusiran PATI yang telah ditangkap melalui operasi penegakan terpadu untuk dikenakan tindakan hukum sebelum diusir keluar dari Negara Malaysia. Karena biaya untuk proses pengusiran ini ditanggung menggunakan ketentuan Pemerintah Malaysia, maka setiap PATI yang diusir akan masuk kedalam daftar hitam dan dilarang masuk kembali ke Malaysia. Faktor birokrasi yang tidak serta merta dapat dipahami dan mengakomodir masyarakat perdesaan dengan modal finasial yang terbatas menciptakan suatu tren spekulasi dalam melakukan migrasi ketenagakerjaan. Para migran melakukan spekulasi dengan bermigrasi dan mencari pekerjaan dengan menggunakan paspor hijau tanpa adanya surat izin maupun permit. Peluang untuk mendapatkan status legalitas didapat dengan bantuan majikan atau syarikat sebagai penjamin dan membayarkan terlebih dahulu permit yang kemudian dicicil para tenaga kerja ini melalui pemotongan upah bulanan. Tetapi dengan peluang kerja yang berubah-ubah, fluktuasi ini menciptakan kerentanan yang bersifat “seasonality”.
1.5.4.3 Karakteristik Migrasi Karakteristik migran meliputi penekanan pada banyaknya tanggungan dalam sebuah keluarga rumah tangga yang meliputi jumlah anak dan faktor lainnya, kurangnya lapangan kerja, kelaparan, kekeringan, tidak memiliki tanah, dengan harapan untuk mencari pekerjaan, peningkatan pendapatan, kesempatan pendidikan, pelayanan yang lebih baik dan kesejahteraan ekonomi secara umum. Selain itu mekanisasi pertanian, luas lahan, status perkawinan, kepemilikan lahan pertanian 17
dan pendapatan usaha nonpertanian juga dapat menimbulkan pengaruh yang signifikan terhadap keputusan untuk berpartisipasi dalam migrasi desa-kota (Mutandwa et al, 2011 dalam Schutten 2012). Migrasi yang umumnya dilakukan oleh pekerja dengan keterampilan rendah ini memiliki keuntungan pada negara tujuan dan negara asal. Seperti yang dijelaskan dalam Ellis (2000), jenis migrasi yang umum dilakukan oleh tenaga kerja ini meliputi: 1. Migrasi musiman, yaitu migrasi yang mengikuti suatu kecenderungan musiman. Misalnya migrasi untuk mencari pekerjaan di kota setelah musim panen dan kemarau, migrasi untuk mencari pekerjaan di kota saat musim ombak tinggi bagi nelayan, dan lain sebagainya. 2. Migrasi sirkuler, yaitu migrasi sementara namun tidak mengacu pada pengaruh perubahan musim dan cenderung karena faktor lain yang bersifat individual. Misalnya pulang ke kampung halaman setiap dua minggu sekali untuk mengirim uang, dan lain sebagainya. 3. Migrasi permanen desa-kota, yaitu migrasi dengan maksud menetap dari desa menuju kota atau ibukota dan berdomisili secara permanen atau dalam jangka waktu yang panjang. 4. Migrasi internasional, yaitu migrasi dalam kaitannya untuk melakukan perjalanan lintas batas negara untuk misalnya mencari pekerjaan. Migrasi internasional ini dapat bersifat permanen yaitu menetap dalam jangka waktu yang cukup lama dalam kurun waktu tahunan atau migrasi yang bersifat sirkuler.
1.6
Kerangka Penelitian Secara garis besar, penelitian ini mengeksplorasi tipologi kaum migran dan
memetakan karakteristiknya, yang dalam membedakan karakteristik strategi penghidupannya dapat diukur melalui aset dan akses yang dimiliki, dan mengeksplorasi keterkaitan strategi penghidupan dengan status legalitas kaum migran sehingga dalam tiap karakteristik tipologi migran ini memiliki karakteristik strategi penghidupan yang khas. Legalitas dapat dipengaruhi oleh tujuan awal dari proses migrasi; apakah proses yang dilalui legal secara hukum atau tidak, secara sistematis dapat dilihat pada diagram alir berikut ini. 18
Asset Migran Human, Natural, Physical, Financial, Social capital
Push Factor Kepemilikan aset Tanggungan keluarga Usia informan Dan lain sebagainya
Pull Factor Lapangan pekerjaan Pendapatan Fasilitas hidup Dan lain sebagainya
Vulnerability Context Status Legalitas (Ilegal, Semi-Ilegal, Legal)
Pendapatan
Ilustrasi 1.2: Kerangka Kerja Penelitian
1.7
Keaslian Penelitian Terdapat beberapa penelitian sebelumnya yang menjelaskan mengenai
imigran ilegal. Imigran ilegal yang dimaksudkan adalah pendatang dari negara lain seperti Indonesia, Thailand, Filipina, maupun negara lain di sekitar Asia Tenggara, yang masuk ke Malaysia dengan dokumen-dokumen palsu. Tinjauan mengenai imigran ilegal ini memliki definisi yang luas, dan memang pemerintah Malaysia belum dapat mengatasi hal ini sepenuhnya. Imigran ilegal ini memiliki banyak tujuan, baik dilihat dari aspek sosial, politik, maupun ekonomi. Dalam publikasinya yang berjudul “When States Prefer Non-Citizens over Citizens: Conflict over Illegal Immigration into Malaysia” oleh Kamal Sadiq (2005), imigran yang masuk ke negara Malaysia memiliki andil yang sangat besar dalam membentuk kebijakan negara yang ada di sana. Imigran ilegal ini memiliki akses yang sangat besar terhadap segala fasilitas sarana dan prasarana yang ada di kota-kota besar dan bahkan memiliki kartu identitas sehingga memiliki hak politik dalam pemilihan umum. Hal ini tentu memiliki dampak yang buruk dalam perkembangan negara, dimana terjadi disintegrasi antara penduduk asli dan 19
pendatang ilegal tersebut. Sebagai contoh juga disebutkan etnis Muslim Kadazandusun dan Murut yang merupakan penduduk asli negara bagian Sabah tidak memiliki kartu identitas dan tentu tidak memiliki akses terhadap hak-hak kewarganegaraan lainnya. Penelitian ini secara spesifik mengkaji mengenai migrasi para tenaga kerja khususnya dalam tiap tipologinya yaitu pada aspek ketenagakerjaan legal, tenaga kerja legal yang telah habis masa kerjanya namun masih dalam status bekerja atau pindah ke Malaysia secara legal namun bukan sebagai tenaga kerja sehingga dapat dikatakan semi-ilegal, dan tenaga kerja ilegal yang secara serta merta merupakan arus migrasi masuk yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tidak memiliki dokumen, dan tidak memiliki izin untuk bekerja. Ketiga tipologi tersebut tentu memiliki karakteristik masing-masing yang tentu berdampak pada strategi penghidupan yang berbeda-beda pada tiap tipologinya, sehingga perbedaan karakteristik tipe migran ini dapat diukur melalui aset dan hak akses yang dimiliki. Apakah mereka dapat memiliki hak politik sebagaimana yang dijelaskan di atas, yang tentu memiliki andil dalam pembentukan kebijakan kenegaraan yang mengatur hak atas semua warga negara. Dalam hal ini, mereka tentu memiliki pengaruh yang sangat besar yang dapat menganggu “kebebasan” warga negara dan pribumi dalam mendapatkan haknya masing-masing dalam mengakses fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh negara.
20