BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bumi merupakan suatu kesatuan ekosistem (Hugget, 1995). Ekosistem terbentuk dari hasil interaksi antara komponen abiotik, biotik, dan kultural. Fenomena yang terjadi di dalam lingkungan tidak lepas dari interaksi ketiga faktor tersebut. Komponen abiotik antara lain berupa iklim, batuan, tanah, air, dan laut (oseanik). Komponen biotik berupa flora dan fauna (keanekaragaman hayati). Komponen kultural berupa pengaruh aktivitas manusia. Bentanglahan merupakan salah satu bentuk ekositem. Komponen-komponen penyusun bentanglahan berhubungan
saling
berkait
(interrelationship)
dan
saling
bergantung
(interdependency). Ekologi bentanglahan dan geoekologi mengintegrasikan aspek bentanglahan dan ekologi untuk membentuk geoekosistem. Konsep ekologi bentanglahan dan geoekologi dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang. Konsep ini banyak dipakai dalam inventarisasi dan pengelolaan sumberdaya di negara-negara Eropa dan Amerika. Namun konsep ini belum banyak digunakan di Indonesia. Konsep ini dapat memadukan berbagai komponen lingkungan beserta aspek keruangannya, sehingga dapat memberikan hasil analisis yang komprehensif. Konsep ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi potensi wilayah berdasarkan kondisi fisik, biologi dan sosial-budaya. Pengelolaan wilayah dengan konsep ini dapat menjaga fungsi ekosistem wilayah kajian. Pengelolaan sumberdaya di Indonesia selama ini masih bersifat parsial dan mengesampingkan aspek lingkungan. Oleh karena itu, penting dilakukan kajian tentang ekologi bentanglahan atau geoekologi di Indonesia. Semenanjung Muria merupakan salah satu wilayah yang memiliki karakteristik khas di Pulau Jawa. Semenanjung Muria terdiri atas tiga bentanglahan utama, yaitu Bentanglahan Vulkanik, Marin, dan Fluvial. Semenanjung Muria terbentuk dari gunungapi dasar laut. Akibat proses pengangkatan, gunungapi dasar laut tersebut menjadi sebuah pulau gunungapi (Wibowo, dkk, 2008). Pulau Gunungapi Muria menyediakan substrat yang baik untuk terumbu karang. Gunungapi Muria dan Gunungapi Genuk sudah tidak aktif
1
meskipun masih menyimpan potensi aktivitas gunungapi (McBirney, dkk, 2003). Proses yang berkembang saat ini adalah proses erosi oleh aliran sungai yang membentuk bentanglahan fluvial. Semenanjung Muria bagian utara memiliki fenomena yang khas. Bentanglahan di Semenanjung Muria bagian utara meliputi puncak Gunungapi Muria sampai pesisir utara. Bentanglahan vulkanik pada bagian utara Semenanjung Muria berupa lereng utara Gunungapi Muria dan tubuh Gunungapi Genuk. Semenanjung Muria bagian utara memiliki tipe pesisir volcanic coasts. Pesisir ini berasal dari material hasil erupsi gunungapi dan pengendapan material oleh arus dan gelombang laut. Pesisir tersebut berupa pantai berpasir dengan material vulkanik. Bentanglahan di bagian utara Semenanjung Muria tidak banyak terpengaruh oleh proses sedimentasi seperti pada bagian selatan, sehingga peninggalan/bekas proses masa lampau masih dapat diamati (Sunarto, 2004). Bekas proses masa lampau tersebut antara lain adanya batuan lava basaltis, fosilfosil biota laut, dan bentukan marine notch yang dapat menunjukkan dinamika tinggi muka air laut pada zaman es dan interglasial. Di Semenanjung Muria bagian utara terdapat 4 bentukan positif dengan ukuran, elevasi, dan genesa yang berbeda. Ke empat bentukan positif tersebut membentuk pola kelurusan selatan-utara. Bentukan positif tersebut adalah Gunungapi Muria, Gunungapi Genuk, Bukit Benteng, dan Pulau Mandalika. Perubahan topografi yang drastis mengakibatkan perbadaan iklim mikro. Iklim mikro dapat mempengaruhi jenis dan persebaran flora/fauna endemik. Di wilayah terdapat cagar alam Gunung Celering dan hutan lindung Gunungapi Muria. Cagar alam ini berfungsi sebagai kawasan konservasi flora dan fauna. Sebagian kawasan cagar alam terlah berubah menjadi lahan pertanian akibat penjarahan (BKSDA Jateng, 2009). Daerah ini belum banyak diteliti sehingga belum banyak diketahui karakteristiknya. Semanjung Muria bagian utara menarik untuk diteliti interaksi antara faktor topografi, geologi, dan iklim terhadap flora/fauna serta manusia yang tercermin dalam bentanglahan.
