BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki sebutan sebagai negara agraris. Indonesia sebagai negara agraris karena pada jaman dahulu hasil pertanian merupakan produk yang dapat diunggulkan. Negara agraris juga diberikan untuk Indonesia atas dasar matapencaharian sebagian besar penduduknya sebagai petani. Negara kepulauan Indonesia memiliki potensi pertanian yang cukup baik jika dikelola dengan benar. Permasalahan saat ini Indonesia diambang krisis dalam bidang pertanian. Pertanian adalah
suatu
kegiatan
pengelolaan sumberdaya
hayati
menggunakan manajeman sumberdaya manusia, modal dan teknologi sehingga menghasilkan komoditas berupa tanaman pangan, holtikultura, tanaman perkebunan dalam suatu agroekosistem (UU Republik Indonesia No. 19 Th.2013 Tentang Pertanian). Hasil dari kegiatan pertanian merupakan produk yang mendukung ketahanan pangan. Adanya krisis pangan mengakibatkan terjadinya degradasi ketahanan pangan dari tahun ke tahun. Ketahanan pangan merupakan suatu kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan pada tingkat nasional hingga perorangan yang tercermin dari kuantitas ketersediaan pangan maupun kualitas mutu pangan serta akses terhadap pangan untuk dapat hidup, sehat, produktif dan berkelanjutan (UU Republik Indonesia No. 18 Th. 2012 Tentang Pangan). Ketahanan pangan menempati jajaran lima besar tema yang menjadi sasaran dalam dokumen Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU Republik Indonesia No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup). Ketahanan pangan juga merupakan salah satu dari sebelas tema yang masuk dalam prioritas nasional Indonesia bersatu II tahun 2009 hingga 2014. Ketahanan pangan memiliki berbagai eleman penting dalam pengukurannya, salah satunya adalah elemen kecukupan pangan. Kecukupan pangan merupakan salah satu elemen dalam ketahanan pangan yang lebih melihat pada ketersediaan pangan yang cukup bagi penduduk.
1
Kecukupan pangan di tingkat rumah tangga adalah suatu kondisi dimana setiap rumah tangga mempunyai ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup sehingga dapat memenuhi kebutuhan gizi yang diperlukan oleh seluruh anggota keluarga (Aswatini dkk., 2004). Media saat ini menunjukkan terjadinya permasalahan terkait kecukupan pangan di Indonesia. Artikel dengan judul “Kecukupan Pangan Indonesia Terganjal Masalah Lahan”. Permasalahan produksi pangan untuk saat ini dapat ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan, akan tetapi lahan pertanian yang semakin sempit khususnya di Jawa akan menyebabkan masalah kecukupan pangan (Sherlita, 2011). Permasalahan utama dalam memenuhi kecukupan pangan penduduk Indonesia adalah adanya perubahan penggunaan lahan dan pertambahan jumlah penduduk. Pertambahan jumlah penduduk akan mempengaruhi kecukupan pangan regional. Salah satu provinsi yang mengalami pertumbuhan penduduk tinggi adalah Daerah Istimewa Yogyakarta. Data jumlah penduduk DIY tahun 2007 hingga 2011 menunjukkan terjadinya peningkatan jumlah penduduk (Tabel 1.1).
