BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Manusia merupakan makhluk visual. Pendapat ini muncul seiring dengan dimulainya gerakan untuk melakukan simulasi visual guna menilai baik buruknya keputusan terhadap suatu wilayah pada abad ke-14 di Italia yang selanjutnya memunculkan pemikiran bahwa lanskap bukan hanya sebagai keindahan dekoratif tetapi juga menjadi sumber kesenangan dan kepuasan manusia. Hal ini yang akhirnya memunculkan istilah “Landscape Beauty” (Smardon, Palmer, Felleman, 1985). Pada perkembangan di abad ini, pendapat ini semakin diperkuat dengan disusun dan disahkannya peraturan mengenai perlindungan lingkungan (National Environmental Policy Act/NEPA) pada akhir tahun 1969 di Amerika Serikat sebagai upaya untuk melindungi keindahan visual lanskap di wilayah barat Amerika Serikat seiring dengan adanya rencana pembangunan jalur transportasi untuk mengatasi masalah aksesibilitas wilayah barat dengan wilayah lainnya. Oleh karena itu, penilaian visual lanskap menjadi salah satu komponen pokok yang harus ada dalam penilaian dampak lingkungan (Environmental Impact Assessment/EIA) yang merupakan tindak lanjut dari pelaksanaan NEPA. EIA, dimana lanskap dan penilaian visual menjadi komponen pokok, selanjutnya diaplikasikan di berbagai negara di dunia sejak 1970 sebagai salah satu instrumen dalam manajemen lingkungan (The Landscape Institute and Institute of Environmental Management and Assessment, 2002) Di Indonesia, EIA diterjemahkan dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Seperti negara lainnya, perumusan peraturan ini juga didasarkan pada rumusan peraturan penilaian dampak lingkungan secara internasional. Komponen – komponen penilaiannya pun disesuaikan dengan kondisi yang terjadi di Indonesia seperti penilaian kualitas air, udara, kesehatan,
dan komponen penilaian lainnya seperti sosial dan budaya masyarakat di sekitar lokasi pembangunan. Tetapi, sangat disayangkan salah satu komponen pokok dan mendasar pada penilaian dampak lingkungan internasional yaitu komponen visual lanskap tidak terdapat dalam peraturan AMDAL di Indonesia. Padahal, Indonesia merupakan negara yang terkenal akan keindahan alamnya yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Pertimbangan visual lanskap seharusnya menjadi salah satu prioritas utama dalam penilaian dampak lingkungan di Indonesia. Visual kawasan akan terasa dalam jangka pendek bahkan ketika proses pembangunan itu sedang berlangsung. Pengunjung atau masyarakat yang baru berkunjung ke lokasi pembangunan misalnya, dapat secara langsung menilai jika terjadi gangguan visual dalam pelaksanaan pembangunan di suatu lokasi berdasarkan pada apa yang mereka lihat saat itu. Sebaliknya, mereka mungkin tidak akan terlalu merasakan adanya perubahan kondisi udara, menurunnya kualitas air, atau berubahnya pola kehidupan masyarakat ketika datang atau berdiam di sekitar lokasi pembangunan dalam waktu singkat. Hal ini berlaku terutama untuk kawasan – kawasan yang menjadi obyek kunjungan wisata. Oleh karena itu, penilaian visual seharusnya menjadi salah satu komponen penilaian utama mengenai adanya gangguan atau pengaruh suatu pembangunan terhadap lingkungan sekitarnya karena dampak visual merupakan dampak yang akan dirasakan secara jelas, langsung, dan dimengerti dalam waktu yang singkat oleh manusia di sekitarnya. Bukan tidak mungkin jika pada akhirnya terjadi penurunan kualitas visual lanskap Indonesia yang selama ini menjadi nilai jual yang tinggi bagi Indonesia. Seperti halnya yang terjadi di Taman Nasional Baluran. Taman nasional ini menjadi taman nasional yang digemari oleh wisatawan karena selain merupakan kawasan konservasi fauna langka, taman nasional ini juga menawarkan keindahan lanskap yang berbeda dari taman nasional lainnya di Indonesia. Lanskap yang lengkap dari gunung, dataran, hingga pantai serta adanya padang sabana di musim kemarau menjadi keunikan tersendiri bagi taman nasional yang terletak di ujung timur Pulau Jawa ini. Namun, hal tersebut mulai terusik akibat adanya rencana pembangunan jaringan listrik Jawa-Bali yang akan 2
