BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Gagal ginjal merupakan kerusakan ginjal atau penurunan kemampuan filtrasi
glomerulus
(Glomeralur
Filtration
Rate/GFR)
kurang
dari
60mL/min/1.73 m2 selama 3bulan atau lebih dan didasari oleh banyak factor (NKF K/DOQI, 2000; Kallenbach, Gutch, Stoner & Corca, 2005). Biasanya terjadi secara progresif dan melemahkan sehingga massa ginjal yang masih ada tidak mampu lagi mempertahankan lingkungan internal tubuh (Suyono & Waspadji, 2001; Black and Hawks, 2005). Apabila kerusakan ini mengakibatkan laju filtrasi glomurulus/GFR berkurang hingga di bawah 15mL/min/1.73 m2 dan disertai kondisi urenia, maka pasien telah mengalami gagal ginjal tahap akhir. Penyakit gagal ginjal kronik merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel yaitu dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan dan keseimbangan cairan dan elekrolit yang menyebabkan uremia. Penyakit ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak masa nefron ginjal (Smeltzer and Bare, 2002). Diperkirakan 20 juta orang dewasa di Amerika Serikat mengalami penyakit gagal ginjal kronik. Data tahun 1995-1999 menunjukan insiden penyakit gagal ginjal mencapai 100 kasus perjuta penduduk pertahun di Amerika serikat. Pravelansi penyakit gagal ginjal meningkat setiap tahunnya. CDC (Centers for Disease Control) melaporkan bahwa dalam kurun waktu 1999 hingga 20004, terdapat 16,8% dari populasi penduduk usia di atas 20 tahun mengalami penyakit gagal ginjal kronik. Presentase ini meningkat bila dibandingkan data pada tahun sebelumnya, yakni 14,5%. Di negara-negara berkembang, insiden ini diperkirakan 40-60 kasus perjuta penduduk pertahun (Firmansyah, 2010).
1
2
Di Indonesia, dari data di beberapa bagian nefrologi (ilmu yang mempelajari bagian ginjal), diperkirakan insiden penyakit gagal ginjal kronik berkisar 100-150 per 1 juta penduduk dan prevalensi mencapai 200250 kasus per juta penduduk (Firmansyah, 2010). Sedangkan, menurut data dari Yadugi (Yayasan peduli ginjal) di Indonesia kini terdapat sekitar 40.000 penderita gagal ginjal kronik, hanya 3.000 diantaranya yang memiliki akses pengobatan. Dari angka yang cukup banyak tersebut, Jawa Barat menduduki urutan pertama dengan jumlah penderita sebanyak 3.000 orang dan disusul DKI Jakarta ditempat kedua (Republika, 2001). Data rekam medik di RSUD Sukoharjo menunjukan pasien dengan Chronic Kidney Desease (CKD) pada tahun 2012 diantaranya sekitar 119 orang, laki-laki 74 orang, perempuan 45 orang. Beradasarkan laporan periode bulan April 2013 (Recca.M, 2013). Penyakit gagal ginjal kronik termasuk masalah yang sangat penting. Penyakit gagal ginjal yang tidak ditatalaksana dengan baik dapat memperburuk kearah penyakit ginjal stadium akhir yang membutuhkan terapi pengganti ginjal permanen berupa hemodialisis atau transpaltasi ginjal. Diseluruh dunia, terdapat sekitar satu juta orang penderita penyakit gagal ginjal kronik yang menjalani terapi pengganti (dialisis atau transplantasi) pada tahun 1996 jumlah ini akan meningkat menjadi dua juta orang pada tahun 2010 (Firmanyah, 2010). Penyakit gagal ginjal kronik menyebabkan pasien mengalami permasalahan-permasalahan yang bersifat fisik, psikologis, dan sosial yang dirasakan sebagai kondisi menekan. Permasalahan fisik yang dialami pasien gagal ginjal kronik yaitu berupa adanya perubahan pada tubuh seperti kelebihan cairan, anemia, tulang mudah rapuh, dan penurunan masa otot. Permasalahan psikologis yang dialami pasien gagal ginjal kronik ditunjukan dari semenjak pertama kali pasien divonis mengalami gagal ginjal. Beberapa pasien merasa frustasi, putus asa, marah, dan adanya perasaan tidak percaya akan hasil diagnosa dokter, bahkan ada seseorng pasien marah pada dokter, bahwa dirinya harus menjalani hemodialisa.