Tabel 1.1. Jumlah Penduduk menurut Kabupaten/Kota di D.I. Yogyakarta tahun 2007 hingga 2011 Kabupaten/Kota (Regency/City) Tahun Gunung Kulonprogo Bantul Sleman Yogyakarta Kidul 2007 384.326 872.866 675.359 1.035.032 391.821 2008 385.937 886.061 675.471 1.054.751 390.783 2009 387.493 899.312 675.474 1.074.673 389.685 2010 388.869 911.503 675.382 1.093.110 388.627 2011 390.207 921.263 677.998 1.107.304 390.553 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013
Provinsi DIY 3.359.404 3.393.003 3.426.637 3.457.491 3.487.325
Peningkatan jumlah penduduk terjadi tidak hanya pada lingkup provinsi, tetapi juga terjadi di tingkat kabupaten/kota kecuali untuk wilayah Kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta yang merupakan pusat perkembangan perkotaan di Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki luas wilayah yang kecil dibandingkan dengan wilayah kabupaten/kota lain di Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini yang
2
menyebabkan persebaran penduduk di Kota Yogyakarta cenderung mengalami fluktuasi yang tidak terlalu besar. Kondisi ini juga mempengaruhi kondisi kekotaan pada wilayah sekitar Kota Yogyakarta. Pengaruh kondisi kekotaan juga didapatkan oleh Kabupaten Sleman berupa peningkatan jumlah penduduk. Grafik jumlah penduduk menunjukkan peningkatan jumlah penduduk pada setiap kabupaten di DIY. Jumlah penduduk terbanyak terdapat di Kabupaten Sleman dengan peningkatan jumlah penduduk yang cukup tinggi dibandingkan dengan daerah tingkat kabupaten/kota di DIY (Gambar 1.1). Tercatat pertambahan penduduk lebih dari 72 ribu jiwa di Kabupaten Sleman tahun 2007 hingga 2011 dengan peningkatan jumlah penduduk sebesar 6,9%. Pertambahan jumlah penduduk tersebut menuntut alih fungsi lahan pertanian menjadi penggunaan lahan lain. Penelitian terhadap kecukupan pangan perlu dilakukan untuk lebih mengoptimalkan fungsi tata ruang.
Jumlah Penduduk menurut Kabupaten/Kota di D.I. Yogyakarta tahun 2007-2011
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013 Gambar 1.1. Jumlah Penduduk menurut Kabupaten/Kota di D.I. Yogyakarta tahun 2007 hingga 2011
3
Pengukuran kecukupan pangan dilihat dari sisi kerakyatan, dimana kemampuan daya beli masyarakat hanya berlaku untuk kondisi ketersediaan pangan wilayah tersebut. Anomalinya terdapat pada individu atau keluarga yang mampu dan memiliki akses pangan terhadap jenis komoditas tanaman pangan unggulan dari luar wilayah tempat tinggal. Pengukuran kecukupan pangan juga menggunakan pengurukran produksi pertanian rakyat, dimana pengukuran produksi berdasarkan hasil pertanian lokal. Analisis kecukupan pangan dengan kata lain tidak mempertimbangkan perbedaan kemampuan daya beli pangan setiap penduduk, melainkan menganggap setiap penduduk memiliki akses pangan yang sama terhadap pertanian lokal di wilayah tempat tinggalnya.
1.2. Perumusan Masalah Krisis pangan menjadi permasalahan di Indonesia. Salah satu daerah yang memiliki masalah kecukupan pangan adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kabupaten Sleman dengan jumlah penduduk paling besar pada tingkat kabupaten/kota di DIY memiliki potensi yang lebih besar terhadap krisis pangan yang terjadi. Penelitian sebelumnya menyebutkan salah satu strategi yang dilakukan adalah dengan diversifikasi tanaman pangan serta pengelolaan distribusi tanaman pangan (Prasetiyani I., 2013). Pengukuran kecukupan pangan di Kabupaten Sleman lebih menekankan pada kondisi suatu daerah dilihat dari jumlah penduduk dan produksi tanaman pangannya. Kondisi ini tidak mempertimbangkan pada konsisi sosial dan ekonomi penduduk terhadap akses pangan. Setiap penduduk memiliki akses yang sama terhadap ketersediaan pangan di wilayah tempat tinggalnya. Berdasarkan hal tersebut peneliti memunculkan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana kondisi kecukupan pangan di Kabupaten Sleman ? 2. Bagaimana perbedaan kondisi kecukupan pangan beras pada tingkat kecamatan di Kabupaten Sleman ? 3. Bagaimana perubahan kondisi kecukupan pangan serealia terhadap kecukupan pangan beras di Kabupaten Sleman ?