2
1.2 Rumusan Masalah Konsep ekologi bentanglahan dan geoekologi merupakan konsep yang baik untuk analisis dan pengelolaan lingkungan. Tetapi penggunaannya di Indonesia masih kurang dalam pengelolaan sumberdaya. Di sisi lain, Indonesia masih banyak memiliki permasalahan terkait sumberdaya alam dan lingkungan. Perbedaan permasalahan antar wilayah dikarenakan setiap wilayah memiliki karakteristik yang khas. Karakteristik ini dibentuk oleh dinamika proses yang membentuk wilayah tersebut. Lingkungan merupakan hasil perpaduan antara komponen litologi, iklim, hidrologi, flora-fauna, dan hasil aktivitas manusia. Keunikan tersebut tercermin di dalam bentanglahan. Di dalam bentanglahan terdapat bentuklahan-bentuklahan yang lebih detail. Bentuklahan sebagai tempat berlangsungnya interaksi antar komponen lingkungan memiliki peranan penting. Kondisi bentuklahan mempengaruhi proses-proses dan komponen yang ada diatasnya. Hal ini merupakan konsep dasar dari geoekologi. Konsep ini menenpatkan bentuklahan sebagai sudut pandang dalam memahami interaksi komponen biotik dan abiotik. Konsep ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi potensi wilayah berdasarkan kondisi fisik, biologi dan sosial-budaya. Satuan geoekologi merupakan unit analisis di dalam studi geoekologi. Setiap satuan geoekologi memiliki karakteristik yang khas baik secara abiotik, biotik, dan sosial budaya. Satuan geoekologi terdiri atas unit bentuklahan dengan vegetasi asli bentuklahan tersebut. Satuan geoekologi suatu tempat bersifat unik dan dapat dapat dibedakan dengan satuan geoekologi lainnya. Hal ini dapat memudahkan dalam perencanaan dan pengelolaan lingkungan. Semenanjung Muria merupakan bagian dari pesisir utara Pulau Jawa. Semenanjung ini menarik secara genetis karena terbentuk dari gunungapi dasar laut yang mengalami pengangkatan dan sedimentasi. Semenanjung Muria bagian utara tidak banyak terpengaruh oleh sedimentasi sehingga bekas-bekas proses masa lampau masih dapat diidentifikasi. Wilayah ini memiliki variasi yang cukup kompleks baik secara geologi, genetik, iklim, flora-fauna, dan kebudayaan. Wilayah ini sangat menarik untuk diteliti mengenai hubungan antar komponen
3
penyusun bentanglahan. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana karakteristik geoekologis Semenanjung Muria bagian utara, Kabupaten Jepara? 2. Apa sajakah potensi dari setiap satuan geoekologi di Semenanjung Muria bagian utara, Kabupaten Jepara? 3. Bagaimana upaya mengelola potensi wilayah yang ada di Semenanjung Muria bagian utara, Kabupaten Jepara? Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah disampaikan maka penelitian
ini
berjudul
“PEMANFAATAN
POTENSI
WILAYAH
SEMENANJUNG MURIA BAGIAN UTARA KABUPATEN JEPARA DENGAN PENDEKATAN GEOEKOLOGI”.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Mengkaji karakteristik geoekologis Semenanjung Muria bagian utara, Kabupaten Jepara, 2. Menganalisis potensi setiap satuan geoekologi di Semenanjung Muria bagian utara, Kabupaten Jepara, 3. Menyusun upaya pengelolaan potensi wilayah di Semenanjung Muria bagian utara, Kabupaten Jepara. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini antara lain: 1. Memberikan referensi penerapan konsep geoekologi untuk analisis potensi wilayah di Indonesia, 2. Memberikan gambaran kondisi geografis dan ekologis Semenanjung Muria bagian utara, Kabupaten Jepara, 3. Memberikan informasi dan pengetahuan tentang potensi wilayah Semenanjung Muria bagian utara, Kabupaten Jepara di setiap satuan geoekologinya,
4
4. Diharapkan dapat menjadi acuan dalam penentuan kebijakan pengelolaan lingkungan dan sumberdaya wilayah bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Jepara.
