BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Secara topografis Kota Palembang merupakan suatu wilayah yang lahannya selalu digenangi air atau dengan kata lain sebuah wilayah yang menghadap ke air dengan anak – anak sungai yang besar dan kecil memotong tepiannya sehingga membentuk sebuah laguna. Keadaan permukaan tanah yang luas di daerah ini didominasi oleh rawa. Air yang disebutkan bukan sebuah danau atau lautan, melainkan sebuah sungai yaitu Sungai Musi. Sungai Musi yang membelah kota dengan anak – anak sungainya yang mengalir tersebut menjadi urat nadi kehidupan masyarakat di Kota Palembang sejak dahulu. Pada tepian Sungai Musi ini terdapat permukiman penduduk yang berupa rumah – rumah rakit dari bambu dan kayu terapung serta rumah tiang kayu. Penduduk yang ada di wilayah ini meliputi tiga suku yakni Arab, orang Tionghoa, dan orang Melayu. Bagi mereka air menjadi alat transportasi utama karena barang – barang yang dibutuhkan dapat diangkut melalui air di setiap rumah, baik panggung maupun rakit. Tempat tinggal yang berisikan orang – orang asing ini dikarenakan pada jaman dahulu Sungai Musi menjadi tempat berlabuhnya para pedagang dari seluruh dunia, sehingga lama kelamaan para pedagang ini bertempat tinggal disini. Pada jaman kolonial juga tempat tinggal orang asing ini dibagi berdasarkan ras antara lain orang Melayu, orang Tionghoa, dan orang Arab. Secara garis besar Sungai Musi ini membagi dua wilayah yaitu wilayah seberang hulu dan seberang hilir. Wilayah ini terpisah oleh Sungai Musi sehingga dalam aksesibilitas kedua wilayah ini masyarakat menggunakan kapal – kapal kecil. Pada masa pascakolonial untuk mempermudah akses dari wilayah seberang hulu dan seberang hilir maka dibangun jembatan yang menghubungkan kedua wilayah ini oleh Presiden Republik Indonesia saat itu yaitu Soekarno. Jembatan ini pertama kali dibangun pada tahun 1962 menggunakan dana pampasan perang Jepang. Nama Jembatan diberi nama Jembatan Bung Karno karena, sebagai penghargaan atas perjuangan Soekarno untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Kota Palembang dalam
1
mobilisasi. Seiring berjalannya waktu nama jembatan ini diganti menjadi “ampera” karena pada tahun 1966 adanya gerakan anti-Soekarno di Kota Palembang. Jembatan Ampera pada masa pascakolonial merupakan produksi atau reproduksi dari simbolisme ruang air dan ruang daratan sebelumnya. Pembangunan Jembatan Ampera ini diarahkan untuk melekatkan suatu identitas nasional dan lokal sehingga dapat diingat oleh masyarakat luas. Menurut Ken Plumer (1994), identitas merupakan proses penanaman atau penempatan diri di dalam suatu kategori atau konstruksi sosial tertentu. Terciptanya ruang membuat masyarakat yang ada didalamnya memahami citra keruangan berbagai perspektif sehingga memunculkan suatu identitas bagi ruang itu sendiri. Keberadaan Sungai Musi yang merupakan tempat yang strategis, berfungsi sebagai kota pelabuhan dan tempat perdagangan. Hal inilah yang membuat pemerintah Kota Palembang akan memfokuskan pembangunan di tepian Sungai Musi. Konsep perancangan pembangunan ini disebut dengan konsep waterfront city. Pembangunan ini bertujuan untuk menata ruang yang ada di tepian sungai (revitalisasi dan relokasi permukiman) dan menciptakan suatu tempat yang memiliki fungsi ganda antara lain sebagai tempat perdagangan, pelabuhan, permukiman, dan rekreasi. Penetapan Kota Palembang sebagai kota wisata air oleh Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2005 semakin mendukung penataan ruang di Sungai Musi menjadi waterfront city. Oleh karena itu, pemerintah Kota Palembang menetapkan di dalam Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Palembang tahun 2012 – 2032 yang berisi tentang Kawasan Tepian Sungai Musi merupakan salah satu kawasan strategis kota yang diprioritaskan pengembangannya. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil dalam Pedoman Kota Pesisir (2006) mengemukakan bahwa kota pesisir atau waterfront city merupakan suatu kawasan yang terletak berbatasan dengan air dan menghadap ke laut, sungai, danau, dan sejenisnya. Waterfront city memiliki berbagai teori dalam implementasinya. Teori mengenai waterfront dibuat untuk menghindari kerusakan lingkungan dan menimbulkan berbagai bencana. Penelitian ini menggunakan teori menurut Nicholas Falk (2002) mengenai prinsip – prinsip dalam penataan ruang waterfront city di perkotaan. Prinsip – prinsip ini menjelaskan kontribusi konsep waterfront yang mampu
membangun
kembali
suatu
perkotaan
serta
memberikan
arahan
pengembangan, perencanaan, dan saran untuk mendapatkan hasil maksimal dari 2
penataan ruang di tepian air perkotaan. Prinsip – prinsip waterfront city tersebut terbagi menjadi tiga yang meliputi spirit of place, integration with surrounding, dan resourcefullness. Pembangunan Kawasan Tepian Sungai Musi menjadi waterfront city diharapkan dapat menjadi tempat pariwisata di Kota Palembang. Tempat pariwisata akan melahirkan zona ekonomi baru untuk meningkatkan perekonomian penduduk sekitar. Perekonomian yang meningkat dapat berimbas juga ke pendapatan asli daerah Kota Palembang. Dan juga adanya para pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar area Sungai Musi menjadikan kawasan ini lebih menarik. Banyaknya perdagangan dan restoran ini terlihat banyaknya peran masyarakat yang memanfaatkan air ini sebagai tempat untuk mencari hiburan dan banyaknya masyarakat yang berdatangan menjadikan tempat ini sebagai tempat hiburan. Penataan kawasan di Kota Palembang tidak terlepas dari penataan di tepian sungainya. Di tepian Sungai Musi ini terdapat monumen-monumen bersejarah seperti BKB (Benteng Kuto Besak), Masjid Agung, Museum Sultan Mahmud Badaruddin, Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera), serta bangunan kuno bergaya Kolonial, Melayu dan Cina. Oleh karena itu, kawasan ini perlu dikembangakan dengan mempertimbangkan segala potensi yang ada sehingga tujuan pembangunan untuk memajukan kawasan ini dapat tercapai. Penataan kawasan di tepian Sungai Musi tentunya mengikutsertakan beberapa stakeholder atau pelaku dalam implementasinya. Pelaku dalam hal ini meliputi peran serta masyarakat, pemerintah, dan pihak swasta yang dalam pelaksanaan konsep waterfront city ini memiliki peran yang berbeda – beda sehingga dibutuhkan suatu pengamatan untuk melihat keikutsertaan para pemangku kepentingan dalam realisasinya.