3
Mereka menilai bahwa dari semenjak menderita penyakit, hidupnya selalu dalam keadaan ketidak beruntungan, tidak memiliki harapan dan sangat sensitif terhadap kritik dan saran. Selain itu adanya prognosa yang negatif menyebabkan pada beberapa pasien mengaku dirinya pesimis akan kesembuhannya, bahkan beberapa orang mengaku dirinya sempat berusaha bunuh diri dengan makan berlebihan atau dengan memotong nadi tangannya dikarenakan merasa putus asa dan lelah melakukan hemodialisis (Iskandarsyah, 2006). Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya Kecemasan dapat terjadi pada seorang pasien penyakit gagal ginjal kronik yang merupakan masalah serius karena dapat meyebabkan kematian, dan biaya yang dikeluarkan sangat besar. Timbulnya kecemasan dikarenakan pasien gagal ginjal merasa khawatir akan kondisi sakitnya yang tidak dapat diramalkan dan gangguan dalam kehidupannya. Tekanan mental atau kecemasan yang diakibatkan oleh kepedulian yang berlebihan akan menghadapai masalah yang sedang dihadapi ataupun yang dibayangkan mungkin terjadi(Stuart, 2002). Adapula penelitian yang meneliti kecemasan pasien dialisis dengan pasien transplantasi ginjal, peneliti tersebut menyatakan bahwa pasien dialisis secara signifikan lebih tinggi mengalami kecemasan daripada kelompok pasien transplantasi ginjal dan kelompok kontrol (Kalay,Raluca & Balazi, 2009). Penderita gagal ginjal kronik harus melakukan cuci darah, yang merupakan tindakan medis untuk membebaskan tubuh seseorang dari pembakaran makanan khususnya sisa-sisa pembakaran protein dan cairan tubuh yang berlebihan. Penderita akan mengalami suatu dependenceindependence conflict. Biasanya hidup secara mandiri, sekarang merasa hidupnya bergantung pada mesin cuci darah. Melihat masalah yang dihadapi para penderita gagal ginjal kronik menderita kecemasan dimana kecemasan
4
merupakan salah satu gangguan yang ada pada psikologis manusia (Suhud, 2001). Pasien gagal ginjal kronik juga memerlukan terapi pengganti fungsi ginjal yang terdiri atas dialisis dan transplantasi ginjal. Diantara kedua jenis terapi pengganti fungsi ginjal tersebut, dialisis merupakan terapi yang umum digunakan karena terbatasnya jumlah donor ginjal hidup di Indonesia. Menurut jenisnya, dialisis dibedakan menjadi dua, yaitu hemodialisa dan peritoneal dialisis. Sampai saat ini hemodialisa masih menjadi alternatif utama terapi pengganti fungsi ginjal bagi pasien gagal ginjal kronik karena dari segi biaya lebih murah dan resiko terjadinya perdarahan lebih rendah jika dibandingkan dengan dialisis peritoneal (Markum, 2006). Pasien gagal ginjal kronik yang memilih hemodialisa sebagai terapi pengganti fungsi ginjal akan menjalani terapi tersebut seumur hidupnya kecuali pasien menjalani transplantasi ginjal. Ketergantungan pasien gagal ginjal kronik terhadap hemodialisa seumur hidupnya, akan berdampak luas dan menimbulkan masalah baik secara fisik, psikososial, dan ekonomi. Kompleksitas masalah yang timbul pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa akan mengakibatkan timbulnya kecemasan pada pasien tersebut (Indrawati dkk, 2009). Pada pasien yang menjalani hemodialisa mengalami berbagai masalah yang timbul akibat tidak berfungsinya ginjal. Hal tersebut muncul setiap waktu sampai akhir kehidupan. Hal ini menjadi stresor fisik yang berpengaruh pada dimensi kehidupan pasien yang meliputi bio, psiko, sosio, spiritual. Kelemahan fisik yang dirasakan seperti mual, muntah, nyeri, lemah otot, oedema adalah sebagian dari manisfestasi klinik dari pasien yang
menjalani
hemodialisa.
