BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Tanaman dapat memenuhi siklus hidupnya dengan menggunakan unsur hara. Fungsi hara tanaman tidak dapat digantikan oleh unsur lain dan apabila tidak terdapat suatu hara tanaman, maka kegiatan metabolisme akan terganggu atau akan berhenti sama sekali. Paling sedikit enam belas unsur yang dianggap perlu untuk pertumbuhan tanaman berpembuluh (Foth, 1994). Karbon, hidrogen, dan oksigen yang digunakan dalam reaksi fotosintesis, diperoleh dari udara dan air. Unsur-unsur ini menyusun 90 persen atau lebih bahan kering, tiga belas unsur lainnya sebagian besar diperoleh dari tanah. Nitrogen (N), posfor (P), kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg), dan sulfur (S) diperlukan dalam jumlah besar dan disebut unsur-unsur makro atau mayor. Hara yang diperlukan dalam jumlah cukup kecil disebut unsur mikro atau perunut (trace elements) meliputi besi (Fe), mangan (Mn), boron (B), seng (Zn), tembaga (Cu), molibdenum (Mo), dan khlor (Cl) (Foth, 1994). Tanah gambut cukup potensial untuk dijadikan lahan pertanian mengingat arealnya yang masih tersedia cukup luas yang tersebar di seluruh Indonesia. Menurut Agus dan Subiksa (2008), Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis yaitu sekitar 21 juta ha. Pada kondisi alami, tanaman pertanian umumnya sulit tumbuh di tanah gambut. Salah satu faktor penghambat budidaya tanaman di tanah gambut adalah rendahnya ketersediaan unsur hara mikro. Rendahnya kandungan unsur hara mikro pada tanah gambut disebabkan karena unsur hara mikro berasal dari tanah mineral sementara tanah gambut adalah tanah organik. Kandungan bahan organik yang tinggi pada tanah gambut juga menyebabkan rendahnya ketersediaan hara mikro karena dekomposisi bahan organik pada keadaan anaerob pada tanah gambut menghasilkan asam-asam organik yang menyebabkan hara mikro membentuk senyawa kompleks dengan asam organik dan tidak mudah tersedia bagi tanaman.
Unsur Fe merupakan mikronutrisi yang memiliki peranan penting bagi tanaman. Unsur Fe terlibat dalam proses fotosintesis, respirasi mitokondria, asimilasi nitrogen, biosintesis hormon, osmoproteksi, dan pertahanan terhadap patogen (Hansch dan Mendel, 2009). Unsur Fe merupakan unsur yang jumlahnya melimpah di permukaan bumi, namun tidak semua Fe tersebut dapat terlarut dalam air. Unsur Fe di dalam tanah ditemukan dalam bentuk Fe oksida (geotit, hematit, ferrihidrit) yang memiliki nilai Ksp sangat rendah 10-37-10-44 (Schwertmann, 1991). Tanaman membutuhkan Fe sebanyak 10-8-10-4 M, namun Fe yang dapat terlarut hanya 10-17 M (Mori, 1999). Jumlah Fe yang tidak cukup tersedia bagi tanaman dapat menyebabkan kekurangan besi yang disebut klorosis besi. Telah banyak metode yang digunakan dalam rangka mencegah dan mengatasi terjadinya klorosis besi pada tanaman seperti pemupukan langsung pada akar tanaman menggunakan pupuk garam Fe seperti FeSO4, menyemprotkan langsung larutan pupuk pada daun, maupun menambahkan pengkelat di dekat akar tanaman yang bertujuan untuk mengikat Fe dari dalam tanah. Namun ketiga metode pemupukan tersebut memiliki kelemahan. Pemanfaatkan pemupukan langsung pada akar dengan menggunakan garam terlarut seperti FeSO4 sebagai pupuk mikronutrisi menyebabkan masalah serius terhadap lingkungan seperti polusi air dan pencucian nutrisi oleh air. Pupuk yang baik seharusnya tahan lama, mampu meningkatkan kesuburan tanah melalui penggunaan yang berulang-ulang, dapat melepaskan nurtisi sebanyak yang diperlukan tanaman, menghilangkan polusi dan mengurangi ketidakefisienan penggunaan pupuk. Pemanfaatan FeSO4 ternyata memiliki kelemahan diantaranya kelarutan di dalam air yang tinggi, sehingga efisiensinya rendah. Metode pemupukan dengan menyemprotkan langsung larutan pupuk pada tanaman juga memiliki kendala karena daun memiliki lapisan kutikula (lapisan lilin) yang dapat menghambat teradsorbnya Fe ke dalam sistem tanaman. Selain itu unsur juga akan sangat mudah tercuci oleh air hujan. Sedangkan pemberian pengkelat Fe pada tanah jarang dilakukan para petani karena memiliki harga yang relatif mahal dan juga jumlah pengkelat yang digunakan harus dalam jumlah banyak.