4
1.3. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui kondisi kecukupan pangan di Kabupaten Sleman. 2. Menganalisis perbedaan kondisi kecukupan pangan beras pada setiap kecamatan di Kabupaten Sleman. 3. Menganalisis perubahan kondisi kecukupan pangan serealia terhadap kecukupan pangan beras di Kabupaten Sleman. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Bagi Ilmu Pengetahuan Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam hal penentuan tingkat kecukupan pangan. Penelitian ini juga bermanfaat sebagai media pembelajaran, yang menunjukkan faktor penyebab dari perbedaan kondisi kecukupan pangan. Melalui penelitian ini nanti diharapkan mampu mengidentifikasi masalah kecukupan pangan dan melakukan pengelolaan terhadap masalah terkait. 1.4.2. Manfaat Bagi Pemerintah Hasil penelitian ini diharapkan memberikan masukan terhadap pemerintah terutama untuk wilayah Kabupaten Sleman. Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan pemberian kebijakan oleh kementrian pertanian dan/atau badan ketahanan pangan. Kebijakan yang dilakukan nantinya digunakan untuk menentukan strategi kecukupan pangan dari setiap daerah dengan tepat. 1.5. Tinjauan Pustaka 1.5.1. Pendekatan Geografi Menurut Yunus (1997) Ilmu geografi mempelajari fenomena geosfer dengan tiga pendekatan yaitu pendekatan keruangan, kelingkungan dan kompleks kewilayahan. Pendekatan keruangan merupakan suatu cara pandang yang menekankan pada eksistensi ruang. Eksistensi ruang dalam perspektif geografi dipandang dari struktur, pola dan proses. Pendekatan ini lebih melihat pada perbedaan lokasi dari sifat-sifat pentingnya seperti perbedaan struktur, pola dan 5
proses. Struktur keruangan terkait dengan elemen pembentuk ruang yang berupa kenampakan titik, garis dan area. Pola keruangan berkaitan dengan lokasi distribusi ketiga elemen tersebut. Proses keruangan berkenaan dengan perubahan elemen-elemen pembentuk ruang. Pendekatan kelingkungan penekanannya bukan lagi pada eksistensi ruang, namun pada keterkaitan antara fenomena geosfer tertentu dengan variabel lingkungan yang ada. Pendekatan ini memiliki kerangka analisis yang tidak mengkaitkan dengan hubungan antara makluk hidup dengan lingkungan alam saja, tetapi harus pula dikaitkan dengan dua hal, yaitu: 1. Fenomena yang di dalamnya meliputi fenomena alam beserta relik fisik tindakan manusia dan 2. Perilaku manusia yang meliputi perkembangan ide-ide dan nilai-nilai geografis serta kesadaran akan lingkungan. Pendekatan kompleks kewilayahan merupakan kombinasi antara pendekatan keruangan dan pendekatan kelingkungan. Wilayah sebagai obyek bersifat multivariate dalam pendekatan ini, sehingga kajiannya bersifat horisontal dan vertikal. Suatu obyek yang bersifat multivariate memiliki makna sebagai obyek dengan kondisi yang sangat beragam dan saling berkaitan satu sama lain. Kajian yang bersifat horisontal merupakan analisis yang menekankan pada pendekatan keruangan, sedangkan kajian yang bersifat vertikal menekankan pada pendekatan kelingkungan. Perbedaan antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain telah menciptakan hubungan fungsional antar unit wilayah sehingga tercipta suatu sistem kewilayahan. Sistem yang kompleks sifatnya dan pengkajiannya membutuhkan pendekatan yang multivariate juga, sehingga digunakanlah pendekatan kompleks wilayah ini. Penelitian yang dilakukan menggunakan pendekatan keruangan. Penggunaan pendekatan keruangan mempertimbangkan struktur, pola dan proses dalam perhitungan nilai kecukupan pangan di Kabupaten Sleman.
6
1.5.2. Ketahanan Pangan Menurut UU Republik Indonesia No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, mengartikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Pengertian tersebut mencakup aspek makro berupa tersedianya pangan yang cukup dan juga aspek mikro berupa terpenuhinya kebutuhan pangan setiap rumah tangga untuk menjalani hidup yang sehat dan aktif. Pengertian tersebut diperbarui pada UU Republik Indonesia No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang menyatakan bahwa ketahanan pangan merupakan
kondisi
terpenuhinya
pangan
bagi
negara
sampai
dengan
perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Berdasarkan definisi ketahanan pangan menurut Undang-Undang RI No. 7 Th 1996, terdapat 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu: 1.