melalui kawasan bagian barat Taman Nasional Baluran. Jaringan listrik ini berupa Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) dengan tegangan 500 kV. Padahal sebelumnya, telah dibangun jaringan listrik dengan tegangan 150 kV di kawasan yang sama dan dirasa cukup mengganggu keindahan visual ke arah Gunung Baluran dari sisi Karangtekok. Artinya, tegangan yang lebih besar ini akan memiliki menara dengan dimensi yang lebih besar dari sebelumnya dan berpotensi meningkatkan gangguan visual lanskap Taman Nasional Baluran yang menjadi daya tarik taman nasional ini. Terlebih lagi, dalam draft dokumen AMDAL yang diajukan oleh PLN selaku penanggung jawab proyek kepada Asean Development Bank (ADB) pada tahun 2012, komponen visual mendapat porsi yang sangat kecil di bagian tahapan konstruksi. Padahal dampak visual tidak hanya terjadi pada masa konstruksi tetapi akan lebih berdampak setelah pembangunan selesai dan dioperasikan. Sehingga, diperlukan suatu konsep yang dapat menilai dampak visual yang akan terjadi akibat pembangunan jaringan listrik ini. Visual Impact Assessment (VIA) merupakan turunan dari penilaian dampak lingkungan yang digunakan dalam menilai komponen visual lanskap. VIA diterjemahkan dalam berbagai konsep di berbagai negara di dunia. Salah satu konsep penilaian yang telah berhasil selama ini adalah Visual Resource Management (VRM). VRM merupakan metode yang digunakan oleh Bureau of Land Management (BLM), sebuah departemen pemerintah Amerika Serikat yang berfungsi mengatur dan mengawasi proses pembangunan yang dilakukan di lahan – lahan milik negara termasuk kawasan - kawasan konservasi di Amerika Serikat. Dibandingkan dengan metode penilaian negara lainnya, VRM telah memiliki standar baku tersendiri dengan kriteria yang telah ditetapkan sehingga semua perusahaan yang akan melakukan penilaian visual di kawasan – kawasan publik akan mengacu pada dokumen arahan penilaian ini. VRM juga terbukti telah memberikan dampak yang signifikan dalam perlindungan lanskap di Amerika Serikat. Kawasan-kawasan konservasi seperti taman nasional menjadi lebih terarah pengembangannya, sehingga tidak perlu merasa terancam akan kelestariannya. Bahkan melalui VRM, kualitas visual dan kualitas lingkungan 3
tetap terjaga meskipun dilakukan proyek pembangunan jaringan energi terbarukan yang membentang melalui beberapa kawasan konservasi dan lahan publik di Amerika Barat (United States Department of Interior, 2013). Selain itu, hasil penilaian VRM akan menjadi pertimbangan awal mengenai kelanjutan suatu rencana apakah diizinkan atau harus didiskusikan ulang. Faktanya, dengan absennya salah satu komponen dasar dalam penilaian kelayakan suatu rencana pembangunan, degradasi hutan (mencakup kawasan konservasi) rata-rata tahun 2000-2011 di Indonesia berada pada angka 0.51, jauh lebih besar dibandingkan dengan Amerika Serikat yang bahkan dapat menambah jumlah hutannya dengan angka degradasi -0.13 (Bank Dunia, 2015). Padahal jika dibandingkan, Indonesia dan Amerika Serikat memiliki persentase kawasan konservasi yang tidak jauh berbeda dimana pada tahun 2012, Indonesia memiliki kawasan konservasi sebesar 14.7% dari total wilayah dan bahkan lebih luas dibandingkan dengan Amerika Serikat yang memiliki kawasan konservasi sebesar 13.8% dari total wilayahnya, sedangkan tingkat konsumsi energi listrik per kapita pada tahun 2011 berada posisi sebaliknya dimana konsumsi energi listrik Indonesia berada pada angka 680 kwh per kapita sedangkan Amerika Serikat memiliki konsumsi energi yang jauh lebih besar yaitu 13.246 kwh per kapita (Bank Dunia, 2015). Hal ini berarti dengan tingginya jumlah penggunaan listrik, pemerintah Amerika Serikat harus membangun lebih banyak infrastruktur energi untuk memenuhi permintaan. Pembangunan infrastruktur tersebut tentunya akan memanfaatkan lahan – lahan publik dan