BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sumberdaya
alam
merupakan
sumberdaya
yang
esensial
bagi
kelangsungan hidup manusia. Ketiadaan hak kepemilikan (property right) pada sumberdaya
alam
mendorong
terjadinya
inefisiensi
dalam
penggunaan
sumberdaya alam. Kondisi ini juga telah menyebabkan terjadinya eksploitasi yang berlebihan dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Upaya mengurangi terjadinya over eksploitasi sumberdaya alam telah lama diperkenalkan melalui konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Istilah pembangunan berkelanjutan pertama kali muncul pada tahun 1980 dalam World Conservation Strategy dari the International Union for the Conservation of Nature (IUCN). Konsep berkelanjutan merupakan konsep yang sederhana namun kompleks, sehingga pengertian keberlanjutan pun sangat multidimensi dan multi-interpretasi. Pengertian yang telah disepakati oleh Komisi Brundtland
menyatakan
bahwa
“pembangunan
berkelanjutan
adalah
pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka” (Fauzi, 2004). Hutan menghadapi ancaman yang serius di sebagian besar bagian dunia. Rata-rata hampir 15 juta hektar hutan hilang setiap tahun selama tahun 1900-an, sebagian besar di daerah tropis. Kehilangan hutan ini telah diikuti dengan hilangnya banyak jasa (service) yang disediakan hutan seperti regulasi aliran hidrologis, penyerapan karbon dan sumber biodiversitas. Hutan merupakan lahan yang digunakan dengan dominasi pohon sebagai penutup. Hutan menurut definisi dalam Undang-undang No.41 Tahun 1999 adalah suatu ekosistem dalam hamparan lahan yang berisikan sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya dimana satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Hutan tidak selalu memiliki nilai yang sama. Struktur, komposisi, dan lokasi dari hutan memainkan peranan yang penting dalam menentukan jenis jasa apa yang disediakan dan untuk siapa.
Hutan juga memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB selama periode tahun 2004-2009 rata-rata sebesar 0,85 persen per tahun. Besarnya kontribusi tersebut berfluktuasi tiap tahunnya namun tidak terlalu besar. Perkembangan besarnya kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kontribusi Sektor Kehutanan Terhadap PDB (Miliar Rupiah) % Kontribusi Tahun
Kontribusi terhadap PDB
Terhadap PDB
2004
20.290
0,88
2005
22.561,8
0,81
2006
30.065,7
0,90
2007
36.154,1
0,92
2008
40.375,1
0,82
2009
44.952,1
0,80
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010
Namun, seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi maka tekanan terhadap sumberdaya hutan semakin meningkat. Eksploitasi yang berlebihan telah menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya hutan. Kerusakan hutan di Indonesia bisa dilihat dari laju deforestasi yang cukup tinggi yaitu rata-rata sebesar 20,42 persen per tahun. Selama periode 2000-2005, deforestasi hutan Indonesia mengalami fluktuasi dimana kenaikan tertinggi yaitu pada tahun 2002-2003. Berikut ini adalah data mengenai deforestasi di Indonesia. Tabel 2. Deforestasi Hutan Indonesia Tahun 2000-2005 Tahun
Deforestasi (Ha/tahun)
2000-2001
1.018.200
2001-2002
926.300
2002-2003
1.906.100
2003-2004
634.700
2004-2005
962.500
Jumlah
5.447.800
Sumber : Direktorat Jendral Planologi Kehutanan, 2010
Adanya kerusakan hutan telah menyebabkan dampak ekonomi yang besar. Fungsi hutan sebagai regulator hidrologis, penyerap karbon dan sumber biodiversitas tentunya akan berkurang. Sebagai contoh, menurunnya fungsi hidrologis hutan telah terlihat dari banyaknya man-made disaster seperti banjir dan erosi. Deplesi dan degradasi sumberdaya hutan ini secara tidak langsung akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Penyebab kerusakan hutan Indonesia yaitu adanya over exploitation akibat semakin meningkatnya kebutuhan akan sumberdaya hutan. Kurangnya enforcement terhadap peraturan juga semakin memperparah kerusakan hutan. Indikator keberhasilan pembangunan suatu Negara yang digunakan selama ini
adalah
Produk
Domestik
Bruto
(PDB).