Pupuk yang baik yaitu pupuk yang kelarutan ion nutrisinya dikontrol oleh akar tanaman. Salah satu aktivitas akar tanaman yaitu melakukan sekresi asam-asam organik yang dapat membentuk kelasi dengan ion logam di dalam tanah serta menjamin ketersediaan ion nutrisi bagi akar tanaman (Chandra et al., 2009). Ketersediaan ion nutrisi dapat diuji dan dilihat kelarutannya di dalam asam organik. Bhattacharya et al. (2007) menyatakan bahwa ion nutrisi pada pupuk diharapkan memiliki kelarutan yang rendah dalam air, tetapi mampu menjamin ketersediaannya bagi tanaman melalui kelarutan yang tinggi dalam asam organik, seperti asam sitrat dan oksalat. Pupuk jenis ini dikenal sebagai “slow release fertilizer (SRF)”. Beberapa peneliti telah melakukan sintesis SRF di antaranya yaitu mikronutrisi Zn (Ray et al., 1993), Cu (Ray et al., 1997), kombinasi Fe-Mn (Bhattacharya et al., 2007), dan Fe (Chandra et al., 2009). Pupuk lepas lambat tersebut menggunakan kerangka polifosfat untuk mengikat kation. Sedangkan Singh et al. (2004) telah melakukan sintesis pupuk lepas lambat Fe yang terlapisi resin poliolefin. Selain itu, Bansiwal et al. (2006) juga telah mengembangkan SMZ (Surfactant Modified Zeolite) untuk lepas lambat posfor. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa SRF atau pupuk lepas lambat mampu menyediakan nutrisi bagi tanaman dengan waktu penyediaan yang lebih lama dibandingkan pupuk konvensional karena pelepasan nutrisi dari pupuk lepas lambat yang bersifat terkontrol. Kitosan merupakan senyawa hasil deasetilasi kitin, terdiri dari unit N-asetil glukosamin
dan
N-glukosamin.
Kitosan
juga
merupakan
polimer
yang
kelimpahannya kedua terbanyak di alam setelah selulosa. Adanya gugus reaktif –NH2 dan gugus -OH pada kitosan bermanfaat dalam aplikasinya yang luas. Pemanfaatan kitosan dalam mengendalikan pupuk lepas lambat mikronutrisi memang belum pernah dikembangkan. Namun, kitosan banyak digunakan sebagai matriks pembentukan hidroksida dan oksida Fe karena adanya gugus aktif –NH2 dan –OH dalam rantai polimernya (Janardhanam et al., 2008; Wang et al., 2009; Thao et al., 2013). Keberadaan gugus aktif –NH2 dan –OH serta kemampuan rantai kitosan
tersebut memungkinkan pemanfaatan kitosan sebagai material pengemban (support material) dalam pupuk lepas lambat mikronutrisi. Kitosan merupakan polimer yang memiliki stabilitas rendah di dalam asam. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu material yang dapat meningkatkan kestabilan kitosan di dalam asam. Material yang dimungkinkan sesuai adalah zeolit. Zeolit memiliki sifat kristalinitas yang tinggi, sehingga memiliki struktur yang teratur dan lebih stabil dalam asam lemah seperti asam sitrat dan asam oksalat. Zeolit merupakan material alumino silikat yang memiliki kapasitas pertukaran kation yang tinggi (Mumpton, 1999). Dwairi (1998) telah menunjukkan kemampuan zeolit sebagai pupuk lepas lambat NH4+.