Kecukupan ketersediaan pangan,
2.
Stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun,
3.
Aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan dan
4.
Kualitas/keamanan pangan.
1.5.3. Kecukupan Pangan Komponen dalam ketahanan pangan yang biasa diukur adalah terkait kecukupan ketersediaan pangan. Kecukupan pangan di tingkat rumah tangga adalah suatu kondisi dimana setiap rumah tangga mempunyai ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup sehingga dapat memenuhi kebutuhan gizi yang diperlukan oleh seluruh anggota keluarga (Aswatini, dkk., 2004). Kecukupan pangan mempertimbangkan aspek ketersediaan pangan terhadap kebutuhan kalori penduduk. Kalori merupakan unit ukuran untuk tenaga dan dapat diperoleh
7
dengan mengkonsumsi bahan pangan yang mengandung karbohidrat. Tanaman pangan penghasil karbohidrat umumnya berperan sebagai bahan pangan pokok. Beberapa tanaman pangan penghasil karbohidrat yang dikonsumsi di Indonesia adalah padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar. Tanaman pangan non beras seperti jagung, ubi kayu dan ubi jalar sama-sama memiliki kandungan gizi yang cukup baik. Kebijakan umum pemantapan ketahanan pangan nasional menyebutkan bahwa yang dimaksud pangan tidak hanya berupa beras, meskipun sampai saat ini konsumsi beras sangat tinggi. Paradigma pengembangan ketahanan pangan difokuskan pada pengembangan komoditas selain beras sesuai dengan potensi dan sumberdaya daerah. Diversifikasi pangan mencakup tiga lingkup hal yang saling berkaitan, yaitu: diversifikasi konsumsi pangan, diversifikasi ketersediaan pangan dan diversifikasi produksi pangan. Definisi pangan disini merupakan bahan-bahan yang digunakan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari bagi pemeliharaan, pertumbuhan, proses kerja, penggantian jaringan tubuh dan untuk mengatur proses-proses di dalam tubuh. Pengertian pangan pokok sendiri merupakan bahan pangan yang dimakan secara teratur oleh sekelompok penduduk dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi untuk mereka (Suhardjo, 1998). Penenetapan konsep diversifikasi hanya terbatas pada pangan pokok, sehingga diversifikasi konsumsi pangan diartikan sebagai pengurangan konsumsi beras yang dikompensasikan dengan bahan pangan non beras (Pakpahan dan Suhartini, 1989). Bahan pangan non beras dapat berupa jagung, ubi kayu dan ubi jalar. Tanaman jagung juga merupakan jenis serealia seperti tanaman padi. Jagung memiliki kandungan protein dan karbohidrat cukup tinggi dan tidak jauh berbeda dengan tanaman padi. Kandungan karbohidrat yang tinggi merupakan syarat utama dalam pemanfaatan bahan pangan alternalif (Sulistyawati H., 2012). Besar kalori yang terdapat pada jagung tidak kalah dari nasi. Jumlah kalori dalam 100 gram nasi adalah sebesar 360 Kkal, atau setara dengan energi pada jagung. Jumlah kalori jagung per 100 gram bahan adalah 361 Kkal dan bagian yang dapat dimakan sebesar 90%. Kandungan karbohidrat dalam jagung sebagaian besar berupa pati sehingga dapat mengenyangkan. Salah satu keuntungan jagung 8
