BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Anggaran publik merupakan dokumen politik yang menunjukkan komitmen eksekutif dalam upaya penggalian resourses yang relatif terbatas untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang relatif banyak. Karena itu keterbatasan resourses ditengah banyaknya kebutuhan tersebut membutuhkan ketelitian aktor perumus kebijakan untuk dapat memilih prioritas-prioritas kebutuhan. Karena adanya keterbatasan sumber daya dan banyaknya kebutuhan tersebut pula, Kebijakan anggaran menjadi barang langka dan menjadi ajang perebutan beragam aktor, baik pemerintah, parlemen, partai politik, pengusaha, organisasi masyarakat, maupun rakyat kecil (Waidl, dkk., 2008: 36). Fenomena perebutan atau kontestasi kepentingan para aktor kebijakan anggaran terus mengemuka, setidaknya terjadi pada dua aktor utama kebijakan anggaran daerah atau perumus kebijakan anggaran yaitu eksekutif dengan legislatif (DPRD). Untuk mempertahankan kepentingannya dalam perebutan sumber daya yang terbatas tersebut, lembaga eksekutif akan menggunakan dalildalil birokratis yang prosedural, efisien dan efektif, sesuai peraturan perundangan, disisi lainnya, sebagai aktor yang memiliki kekuasaan untuk menyetujui dan menolak usulan eksekutif, legislatif cenderung memaksankan kehendak atau kepentingannya dengan menggunakan kekuasaannya tersebut. Proses tersebut kemudian berkembang menjadi praktek brokery yang dilakukan anggota legislatif untuk mencapai kepentingannya sendiri (Artrian, 2011: 143). Hasil studi di beberapa daerah terkait dinamika kontestasi antara eksekutif dan legislatif menunjukkan bahwa fenomena kontestasi selalu terjadi dalam proses perumusan kebijakan anggaran, bahkan tidak sedikit pula yang berakhir dengan praktek brokery, yaitu praktek sharing dan bargaining kepentingan antar aktor (Abdullah, 2012, Abdullah & Asmara, 2006; Artrian, 2011; Djafar, 2006; Hanida, 2010; Riawati, 2011; Rohman, 2011; Sapasuru, 2010). Fakta tersebut menjelaskan adanya praktek brokery antara eksekutif dengan legisalatif
1
merupakan bagian dari sebuah resolusi kepentingan individu dan kelompok para perumus kebijakan anggaran yang mengenyampingkan atau mengabaikan kepentingan rakyat sebagai tujuan akhir dari proses penganggaran daerah. Berdasarkan fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa proses politik dalam penyusunan kebijakan anggaran sebesar-besarnya hanya untuk memenuhi kepentingan individu perumus kebijakan anggaran dan kelompoknya. Selain itu, adanya kepentingan individu perumus kebijakan anggaran dalam penyusunan anggaran juga dapat ditelurusi melalui derajat transparansi pemerintahan terutama transparansi anggaran daerah. Dimana rendahnya transparansi pengelolaan keuangan daerah menjadi indikator adanya agenda tersembunyi individu perumus kebijakan anggaran yang bertentangan dengan kepentingan publik (Kurniadi, dkk., 2009: 42-44). Karena itu, rendahnya transparansi pada 41 kabupaten/kota di Indonesia pada tahun 2009 yang ditemukan Sekretariat Nasional FITRA (2010) mengkonfirmasi argumen adanya kepentingan individu dalam perumusan kebijakan anggaran daerah. Di Jawa Timur rendahnya transparan pengelolaan anggaran dapat dilihat dari adanya sengketa informasi yang diajukan kepada Komisi Informasi Publik (KIP) Jawa Timur Tahun 2011. Terdapat 170 potensi sengketa informasi publik, sebanyak 165 layak sengketa (memenuhi syarat) dan 5 tidak layak sengketa (tidak memenuhi syarat). Sejumlah 78 sengketa diselesaikan melalui mediasi, 62 sengketa dikembalikan dan 13 sengketa diselesaikan melalui proses adjudikasi (putusan sidang KIP). Sejumlah 11, diantara 13 perkara tersebut adalah tentang anggaran dan keuangan. Sedangkan pada kwartal pertama tahun 2012, terdapat 3 perkara adjudikasi yang seluruhnya adalah tentang anggaran dan keuangan. Selain informasi tentang keuangan ada beragam informasi yang disengketakan, mulai dari masalah informasi publik, perencanaan, kebijakan anggaran maupun pertanggungjawaban aktivitas pemerintah. Namun sengketa informasi anggaran daerah masih mendominasi atas keseluruhan sengketa informasi di Jawa Timur seperti ditunjukkan pada gambar 1.1 berikut.