1.2
Rumusan Masalah Pemerintah Kota Palembang pada tahun 2012 telah merencanakan penataan ruang di sekitar Sungai Musi. Penataan ruang ini bertujuan untuk merelokasi dan merevitalisasi kawasan tepian Sungai Musi serta menata kembali ruang di Tepian Sungai Musi menjadi tempat rekreasi, perdagangan, industri, dan tempat bersejarah. Perencanaan ini dapat berjalan dengan baik apabila adanya kerjasama antara masyarakat dan pemerintah dengan didukung oleh pihak swasta sebagai investornya.
3
Penataan ruang dengan konsep waterfront city jika dapat dilaksanakan dengan baik, maka dapat menjadikan Kota Palembang sebagai wajah baru dalam sektor pariwisata. Namun, keadaan realitasnya banyak masyarakat yang belum memahami penataan ruang dengan konsep waterfront city. Permukiman yang semakin memasuki badan Sungai Musi menjadi permasalahan yang harus diselesaikan oleh pemerintah Kota Palembang. Kurangnya penataan rumah di pinggir Sungai Musi ini, menjadi permasalahan yang sangat komplek. Hal inilah yang mendorong Walikota Kota Palembang menata ulang agar sesuai dengan peruntukan yang ada. Peruntukkan pinggiran Sungai Musi untuk rekreasi, perdagangan, pelabuhan, restoran, dan lain sebagainya. Sebagai bagian dari perwujudan dari cita-cita Kota Palembang sebagai waterfront city. Dengan demikian, perlu dilihat sejauh mana konsep waterfront ini diterapkan oleh para pemangku kepentingan. Pelaksanaan konsep ini mencakup peran pemangku kepentingan yang meliputi masyarakat, pemerintah, dan pihak swasta. Rencana Tata Ruang Kota Palembang tahun 2012 – 2032 juga telah berisikan mengenai Kota Palembang yang menuju kota waterfront city. Hal ini dapat terlihat dari tujuan Penataan Ruang Wilayah Kota Palembang tahun 2012 – 2032 pada butir ke lima yaitu dalam rangka mewujudkan Palembang sebagai Kota Tepian Sungai dengan konsep waterfront city. Pengkajian peran pemangku kepentingan yang meliputi masyarakat, pemerintah, dan swasta dapat dilihat berdasarkan prinsip – prinsip yang diterapkan oleh Nicholas Falk di Bristol, Inggris. Prinsip – prinsip ini digunakan unuk melihat peran dari pemangku kepentingan terhadap penataan ruang waterfront city, sehingga dapat dilihat yang lebih memenuhi prinsip – prinsip tersebut.
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan pada latar belakang, rumusan masalah, dan tema dalam penelitian ini maka tujuan yang diharapkan adalah untuk : 1. Mendeskripsikan realisasi konsep waterfront city di Kota Palembang. 2. Memetakan peran stakeholder (masyarakat, swasta, dan pemerintah) dalam konsep waterfront city di Kota Palembang menurut Nicholas Falk.
1.4
Kegunaan Penelitian Kegunaan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :
4
1.
Sebagai bahan penyusunan skripsi guna memenuhi persyaratan dalam menempuh ujian akhir tingkat sarjana (S1) di Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada;
2.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi pengambilan kebijakan oleh pemerintah terutama dalam penataan ruang di Kota Palembang;
3.
Sebagai sumbangsih informasi dalam studi perkotaan di Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.
1.5
Keaslian Penelitian Penelitian mengenai penataan ruang pernah diteliti oleh Surani Hasanati tahun 2009. Penelitian ini berjudul Persepsi Stakeholder terhadap Implementasi Penataan Ruang Kawasan Pesisir Parangtritis. Lokasi penelitian ini berada di Dusun Mancingan, Bantul dengan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan ekologi dan metode analisis data menggunakan pendektan induktif, yakni dari khusus ke umum. Metode pengumpulan data dilakukan melalui observasi, indepth interview, penelaahan data sekunder. Hasil dari penelitian ini meliputi keragaman persepsi stakeholder terhadap penataan ruang kawasan pesisir Parangtritis di Dusun Mancingan mulai dari pemahaman terhadap program penataan (relokasi), sosialisasi dan promosi, kondisi fisik dan lingkungan pantai sampai dengan kerjasama antara pemerintah dan masyarakat. Penelititian mengenai pusat pertumbuhan baru pernah dilakukan oleh Prakoso pada tahun 2004. Penelitian ini mengenai dinamika sistem kota-kota dan alternatif pusat pertumbuhan baru oleh Prakoso pada tahun 2004. Lokasi penelitian ini berada di Kota Yogyakarta dengan tujuan peneliti untuk melihat dinamika sistem kota pada rentang tahun 1960 – 2002, dari dinamika ini akan dibuat suatu hirarki sebagai dasar penentuan pusat pertumbuhan baru serta menganalisi peringkat hirarki denga karakteristik kota yang ada. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis deskriptif dan pendekatan kuantitatif dengan basis analisa data sekunder. Hasil dari penelitian ini dinamika sistem kota-kota DIY tahun 1960 - 2002 yang memperlihatkan adanya primasi di Kota Yogyakarta Penelitian mengenai studi waterfront city pernah dilakukan sebelumnya oleh Muhammad Faisal Albar tahun 2011, Yoga Putra Prameswari pada tahun 2014, dan Muhammad Giri Hasan Besari pada tahun 2014. Penelitian Muhammad Faisal Albar dilakukan di lokasi Kota Ternate. Penelitian ini mengkaji mengenai pengembangan 5
waterfront city, persepsi masyarakat terhadap waterfront city, dan perbaikan konsep waterfront. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan rasionalistik yang bersifat eksploratif, dengan analisa menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Hasil dari penelitian ini, berdasarkan persepsi masyarakat proses pengembangan waterfront city ini berhasil. Keberhasilan ini dapat dilihat dari semakin meningkatnya pendapatan asli daerah (PAD) Kota Ternate, selain itu juga terbukanya lapangan kerja baru bagi masyarakat sekitar. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Yoga Putra Prameswari adalah mengenai implementasi kebijakan pengelolaan kawasan tepi/sempadan sungai di Jepara dari tahun 2002 – 2009 (Studi Kasus Pengelolaan Kawasan Tepi/Sempadan Kali Wiso dan Kali Kanal). Lokasi yang dikaji pada penelitian ini adalah Kali Kanal tepatnya di sepanjang jalan KM Sukri dan Kali Wiso. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan studi kasus. Studi kasus ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan how dan why. Berdasarkan penelitian diatas maka diperoleh hasil implementasi pemerintah terhadap Kali Kanal telah tercapai dengan kehadiran pembangunan taman kota. Keberadaan taman ini dapat dimanfaatkan sebagai ruang publik perkotaan oleh masyarakat, baik sekedar untuk aktivitas “ngobrol ala angkringan” maupun untuk berdisukusi. Tahap implementasi di Kali Wiso pemerintah melakukan pembangunan Shopping Centre Jepara. Pembangunan ini hanya difungsikan sebagai kawasan perdagangan yang terintegrasi. Kebijakan pemerintah untuk mengubah kawasan sempadan sungai yang kumuh menjadi tertata dan terkelola dengan baik. Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Giri Hasan Besari mengenai Adaptasi Masyarakat terhadap Kenaikan Muka Air Laut di Kawasan Pengembangan Waterfront Kota Surabaya. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Tambak Osowilangon dan Kelurahan Greges. Metode penelitian yang digunakan metode deskriptif kualitatif dan kuantitiatif dari hasil wawancara masyarakat, observasi wilayah dan data sekunder dikumpulkan. Hasil dari penelitian ini faktor alam dan kegiatan manusia dianggap menjadi penyebab utama terjadinya banjir rob di kedua kelurahan. Tindakan strategi adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat adalah gotong royong kebersihan saluran drainase dan tanggul permukiman, menabung dan mempersiapkan kebutuhan logistikm serta meninggalkan rumah saat terjadi bencana. Sedangkan tindakan adaptasi oleh pemerintah saat ini masih bersifat penanganan fisik
6
seperti peninggian jalan permukiman, pembangunan tambat labuh nelayan, revitalisasi saluran drainase, serta pembangunan pompa dan pintu air. Perbedaan dengan skripsi yang dibuat adalah pada penelitian ini membahas mengenai Peran Pemangku Kepentingan dalam Realisasi Konsep Waterfront City di Kota Palembang. Peran pemangku kepentingan ini meliputi pemerintah, swasta, dan masyarakat yang ikut serta atau beraktivitas di sekitar Tepian Sungai Musi. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan penerapan konsep waterfront city di Kota Palembang dan memetakan peran stakeholder (masyarakat, swasta, dan pemerintah) dalam konsep waterfront city di Kota Palembang menurut Nicholas Falk. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif serta analisis spasial. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk mengukur dengan cermat fenomena sosial tertentu, sedangkan pendekatan kualitatif digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu di balik fenomena yang sedikit pun belum diketahui. Analisis secara spasial bertujuan untuk mendeskripsikan ke dalam peta, daerah yang menjadi sampel dalam penelitian. Untuk menjelaskan daerah kajian ini digunakan metode pengambilan sampel non – probabiliity (non – probabilitas) yaitu metode accidental sampling (sampel aksidental). Sampel non – probabilitas merupakan teknik yang tidak memberikan peluang atau kesempatana sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel. Pengambilan sampel dengan cara aksidental adalah tenik pengambilan sampel berdasarkan faktor spontanitas serta sesuai dengan karakteristik objek yang diteliti. Perbedaan penelitian dengan penelitian sebelumnya dapat dilihat pada Tabel 1.1.
7
Tabel 1.1 Penelitian Sebelumnya Judul
Persepsi Stakeholder terhadap Implementasi Penataan Ruang Kawasan Pesisir Parangtritis
Persepsi Stakholder Pembangunan Wilayah terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi DIY tahun 2009 - 2029
Persepsi Masyarakat Kota Ternate terhadap Waterfront City
Peneliti & Tahun
Surani Hasanati. 2009. Skripsi
Tujuan
Metode
Hasil
Metode penelitian kualitatif dengan pendekatan ekologi
1)Keragaman persepsi stakeholder terhadap penataan ruang kawasan pesisir Parangtritis di Dusun Mancingan yaitu pemahaman terhadap program penataan, motivasi pelaksanaan program, sosialisasi dan promosi, kondisi pasar lokal, dan pemanfaatan lahan di Sultan Ground 2)Harapan stakeholder yang dapat diidentifikasi terkait penataan ruang kawasan pesisir Parangtritis yang sedang berlangsung di Dusun Mancingan yaitu adanya sinergi antara Pemerintah dengan masyarakat, kepastian program penataan tahap berikutnya, dan peningkatan pendapatan masyarakat lokal dan PAD
1)Mendeskripsikan keragaman persepsi stakeholder terhadap implementasi penataan ruang kawasan pesisir Parangtritis di Dusun Mancingan 2)Mengkaji harapan stakeholder terhadap implementasi penataan ruang kawasan pesisir Parangtritis di Dusun Mancingan
1)Mengetahui keragaman persepsi stakeholder pembangunan wilayah terhadap RTRW Provinsi DIY tahun 2009 – 2029 Amatullah Zahiroh. 2010. Skripsi
Muhammad Faisal Albar. 2011. Tesis
Metode penelitian kualitatif dengan indepth interview dan observasi
2)Mengetahui harapan stakeholder terhadap RTRW Provinsi DIY 2009 – 2029 serta rekomendasinya untuk RTRWP periode selanjutnya
1)Mendeskripsikan proses pengembangan waterfront city di Kota Ternate dan hasilnya 2)Mendeskripsikan persepsi masyarakat Kota Ternate terhadap waterfront city 3)Merumuskan masukan untuk perbaikan konsep waterfront city tersebut
Metode rasionalistik yang bersifat eksploratif dengan analisa metode kuantitatif dan kualitatif
8
1)Keragaman persepsi stakeholder terhadap RTRWP DIY yaitu Pemprov DIY , masyarakat, dan swasta sangat mendukung perda dan dokumen RTRWP, serta LSM menunjukkan respon tidak mendukung dan cenderung mengkritisi substansi RTRWP DIY 2)Harapan stakeholder serta rekomendasi terhadap penyelenggaraan RTRWP DIY tahun 2009 – 2029 periode selanjutnya yaitu adanya kesesuaian antara implementasi dengan rencana, tanggung jawab pemerintah, pemberdayaan masyarakat, dan konsistensi penegakan hukum.
Berdasarkan persepsi masyarakat proses pengembangan waterfront city ini berhasil. Keberhasilan ini dapat dilihat dari semakin meningkatnya pendapatan asli daerah Kota Ternate, selain itu juga terbukanya lapangan kerja baru bagi masyarakat sekitar.
