BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara yang terletak diantara Samudra Pasifik-Hindia dan Benua Asia-Australia, serta termasuk wilayah tropis yang dilewati oleh garis khatulistiwa, menyebabkan Indonesia rentan terhadap penyimpangan iklim. Penyimpangan yang dirasakan saat ini berupa curah hujan yang semakin bervariatif. Hal tersebut disebabkan oleh fenomena-fenomena yang ditimbulkan dari dinamika antara atmosfer dan lautan, baik skala lokal, regional maupun global. Fenomena tersebut diantaranya sirkulasi Hadley dan Walker (Aldrian, et al., 2007), monsoon Asia-Australia berasosiasi dengan ITCZ yang selalu mengikuti pergerakan matahari (Aldrian dan Susanto, 2003), IOD (Tjasyono et al., 2008), ENSO (Ropelewski dan Halpert, 1987; Hamada et al., 2002; Aldrian et al., 2007; Qian et al., 2010) dan siklus skala lokal yang berlangsung sepanjang hari serta fenomena lainnya. Salah satu fenomena iklim yang memiliki pengaruh besar terhadap kondisi iklim Indonesia yaitu ENSO (El Niño Southern Oscillation). ENSO merupakan fenomena dinamika atmosfer-lautan yang terjadi secara periodik, terdiri dari fase El Niño dan fase La Niña. Fenomena El Niño dan La Niña didasari pada indeks Nino 3.4 (Kousky dan Higgins, 2007; Cai et al., 2011). Terjadinya fenomena iklim tersebut memiliki dampak yang besar ketika membentuk siklus lebih panjang atau semakin sering. Terjadinya El Niño biasanya diikuti dengan penurunan curah hujan, sedangkan La Niña merangsang kenaikan curah hujan di atas normal. Kejadian tersebut dapat merugikan berbagai sektor yang tergantung dengan keadaan iklim dalam kegiatan produksinya. Tak terkecuali pada sektor pertanian, saat terjadinya El Niño ketersediaan air untuk pertanian cenderung berkurang, sehingga produksi dan produktivitas tanaman menurun atau bahkan tidak panen akibat tanaman mengalami kekeringan. Sementara pada saat terjadinya La Niña, ketersediaan air dapat menjadi
1
berlebihan dan menyababkan surplus, sehingga tanaman dapat mengalami gagal panen atau produksi. Menurut catatan Badan Meteorologi dan Geofisika saat-saat kering yang pernah dialami Indonesia adalah tahun 1991/1992, 1994/1995, 1997/1998, 2002/2003, dan 2004/2005. Kekeringan terburuk oleh El Niño terjadi pada tahun 1991, 1994, dan 1997 yang dimulai lebih awal dari waktu normal dan berakhir lebih lama dari musim kemarau pada periode sebelumnya, bahkan tahun 1994 dan 1997 tercatat sebagai kemarau terpanjang di Indonesia (Tamburian, 2003). Secara periodik El Niño terjadi dengan rentang waktu antara 2-7 tahun. Meskipun begitu, terdapat kecenderungan peningkatan frekuensi fenomena iklim tersebut. Pada tahun 19001960, El Niño jarang terjadi sehingga disebut periode nonaktif, namun sejak tahun 1960-an sampai sekarang El Niño semakin sering terjadi sehingga disebut periode aktif. Seperti yang ditunjukkan pada periode 1965-1975, dimana salah satu komoditi pertanian padi tercatat mengalami pertumbuhan mencapai 3,85% per tahun, kemudian tercatat menurun menjadi 1,30% per tahun pada tahun 1975-1985. Laju penurunan tercatat semakin besar pada periode 1985-1995, dimana pertumbuhan produktivitas hanya sebesar 0,94% per tahun. Kejadian tersebut juga diikuti pada pertumbuhan produktivitas padi ladang dalam periode 1965-1995. Hal tersebut menunjukkan dampak kekeringan pada beberapa periode, sangat mempengaruhi pertumbuhan produksi dan produktivitas padi di Pulau Jawa (BPS, 1996 cit. Arifin, 2001). Data tahun 2002 juga menunjukkan bahwa akibat adanya kekeringan telah merusak areal persawahan seluas 350.000 hektar dan membuat tanaman padi mati hingga 42.000 hektar. Tidak cukup sampai disitu, pada tahun 2003 kekeringan mengakibatkan areal persawahan seluas 450.000 hektar dan membuat tanaman padi mati hingga 100.000 hektar (Jasis dan Karama cit. Meiviana et. al., 2004). Terjadinya penurunan produktivitas padi akibat adanya fenomena iklim sangat mempengaruhi kesejahteraan petani. Fenomena iklim juga mempengaruhi kualitas
2
produksi pertanian yang dihasilkan. Kualitas tanaman akan menurun ketika kekurangan
air
karena
biji
atau
buah
yang
dihasilkan
kurang
optimal
perkembangannya. Hal tersebut juga berlaku ketika tanaman mengalami kelebihan air, dimana tanaman kesulitan untuk produksi. Oleh karena itu, terjadinya penyimpangan iklim akibat pengaruh fenomena iklim tersebut, mendorong petani dan instansi yang berkaitan untuk lebih memperhatikan iklim ketika hendak melakukan kegiatan pertanian, beragamnya letak geografis lokasi pertanian di Indonesia akan menimbulkan permasalahan dan aktifitas iklim yang berbeda-beda. Salah satu wilayah Indonesia yang terkait erat dengan penyimpangan iklim akibat pengaruh fenomena iklim El Niño dan La Niña adalah Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan dasarian I Juni 2014 wilayah yang sudah memasuki musim kemarau adalah Bali, NTT, NTB, Sulawesi, Sumatra, Banten, Jawa Barat bagian utara, Jawa Tengah bagian timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal tersebut disebabkan pertumbuhan awan hujan di wilayah barat terhambat, sehingga memicu kekeringan di berbagai wilayah Indonesia (Suswono, 2014). Pada dasarnya Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki hubungan yang erat dengan penyimpangan iklim, fenomena lokal seperti gunung, lembah, pantai, serta dataran tinggi pada wilayah tersebut memberi peran yang besar pada beragamnya kondisi iklim di lokasi tersebut. Dalam hal ini wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta yang dianalisis akibat pengaruh penyimpangan iklim nya yakni Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman. Pemilihan lokasi tersebut didasari atas letak geografis yang dilindungi oleh Gunung Merapi, tidak terlalu jauh dari laut (pantai), terdiri dari dataran tinggi dan dataran rendah, sehingga membuat bervariatifnya sebaran hujan di lokasi tersebut. Selain itu, pengumpulan data curah hujan, pertanian, dan data pendukung lainnya yang dilakukan oleh stasiun klimatologi dan pemerintah daerah sangat baik, serta masih banyaknya lahan pertanian. Dengan begitu, akan mendukung dan mempermudah dalam menganalisa pengaruh fenomena iklim terhadap sebaran curah hujan di wilayah tersebut.