sebagai bahan pangan alternatif pengganti nasi adalah rasanya yang manis sehingga dapat meningkatkan nafsu makan. Rasa manis tersebut disebabkan kandungan gula sukrosa sebesar 57% pada biji tanaman jagung (Made, 2010 dalam Sulistyawati H., 2012). Ubi jalar dan ubi kayu merupakan jenis tanaman budidaya. Bagian yang dimanfaatkan adalah bagian akar yang membentuk umbi dengan kadar karbohidrat yang tinggi. Di beberapa daerah tertentu, makanan umbi-umbian seperti ubi kayu dan ubi jalar menjadi makanan pokok. Tanaman ini mampu beradaptasi pada daerah yang kering dan kurang subur, sehingga budidaya tanaman tersebut bisa dilakukan pada penggunaan lahan tegal. Ubi kayu (singkong) dan ubi jalar juga bisa digunakan sebagai bahan alternative pengganti beras. Singkong mengandung energi sebesar 146 Kkal per 100 gram bahan. Pengukuran kecukupan pangan dapat dilakukan menggunakan data tahunan normatif, sehingga dapat menyatakan kondisi kecukupan pangan regional. Pengukuran konsumsi normatif digunakan karena tidak terpengaruh oleh banyak hal diluar aspek ketersediaan pangan, seperti: daya beli masyarakat, akses terhadap pasar dan infrasruktur, kemampuan penyerapan kalori serta kebudayaan (BKP, 2014). Teori pengukuran kecukupan ketersediaan pangan digunakan sebagai salah satu acuan peneliti dalam menentukan tingkat kecukupan pangan di lokasi penelitian. Berdasarkan hal tersebut, penulis melakukan kajian terkait kondisi kecukupan pangan di Kabupaten Sleman. 1.6. Keaslian Penelitian Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan dan mengangkat tema ketahanan pangan yaitu proyeksi ketersediaan pangan beras Kabupaten Sleman tahun 2015 (Kurniawan W, 2011). Persamaan penelitian tersebut terletak pada lokasi penelitian yang berupa Kabupaten Sleman. Variabel yang digunakan juga sama meliputi kebutuhan dan ketersediaan pangan. Perbedaannya adalah pada jenis data yang digunakan pada ketersediaan pangan. Penelitian terdahulu hanya menggunakan variabel produksi tanaman pangan beras untuk ketersediaan pangan sedangkan penelitian ini selain menggunakan variabel produksi beras juga 9
menggunakan variabel produksi tanaman jagung, ubi kayu dan ubi jalar. Penelitian lain di Daerah Istimewa Yogyakarta terkait tema besar ketahanan pangan telah dilakukan oleh Khrismilawati (2011). Perbedaan yang menonjol dari penelitian tersebut adalah pada tujuan penelitian. Penelitian tersebut bertujuan menentukan jenis komoditas unggulan pada satuan penelitian administrasi kabupaten/kota. Kesamaan dengan penelitian tersebut adalah dalam penggunaan sumber data yaitu dari BPS dan Kabupaten Dalam Angka. Penelitian sebelumnya dengan tema variasi spasial produksi tanaman pangan non beras untuk Kabupaten Sleman dilakukan oleh Sulistyawati (2012). Penelitian tersebut memiliki persamaan mulai dari sumber data, metode dan lokasi penelitian. Perbedaan dengan penelitian ini terdapat pada aktualisasi data yang digunakan. Penelitian sebelumnya menggunakan data tahun 2009 dan penelitian ini menggunakan data tahun 2010, 2011 dan 2012. Penelitian sebelumnya yang mengangkat tema strategi ketahanan pangan juga telah dilakukan (Prasetiyani I, 2013). Penelitian tersebut menggunakan data sekunder untuk menentukan tingkat ketahanan pangan nasional ditambah melakukan proyeksi ketahanan pangan hingga tahun 2040. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan terdapat pada besaran populasi yang diukur. Perbedaan lain dari penelitian sebelumnya adalah metode pengukuran yang dilakukan. Penelitian tersebut juga menggunakan penduduk Indonesia sebagai populasinya sedangkan penelitian yang dilakukan menggunakan besar populasi di lingkup Kabupaten Sleman. Penelitian lain juga ada yang mengangkat tema variasi spasial produksi tanaman pangan non beras (Ristiyanah, 2014). Penelitian tersebut dilakukan di Kabupaten Gunungkidul menggunakan data tahun 2012. Persamaan penelitian tersebut pada metode yang digunakan dan sumber datanya. Perbedaan dari penelitian tersebut terletak pada lokasi penelitian (Tabel 1.2).