1.5 Penelitian-Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai pengelolaan potensi wilayah Semenanjung Muria bagian utara Kabupaten Jepara dengan pendekatan geoekologi merupakan penelitian yang aktual dan orisinil. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari konsep-metode, waktu, dan lokasi. Konsep geoekologi dan ekologi bentanglahan belum banyak dipakai di Indonesia. Semenanjung Muria bagian utara sejauh ini belum banyak diteliti, sehingga masih banyak hal yang dapat dipelajari tentang daerah tersebut. Hasil studi literatur menemukan beberapa penelitian yang menggunakan konsep geoekologi, ekologi bentanglahan maupun mengkaji bentanglahan Semenanjung Muria. Hasil studi literatur tentang penelitian terdahulu dapat dilihat dari Tabel 1.1. Persamaan dan perbedaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang akan dilakukan antara lain: 1. Penelitian Mardiatno tahun 2002 memiliki kesamaan pada konsep yang digunakan yaitu konsep geoekologi untuk mengetahui potensi wilayah sebagai wisata pantai. Perbedaannya, penelitian ini dilakukan di daerah kepesisiran Lombok Barat. Laporan penelitian yang Kami susun terletak di Semenanjung Muria, tidak hanya pada daerah kepesisiran tetapi sampai Gunungapi Muria. 2. Penelitian Novira tahun 2004 memiliki kesamaan konsep yaitu ekologi bentanglahan. Perbedaannya, penelitian ini dilakukan di Taman Nasional Meru Betiri untuk mengetahui ekologi spesies khusus yaitu Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica). Laporan penelitian yang Kami susun bertujuan untuk mengetahui gambaran persebaran spesies secara umum, terutama diakibatkan aspek perbedaan topografi. 3. Sunarto 2004 meneliti tentang paleogeomorfologi di sekeliling Gunungapi Muria. Penelitian ini lebih menitikberatkan pada analisis
5
kondisi fisik wilayah. Hubungan antara komponen-komponen penysusun ekosistem belum banyak dibahas. Laporan penelitian yang Kami susun memiliki sudut pandang yang berbeda. Penelitian ini memandang Semenanjung Muria sebagai sebuah ekosistem, sehingga terdapat hubungan timbal-balik antarkomponen penyusun ekosistem. Oleh karena itu, laporan penelitian yang telah Kami susun tidak hanya menyangkut kondisi fisik saja tetapi juga menyangkut faktor ekologi dan pengaruh aktivitas manusia terhadap ekosistem. 4. Duray dan Hegedus tahun 2005 menerapkan konsep geoekologi untuk mengetahui
pengaruh
Taman
Nasional
Korros
Maros
terhadap
lingkungan di sekitarnya. Penelitian ini menggunakan konsep yang sama dengan penelitian yang Kami susun tetapi digunakan untuk tujuan dan lokasi penelitian yang berbeda. 5. Sultanisah tahun 2007 menggunakan pendekatan geoekologi untuk kajian penggunaan lahan di sebagian Teluk Palu. Penelitian ini merupakan penelitian yang paling banyak memiliki kesamaan dengan laporan penelitian yang Kami susun. Perbedaannya dapat dilihat dari lokasi kajian dan tujuan akhir yang ingin dicapai. Penelitian Sultanisah digunakan untuk mengkaji penggunaan lahan yang sudah ada sedangkan penelitian yang Kami susun digunakan untuk mengetahui potensi wilayah dan rekomendasi pengelolaannya. 6. Wibowo, dkk, pada tahun 2008 melakukan penelitian tentang bahaya vulkanik Gunungapi Muria. Penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk menentukan kelayakan tapak proyek PLTN. Penelitian yang dilakukan di Semenanjung Muria bagian utara adalah studi kelayakan untuk proyek tersebut. Penelitian ini memiliki kesamaan lokasi tetapi berbeda dari segi konsep, metode, waktu, dan objek dengan laporan penelitian yang Kami susun. 7. Rufaut dan Craw tahun 2010 menerapkan konsep geoekologi untuk mengetahui proses suksesi pada lokasi bekas tambang batu bara di Selandia Baru. Penelitian ini memiliki kesamaan pada segi konsep yang
6
digunakan tetapi berbeda dari segi lainnya, seperti tujuan dan lokasi penelitian. 8. Dikou, Papapanagioutou, dan Troumbis tahun 2011 mengintegrasikan konsep ekologi bentanglahan dengan sistem informasi geografi untuk perencanaan wilayah. Laporan penelitian yang Kami susun juga menggunakan konsep tersebut dalam pengelolaan potensi wilayah tetapi digunakan pada lokasi dengan karakteristik yang jauh berbeda.