Lanjutan Tabel 1.2 Penelitian Sebelumnya Implementasi Kebijakan Pengelolaan Kawasan Tepi/Sempadan Sungai di Jepara dari Tahun 2002 – 2009 (Studi Kasus Pengelolaan Kawasan Tepi/Sempadan Kali Wiso dan Kali Kanal)
Adaptasi Masyarakat Terhadap Kenaikan Muka Air Laut di Kawasan Pengembangan Waterfront Kota Surabaya
Yoga Putra Prameswari. 2014. Skripsi
Muhammad Giri Hasan Besari. 2014. Skripsi
1)Mengetahui tahap implementasi kebijakan pengelolaan kawasan sempadan Kali Wiso dan Kali Kanal 2)Memberikan informasi kepada masyarakat bahwa pengelolaan sungai yang baik dan benar, berdampak positif pada keindahan, kenyamanan, dan kebersihan kota. 1) Mengidentifikasi potensi bencana yang dapat terjadi akibat kenaikan muka air laut di Kawasan Pengembangan Waterfront Kota Surabaya 2) Mengidentifikasi kapasitas adaptasi masyarakat pesisir di Kawasan Pengembangan Waterfront Kota Surabaya terhadap kenaikan muka air laut 3) Mengidentifikasi adaptasi dan strategi masyarakat pesisir serta langkah antisipasi pemerintah lokal di Kawasan Pengembangan Waterfront Kota Surabaya dalam menghadapi kenaikan muka air laut
Penelitian kualitatif dengan studi kasus
Tahap implementasi kebijakan oleh pemerintah terhadap Kali Kanal dan Kali Wiso tercapai. Kebijakan ini meliputi pembangunan taman kota di kawasan sempadan Kali Kanal dan Shopping Centre Jepara di Kali Wiso. Kebijakan yang dibuat ini untuk memperlihatkan pengelolaan kawasan sempadan sungai yang kumuh menjadi tertata dan terkelola dengan baik
Metode deskriptif kualitatif dan kuantitiatif dari hasil wawancara masyarakat, observasi wilayah dan data sekunder dikumpulkan.
Adaptasi masyarakat terhadap kenaikan muka air laut di kawasan pengembangan waterfront Kota Surabaya dengan menggunakan strategi sosial. Strategi sosial yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat sebelum banjir rob terjadi di kedua kelurahan adalah gotong royong membersihkan saluran draiase dan memperbaiki tanggul di permukiman, namun terjadi penurunan partisipasi masyarakat di kedua kelurahan dalam mengikuti gotong royong kebersihkan lingkungan di permukiman pasca banjir rob
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya dapat dijabarkan dengan jelas yang meliputi : Fokus : Peran Pemangku Kepentingan Dalam Implementasi Konsep Waterfront City di Kota Palembang. Lokus : Bagian Ilir Kota Palembang yang meliputi Kelurahan 19 Ilir, Kelurahan 16 Ilir, Kelurahan 28 Ilir, dan Kelurahan 29 Ilir. Metode: Metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif, serta analisis secara spasial
9
1.6 1.6.1
Tinjauan Pustaka Pendekatan Geografi Geografi adalah ilmu yang menguraikan tentang permukaan bumi, iklim, penduduk, flora, fauna serta basil – basil yang diperoleh dari bumi. Menurur Bintarto dan Surastopo (1979), Ilmu geografi meliputi berbagai fenomena yang ada di permukaan bumi, serta di dalam ilmu geografi terdapat beberapa pendekatan. Pendekatan dalam geografi terbagi menjadi 3 yang meliputi pendekatan keruangan, pendekatan ekologikal, dan pendekatan kompleks wilayah. Pendekatan keruangan merupakan analisa keruangan yang mempelajari perbedaan lokasi mengenai sifat – sifat penting atau seri sifat – sifat penting, sedangkan pendekatan ekologikal merupakan pendekatan yang mendasar pada interaksi organisme hidup dengan lingkungannya. Pendekatan yang terakhir yakni pendekatan kompleks wilayah yang merupakan kombinasi antara analisa keruangan dan analisa ekologi. Pada analisa ini wilayah – wilayah tertentu dihampiri dengan pengertian aerial differentiation, yaitu suatu anggapan bahwa interaksi antar wilayah akan berkembang karena pada hakekatnya suatu wilayah berbeda dengan wilayah lain, oleh karena terdapat permintaan dan penawaran antar wilayah tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan ekologikal (ecologycal approach). Pendekatan ekologikal merupakan keterkaitam antara fenomena geosfer tertentu dengan variabel lingkungan yang ada bukan eksistensi keruangan. Pengertian analisis ekologi bukan hanya hubungan antara mahluk hidup dengan natural environment saja, tetapi juga harus dikaitkan dengan phenomenal environment yang di dalamnya meliputi natural phenomena beserta physical relics of human actions dan behavioural environment yang meliputi perkembangan ide – ide dan nilai geografis serta kesadaran akan lingkungan. Pada pendekatan ekologikal dapat dikaji hubungan antara organisme hidup dengan lingkungannya. Organisme hidup dalam penelitian ini meliputi manusia dan lingkungan hidup berupa lingkungan fisikal yang melputi sungai, air, kendaraan, rumah, dan lain sebagainya. Keterkaitan manusia dengan lingkungan fisikalnya dilihat dari aktivitas yang dilakukan manusia khususnya di tepian Sungai Musi yakni menjadikan kawasan tepian sebagai tempat tinggal, tempat bekerja, rekreasi serta sebagai objek ketenangan. Keadaan ini dapat menjelaskan bahwa adanya hubungan manusia dengan lingkungannya yaitu Sungai Musi yang telah menyediakan sumber –
10
sumber daya alam yang bersifat ekonomi dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan air.