kawasan konservasi dalam pembangunan jaringannya, namun dengan fakta tersebut nyatanya kondisi kawasan konservasi tetap terjaga dengan baik. Dalam hal ini, jika dihubungkan dengan kasus yang terjadi di Taman Nasional Baluran, idealnya konsep VRM yang diterapkan pemerintah Amerika Serikat dapat menjadi solusi dalam penanganan rencana pembangunan jaringan SUTET tersebut sehingga ada penataan lebih lanjut yang dapat mengatasi kekhawatiran akan adanya gangguan visual yang lebih besar pada visual lanskap Taman Nasional Baluran. Hal ini tentunya menjadi salah satu pertimbangan untuk mencoba mengimplementasikan metode yang telah dilakukan dan berhasil di Amerika Serikat tersebut yang menempatkan penilaian kualitas 4
visual lanskapnya sebagai tahapan awal dan paling krusial dari keseluruhan penilaian kelayakan suatu rencana. Sehingga, pembangunan infrastruktur publik dapat dilakukan tanpa mengganggu kondisi visual lanskap suatu kawasan. 1.2 Permasalahan di Lokasi Perencanaan Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, komponen penilaian visual lanskap seharusnya menjadi salah satu komponen penilaian yang ada dalam penilaian kelayakan rencana pembangunan di Indonesia sehingga kekhawatiran akan rusaknya potensi visual di Taman Nasional Baluran dapat diminimalkan. Berdasarkan berbagai masalah tersebut dan hasil temuan awal di lapangan, penulis menemukan beberapa permasalahan, yaitu: a. Kurangnya pemahaman sebagai tindakan preventif dalam perlindungan visual kawasan Kurangnya pemahaman akan perlindungan sumber daya visual masih menjadi masalah yang cukup serius di Indonesia termasuk pada tataran pembuat kebijakan. Padahal, Indonesia sangat terkenal dengan keindahan visualnya yang jika dibiarkan akan menjadi sangat rentan untuk dirusak. Seperti halnya yang cukup menjadi perhatian adalah bagaimana tatanan pembuatan papan reklame yang akhirnya mempunyai andil dalam rusaknya sumber daya visual di kawasan perkotaan yang sering dikenal dengan istilah sampah visual atau bagaimana berdirinya bangunan tinggi di jalur imaginer Yogyakarta yang disebut-sebut menghalangi padangan lurus dari Kraton Yogyakarta ke arah Gunung Merapi. Hal ini disebabkan tidak adanya peraturan yang mengawasi mengenai perlindungan sumber daya visual. Sebut saja peraturan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang sering digunakan sebagai acuan dalam uji kelayakan suatu rencana. Peraturan Pemerintah tentang Izin Lingkungan Nomor 27 Tahun 2012 maupun Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 16 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen AMDAL tidak menyebutkan atau mengharuskan adanya analisis ataupun penilaian dampak suatu rencana terhadap visual suatu kawasan. Padahal, pada dokumen EIA yang menjadi salah satu acuan dalam pembuatan peraturan AMDAL, penilaian visual lanskap merupakan suatu
5
komponen pokok dan menjadi salah satu poin penting dalam pemberian izin pelaksanaan suatu rencana. Hal ini juga terjadi pada Taman Nasional Baluran dimana sumber daya visual yang dimiliki merupakan aset utama dalam pengembangan kawasan ini dan menjadi salah satu alasan mengapa taman nasional ini terbentuk. Serangkaian pembangunan infrastruktur yang dilakukan di kawasan taman nasional ini menimbulkan adanya gangguan pada visual lanskap, meskipun saat ini belum terlalu disadari dan belum berdampak signifikan. Namun dengan kurangnya pemahaman akan sumber daya visual yang ada, dikhawatirkan rencana pembangunan yang akan datang semakin memberikan dampak negatif pada potensi visual kawasan Taman Nasional Baluran. b. Adanya rencana pembangunan jaringan energi (SUTET) yang melalui Taman Nasional Baluran Menara jaringan listrik bukanlah hal yang baru di Taman Nasional Baluran. Sebelumnya, sejumlah menara jaringan listrik dengan kapasitas 150kV telah dibangun melintasi kawasan taman nasional. Berdasarkan hasil pengamatan awal di lapangan, ada beberapa menara yang tampak mengganggu visual kawasan taman nasional.