2
Gambar 1.1 Sengketa Informasi di Jawa Timur tahun 2011
Sumber: Laporan Tahunan KIP Jawa Timur 2011 (2011: 18) Gambar 1.1 menunjukkan sengketa informasi anggaran dan keuangan masih mendominasi yaitu 61,55% atau 106 kasus dari keseluruhan sengketa informasi yang terdiri dari sengketa informasi daftar penggunaan anggaran (DPA) dan daftar isian penggunaan anggaran (DIPA) sebesar 38,2% atau 65 kasus, program
dan
penerimanya
sebesar
17,6%
atau
30
kasus,
surat
pertanggungjawaban (SPJ) 6,47% atau 11 kasus. Kemudian, disusul sengketa laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN) 17,1% atau 29 kasus, kontrak lelang 10% atau 17 kasus, daftar informasi publik (DIP) 4,12% atau 7 kasus, dan kasus lain-lain sebesar 6,47% atau 11 kasus. Berdasarkan data tersebut indikasi adanya kepentingan individu perumus kebijakan anggaran dan kelompok tertentu yang bertentangan kepentingan publik dalam kebijakan anggaran semakin mendapatkan pembenarannya. Argumen tersebut diperkuat dengan adanya perilaku oportunistik dan praktek brokery antar perumus kebijakan anggaran dalam pembahasan APBD Provinsi Jawa Timur tahun 2010. Perilaku tersebut berupa mark down dalam pendapatan dan mark up dalam belanja (Rohman, 2011: 191). Mark down dalam proyeksi pendapatan dilakukan eksekutif dengan mengusulkan target yang lebih rendah (asas minimal) dari potensi agar ketika realisasi dilaksanakan target tersebut lebih mudah dicapai. Pada perangkaan RAPBD Provinsi Jawa Timur tahun 2013 mark down pada pendapatan daerah
3
kembali dilakukan eksekutif yang menetapkan target pendapatan menurun sebesar Rp. 3,519 triliun atau turun 22,64 % dari realisasi pendapatan tahun 2012, seperti dapat dilihat pada gambar 1.2 berikut. Gambar 1.2 Realisasi Pendapatan Tahun 2008-2011 dan Rencana Target Pendapatan Tahun 2012 Provinsi Jawa Timur
Sumber: LKPJ tahun 2008, 2009, 2010, 2011, 2012 dan Nota Keuangan APBD Provinsi Jawa Timur, (diolah) Gambar 1.2 menunjukkan adanya pertumbuhan realisasi pendapatan daerah dari tahun 2008 sampai tahun 2012 dengan rata-rata pertumbuhan 22,02 % per tahun. Seharusnya berdasarkan pertimbangan optimis, penetapan target pendapatan pada tahun 2013 adalah Rp. 19 triliun atau naik 22 % dari realisasi pendapatan tahun 2012. Dengan demikian terdapat selisih sebesar Rp. 7 triliun antara potensi dengan target pendapatan dalam RAPBD tahun 2013. Sedangkan mark up merupakan proyeksi anggaran yang lebih besar dari kondisi sebenarnya. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kepentingan individu perumus kebijakan anggaran yang dapat berpotensi korupsi. Selain itu mark up dapat juga digunakan untuk memperbesar dana yang tidak terserap dalam realisasi anggaran. Tabel 1.1 menunjukkan adanya maksimalisasi belanja daerah untuk kebutuhan pegawai dan belanja rutin. Pada realisasi APBD tahun 2009 sampai tahun 2012 serta rencana APBD tahun 2013 terjadi peningkatan yang terus menerus pada belanja pegawai (BTL), belanja pegawai (BL) dan belanja barang
4
dan jasa. Bahkan persentase tiga komponen belanja tersebut terhadap belanja daerah tahun 2013 mencapai 41,56 %. Sedangkan rencana belanja modal pada tahun 2013 justru mengalami penurunan sampai 6,17 % dari realisasi belanja modal tahun 2012 dan persentasenya terhadap belanja daerah tahun 2013 hanya 6,10 %. Tabel 1.1 Realisasi Belanja Tahun 2009-2012 dan Rencana Belanja Tahun 2013 Provinsi Jawa Timur Tahun
Belanja Pegawai
Belanja Pegawai
Belanja Barang dan
(BTL)
(BL)
Jasa
Belanja Modal