10
Tabel 1.2. Perbandingan Penelitian yang Dilakukan dengan Penelitian Sebelumnya Nama dan Tahun
Judul
Variasi Spasial Komoditi Unggulan Subsektor Danti Tanaman Pangan antar Khrismilawati Kabupaten di Provinsi (2011) Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 20042008
Winto Kurniawan (2011)
Heny Sulistyawati (2012)
Proyeksi Ketersediaan Pangan Beras Kabupaten Sleman Tahun 2015
Variasi Spasial Produksi Tanaman Pangan Non Beras dan Ketercukupan Pangan di Wilayah Kabupaten Sleman Tahun 2009
Tujuan Mengetahui ragam komoditi unggulan tanaman pangan, mengetahui trend, laju pertumbuhan, pola dan struktur pertumbuhan sub sektor tanaman pangan Mengetahui ketersediaan pangan beras Kabupaten Sleman tahun 2015 Mengetahui ketersediaan pangan beras menurut kecamatan di Kabupaten Sleman Mengetahui kebutuhan dan ketersediaan kalori Kabupaten Sleman Mengetahui kecukupan kalori pangan pokok Mengetahui variasi spasial tanaman pangan pokok
Metode Mengolah data sekunder, menggunakan metode LQ, melihat trend dengan data time series, menggunakan rumus eksponensial dan metode klassen
Perhitungan proyeksi dengan rumus geometri
Metode perhitungan kesetaraan kalori dengan mengetahui ketersediaan dan kebutuhan kalori, sumber data dari BPS dan metode analisis diskriptif kualitatif dan kuantitatif
Hasil Penelitian Komoditi unggulan Kabupaten Sleman adalah padi dan ubi kayu, Bantul adalah padi dan kedelai, Kulonprogo adalah padi, jagung dan kedelai, Gunung kidul adalah jagung, kedelai, kacang tanah dan ubi kayu. Kabupaten Sleman mampu mencukupi kebutuhan beras pada tahun 2015. Kacamatan yang tidak mampu mencukupi kebutuhan beras adalah Mlati, Gamping, Depok, Berbah, Ngaglik dan Turi. Kebutuhan kalori terbesar di kecamatan Depok, ketersediaan pangan terbesar Kecamatan Ngemplak, ketersediaan pangan non beras terbesar di Kecamatan Pakem, Kecamatan yang tidak cukup pangan adalah Mlati, Gamping dan Depok
11
Lanjutan Nama dan Tahun
Ikha Prasetiyani (2013)
Ristiyanah (2014)
Tabel 1.2. Perbandingan Penelitian yang Dilakukan dengan Penelitian Sebelumnya Judul
Strategi Menghadapi Ketahanan Pangan (Dilihat dari Kebutuhan dan Ketersediaan Pangan) Penduduk Indonesia di Masa Mendatang (Tahun 2015 – 2040)
Variasi Spasial Produksi Tanaman Pangan Non Beras sebagai Substitusi Kecukupan Kalori Kabupaten Gunungkidul Tahun 2012
Tujuan
Metode
Mengidentifikasi perkembangan penduduk, kebutuhan pangan, ketersediaan dan ketercukupan pangan (tahun 1980 – 2010).
Menggunakan metode statistik deskriptif dengan data sekunder yang diperoleh dari instansi (Badan Pusat Statistik Indonesia), yang diolah melalui cara perhitungan, pemetaan dan dilengkapi dengan kajian literatur.
Mengidentifikasi proyeksi dinamika penduduk, kebutuhan pangan, ketersediaan pangan dan ketercukupan pangan (tahun 2015–2040) Membuat grand ketahanan pangan (ketersediaan, kebutuhan dan ketercukupan pangan) Indonesia di masa mendatang (tahun 2015–2040). Mengetahui kecukupan kalori di Kabupaten Gunungkidul
Survei dengan data sekunder Potensi dan produksi pangan non BPS, analisis beras di Kabupaten Gunungkidul diskriptif kualitatif dan Variasi spasial tanaman kuantitatif karbohidrat non beras
Hasil Penelitian
Ketidakcukupan pangan merata disemua wilayah di Indonesia, namun ketersediaan pangan dalam kategori tinggi pun juga tersebar, dengan Pulau Jawa sebagai pusat ketersediaan pangan hampir untuk semua komoditas pangan dengan ketersediaannya yang tinggi.