7
Tabel 1.1 Daftar Penelitian Sebelumnya
No
Penelitian
Metode
Hasil
Mengetahui geoekologi di daerah Kepesisiran Lombok Barat, karakteristik dan potensinya untuk wisata pantai
Kuantitatif, Pengamatan lapangan, pemetaan, Analisis SWOT
Daerah Kepesisiran Lombok Barat memiliki 7 satuan geoekologi dan dapat dianalisis potensinya untuk wisata pantai
Mengetahui karakteristik alami Taman Nasional Meru Betiri dan potensinya sebagai habitat Harimau Jawa
Matching tingkat kesesuaian hidup Harimau Jawa dengan satuan lahan
Sebagian daerah berpotensi sebagai habitat Harimau Jawa dengan pembatas dominan kemiringan lereng, relief, dan gangguan manusia
3
Sunarto. 2004. Perubahan fenomena geomorfik daerah kepesisiran di sekeliling Gunungapi Muria, Jawa Tengah (Kajian Paleogeomorfologi)
Mengetahui perubahan spasiotemporal fenomena morfologi Delta Wulan; mengetahui sebab-akibat pekembangan beting gisik di kepesisiran sebelah barat dan timur Gunungapi Muria; mengetahui perkembangan spasiotemporal paleogeomorfologi daerah kepesisiran di sekeliling Gunungapi Muria
Deskriptif-eksplanatori, cara analisis data dengan penalaran sebab-akibat, uji hipotesis dengan logika induktif
Daerah Kepesisiran Gunungapi Muria telah terjadi perubahan fenomena geomorfik
4
Duray, B.; Hegedus Z. 2005. Geoecological mapping in a Kis-Sarret study area, Hungary
Pemetaan geoekologi untuk mengetahui fungsi pembentuk ekotop dan nilai perlindungan alami lahan dengan pengaruh dari Taman Nasional Koros-Maros
Analisis geoekologi dengan unit ekotop, meneliti fungsi bentanglahan, dan mengestimasi pengaruh faktor biotik
Pemetaan geoekologi dapat mengevaluasi lingkungan dari berbagai aspek, yang mencakup kondisi, potensi, dan risiko
1
2
Mardiatno, D. 2002. Kajian geoekologi daerah kepesisiran Lombok Barat untuk pengembangan wisata pantai Novira, N. 2004. Zonasi ekologi bentanglahan untuk pemetaan potensi habitat Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur
Tujuan
8
Sultanisah. 2007. Pendekatan Geoekologi untuk kajian penggunaan lahan di sebagian Teluk Palu, Provinsi Sulawesi Tengah Wibowo, B.; Suntoko H.; Kironi, B.; Hamzah I.; Mamay, S. 2008. Analisis probabilitas dan deterministik bahaya vulkanik Muria terhadap PLTN Ula
Pengumpulan data primer kuantitatif, analisis geoekologi, pemetaan dengan ArcView 3,2.
Teluk Palu memiliki 4 satuan geoekologi dengan potensi, permasalahan, dan arahan pengelolaan yang berbedabeda
Mengetahui kelayakan pembangunan PLTN berdasarkan permodelan bahaya gunungapi secara spasial-temporal
Terrain analysis, GIS dynamic modeling, Statistical operation
Bahaya vulkanik Gunungapi Muria secara probabilistik dan deterministik memenuhi aspek keselamatan tapak PLTN sesuai kriteria IAEA
7
Rufaut, C. G.; Craw D. 2010. Geoecology of ecosystem recovery at an inactive coal mine site, New Zealand
Mengidentifikasi dan membandingkan perbedaan faktor geologi yang berpengaruh pada pemulihan ekosistem bekas lahan tambang batubara
Pengambilan data primer (kualitas air tentang kandungan bahan pencemar menggunakan elektrospektrometer, kualitas sampel substrat, serangga dan binatang kecil ditangkap, dan daun diukur kadar pencemarnya dengan ICP-MS)
Substrat geologi dan kadar pencemar mempengaruhi persebaran dan keanekaragaman tanaman dan binatang kecil, sehingga menjadi kunci keberhasilan program penghijauan
8
Dikou, A.; Papapanagioutou, E.; Troumbis, A. 2011. Integrating landscape ecology and geoinformatics to decipher landscape dynamics for regional planning
Menghitung komposisi dan konfigurasi bentanglahan; mengevaluasi faktor fisik dan manusia yang berpengaruh; karakterisasi proses yang menyebabkan perubahan penutup lahan
Analisis foto udara dan GIS untuk mengevaluasi hubungan faktor natural dan aktivitas manusia terhadap lahan
Faktor fisik alami banyak berpengaruh terhadap bentanglahan tetapi seiring dengan peningkatan aktivitas manusia menambah heterogenitas komposisi bentanglahan
5
6
Mengkaji satuan geoekologi di sebagian Teluk Palu berserta potensi, permasalahan lingkungan, dan arahan pengelolaannya
9
1.6 Telaah Pustaka 1.6.1 Geoekosistem Bumi merupakan sebuah ekosistem. Komponen yang ada di bumi saling berinteraksi membentuk geoekosistem. Komponen-komponen tersebut antara lain biosfer, tanah, atmosfer, hidrosfer, toposfer, litosfer, dan keseluruhan alam semesta. Interaksi tersebut menimbulkan hubungan kausal pola keruangan di dalam ekosistem (Huggett, 1995). Diagram hubungan antarkomponen lingkungan ditunjukkan pada Gambar 1.1. Kosmosfer