1.6.2
Pengertian Umum Waterfront Pembangunan wilayah di suatu daerah dapat bermanfaat bagi daerah itu sendiri. Manfaatnya dapat memajukan perekonomian wilayah, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan menciptakan kemakmuran di dalam suatu sistem wilayah. Keselarasan antara alam dan kondisi wilayah menjadi syarat dalam membangun wilayah agar dapat berkelanjutan. Berbicara mengenai pembangunan wilayah, pembangunan bukan hanya difokuskan pada daratan akan tetapi dapat pula di tepian atau dipinggiran perairan. Pembangunan yang berada di tepian biasanya disebut dengan konsep waterfront. Konsep waterfront city menurut Butuner (2006) dikemukakan pertama kali pada abad ke-19. Penerapan konsep waterfront ini digunakan untuk merevitalisasi kawasan industri yang ada di Kota Baltimore (Amerika), Boston, dan San Fransisco. Revitalisasi ini dilakukan untuk menghilangkan efek negatif dari bekas pembangunan suatu industri. Oleh karena itu, diterapkanlah konsep pembangunan waterfront city ini untuk memulihkan kondisi kota di Baltimore, Boston, San Fransisco, dan Amerika bagian Utara. Waterfront adalah suatu tempat yang dinamis kondisinya dan dipengaruhi oleh alam. Waterfront development adalah konsep pengembangan daerah tepian air baik itu tepi pantai, sungai ataupun danau. Pengertian waterfront dalam Bahasa Indonesia secara harfiah adalah daerah tepi laut, bagian kota yang berbatasan dengan air, daerah pelabuhan (Echols, 2003). Waterfront development juga dapat diartikan suatu proses dari hasil pembangunan yang memiliki kontak visual dan fisik dengan air dan bagian dari upaya pengembangan wilayah perkotaan yang secara fisik alamnya berada dekat dengan air dimana bentuk pengembangan pembangunan wajah kota yang terjadi berorientasi ke arah perairan. Menurut direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam Pedoman Kota Pesisir (2006) mengemukakan bahwa Kota Pesisir atau waterfront city merupakan suatu kawasan yang terletak berbatasan dengan air dan menghadap ke laut, sungai, danau dan sejenisnya.
11
Penataan ruang dengan konsep waterfront memiliki sejarah yang panjang dan berubah setiap waktunya. Waterfront diawali dengan munculnya permukiman di sekitar area danau, sungai, ataupun pesisir pantai dan berkembang menjadi pelabuhan. Sejalan dengan perkembangan global penataan ruang ini pun semakin menarik di wilayah – wilayah yang berada di tepian air, mulai dari adanya akuarium, tempat bersejarah, rekreasi, perdagangan, dan taman kota. Penataan kota di tepian sungai dengan memadukannya daratan dan perairan bukan sesuatu yang baru. Indonesia sudah merealisasikan konsep ini sejak zaman penjajahan kolonial Belanda. Konsep ini digunakan pada saat Belanda menduduki Jakarta atau Batavia. Hal ini dilakukan oleh Belanda untuk membuat kota tiruan yang ada di Belanda. Kawasan waterfront city diharapkan dapat menciptakan nilai ekonomi dan daya tarik bagi kota itu sendiri. Banyaknya wisatawan akan datang dengan keunikan dari penataan ruang ini selain itu, zona ekonomi yang baru juga dapat terbentuk dengan adanya perencanaan konsep ini. Hal ini dapat berdampak juga pada penciptaan lapangan kerja bagi masyarakatnya sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. 1.6.3 Prinsip – Prinsip Waterfront Menurut Nicholas Falk (2002) ada tiga prinsip di dalam pelaksanaan konsep waterfront city yang meliputi daya tarik dari suatu tempat, integrasi antar wilayah, dan sumberdaya air. Hal ini akan dijelaskan sebagai berikut : 1. Daya Tarik dari Suatu Tempat a) Unik Ketika mengunjungi sebuah kota asing, seringkali orang melihat karakter dari wilayah tersebut dan menjadikannya sebagai pengalaman yang baru. (Norberg-Schulz 1980). Setiap masing – masing tempat memiliki karakteristik diantaranya umum dan lokal. Karakteristik umum adalah sesuatu yang mendefinisikan dimensi spasial dari suatu tempat, sedangkan karakteristik lokal adalah sesuatu hal yang membuat tempat tersebut terlihat unik. Karakteristik lokal dimaksudkan juga sebagai suatu tempat yang terlihat eksklusif dan beda dengan tempat yang lain. Pengukuran yang konkrit dalam mengukur keunikan suatu tempat, belum bisa ditentukan dengan sendirinya. Penjelasan dari keunikan ini lebih baik jika ditanyakan 12
langsung kepada orang yang menikmati secara visual konsep waterfront city. Keunikan ini lebih dimaksudkan sebagai suatu tempat yang dapat memanjakan mata para pengunjung dan memberikan suatu pengalaman yang tidak tertandingi dibandingkan tempat yang lain.
b) Ketersediaan Ruang Publik Ketersediaan ruang publik dinilai oleh kenampakan fisik dari suatu kondisi. Jika ruang publik tidak digunakan dan tidak dihormati maka akan sangat beresiko. Tempat akan dikenakan sanksi apabila dipenuhi dengan coretan, trotoar yang kurang kokoh, sampah di jalan setapak, dan prasarana yang buruk. Ruang publik sebaiknya dapat menjaga keselamatan pengguna. Jika hal ini tidak memenuhi, maka ruang publik yang ada akan kehilangan nilainya.
c) Unsur Sejarah Unsur sejarah diterapkan pada suatu perencanaan yang baru dengan konsep waterfront city. Perencanaan ini dinilai dengan cara melihat unsur sejarah yang ada masih meninggalkan bentuk aslinya ataukah sudah merubah keasliannya. Suatu metode adaptasi dengan menggunakan kembali tempat sejarah cocok dengan perencanaan yang menghormati dan menafsirkan masa lalu. Prosedur ini diterapkan dengan menggunakan dan melestarikan kembali arsitektur, struktur bangunan elemen bersejarah didalamnya, serta mengadaptasi suatu perencanaan baru tanpa merubah bentuk aslinya. Perencanaan yang ideal untuk bagian ini adalah keseimbangan masa lalu dan masa kini. Menurut James W. Good dan Robert F. Goodwin (1990) dalam studi kasusnya di Skamokawa, Washington. Rencana konseptual pembangunan untuk Skamokawa salah satunya mengidentifikasi bangunan – bangunan bersejarah untuk digunakan kembali sebagi tempat coffee shop, pusat interpretatif, dan tempat perahu – perahu kecil untuk berlabuh. Bangunan bersejarah dilindungi dan dimanfaatkan kembali dengan melakukan pengecatan ulang dan memperbaiki struktur bangunan yang rapuh. Hal ini dilakukan untuk melestarikan karakter dan tempat bersejarah di sini.