Hasil penelitian ini
memberikan kemungkinan pemanfaatan zeolit sebagai material pengemban dalam pupuk lepas lambat mikronutrisi. Valdes et al. (2006) menyatakan bahwa ion mikronutrisi dapat disimpan dalam kerangka zeolit melalui pertukaran kation, dengan menggantikan posisi kation tukar dalam zeolit. Beberapa peneliti telah mengkaji pemanfaatan zeolit sebagai material yang dapat menyimpan dan melepaskan mikronutrisi yaitu, Sheta et al. (2003) yang mengkaji mikronutrisi Zn dan Fe pada zeolit dan bentonit serta Iskander et al. (2011) yang mengkaji mikronutrisi Zn dan Mn pada zeolit dan bentonit. Modifikasi zeolit juga dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan jumlah mikronutrisi yang terikat pada zeolit serta pelepasannya. Salah satu modifikasi dilakukan melalui aktivasi kimia dari zeolit menggunakan natrium hidroksida (NaOH) yang mampu membuat kerangka zeolit menjadi lebih negatif (Groen et al., 2007). Zeolit teraktivasi NaOH diharapkan mampu mengikat Fe lebih banyak dibandingkan zeolit tanpa aktivasi. Pencampuran gel kitosan, zeolit dan larutan Fe diharapkan dapat menghasilkan komposit yang bersifat lepas lambat Fe. Kitosan dapat mengikat Fe melalui ikatan koordinasi dengan gugus aktif kitosan –NH2 dan –OH. Dalam komposit, Fe diidentifikasikan berada dalam kitosan dan zeolit sebagai kitosan-Fe dan zeolit-Fe. Perbedaan interaksi antara Fe di dalam matriks kitosan dan zeolit
memungkinkan terjadinya perbedaan sifat pelepasan Fe dari kitosan-Fe dan zeolit-Fe. Dengan demikian, kitosan dan zeolit dapat digunakan untuk mengendalikan pelepasan Fe dari komposit. Selain itu, Thomas et al. (2009) menyatakan bahwa ion Fe(II) dalam bentuk bebas diusahakan agar tidak terlalu banyak, hal ini disebabkan jumlah Fe(II) yang terlalu banyak dapat bersifat racun. Dalam mitokondria tanaman, Fe(II) dengan H2O2 dapat menyebabkan terjadinya reaksi fenton yang dapat menghasilkan hidroksil radikal. Hidroksil radikal ini sangat berbahaya dalam proses respirasi mitokondria pada tanaman karena dapat mengikat seluruh elektron, sehingga mitokondria tidak dapat mensintesis Adenosine Triphosphate (ATP). Untuk mencegah hal tersebut, maka Fe dibuat dalam bentuk kelat. Berdasarkan latar belakang tersebut maka pada penelitian ini akan dibuat komposit Fe-kitosan-zeolit berbahan dasar zeolit alam dan kitosan. Aktivasi basa zeolit menggunakan NaOH diharapkan mampu meningkatkan jumlah Fe yang dapat diikat oleh komposit dan menghasilkan komposit dengan sifat lepas lambat yang baik. 1.2 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mempelajari pengaruh aktivasi basa pada zeolit terhadap jumlah Fe yang terikat. 2. Mempelajari sifat lepas lambat Fe pada komposit kitosan-zeolit-Fe. 3. Mempelajari pembentukan komposit kitosan-zeolit-Fe 1.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi baru mengenai pemanfaatan zeolit dan kitosan sebagai material komposit dengan sifat lepas lambat Fe.