Namun,
PDB
ini
tidak
memperhitungkan deplesi sumberdaya dan degradasi lingkungan. PDB juga tidak memasukkan jasa lingkungan. Sehingga, dalam pembangunan berkelanjutan penggunaan PDB sebagai indikator pembangunan masih belum cukup. Untuk memasukkan PDB dengan deplesi sumberdaya dan degradasi lingkungan, maka dapat dilakukan dengan membuat neraca terpisah sebagai satelit dari sistem pendapatan nasional. Neraca satelit ini mengintegrasikan neraca pendapatan nasional dan neraca lingkungan yang dinamakan Satellite System for Integrated Environmental and Economic Accounting (SEEA). Resource accounting pada dasarnya bertujuan menyediakan informasi terhadap kondisi sumberdaya alam dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya sehingga indikator ini menjadi ukuran yang lebih baik dalam mengukur kesejahteraan suatu Negara. Dengan adanya Undang-Undang (UU) No.32 Tahun 2009 khususnya pasal 42, pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup dalam rangka menerapkan fungsi lingkungan hidup. Pada pasal 45 juga dikatakan bahwa pemerintah, dewan perwakilan rakyat RI, pemerintah daerah, dan dewan perwakilan rakyat daerah wajib mengalokasikan anggaran yang memadai untuk membiayai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, adanya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang instrumen ekonomi lingkungan hidup khususnya pasal 5 sampai pasal 23 juga mendorong dibuatnya neraca sumberdaya. Dalam RPP
tersebut dinyatakan bahwa neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup merupakan
instrumen
sebagai
dasar
perencanaan
pembangunan
yang
berkelanjutan. Dalam pasal 5 disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyusun dan menggunakan neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi. Pemerintah dan pemerintah daerah dalam setiap pengambilan keputusan penetapan target pertumbuhan ekonomi, pemanfaatan dan konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup harus didasarkan atas kajian Neraca Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Hal ini memperkuat pentingnya disusun neraca sumberdaya khususnya sumberdaya hutan. Hutan di Jawa Barat memiliki luasan yang cukup besar yaitu mencapai 764.387,59 ha atau 20,62% dari total luas provinsi, terdiri dari hutan produksi, hutan lindung dan hutan konservasi. Dari hutan produksi yang dimilikinya, pada 2006 Jawa Barat menghasilkan 200.675 m³ kayu, meskipun kebutuhan kayu di provinsi ini setiap tahun sekitar 4 juta m³. Sampai 2006, luas hutan rakyat 214.892 ha dengan produksi kayu sekitar 893.851,75 m³. Jawa Barat juga menghasilkan hasil hutan non kayu cukup potensial antara lain jamur, pinus, getah damar, kayu putih, rotan, bambu, dan sarang burung walet. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengatakan bahwa luas ideal hutan adalah 30 persen, maka hutan di Jawa Barat sudah tidak ideal karena hanya ada 17,3 persen dari daratan. Hal ini disebabkan banyaknya illegal logging sehingga keberadaan hutan yang sudah di bawah ideal ini sangat perlu dipertahankan dengan pengelolaan yang lebih baik. Kabupaten Kuningan merupakan daerah yang mempunyai potensi hutan yang cukup besar di Jawa Barat. Bahkan Kabupaten Kuningan telah menerapkan sistem pembayaran jasa lingkungan (payment for services) khususnya jasa air dengan Kota Cirebon. Hal ini menunjukkan bahwa selain perlu disusunnya neraca sumberdaya hutan, perlu juga dilakukan analisis kelembagaan di kawasan hutan Kabupaten Kuningan.