13
2. Integrasi dengan Wilayah Sekitarnya a) Tempat Pejalan Kaki (Akses Keterjangkauan) Adanya tempat pejalan kaki merupakan hal terpenting karena dapat membuat suatu keberhasilan atau sebaliknya dapat menggagalkan suatu konsep waterfront city. Bagian ini akan memperhitungkan jarak dari pusat kota utama dengan letak waterfront ini. Perhatian utama untuk bagian ini adalah lokasi tempat dan keadaan sekitarnya, dilihat aman atau tidak untuk para pejalan kaki serta mudah untuk dijangkau oleh masyarakat. Kemudahan jangkauan masyarakat ini dilihat dari akses yang digunakan seperti mobil, motor, kapal, dan kendaraan lainnya yang mampu menjangkau tempat ini.
b) Menawarkan Semua Jenis Aktivitas untuk Semua Komunitas Sebuah tempat yang menawarkan berbagai aktivitas baik itu di darat ataupun di air. Aktivitas yang dimaksudkan adalah aktivitas yang berbeda satu dengan yang lainnya dan dilakukan oleh orang yang berbeda juga misalnya aktivitas untuk hiburan seperti klub, restoran, bar, olahraga, dan hiburan lainnya. (Studi Kasus : Kota Bristol, Inggris). Menurut National Oceanic And Atmospheric Administration (NOAA) dengan adanya pembangunan di tepian air akan menciptakan berbagai berbagai aktivitas seperti perumahan, toko, kantor, sekolah, serta tersedianya tempat untuk pejalan kaki. Dengan adanya berbagai aktivitas maka akan menciptakan berbagai komunitas yang menggunakan sarana dan prasarana yang tersedia.
c) Memperdulikan dan Menghormati Sejarah dan Arsitektur Jaman Dahulu Bagian ini untuk melihat seberapa baik konsep waterfront city mempengaruhi sejarah dan arsitektur ruangannya. Dalam hal ini dapat dilihat secara visual suatu perencanaan dengan melihat corak mode, material, dan warnanya. Tempat yang baru dinilai dengan cara melihat tempat tersebut menyesuaikan sejarah dan arsitekturnya atau tidak.
3. Sumber Daya a) Air sebagai Tempat Bekerja, Tempat Tinggal, dan Rekreasi Air sebagai sumberdaya dan memiliki nilai tambah dalam suatu perencanaan. Bagian ini akan menjelaskan berbagai ragam suatu perencanaan di tepian air. Hal ini dilihat dari manfaat air itu sendiri yang meliputi sebagai salah satunya untuk 14
kesenangan atau rekreasi, tepian air harus menciptakan lingkungan yang tenang dan mudah di akses secara fisik (infrastruktur) dan visual (iklan, informasi melalui media sosial, dan lain sebaginya) oleh publik. Adapun air sebagai tempat tinggal, waterfront harus menyediakan tempat untuk bersandar baik itu sementara atau permanen. Dan yang terakhir memanfaatkan air sebagai tempat bekerja yang memiliki artian sebagian dari properti di tepian air disediakan untuk ruang kantor. Penggunaan akan sumber daya air ini dilihat apakah sudah digunakan ketiganya, atau hanya satu, dan dua saja. Situasi yang ideal apabila ketiganya digunakan secara harmonis. Hal ini didukung dengan pendapat menurut Young (2000) yang beranggapan perencanaan dalam konsep waterfront menjadikan kawasan tepian air sebagai tempat tinggal, tempat bekerja, dan bermain. Konsep di tepian air dijadikan sebagai tempat berkumpul, jalan – jalan, tempat makan dan minum, menatap cakrawala kota, dan menonton aktivitas yang berada di air.
b) Melindungi dan Meningkatkan Kualitas Air untuk Keberlanjutan Sumberdaya Air Dengan kegiatan pembangunan di sepanjang area tepian air, kualitas air, dan kualitas hidup akan terpengaruh. Hal ini sangat sulit untuk dikontrol, terutama daerah yang berdekatan dengan daerah perkotaan, dimana potensi dapat terkontaminasinya sangat tinggi. Dalam melindungi dan meningkatkan kualitas air dapat dilihat dari tersedia atau tidaknya saluran drainase, tempat pengolahan limbah (khusus indutri besar), tempat sampah, serta ada zona khusus yang jauh dari gangguan manusia untuk hidupnya flora dan fauna, sehingga dapat menciptkan keseimbangan dalam konsep waterfront city. Menurut Fisher (2004), dalam pembangunan waterfront, regulasi mengenai perbaikan lingkungan dimulai pada tahun 1970 dan 1980. Peraturan ini dibuat agar dapat menciptakan kondisi lahan agar terlihat lebih menarik di tepian air.
c) Air sebagai Suatu Objek yang Memberikan Ketenangan dan Kenyamanan Air adalah aset yang paling besar di daerah tepian dan tidak bisa tergantikan. Sementara dalam konsep perencanaan waterfront, air tidak harus dilihat sebagai penghalang atau kendala di sutau wilayah, akan tetapi sebagai kesempatan untuk memperluas penggunaan keluar atau ke tepi. Pada bagian ini, perencana mencari penggunaan tepian air yang unik. Contoh idealnya menggunakan fitur pencahayaan warna-warni di tepian air sehingga memberikan nilai tambah dan memperindah kawasan tersebut di malam hari. 15
d) Analisis Kritis Bagian ini didedikasikan untuk wawasan kritis peneliti pada konsep waterfront. Mengingat semua hasil dari bagian sebelumnya, peneliti harus memutuskan untuk merumuskan kesuksesan dari suatu waterfront.
1.6.4 Jenis – Jenis Waterfront Waterfront city memiliki dua jenis diantaranya yang berdasarkan tipe proyek dan berdasarkan fungsi yaitu (Breen dan Rigby, 1996) : a.
Berdasarkan tipe proyeknya, waterfront dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu : 1.
Konservasi adalah penataan waterfront kuno atau lama yang masih ada sampai saat ini dan menjaganya agar tetap dinikmati masyarakat;
2.
Pembangunan
Kembali
(redevelopment) adalah
upaya
menghidupkan
kembali fungsi-fungsi waterfront lama yang sampai saat ini masih digunakan untuk kepentingan masyarakat dengan mengubah atau membangun kembali fasilitas – fasilitas yang ada; 3.
Pengembangan (development) adalah usaha menciptakan waterfront yang memenuhi kebutuhan kota saat ini dan masa depan dengan cara mereklamasi pantai.
b.
Berdasarkan fungsinya, waterfront dapat dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu : 1. Mixed-used waterfront, adalah waterfront yang merupakan kombinasi dari perumahan, perkantoran, restoran, pasar, rumah sakit, dan/atau tempattempat kebudayaan; 2. Recreational
waterfront,
adalah
semua
kawasan waterfront yang
menyediakan sarana-sarana dan prasarana untuk kegiatan rekreasi, seperti taman, arena bermain, tempat pemancingan, dan fasilitas untuk kapal pesiar; 3. Residential waterfront, adalah perumahan, apartemen, dan resort yang dibangun di pinggir perairan; 4. Working waterfront, adalah tempat-tempat penangkapan ikan komersial, reparasi kapal pesiar, industri berat, dan fungsi-fungsi pelabuhan.
16
1.6.4
Kriteria - Kriteria Waterfront Dalam menentukan suatu lokasi tersebut waterfront atau tidak maka ada beberapa kriteria yang digunakan untuk menilai lokasi suatu tempat apakah masuk dalam waterfront atau tidak. Berikut kriteria yang ditetapkan : 1.