Atmosfer
Biosfer
Pedosfer
Hidrosfer
Toposfer
Litosfer dan Barisfer Gambar 1.1. Diagram hubungan antarkomponen lingkungan dan pengaruh luar (Huggett, 1995)
Teori mengenai hubungan antarkomponen ekosistem telah banyak dikembangkan oleh para ahli. Jenny (1941) memperkenalkan model persamaan „clorpt‟. Teori ini mendasari studi tentang interaksi dan interdependensi antarkomponen ekosistem. Model matematis persamaan „clorpt‟ adalah sebagai berikut: ..............................................................................1.1 10
Tanah (soil) merupakan fungsi dari iklim (climate), flora dan fauna (organisms), topografi (relief), material induk (parent materials), dan waktu (time) serta faktor lokal (Sartohadi, dkk, 2012). Huggett
(1995)
mengembangkan
teori
baru
tentang
keterkaitan
antarkomponen ekosistem. Teori ini disebut dengan model persamaan „brash‟. Persamaan matematis dari teori ini adalah sebagai berikut: ..................................................................................1.2 Persamaan ini lebih mendeskripsikan hubungan saling kebergantungan antarspera yang ada di bumi. Komponen yang saling berhubungan tersebut antara lain biosfer (b), toposfer (r), atmosfer (a), pedosfer (s), dan hidrosfer (h). Teori ini menunjukkan hubungan ketergantungan yang lebih kompleks dibandingkan dengan persamaan „clorpt‟ di dalam mengkaji ekosistem. 1.6.2 Bentanglahan Bentanglahan merupakan istilah yang memiliki banyak definisi tergantung dari sudut pandang ilmu pengamatnya (Fandeli dan Muhammad, 2009). Bentanglahan merupakan hasil interaksi antara komponen abiotik, biotik dan, kultural. Fenomena yang terjadi di dalam lingkungan tidak lepas dari interaksi ketiga faktor tersebut. Komponen abiotik antara lain berupa iklim, batuan, tanah, air, dan laut (oseanik). Komponen biotik berupa flora dan fauna (keanekaragaman hayati). Komponen kultural berupa manusia dan perilakunya. Komponenkomponen bentanglahan berhubungan saling berkait (interrelationship) dan saling bergantung (interdependency) (Verstappen, 1983). Bentanglahan memiliki fungsifungsi yang melekat di dalamnya. Fungsi bentanglahan adalah interaksi antara elemen-elemen keruangan di dalam bentanglahan seperti aliran energi, material, dan spesies di antara komponen ekosistem (Forman dan Godron, 1986). Faktor pengontrol bentanglahan mengalami perubahan dalam beberapa dekade terakhir. Dahulu komposisi bentanglahan sangat dipengaruhi oleh komponen fisik. Tetapi, dengan bertambahnya populasi dan jaringan jalan mengakibatkan meningkatnya heterogenitas bentanglahan. Bentanglahan di dunia 11
mengalami perubahan yang signifikan akibat pengaruh faktor sosial (ekonomi, teknologi, budaya, demografi, dan sejarah) serta faktor biofisik (misalnya geologi, tanah, dan hidrologi) (Dikou, dkk, 2011). 1.6.3 Ekologi bentanglahan dan geoekologi sebagai pendekatan atau sudut pandang keilmuan Ekologi bentanglahan merupakan studi mengenai struktur, fungsi, dan dinamika pada suatu bentangan heterogen yang mengandung interaksi ekosistem. Ekologi bentanglahan berfokus pada konektivitas dan interaksi antara hutan (vegetasi) dalam bentangan muka bumi dengan pengaruh dari gangguan alami dan manusia terhadap bentanglahan. Karena manusia menjadi salah satu faktor biologi yang dominan, maka ekologi bentanglahan banyak berfokus pada interaksi antara manusia dan komponen biosfer (Forman dan Godron, 1986). Ekologi bentanglahan merupakan suatu konsep yang menghubungkan setiap komponen yang ada di lingkungan baik komponen fisik, hayati, dan manusia. Ekologi bentanglahan menjadi dasar studi lingkungan hidup (Fandeli dan Muhammad, 2009). Ekologi bentanglahan memiliki tiga prinsip utama (Forman dan Godron, 1986): 1. Ruang dan waktu. Ruang bervariasi dari sekian luasan tanah sampai keseluruhan bentangan bumi. Waktu berasosiasi dengan rentang waktu proses yang berlangsung pada bentanglahan. Waktu dapat dalam rentang musiman, tahunan, maupun dekade yang dapat mengakibatkan perubahan kodisi bentanglahan. 2. Heterogenitas. Heterogenitas atau diversitas artinya terdapat variasi dari sisi ekologi dan bentanglahan itu sendiri. Diversitas dari sisi ekologi antara lain spesies tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme. Konsep diversitas berbeda bergantung skala. Semakin sempit luasan bentanglahannya maka semakin detail. 3. Konektivitas.