2009 1.075.189.345.905,00
483.186.940.619,00 1.962.652.642.711,30
837.299.991.689,00
2010 1.283.591.782.441,00
668.598.067.035,00 2.593.787.502.776,36
877.876.929.850,00
2011 1.407.956.634.406,00
895.165.703.995,00 3.155.525.485.705,61 1.045.361.914.199,85
2012 1.486.342.134.346,32 1.019.269.016.865,00 3.601.337.254.654,62 1.057.365.183.808,50 2013 1.725.859.316.000,00 1.081.354.807.410,00 3.942.848.122.869,00
992.142.563.645,00
Sumber: LKPJ 2009, 2010, 2011, 2012, APBD 2013 Prov.Jawa Timur (Diolah) Sementara oportunisme perumus kebijakan dari unsur legislatif lebih banyak ditunjukkan dengan adanya peningkatan belanja hibah dan bantuan sosial. Hal tersebut dapat dilihat, misalnya pada peningkatan belanja hibah pada tahun 2008 dari tahun 2007 sebesar 64096,30 % atau bertambah sebesar Rp. 1.281.926.009.927,05. Tahun 2012 realisasi belanja hibah meningkat 244,65 % atau bertambah Rp. 2.743.896.170.677,05 dan tahun 2013, belanja hibah direncanakan naik 8,49 % atau bertambah Rp. 328.236.940.400,32 seperti ditunjukkan pada tabel 1.2 berikut. Tabel 1.2 Realisasi Belanja Hibah Tahun 2007-2012 dan Rencana Belanja Hibah Tahun 2013 Provinsi Jawa Timur. Tahun
Belanja Hibah
Persentase Kenaikan
2007
2.000.000.000,00
-
2008
1.283.926.009.927,05
64096,30
2009
540.816.991.822,57
-57,88
2010
682.406.821.654,00
26,18
5
2011
1.121.554.738.922,63
64,35
2012
3.865.450.909.599,68
244,65
2013
4.193.687.850.000
8,49
Sumber: LKP 2008, LKPJ 2009-2012, APBD 2013 (data diolah) Peningkatan belanja hibah yang terjadi pada tahun menjelang Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah tersebut dimanfaatkan anggota legislatif untuk kepentingan kampanye. Hal tersebut seperti ditemukan dalam penelitian Riawati (2011) tentang potensi korupsi dalam kebijakan publik di Jawa Timur. Hasil studi tersebut menemukan adanya penyalahgunaan realisasi belanja hibah pada implementasi Program Penanggulangan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) tahun 2008, dengan modus pemotongan anggaran kegiatan oleh beberapa anggota DPRD Jawa Timur periode 2004-2009. Dalam praktek perilaku oportunis dalam kebijakan anggaran, setidaknya ditemukan dua faktor pendorong perilaku oportunistik eksekutif: Pertama, anggapan bahwa eksekutif merupakan pelaksana semua fungsi pemerintah daerah yang telah berhubungan langsung dengan masyarakat dalam waktu sangat lama; Ke-dua, eksekutif mempunyai akses informasi yang besar dalam konteks penyusunan anggaran. Sedangkan perilaku oportunistik legislatif didorong oleh adanya keunggulan kekuasaan (discretionary power) dalam konteks memutuskan anggaran. Faktor inilah yang mendorong legislatif untuk melakukan; Pertama, berusaha mempengaruhi eksekutif untuk memaksimumkan anggaran pada program-program tertentu yang dapat memuluskan jalan bagi seorang legislator untuk dapat terpilih kembali dalam pemilu berikutnya; Ke-dua, mendorong eksekutif untuk mengajukan anggaran yang dapat dengan mudah diserap oleh konstituennya dan tidak melalui prosedur birokrasi yang rumit (Rohman, 2011). Dari data tersebut tampak jelas terjadinya praktek sharing dan bargaining antar perumus kebijakan pada tahap pembahasan APBD Provinsi Jawa Timur, Asimetri informasi serta besarnya kekuasaan yang dimiliki legislatif dalam pembahasan anggaran, telah menjadi pendorong terjadinya perilaku oportunis perumus kebijakan anggaran yang akan memaksimalisasi kepentingan pribadi dan kelompoknya dengan mengesampingkan kepentingan publik.