Berlokasi dan berada di tepi suatu wilayah perairan yang besar (laut, danau, sungai, dan sebagainya);
2.
Biasanya merupakan area pelabuhan, perdagangan, permukiman, atau pariwisata;
3.
Memiliki fungsi-fungsi utama sebagai tempat rekreasi, permukiman, industri, atau pelabuhan;
1.6.5
4.
Dominan dengan pemandangan dan orientasi ke arah perairan;
5.
Pembangunannya dilakukan ke arah horisontal.
Aspek- Aspek yang Menjadi Dasar Perancangan KonsepWaterfront Development Pada perancangan kawasan tepian air, ada dua aspek penting yang mendasari keputusan - keputusan rancangan yang dihasilkan.Kedua aspek tersebut adalah faktor geografis serta konteks perkotaan (Wren, 1983 dan Toree, 1989). a.
Faktor geografis merupakan faktor yang menyangkut geografis kawasan dan akan menentukan jenis serta pola penggunaannya. Termasuk di dalam hal ini adalah Kondisi perairan, yaitu dari segi jenis (laut, sungai, dan seterusnya), dimensi dan konfigurasi, pasang-surut, serta kualaitas airnya. 1. Kondisi lahan, yaitu ukuran, konfigurasi, daya dukung tanah, serta kepemilikannya; 2. Iklim, yaitu menyangkut jenis musim, temperatur, angin, serta curah hujan.
b.
Konteks perkotaan (Urban Context) merupakan faktor-faktor yang nantinya akan memberikan ciri khas tersendiri bagi kota yang bersangkutan serta menentukan hubungan antara kawasan waterfront yang dikembangkan dengan bagian kota yang terkait. Termasuk dalam aspek ini adalah: 1. Pemakai,
yaitu
mereka
yang
tinggal,
bekerja
atau
berwisata
di
kawasan waterfront, atau sekedar merasa "memiliki" kawasan tersebut sebagai sarana publik;
17
2. Khasanah sejarah dan budaya, yaitu situs atau bangunan bersejarah yang perlu ditentukan arah pengembangannya (misalnya restorasi, renovasi atau penggunaan adaptif) serta bagian tradisi yang perlu dilestarikan; 3. Pencapaian dan sirkulasi, yaitu akses dari dan menuju tapak serta pengaturan sirkulasi didalamnya; 4. Karakter visual, yaitu hal-hal yang akan memberi ciri yang membedakan satu kawasan waterfront dengan lainnya.
1.7
Landasan Teori Penelitian ini menggunakan teori yang dikemukakan oleh Nicholas Falk (2002) mengenai Turning the Tide: The Renaissance of Urban Waterfront. Ada 3 prinsip dalam konsep waterfront yang meliputi spirit of place, integration with the surrounding area, dan resourcefulness (lihat gambar 1.1). .
Deskripsi Penataan Ruang Waterfront City menurut RTRW Kota Palembang
Pemerintah
Masyarakat
Swasta
Peran Pemangku Kepentingan dalam Konsep Waterfront City
Konsep Waterfront City menurut Nicholas Falk
1. 2. 3.
Daya Tarik Tempat
Integrasi antar wilayah
Unik Ketersediaan Ruang Publik Unsur Sejarah
1. Tempat Pejalan Kaki 2. Jenis Aktivitas 3. Sejarah Arsitektur
Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran 18
Sumber Daya Air
1. Tempat Bekerja 2. Tempat Tinggal 3. Kualitas Air Dan Analisis Kritis
Kota yang digunakan dalam teori ini berada di Eropa tepatnya di Bristol, Inggris. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk melihat bagaimana dan seberapa baiknya reformasi waterfront yang diterapkan di kota ini. Reformasi ini dilakukan untuk mengembalikan kondisi ideal dari sebuah tepian yang rusak akibat aktivitas industri. Studi ini juga membicarakan tentang pembangunan kembali waterfront city. Teori yang digunakan ini memiliki kecocokan pada wilayah yang akan dikaji. Kota Palembang tepatnya di tepian Sungai Musi dahulunya adalah sebuah pelabuhan yang digunakan dalam sektor komersial, beda halnya dengan pelabuhan yang ada di Bristol yang digunakan sebagai pelabuhan industri. Sejalan dengan perkembangan globalisasi pelabuhan di Bristol berganti fungsinya, yang awalnya sebagai pelabuhan industri menjadi tempat perdagangan dan rekreasi yang berkelanjutan. Ada dua perbandingan yang digunakan pada studi kasus Kota Bristol meliputi perencanaan sebelum waterfront dilaksanakan dan sesudah waterfront dilaksanakan (Rosenberger, 2004). Teori ini dikembangkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Nicholas Falk yang mengacu pada prinsip-prinsip kesuksesan dalam waterfront. Prinsip-prinsip ini diterapkan ke dalam penelitian waterfront city di Kota Palembang. Pelaksanaan penataan ruang dengan konsep waterfront memerlukan pelaku dalam pelaksanaanya. Pelakunya meliputi beberapa stakeholder yakni peran masyarakat, pemerintah, dan swasta yang berada di tepian Sungai Musi. Peran stakeholder dilihat melalui 3 prinsip Nicholas Falk yang meliputi daya tarik, integrasi antar wilayah, dan sumberdaya air. Peran dari setiap pemangku kepentingan ini akan dijelaskan sebagai berikut : 1.7.1
Peran Masyarakat Conyers (1994) dalam Muta’ali (2013) menjelaskan bahwa ada 3 (tiga) alasan utama mengapa partisipasi masyarakat mempunyai sifat sangat penting. Pertama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal. Kedua, masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui detail dari proyek tersebut. Ketiga, timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. Dapat
19
dirasakan bahwa merekapun mempunyai hak untuk turut memberikan saran dalam menentukan jenis pembangunan yang akan dilaksanakan. Partisipasi atau peran masyarakat dalam proses perencanaan maupun proses pembangunan dianggap cukup penting, Jnanabrota Bhattacharyya (1972) mengartikan partisipasi sebagai pengambilan bagian dalam kegiatan bersama. Mubyarto (1984) mendefinisikannya sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri. Nelson (Bryant dan White, 1982) menyebut dua macam partisipasi : partisipasi antara sesama warga atau anggota suatu perkumpulan yang dinamakannya partisipasi horisontal, dan partispasi yang dilakukan oleh bawahan dengan atasan, antar klien dengan patron, atau antara masyarakat sebagai suatu keseluruhan dengan pemerintah, yang diberi nama partisipasi vertikal. Pada hakekatnya, partisipasi atau peran masyarakat sebagai masukan pembangunan yang dapat meningkatkan usaha perbaikan kondisi dan taraf hidup masyarakat yang bersangkutan. Adapun tujuan dari peran masyarakat sejak tahap perencanaan adalah untuk menghasilkan masukan dan persepsi yang berguna dari warga negara dan masyarakat yang berkepentingan dalam rangka meningkatkan kualitas pengambilan keputusan (Cohen dan Uphoff 1977). Karena dengan melibatkan masyarakat ke dalam suatu penataan ruang waterfront city maka masyarakat sendiri akan terkena dampak kegiatan dan kelompok kepentingan. Para pengambil keputusan dapat menangkap pandangan, kebutuhan, pengharapan dari masyarakat dan kelompok tersebut dengan menuangkan ke dalam konsep. Pandangan dan reaksi masyarakat itu, sebaliknya akan menolong pengambilan keputusan untuk menentukan prioritas, kepentingan dan arah yang positif dari berbagai faktor.