Konektivitas
antara
komponen-komponen
dalam
bentanglahan dan konektivitas antarbentanglahan. 12
Geoekologi merupakan kajian tentang struktur dan fungsi geoekosistem. Geoekosistem merupakan kesatuan sistem ekologi yang terdiri atas komponen bentanglahan dan proses-proses yang ada di dalamnya (Huggett, 1995). Pendekatan
geoekologi
menekankan
pada
bentanglahan
alami
maupun
bentanglahan yang telah terpengaruh oleh aktivitas manusia. Studi geoekologi dapat digunakan untuk identifikasi potensi dan risiko bentanglahan (Duray dan Hegedus 2005). 1.6.4 Karakteristik bentanglahan vulkanik Vulkanisme merupakan proses alam yang banyak menimbulkan perbedaan relief di muka Bumi. Aktivitas vulkanik baik berupa letusan gunungapi maupun intrusi magma telah banyak merubah konfigurasi bentanglahan bumi menjadi timbulan maupun depresi (Thornbury, 1969). Lokasi vulkanisme berasosiasi dengan zona subduksi lempeng tektonik dan hotspot. Aktivitas vulkanik terjadi pada sepanjang subduksi lempeng, sepanjang pusat pemekaran dasar samudra, dan titik hotspot yang ada di tengah lempeng benua atau samudra (Christopherson, 2012). Karakteristik bentanglahan vulkanik sangat dipengaruhi tipe dan fase aktif gunungapi. Fase aktif dan dorman gunungapi menentukan proses yang berlangsung pada bentanglahan vulkanik. Fase aktif merupakan fase konstruktif. Fase dorman dan mati merupakan fase dekstruktif. Fase dekstruktif dikontrol oleh faktor iklim sehingga terbentuk bentukan-bentukan erosional (Verstappen, 2013). Bentuklahan-bentuklahan yang terdapat dalam bentanglahan vulkanik antara lain puncak gunungapi, lereng gunungapi, kaldera, medan lava, medan lahar, lembah gunungapi (barranco), dan dataran fluviovulkanik. 1.6.5 Karakteristik bentanglahan marin Kawasan kepesisiran merupakan kawasan yang memiliki banyak potensi. Secara ekologi, kawasan estuari yang merupakan bagian dari kawasan kepesisiran memiliki tingkat biodiversitas tinggi. Biodiversitas kawasan estuari mencakup hampir sepertiga spesies hewan dan tumbuhan di dunia (Dahuri, 1998). Pesisir terbentuk dari tenaga yang berasal dari daratan dan lautan. Proses yang 13
berlangsung di pesisir diakibatkan oleh angin, gelombang, arus, pasang-surut, dan perubahan muka air laut. Proses-proses tersebut secara umum membentuk bentuklahan erosional dan deposisional (Bird, 2008; Christopherson, 2012; Sunarto, dkk, 2014). Proses-proses yang berkembang di bentanglahan marin mengakibatkan bentukan erosional dan deposisional. Shepard (1976) mengelompokkan pesisir berdasarkan tipologinya. Tipologi pesisir menurut Shepard (Bennasai, 2006, dalam Khakhim, dkk, 2014) antara lain: 1. Vulcanic coast, merupakan pesisir yang terbentuk oleh proses vulkanik di tengah laut, misalnya pesisir aliran lava, tephra coasts dan pesisir akibat letusan gunungapi. 2. Sub-aerial deposition coast, merupakan pesisir yang dikontrol oleh proses dari daratan. Proses yang dominan adalah deposisi material yang dibawa aliran sungai hingga mengakibatkan garis pantai maju. 3. Marine deposition coast, merupakan pesisir yang terbentuk dari deposisi material dari laut yang dibawa oleh aktivitas laut seperti gelombang dan arus. 4. Land erosion coast, merupakan bentuklahan pesisir yang berkembang di bawah pengaruh erosi lahan-lahan bawah di daratan yang diikuti oleh proses inundasi oleh laut. 5. Structurally shaped coast, merupakan pesisir yang terbentuk oleh proses struktural, pelipatan atau intrusi batuan sedimen. 6. Ice coast, merupakan pesisir yang terbentuk dari aktivitas es, seperti gletser dan longsoran es. 7. Wave erosion coast, merupakan bentukan erosional yang dibentuk oleh aktivitas gelombang. Gelombang yang kuat mengakibatkan erosi pantai, sehingga garis pantai menjadi mundur. 8. Coastal built by organism, merupakan pesisir yang terbentuk akibat aktivitas hewan maupun tumbuhan, misalnya terumbu karang, mangrove, dan rumput-rumput rawa.