Ketidakberdayaaan
serta
kurangnya
penerimaan diri pasien menjadi faktor psikologis yang mampu mengarahkan pasien pada tingkat kecemasan (Stuart dan Sundeen, 1998). Waktu yang diperlukan untuk terapi hemodialisa akan mengurangi waktu yang tersedia
5
untuk melakukan aktivitas sosial dan dapat menciptakan konflik, frustasi, rasa bersalah serta rasa cemas didalam diri pasien gagal ginjal kronik. Pasien gagal ginjal kronik harus melakukan cuci darah atau dialis di rumah sakit sebayak 3- 4 kali dalam sebulan dengan biaya sekitar 3-4 juta/bulan. Ketersediaan alat dialis di rumah sakit juga tidak sebanding dengan jumlah penderita gagal ginjal. Jumlah pasien gagal ginjal terminal di Indonesia yang membutuhkan cuci darah atau dialisis mencapai 150.000 orang. Namun pasien yang sudah mendapatkan terapi dialisis baru sekitar 100.000 orang. Terapi
dialisis
ini
dilakukan
hanya
untuk
memperpanjang
kelangsungan hidup pasien gagal ginjal. Selain melakukan cuci darah, pasien gagal ginjal dapat melakukan tranplantasi ginjal atau cangkok ginjal (Bare & Smeltzer, 2002). Untuk melakukan transplantasi ginjal biaya yang dikeluarkan juga cukup besar sekitar 300 juta rupiah dan tentunya menunggu ketersediaan seseorang yang ingin mendonorkan ginjalnya. Dalam melakukan hemodialisa, seorang pasien gagal ginjal memerlukan waktu sekitas 4-5 jam di rumah sakit, yang tentunya mengganggu aktivitas dan produktivitas dalam bekerja. Sehingga pasien gagal ginjal akan merasa cemas ditempat kerja karena waktunya banyak digunakan untuk terapi hemodialisa dan tentunya berakibat penurunan produktivitas dalam bekerja. Peneliti melakukan studi pendahuluan pada beberapa pasien gagal ginjal kronik yang melakukan terapi hemodialisa pada bulan April 2014 di PKU Muhammadiyah Gombong. Pertanyaan yang diajukan mengenai perasaan kecemasan yang dialami dalam melakukan terapi hemodialisa. Dari 13 responden, ada 2 pasien yang kurang dari 1 bulan menjalani terapi HD menjawab bahwa mereka merasa tegang, mudah terkejut, gemetar, tidur tidak nyenyak dan gelisah. Ada 5 pasien yang lebih dari sebulan menjalani terapi HD mengalami kecemasan seperti takut akan pikiran sendiri dan merasa gelisah. Sedangkan 6 pasien yang sudah lebih dari 1 tahun menjalani terapi HD, mengalami gangguan tidur seperti tidur tidak nyenyak
dan
mimpi buruk. Gangguan-gangguan kecemasan dan ketegangan tersebut
6
yang dialami dapat disebabkan oleh penyakit yang dideritanya dan terapi hemodialisa yang harus dijalaninya. Selain masalah tersebut di atas masalah lain seperti masalah finansial, pekerjaaan, dan ketakutan akan kematian dapat menimbulkan kecemasan pada dirinya. Kecemasan ini akan semakin bertambah seiring dengan semakin lamanya pasien gagal ginjal kronik yang melakukan terapi hemodialisa dan ketidakpastian menunggu untuk mendapatkan donor ginjal. Berdasarkan masalah-masalah tersebut di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan antara lama hemodialisa dengan tingkat kecemasaan pada pasien gagal ginjal kronik. 1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : “Apakah ada hubungan antara lama hemodialisa dengan tingkat kecemasan pada pasien gagal ginjal kronik di PKU Muhammadiyah Gombong?” 1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara lama hemodialisa dengan tingkat kecemasan pada pasien gagal ginjal kronik di PKU Muhammadiyah Gombong. 1.3.2 Tujuan Khusus. a. Mengetahui
gambaran lamanya hemodialisa pada pasien gagal
ginjal kronik di PKU Muhammadiyah Gombong. b. Mengetahui gambaran tingkat kecemasan pada pasien gagal ginjal kronik di PKU Muhammadiyah Gombong.