1.7.2
Peran Pemerintah Keberhasilan suatu pembangunan pada umumnya bergantung pada beberapa faktor seperti tenaga terlatih, biaya, informasi peralatan, pastisipasi, dan kewenangan yang sah (Ketz, 1969). Kendatipun ada berbagai faktor, namun seperti sudah dikemukakan di atas, di negara – negara yang sedang berkembang faktor pemerintahlah yang terpenting, karena pemerintah yang berperan menggali, menggerakkan, dan mengkombinasikan faktor – faktor tersebut (Ketz, 1965). Pemerintah memegang peranan sentral dalam pembangunan nasionalnya (Ponsioen, 1968) yaitu dalam menetapkan kebijakan umum (policy) dan melaksanakannya. 20
Proses penetapan kebijakan umum disebut pemerintahan (Apter, 1972), dan proses pelaksanaannya disebut business side pemerintahan dinamakan administrasi negara (Waldo, 1972) atau dapat juga disebut administrasi pemerintahan (negara). Peranan dalam hal ini merupakan aspek dinamis suatu lembaga, atau seperti yang dikatakan oleh Berger dan Luckmann (1972), peranan mewakili tata institusional (institutional order) suatu lembaga (dalam hal ini pemerintah). Semua peranan mewakili suatu lembaga secara menyeluruh, tetapi ada beberapa diantaranya yang secara simbolis dapat dianggap mewakili lembaga yang bersangkutan secara total. Peranan seperti ini mempunyai makna strategis di dalam pembangunan, sebab peran tersebut tidak saja mewakili lembaganya sendiri melainkan juga merupakan faktor integratif antar seluruh lembaga. Penetapan kebijakan umum dan penyusunan rencana pelaksanaanya, yang dilakukan oleh pemerintah, dapat dianggap sebagai peranan strategis. Peranan strategis disebut oleh Collins (ed., 1983) sebagai peranan dasar (basic role). Peran pemerintah dalam hal ini mengenai wewenang dan kebijakan perihal pembangunan wilayahnya masing – masing. Dalam Undang – Undang tentang Otonomi Daerah menekankan setiap daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sebagai manivestasi dari desentralisasi serta merencanakan daerahnya sesuai dengan potensi dan peraturan perundang – undangan yang ada. Kebijakan pada dasarnya merupakan ketentuan – ketentuan yang harus dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap usaha dan aparatur pemerintah, sehingga tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam mencapai tujuan tertentu. Daerah memiliki kebijakan dalam ruang lingkup teritorial daerahnya sendiri. Salah satu yang diatur dalam pembangunan yakni terdapat pada Undang – Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan bahwa negara bertanggung jawab menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam pelaksanaannya, negara memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada pemerintah daerah baik itu provinsi atau kabupaten. Sesuai dengan batas kewenangan masing-masing Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang diberikan kewenangan dengan prinsip dekosentrasi atau tugas pembantuan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan penataan ruang yang meliputi pengaturan, pembinaan, pengawasan, pelaksanaan, kerja sama penataan ruang, dan
21
koordinasi penyelenggaraan penataan ruang lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan. Dalam pelaksanaan penataan ruang, pemerintah, dan pemerintah daerah bertanggung jawab pada RTRW dan RTRKS dalam hal perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan, serta penetapan kawasan strategis. Pemerintah dalam hal ini bertugas untuk melihat potensi dan hambatan yang ada di lapangan terkait untuk penetapan kawasan strategis suatu wilayah. Penelitian ini akan melihat seberapa jauh pemerintah Kota Palembang telah merencanakan wilayahnya dengan konsep waterfront city.
1.7.3
Peran Swasta Ekonomi
global
mengalami
krisis
dan
penurunan
ekonomi,
untuk
menstabilkannya, suatu kota membutuhkan kemitraan yang melibatkan proses yang dinamis dan fleksibel guna mengatasi permasalahan ini. Oleh karena itu, beberapa peneliti mengemukakan penyelesaian ini dapat diatasi dengan model public private partnership (PPP). Menurut National Council for Public – Private Partnership, public – private partnership adalah perjanjian kontraktual antara instansi publik (federal, negara bagian, atau lokal) dan sektor swasta. Melalui perjanjian ini, aset dari masing-masing sektor (publik dan swasta) saling memberikan pelayanan dan fasilitas untuk masyarakat umum. Selain berbagi sumber daya, masing-masing sektor (publik dan swasta) saling berbagi resiko dan manfaat mengenai pelayanan dan fasilitas. Kerjasama antara pemerintah dan pihak swasta dapat membantu permasalahan pembangunan dengan cara membiayai proyek-proyek dari pemerintah atau dengan kata lain berinvestasi. Model public private partnership ini sangat menguntungkan bagi kedua pihak yang antara lain pemerintah dan pihak swasta. Pemerintah dapat memberikan pelayanan publik yang berkualitas tanpa mendapatkan beban pembiayaan, sedangkan pihak swasta sebagai pemberi dana mendapatkan keuntungan dari membiayai proyek-proyek pemerintah tersebut. Menurut Direktorat Penataan Ruang Nasional, pihak swasta merupakan pelaku pembangunan yang penting dalam pemanfaatan ruang perkotaan. Terutama karena kemampuan kewirausahaan yang mereka miliki. Peran swasta yang diharapkan dalam pemanfaatan ruang perkotaan sama seperti peran yang diharapkan dari masyarakat. Namun, karena swasta memiliki karakteristik yang berbeda dengan masyarakat 22
umum, maka terdapat peran lain yang dapat dilakukan oleh swasta, yaitu untuk tidak saja menekankan pada tujuan ekonomi, namun juga sosial dan lingkungan dalam memanfaatkan ruang perkotaan.
23