Kabupaten Gunungkidul mampu mencukupi kebutuhan kalori, kecamatan yang tidak mencukupi kebutuhan pangan adalah Kecamatan Wonosari dan tanaman pangan non beras sangat berpotensi dalam pemenuhan kekurangan pangan di kabupaten Gunungkidul
12
Lanjutan Nama dan Tahun
Tabel 1.2. Perbandingan Penelitian yang Dilakukan dengan Penelitian Sebelumnya Judul
Tujuan Mengetahui kondisi kecukupan pangan di Kabupaten Sleman
Muhammad Hanafi Nurdin (2014)
Diferensiasi Kecukupan Pangan di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta
Menganalisis perbedaan kondisi kecukupan pangan beras pada setiap kecamatan di Kabupaten Sleman. Menganalisis perubahan kondisi kecukupan pangan serealia terhadap kecukupan pangan beras di Kabupaten Sleman.
Metode
Hasil Penelitian
Kabupaten Sleman secara umum masuk dalam klasifikasi surplus pangan. Pengukuran kecukupan pangan beras Survei dengan pada tingkat kecamatan menunjukkan data sekunder bahwa Kecamatan dengan klasifikasi BPS, cukup pangan adalah Kecamatan pengukuran Ngaglik. Kecamatan dengan klasifikasi dengan rumus defisit kecukupan pangan beras adalah indeks Kecamatan Turi, Gamping, Mlati dan ketersediaan Depok. Kecamatan yang tetap memiliki pangan dan klasifikasi defisit dalam pengukuran analisis diskriptif kecukupan pangan serealia adalah komparatif. Kecamatan Gamping, Mlati dan Depok. Kecamatan Turi dan Kecamatan Ngaglik memiliki klasifikasi surplus kecukupan pangan serealia.
13
1.7. Kerangka Pemikiran Kerangka pikir sebagai gambaran pendekatan dalam merumuskan rekomendasi strategi penanggulangan krisis pangan. Kecukupan pangan dilihat dari variabel pengukuran ketersediaan pangan berupa produksi tanaman pangan beras maupun non beras, sedangkan variabel kebutuhan pangan berupa jumlah penduduk. Ketersediaan pangan pada dasarnya terdiri dari berbagai macam bahan pangan, akan tetapi untuk pengukuran terhadap kecukupan pangan lebih cenderung pada produk hasil pertanian untuk jenis tanaman serealia dan umbiumbian. Jenis tanaman pangan yang diukur antara lain: jenis beras berupa padi dan tanaman non beras berupa jagung, ubi kayu serta ubi jalar. Nilai produksi tanaman pangan dapat diidentifikasi melalui data sekunder. Data tersebut disesuaikan dengan data luas lahan pertanian pada setiap daerahnya. Kebutuhan pangan dilihat dari kebutuhan kalori yang harus dipenuhi oleh setiap penduduk. Variabel yang digunakan dalam pengukuran kebutuhan pangan adalah jumlah penduduk. Keberadaan variabel penduduk memberikan dampak berupa konversi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian. Penyempitan lahan pertanian berakibat pada sedikitnya jumlah produksi tanaman pangan, sehingga dapat menyebabkan krisis pangan. Kondisi kecukupan pangan yang tidak berimbang dengan semakin besarnya jumlah penduduk menuntut adanya kebijakan yang strategis (Gambar 1.2). Kondisi kecukupan pangan dapat dilihat secara global ataupun regional hingga rumah tangga. Perbedaan kondisi kecukupan pangan dari suatu daerah dipengaruhi berbagai faktor baik secara fisik maupun sosial.
14
Gambar 1.2. Diagram Alir Kerangka Pemikiran
15