Gambar 1. Menara Listrik 150 kV dari arah Gardu Pandang Karangtekok Sumber: Dokumentasi Penulis, 2015
6
Pada tahun 2012, muncul kembali rencana dari PLN untuk membangun menara SUTET yang melintasi Taman Nasional Baluran. Hal ini sebagai upaya dalam memenuhi kebutuhan listrik di Pulau Bali dimana rencananya jaringan energi ini akan membentang dari pembangkit listrik di Paiton menuju Bali melalui Taman Nasional Baluran untuk selanjutnya membentang di atas Selat Bali menuju Pulau Bali. Jumlah menara yang akan dibangun di dalam taman nasional mencapai 49 (empat puluh sembilan) buah. Tentunya, pembangunan ini haruslah dipertimbangkan dengan matang mengingat pada pembangunan sebelumnya, menara listrik 150 kV tersebut telah mengganggu visual lanskap kawasan. Penilaian visual lanskap menjadi hal yang penting agar rencana pembangunan ini tidak menghancurkan kondisi visual lanskap kawasan Taman Nasional Baluran saat ini. 1.3 Tujuan Perencanaan Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dijelaskan, maka tujuan yang ingin dicapai melalui penataan visual rencana pembangunan jaringan listrik (SUTET) di Taman Nasional Baluran melalui Metode Visual Resource Management (VRM) adalah sebagai berikut: a. Melakukan penilaian visual lanskap dengan menerapkan metode Visual Resource Management (VRM) yang sesuai untuk Taman Nasional Baluran b. Menyimulasikan penggunaan VRM dalam rencana pembangunan jaringan listrik di Taman Nasional Baluran c. Merumuskan alternatif mitigasi terhadap gangguan visual akibat rencana pembangunan jaringan listrik di Taman Nasional Baluran 1.4 Ruang Lingkup Perencanaan Ruang
lingkup
perencanaan
meliputi
lokasi
perencanaan,
fokus
perencanaan, dan periode waktu perencanaan yang akan dibahas lebih dalam di bawah ini 1.4.1 Lokasi Penyusunan arahan pengembangan ini mengambil lokasi di Taman Nasional Baluran yang terletak di Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, 7
Provinsi Jawa Timur. Taman nasional ini memiliki beberapa desa penyangga yang berbatasan langsung dengan kawasan taman nasional. Berikut adalah peta lokasi perencanaannya:
Gambar 2. Lokasi Kawasan Taman Nasional Baluran Sumber: Google Earth dengan pengolahan, 2014 Batasan lokasi yang dipilih menggunakan batas fisik Taman Nasional Baluran dengan mengambil lokasi pengambilan gambar di beberapa titik pengamatan. Perencanaan lebih dilakukan di dalam taman nasional yang berbatasan langsung dengan titik-titik rencana yang akan disimulasikan. 1.4.2 Fokus Penyusunan arahan mitigasi Taman Nasional Baluran ini lebih berfokus pada penggunaan metode Visual Resource Management (VRM) yang telah sukses di Amerika Serikat dimana hasilnya adalah berupa arahan pengembangan berdasarkan pada klasifikasi yang diperoleh dari proses VRM. Kegiatan utama yang dilakukan adalah melakukan setiap tahapan dalam VRM terhadap potensi sumber daya visual kawasan sebagai pertimbangan analisis untuk kemudian disimulasikan dengan mengambil kasus rencana pembangunan jaringan listrik (SUTET) di taman nasional dan disusun mitigasinya. Mitigasi ini diarahkan sesuai
8