14
1.6.6 Karakteristik bentanglahan fluvial Bentanglahan
fluvial
adalah
bentangan
permukaan
bumi
yang
diakibatkan dan dikontrol oleh proses-proses aliran sungai. Bentanglahan fluvial dapat dibagi menjadi 3 segmen utama berdasarkan proses geomorfik yang dominan. Daerah hulu sebagai zona erosi, daerah tengah sebagai zona transportasi, dan daerah hilir sebagai zona deposisi material (Verstappen, 1983). Bentanglahan fluvial selalu berasosiasi dengan alur sungai dan daerah aliran sungai (watershed). Daerah aliran sungai merupakan suatu bentanglahan yang berupa cekungan dan dibatasi oleh igir-igir topografi, menampung dan mengalirkan air hujan melalui sungai atau anak-anak sungai serta keluar melalui outlet tunggal di laut atau danau (Linsley, 1980, dalam Susetyaningsih, 2012). Proses fluvial mengerosi bagian yang tinggi, sehingga mengakibatkan degradasi timbulan. Material hasil erosi kemudian dibawa menuju daerah yang lebih rendah. Material kemudian diendapkan pada daerah yang rendah, sehingga mengakibatkan agradasi cekungan. Proses ini berlangsung terus sampai tercapai equilibrium static berupa bentukan dataran nyaris (peneplain). 1.6.7 Hubungan antara iklim, relief, bentuklahan dan vegetasi Permukaan bumi dapat disederhanakan dari dua hal, yaitu bentuklahan dan penutup lahan. Vegetasi sebagai penutup lahan dan bentuklahan merupakan parameter bentanglahan yang paling mudah diamati (Verstappen, 1983). Topografi
memberikan
pengaruh
besar
terhadap
pola
dan
persebaran
bentanglahan dan vegetasi. Topografi terbukti menjadi salah satu faktor penentu pada ekologi tumbuhan (Dorner, dkk, 2002). Relief suatu wilayah menentukan kondisi iklim mikro wilayah. Perubahan ketinggian tempat berpengaruh pada parameter-parameter iklim di wilayah tersebut. Parameter iklim berpengaruh terhadap bentuklahan dan pola distribusi vegetasi. Parameter iklim yang berpengaruh antara lain curah hujan, kelembaban, temperatur, arah dan intensitas penyinaran Matahari. Relief menentukan kondisi iklim mikro tertentu, sehingga terbentuk zona-zona spesies tumbuhan yang dapat beradaptasi pada keadaan tersebut (Verstappen, 1983). 15
Persebaran dan zonasi tanaman banyak dipengaruhi oleh faktor abiotik. Faktor abiotik mengakibatkan terbentuknya zona kehidupan (life zone). Zona kehidupan tanaman berbeda menurut topografi dan letak lintang. Distribusi karakteristik ekosistem seiring bertambahnya elevasi sama dengan pergeseran ekosistem kearah kutub. Perubahan iklim global mengakibatkan perubahan faktor abiotik, sehingga terjadi pergeseran zona kehidupan tanaman menuju topografi yang lebih tinggi. Pergeseran ini untuk menyesuaikan faktor-faktor iklim yang sesuai dengan syarat hidup tanaman (Christopherson, 2012). Distribusi dan kelimpahan vegetasi pada perbukitan kompleks (catena) bergantung pada bentuk dan sudut perbukitan. Faktor topografi dan relief berperan penting pada distribusi dan diversitas spesies vegetasi (Mohammadi dkk, 2014) . 1.6.8 Pengelolaan sumberdaya alam berbasis konservasi lingkungan Pemanfaatan lahan oleh manusia didasarkan atas produktivitas lahan untuk penggunaan-penggunaan tertentu (Fandeli dan Muhammad, 2009). Penggunaan lahan merupakan bentuk-bentuk pengubahan bentanglahan oleh manusia.
Penelitian
mengenai
bentanglahan
berupaya
untuk
dapat
menyeimbangkan antara kelestarian lingkungan dan pemenuhan kebutuhan manusia, sehingga terwujud pembangunan berkelanjutan (Duray dan Hegedus 2005). Perubahan bentanglahan menuntut flora, fauna, dan manusia untuk beradaptasi. Setiap organisme memiliki batasan yang berbeda dalam beradaptasi dan migrasi terhadap perubahan penggunaan lahan (Burgi, dkk, 2005). Setiap spesies memiliki kisaran toleransi hidup terhadap kondisi abiotik tertentu. Kisaran toleransi ini dapat meluas atau menyempit tergantung kondisi lingkungan abiotik dan kemampuan adaptasinya. Kebutuhan akan faktor abiotik yang sama mengakibatkan
terjadinya
kompetisi
antarspesies
dalam
memanfaatkan
lingkungan (Sambas, dkk, 2011). Sumberdaya alam dapat digolongkan menjadi sumberdaya alam yang dapat diperbarui dan tidak dapat diperbarui. Pemanfaatan sumberdaya alam secara besar-besaran (deplesi) dapat mengakibatkan sumberdaya tersebut habis atau 16
membutuhkan
regenerasi
dalam
waktu
lama.