7
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat kepada berbagai pihak, antara lain : 1.4.1 Bagi penulis Menambah ilmu pengetahuan dan wawasan khususnya masalah kecemasan pasien gagal ginjal yang melakukan hemodialisa. 1.4.2 Bagi Akademis a. Sebagai bahan bacaan diperpustakaan atau sumber data bagi peneliti lain yang memerlukan masukan berupa data atau pengembangan
penelitian
dengan
judul
yang
sama
demi
kesempurnaan penelitian ini. b. Sebagai sumber informasi pada institusi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadyah Gombong agar dijadikan dokumentasi ilmiah untuk merangsang minat peneliti selanjutnya. 1.4.3 Bagi Ilmu Keperawatan/profesi a. Sebagai
masukan
bermakna
demi
pengembangan
profesi
keperawatan. b. Masukan bagi profesi keperawatan pada lahan penelitian terkait untuk menentukan kebijakan dalam rangka peningkatan mutu pelayanan kesehatan. 1.4.4 Bagi Rumah sakit Membantu memberikan informasi kepada pihak rumah sakit mengenai berbagai kecemasan yang timbul pada penderita gagal ginjal kronik yang melakukan hemodialisa. Sehinggga pihak manajemen rumah sakit dapat memberikan peningkatan pelayanan terhadap pasien khususnya pasien gagal ginjal yang melakukan hemodialisa.
8
1.5 Ruang Lingkup 1.5.1 Ruang lingkup variabel Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu variabel tingkat kecemasan dan variabel lamanya hemodialisa pasien gagal ginjal kronik. 1.5.2 Ruang lingkup subyek Sasaran penelitian ini adalah semua pasien gagal ginjal kronik yang melakukan hemodialisa di PKU Muhammadiyah Gombong. 1.5.3 Ruang lingkup waktu Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni tahun 2014. 1.5.4 Ruang lingkup tempat Penelitian dilakukan di PKU Muhammadiyah Gombong.
1.6 Keaslian Penelitian Penelitian terdahulu mengenai tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronik yang melakukan hemodialisa antara lain : Penelitian dilakukan oleh Ratnawati (2011) dengan judul “Tingkat Kecemasan Pasien Dengan Tindakan Hemodialisis di RSUD DR.M.M Dunda Kabupaten Gorontalo”. Metode penelitian menggunakan pendekatan deskriptif. Subyek penelitian 15 orang pasien yang terdaftar, aktif dan rutin menjalani hemodialisa. Hasil penelitian menunjukan bahwa kecemasan tingkat ringan 6 responden (40%), kecemasan sedang 4 responden (26,7%), kecemasan berat 3 responden (20%) dan kecemasan panik 2 responden (13,3%). Persamaan dengan penelitian ini tentang tingkat kecemasan pasien yang melakukan terapi hemodialisa. Sampel menggunakan populasi pasien yang menjalani terapi hemodialisa dengan teknik total sampling. Perbedaan dengan penelitian ini yaitu pengumpulan data menggunakan kuesioner yang dibuat sendiri oleh peneliti. Sedangkan penelitian ini yang berjudul “Hubungan antara lama hemodialisa dengan tingkat kecemasan pada pasien gagal ginjal kronik di PKU Muhammadiyah Gombong” menggunakan
9
kuesioner Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS). Analisis data menggunakan uji chi-square. Penelitian dilakukan oleh Dewi NKAS (2012) dengan judul “Pengaruh Aroma Terapi Inhalasi Terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis di RSUD Wangaya Denpasar”. Metode penelitian menggunakan pra eksperimen dengan rancangan one group pre test-post test design. Subyek penelitian sebanyak 30 orang pasien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh pemberian aromaterapi terhadap penurunan tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di RSUD Wangaya Denpasar. Persamaan dengan penelitian ini tentang tingkat kecemasan pasien yang melakukan terapi hemodialisa. Sampel menggunakan cara non probability sampling dengan teknik Purposive sampling. Perbedaan penelitian ini menggunakan kuesioner Beck Anxiety Inventory (BAI). Sedangkan penelitian ini yang berjudul “Hubungan antara lama hemodialisa dengan tingkat kecemasan pada pasien gagal ginjal kronik di PKU Muhammadiyah Gombong” menggunakan kuesioner Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS). Analisis data menggunakan uji chi-square.