dengan konsep penataan visual lanskap kawasan dalam beberapa kasus yang berhasil. Pengelompokkan masalah yang muncul berfokus pada masalah visual dan mitigasi difokuskan pada perlindungan lanskap dan lingkungan mengingat fungsi taman nasional sebagai salah satu kawasan konservasi. 1.4.3 Periode waktu Periode waktu perencanaan ini dibagi menjadi dua, yaitu periode pembuatan laporan yang dimulai dengan perumusan masalah, tujuan, metode, pengambilan data, pengolahan data hingga perumusan arahan rencana mitigasi dan penulisan laporan memerlukan waktu 7 (tujuh) bulan dimulai dari Februari 2015 - September 2015. Sedangkan untuk proses implementasi di lapangan (Taman Nasional Baluran) diproyeksikan idealnya dilakukan setiap tahunnya. Namun, jika dinamika perubahan spasial tidak terlalu tinggi, penilaian dapat dilakukan kembali ketika ada rencana yang masuk ke Taman Nasional Baluran. 1.5 Perencanaan dan Penelitian Terkait Untuk membuktikan keaslian perencanaan, berikut penulis sajikan dan bandingkan beberapa penelitian maupun perencanaan yang telah ada sebelumnya: 1. Judul
: Kajian Potensi Atraksi Mamal untuk Pengembangan Ekowisata di Zona Pemanfaatan Taman Nasional Baluran (Sabana Bekol dan Bama)
Penulis
: Chusnul Faridh
Fokus
: Ekowisata Berbasis Satwa Liar (Wildlife Tourism)
Lokus
: Zona Pemanfaatan Taman Nasional Baluran
Keterangan
: Tesis UGM, 2011
Meskipun sama-sama mengambil tema dalam pengembangan Taman Nasional Baluran, tetapi karya tulis ini memiliki fokus yang berbeda. Pada tesis ini, fokus penelitiannya terletak pada pengembangan ekowisata dengan menonjolkan potensi satwa liar khususnya mamal yang ada di taman nasional. Inventarisasi jenis-jenis mamal yang ditemui di sepanjang zona pemanfaatan
9
dilakukan untuk mengetahui titik mana yang memiliki keragaman dan atraksi mamal terbaik. Rencana pengembangan ekowisata dikemas dalam bentuk arahan titik atraksi, aturan kunjungan, dan arahan investasi termasuk menentukan target pasarnya. Sedangkan, pada perencanaan yang akan penulis lakukan berfokus pada kawasan yang terkena rencana pembangunan dengan didasarkan pada potensi keindahan bentang alamnya yang dikemas dalam penataan sumber daya visual (Visual Resource Management/VRM). Sehingga, meskipun memiliki lokus yang sama, tetapi fokus dari perencanaan di Taman Nasional Baluran ini berbeda.
2. Judul
: Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan dan Pengembangan Kawasan Ekowisata Taman Nasional Baluran
Penulis
: Mufti Nafi’atut Darajat
Fokus
: Proses terbentuknya partisipasi masyarakat desa penyangga dalam pengelolaan dan pengembangan ekowisata di Taman Nasional Baluran
Lokus
: Desa Wonorejo, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo (Desa Penyangga Taman Nasional Baluran)
Keterangan
: Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya, 2014
Penelitian di atas mengambil lokasi yang hampir sama dengan perencanaan yang akan dilakukan penulis yaitu di Taman Nasional Baluran. Namun, penelitian ini lebih menekankan pada pengaruh partisipasi masyarakat di desa penyangga terhadap pengembangan taman nasional dan bagaimana partisipasi tersebut terbentuk atau dengan kata lain penelitian ini mencoba mencari tahu pengaruh yang dapat ditimbulkan dari luar atau kawasan sekitar taman nasional. Sehingga, kedua karya tulis ini memiliki perbedaan pada fokus masing – masing karya tulis.