3
Pengaruh dari anomali iklim dapat dilihat dari curah hujan bulan suatu daerah. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.1, dimana curah hujan bulanan di Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman memperlihatkan sebaran hujan yang sangat
mm
fluktuatif. 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
bulan Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Klas I Yogyakarta
Gambar 1.1. Curah hujan rerata di Kecamatan Gamping, Sleman tahun 2004-2013 Berdasarkan Gambar 1.1. diketahui bahwa curah hujan pada saat terjadinya El Niño dapat turun di bawah normal hingga kurang dari 50 mm/bulan. Rendahnya curah hujan merupakan salah satu indikasi terjadinya El Niño, begitupun sebaliknya ketika curah hujan yang tinggi merupakan indikasi terjadinya La Niña. Indikator terjadinya fenomena iklim tidak hanya sebatas dari besar-kecil nya curah hujan, melainkan dipengaruhi juga oleh anomali iklim yang terjadi di lautan dan atmosfer. Sea Surface Temperature (SST) di Samudera Pasifik yang menjadi indikator terjadinya El Niño dan La Niña, berasosiasi dengan perubahan pola tekanan dan angin (Keneer et al., 2010). Periode El Niño diikuti perubahan pola tekanan udara di belahan Bumi Selatan yang dikenal dengan Southern Oscillation Index (SOI). SOI dihitung berdasarkan perbedaan tekanan di Darwin dan Tahiti (Hilario, 2009). La
4
Niña merupakan kebalikan dari peristiwa El Niño yang ditandai Sea Surface Temperature (SST) di Samudera Pasifik lebih dingin dari rata-ratanya. Penggunaan anomali Sea Surface Temperature (SST) di kawasan Samudera Pasifik yang dikombinasikan dengan nilai Southern Oscillation Index (SOI) lazim digunakan sebagai indikator kejadian El Niño dan La Niña. Menurut Trenbreth (1997), El Niño terjadi jika anomali SST di kawasan ekuator Samudera Pasifik melebihi +0.5°C dan nilai SOI kurang dari -1 selama 3 bulan berturut-turut. Sebaliknya, La Niña terjadi jika anomali SST di kawasan ekuator Samudera Pasifik kurang dari -0.5°C dan nilai SOI lebih dari +1 selama 3 bulan berturut-turut. Untuk meninjau seberapa besar pengaruh fenomena ENSO terhadap penyimpangan iklim yang terjadi, dapat dilakukan dengan memodifikasi data curah hujan. Cara memodifikasi pengaruh data masa lalu terhadap nilai rata-rata sebagai alat meramal adalah menetapkan seberapa banyak pengamatan terakhir yang diikutsertakan. Menurut Hanke dan Winchern (2005), prosedur tersebut dinamakan moving average yang berarti jika pengamatan baru telah tersedia, rata-rata baru dapat dihitung dengan menghilangkan data tertua dan menggantinya dengan data terbaru. Hal tersebut juga ditegaskan oleh Sugiarto (2006), metode penghalusan layak digunakan untuk menghilangkan atau mengurangi keteracakan dari data deret waktu. Metode yang bisa digunakan untuk penghalusan data adalah metode rata-rata bergerak (moving average) dari pengukuran respon dalam periode waktu tertentu. 1.2.Tujuan Penelitian 1.
Mengetahui pengaruh Sea Surface Temperature (SST) maupun Southern Oscillation Index (SOI) terhadap distribusi waktu dan tempat
2.
Mengidentifikasi pengaruh fenomena iklim dengan keragaman hujan di Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman.
3.
Memahami interaksi antara fenomena lautan dengan curah hujan dan waktu terjadinya anomali iklim
5
1.3. Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini diharapkan pemerintah Kabupaten Sleman dapat membantu dalam perbaikan operasional penampung air di Kecamatan Gamping yang diarahkan sebagai daerah pertanian tanaman pangan, tanaman perdagangan dan hortikultura. Mengingat fenomena iklim yang terjadi mampu mengurangi kebutuhan air hingga 20-40% dari keadaan normal. Selain itu, pemerintah daerah juga dapat memberikan pengarahan kepada petani terkait anomali iklim yang terjadi dan dampak yang akan dialami oleh petani. Dengan begitu, petani dapat memprediksikan kegiatan pertanian yang dilakukan di sawah/ladang dengan adanya anomali iklim saat ini, sehingga petani tidak mengalami gagal panen yang berakibat hilangnya sumber pendapatan ekonomi.
6