Sumberdaya
alam
perlu
dikonservasi. Konservasi merupakan upaya pemanfaatan sumberdaya alam seoptimal mungkin untuk waktu selama mungkin. Konservasi juga dapat diartikan sebagai langkah-langkah pengembangan dan proteksi sumberdaya alam (Suparmoko, 1989). Pembangunan yang baik adalah pembangunan yang dapat menjamin keberlangsungan dan kelestarian lingkungan. Jenis pembangunan tersebut sering diistilahkan sebagai pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Definisi pembangunan berkelanjutan menurut WCED (1978 dalam Wu, 2013) adalah “Sustainable development is define as development that meet the needs of the present without comprosing the ability of future generations to meet their own needs”.
Definisi ini kemudian dikembangkan lagi menjadi: “Sustainable development is a process of change in which the exploitation of resources, the direction of investments, the orientation of technological development; and institutional change are all in harmony and enhance both current and future potential to meet human needs and aspirations”.
Pembangunan berkelanjutan tidak hanya mengutamakan pemenuhan kebutuhan saat ini tetapi juga di masa mendatang. Dimensi di dalam pembangunan berkelanjutan antara lain faktor fisik, ekonomi, dan sosial (Hardjosoemantri, 2000). 1.7 Kerangka Pemikiran Bumi merupakan sebuah ekosistem yang besar. Bumi menjadi tempat interaksi antarkomponen yang ada di dalamnya. Kerusakan atau gangguan pada salah satu komponen dapat mengganggu komponen lain dan sistem tersebut. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode yang dapat mengintegrasikan komponenkomponen tersebut. Geoekologi merupakan salah satu metode yang dapat menghubungkan dan mengetahui keberkaitan antarkomponen ekosistem Bumi. Bentanglahan
17
dipandang sebagai wadah dan berperan penting terhadap setiap proses yang berlangung diatasnya. Bentanglahan tersusun atas bentuklahan-bentuklahan yang memiliki kesamaan proses pembentukan. Wilayah kajian dibagi menjadi satuansatuan geoekologi berdasarkan bentuklahan serta karakteristik flora, fauna, dan hasil budaya manusia. Setiap satuan geoekologi dapat diidentifikasi dan dianalisis karakteristik serta proses-proses yang berlangsung diatasnya. Karakteristik satuan geoekologi dapat menentukan potensi dan disturbansi/ancaman, sehingga bisa digunakan untuk menyusun upaya pengelolaan sumberdaya. Analisis geoekologi memerlukan data faktor-faktor abiotik, biotik, dan kultur. Komponen abiotik meliputi geologi (batuan), tanah, iklim, topografi, hidrologi (air), dan oseanologi. Data disesuaikan dengan bentanglahan yang ada di daerah kajian. Semenanjung Muria bagian utara memiliki tiga bentanglahan utama, yaitu bentanglahan vulkanik, marin, dan fluvial. Data-data komponen abiotik tersebut kemudian diolah untuk membatasi unit-unit bentuklahan. Unit bentuklahan merupakan unit keruangan yang akan dipakai pada analisis geoekologi. Komponen abiotik dapat dibedakan menjadi flora dan fauna. Data flora dan fauna yang digunakan merupakan data flora/fauna asli. Flora dan fauna asli menunjukkan karakteristik ekosistem asli bentanglahan tersebut. Komponen kultur berupa pengaruh aktivitas manusia seperti pemanfaatan lahan, upaya konservasi, dan bentuk-bentuk pengaruh aktivitas manusia yang lain. Data flora, fauna, dan pengaruh aktivitas manusia menghasilkan deskripsi ekologi daerah kajian. Bentuklahan
dan
ekologi
dilakukan
untuk
menentukan
satuan
geoekologi. Satuan geoekologi ditentukan berdasarkan satuan bentuklahan dan flora asli di bentuklahan tersebut. Setiap satuan geoekologi memiliki karakteristik yang khas dan dapat dibedakan dengan yang lain. Setiap satuan geoekologi dianalisis karakteristik dan dinamika prosesnya. Data karakteristik dan dinamika proses dapat disajikan dalam bentuk matriks potensi agar lebih sistematis dan mudah diperbandingkan. Matriks potensi menjadi dasar untuk menentukan 18
potensi sumberdaya dan disturbansi/ancaman di setiap satuan geoekologi. Rumusan upaya pengelolaan dibuat untuk mengoptimalkan potensi sumberdaya, mengatasi permasalahan, dan menjaga kelestarian ekosistem di setiap satuan geoekologi. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat disederhanakan dengan diagram pada Gambar 2.1.
Geoekosistem
Abiotik: Geologi (batuan), Tanah, Iklim, Topografi, Hidrologi (air), Oseanologi
Biotik: Flora, Fauna
Kultur: Pengaruh aktivitas manusia Ekologi
Bentanglahan Geoekologi
Bentuklahan
Satuan Geoekologi
Proses-proses di tiap satuan geoekologi
Karakteristik tiap satuan geoekologi Potensi sumberdaya di tiap satuan geoekologi
Ancaman/disturbansi di tiap satuan geoekologi
Upaya pengelolaan
Gambar 1.2 Diagram Kerangka Pemikiran
19