1.2 Perumusan Masalah Kabupaten Kuningan memiliki hutan seluas 52.979,67 hektar (44,95 persen dari luas daratan) dimana sebagian besar berupa hutan konservasi yaitu sebesar 48,70 persen. Hutan konservasi di Kabupaten Kuningan berada di bawah pengelolaan Balai Konservasi Taman Nasional Gunung Ciremai. Melalui Keputusan
Menteri
Kehutanan
Nomor : SK.424/MENHUT-II/2004, dinyatakan bahwa fungsi Kawasan Hutan Lindung di Kelompok Hutan Gunung Ciremai seluas ± 15.500 hektar, terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat berubah menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai. Akan tetapi meskipun kawasan hutan ini ditetapkan sebagai kawasan hutan konservasi, namun tetap saja masih terjadi pencurian kayu ataupun illegal logging oleh masyarakat sekitar hutan. Sebanyak 37,6 persen hutan di Kabupaten Kuningan merupakan hutan produksi terbatas dan 13,5 persen hutan produksi. Sementara hutan lindung hanya 0,2 persen saja. Hutan produksi dikelola oleh Perum Perhutani KPH Kuningan. Pengelolaan hutan produksi melibatkan masyarakat dimana masyarakat dapat ikut memanfaatkan lahan hutan dengan tanaman non kayu. Kesepakatan dilakukan antara Perum Perhutani dengan kelembagaan yang sudah terbentuk di masyarakat. Selama periode tahun 2001-2008, sektor kehutanan Kabupaten Kuningan memiliki kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yaitu rata-rata sebesar 0,44 persen. Kontribusi sektor kehutanan mengalami fluktuasi dimana pada tahun 2002 dan 2007 terjadi penurunan share. Adapun share sektor kehutanan selama periode tahun 2001-2008 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Share Sektor Kehutanan Terhadap PDRB Periode Tahun 2001-2008 Tahun
PDRB (Juta Rp)
Share Kehutanan (Juta Rp)
% Share
2001
2.733.027,29
9.836,85
0,36
2002
2.844.195,77
9.916,95
0,35
2003
2.943.730,59
10.506,06
0,36
2004
3.060.811,59
11.070,48
0,36
2005
3.198.189,03
15.010,57
0,47
2006
3.330.314,69
18.593,91
0,56
2007
3.470.961,58
17.633,36
0,51
2008
3.619.663,22
18.893,16
0,52
Sumber : PDRB Kabupaten Kuningan
Akan tetapi kondisi di atas belum memperhitungkan deplesi sumberdaya dan degradasi lingkungan yang terjadi di hutan Kabupaten Kuningan. Fakta menunjukkan bahwa dari keseluruhan hutan yang ada di Kabupaten Kuningan, sebesar 7,37 persen hutan tersebut dalam kondisi kritis dan berpotensi kritis (Dinas Kehutanan dan Perkebunan, 2010). Namun kondisi ini sangat ironis mengingat sebenarnya di Kuningan telah dibangun suatu mekanisme pembayaran jasa lingkungan dengan Kota Cirebon, dalam hal ini jasa air sehingga kondisi tersebut mengindikasikan adanya kegagalan dalam pengelolaan ataupun kelembagaan yang ada. Oleh karenanya, perlu adanya perhitungan dan analisis neraca sumberdaya khususnya sektor kehutanan di Kabupaten Kuningan serta perlu dilakukan analisis kelembagaan. Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana jenis dan penggunaan sumberdaya hutan di Kabupaten Kuningan ? 2. Bagaimana manfaat hutan dalam PDRB dan pembangunan daerah Kabupaten Kuningan ? 3. Bagaimana pengaruh kelembagaan kehutanan di Kabupaten Kuningan ?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi jenis dan penggunaan sumberdaya hutan di Kabupaten Kuningan; 2. Menganalisis neraca sumberdaya hutan Kabupaten Kuningan; 3. Menganalisis kelembagaan kehutanan di Kabupaten Kuningan. Adapun manfaat penelitian ini yaitu untuk memberikan informasi mengenai neraca sumberdaya hutan Kabupaten Kuningan dan diharapkan dapat menjadi masukan bagi para pembuat kebijakan.