10
Di Indonesia, karya tulis yang berfokus pada perencanaan penataan visual termasuk hal yang baru sehingga jarang dan cukup sulit ditemukan, namun untuk di Taman Nasional Baluran, perencanaan seperti ini belum pernah dilakukan, sehingga dapat disimpulkan bahwa rancangan perencanaan ini tidak pernah atau belum pernah dilakukan sebelumnya terutama dari segi lokus dan fokus perencanaan. Ide karya tulis ini merupakan ide asli dari penulis. 1.6 Sistematika Penulisan a. Bab I Pendahuluan Dalam bab ini, dijelaskan mengenai latar belakang, permasalahan serta tujuan penulis terkait dengan topik dan judul yang diangkat. Selain itu, dalam bab ini juga akan dijelaskan mengenai batasan perencanaan serta keaslian dari judul dan penulisan yang didasarkan pada tema, lokasi, dan fokus perencanaan yang telah dilakukan sebelumnya. b. Bab II Tinjauan Pustaka Bab tinjauan pustaka memberikan gambaran mengenai lanskap, manajemen lingkungan, Visual Impact Assessment (VIA) di berbagai negara, Visual Resource Management (VRM), tahapan VRM, dan juga menyajikan beberapa contoh mengenai keberhasilan konsep VRM ini. c. Bab III Pendekatan dan Metode Perencanaan Bab III menjelaskan mengenai pendekatan yang digunakan dalam melakukan perencanaan di Taman Nasional Baluran termasuk metode yang digunakan dari proses pengumpulan data, proses analisis sehingga dicapai tujuan yang diinginkan. Alat dan instrumen yang digunakan juga dijelaskan dalam bab ini. Selain itu, akan dijelaskan proses analisis hingga mitigasi dalam bentuk diagram alir agar lebih mudah dipahami. d. Bab IV Deskripsi Wilayah Perencanaan Deskripsi wilayah perencanaan memuat gambaran yang rinci mengenai kondisi wilayah yang direncanakan, baik berupa kondisi fisik dan keruangan setempat yang mungkin berpengaruh di dalam proses perencanaan. Peta lokasi Taman Nasional, peta guna lahan, peta zonasi, serta lokasi pembangunan 11
jaringan energi (SUTET) disajikan dalam bab ini untuk membantu memberikan gambaran utuh mengenai wilayah perencanaan. e. Bab V Analisis Bab analisis memberikan penjelasan mengenai tahapan-tahapan proses pengolahan data yang diperoleh untuk menjadi bahan pertimbangan dalam proses perencanaan. Analisis tersebut berupa analisis kualitas visual sebagai bahan inventarisasi visual, analisis tingkat sensitivitas kawasan, dan analisis penetuan jarak pandang sehingga diperoleh klasifikasi visual di Taman Nasional Baluran. Rangkaian analisis yang sama juga dilakukan pada tahap simulasi kasus yang diangkat penulis f. Bab VI Rencana Mitigasi Bab ini akan menyajikan mengenai alternatif penataan yang dibuat sesuai dengan hasil analisis yang telah dilakukan sebelumnya. Alternatif – alternatif tersebut diperjelas dengan gambar dan peta guna memudahkan dalam penggambaran penataan yang dimaksudkan g. Bab VII Penutup Bab terakhir memberikan kesimpulan dan rekomendasi penulis terhadap penelitian ataupun perencanaan selanjutnya. Kesimpulan akan berisikan temuan yang diperoleh dari hasil observasi lapangan, sedangkan rekomendasi berisikan jabaran singkat mengenai kemungkinan digunakannya metode ini digunakan pada rencana pembangunan lain.
12