6
Oleh karena itu penelitian dimaksudkan untuk mengetahui motif terjadinya perilaku oportunis perumus kebijakan anggaran di Provinsi Jawa Timur serta ketelibatan aktor kebijakan anggaran selain pemerintah dengan menggunakan rational choice theory sebagai perspektif analisisnya. Selanjutnya, penelitian ini dapat menawarkan rekomendasi kebijakan terkait penyusunan kebijakan anggaran daerah untuk mencegah perilaku oportunistik tersebut. Penetilian yang dilakukan peneliti lain sebelumnya terkait kontestasi dan bargaining kepentingan dalam kebijakan anggaran baik yang dilakukan di Provinsi Jawa Timur (Riawati, 2011; Rohman, 2011), maupun yang dilakukan ditempat lain (Abdullah, 2012, Abdullah & Asmara, 2006; Artrian, 2011; Djafar, 2006; Hanida, 2010; Sapasuru, 2010) dilakukan dengan menggunakan perspektif principal-agency theory. Dalam perspektif teori prinsipal-agen informasi yang asimetris, kekuasaan yang besar pada legislatif akan menimbulkan perilaku oportunis bagi perumus kebijakan anggaran. Sehingga, hasil penelitian yang ditemukan lebih banyak disebabkan oleh prosedur penganggaran, maupun hubungan keagenan antara legislatif dan eksekutif. Dengan demikian meskipun penelitian-penelitian terdahulu juga mendeskripsikan dinamika politik dalam penyusunan anggaran, namun analisis terhadap fenomena tersebut masih menempatkan anggaran dalam perspektif administratif. Padahal kebijakan anggaran bukan hanya urusan alokasi X rupiah untuk kegiatan A, dan bukan untuk kegiatan B (Key, 1940: 1138). Akan tetapi merupakan proses mempertemukan berbagai kebutuhan melalui proses kompromi dalam proses politik (Wildavsky, 1961: 184; Davis, Dempster dan Wildavsky, 1966: 529; Alexander, 1999: 547-551). Oleh karena itu proses ini dapat didekati dengan perspektif rational choice untuk melihat rasionalitas individu aktor dalam kebijakan anggaran. Pendekatan rational choice theory dalam perumusan kebijakan (Shover & Hochstetler dalam Mustofa, 2010: 61) mengasumsikan setiap aktor, baik birokrat, politisi maupun swasta, pada dasarnya selalu memaksimalkan keuntungan bagi dirinya. Para aktor tersebut bekerja dalam proses kebijakan publik, dimana semua mempengaruhi semua untuk memenangkan agenda kepentingan kelompoknya.
7
Dalam penelitian ini perspektif rational choice digunakan untuk menemukan keinginan atau tujuan, tindakan serta keyakinan perumus kebijakan anggaran pada perilaku oportunistiknya dalam pembasahan anggaran. Selain itu melalui perspektif tersebut penelitian ini menemukan peran dan keterlibatan aktor kebijakan anggaran selain pemerintah dalam oportunisme perumus kebijakan anggaran, baik sebagai pendorong, pengambil manfaat atau bahkan sebagai penekan bagi perumus kebijakan anggaran. Berdasarkan argumentasi tersebut dapat ditemukan urgensi, posisi dan perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, dalam menganalisis perilaku oportunistik perumus kebijakan anggaran dalam penyusunan APBD Provinsi Jawa Timur tahun 2013.
1.2 Rumusan Masalah Berangkat dari situasi problematis tersebut, rumusan masalah penelitian ini adalah Bagaimana perilaku oportunistik perumus kebijakan anggaran terjadi dalam penyusunan dan pelaksanaan APBD Provinsi Jawa Timur tahun 2013?. Untuk menjawab rumusan masalah tersebut diajukan beberapa pertanyaan turunan sebagai berikut. 1. Bagaimana motif perilaku oportunistik perumus kebijakan anggaran dalam penyusunan dan pelaksanaan APBD Provinsi Jawa Timur tahun 2013? 2. Bagaimana oportunisme perumus kebijakan anggaran dalam pelaksanaan belanja hibah tahun 2013? 3. Bagaimana kepentingan, keterlibatan dan peran aktor kebijakan anggaran selain pemerintah pada perilaku oportunistik perumus kebijakan anggaran dalam penyusunan dan pembahasan APBD Provinsi Jawa Timur tahun 2013?
1.3 Tujuan Penelitian 1. Menjelaskan terjadinya perilaku oportunistik perumus kebijakan anggaran dalam pembahasan APBD Provinsi Jawa Timur tahun 2013
8
2. Menjelaskan motif perilaku oportunistik perumus kebijakan anggaran dalam penyusunan dan pembahasan APBD Provinsi Jawa Timur tahun 2013 3. Menjelaskan prilaku oportunisme perumus kebijakan anggaran dalam pelaksanaan belanja hibah 4. Menjelaskan kepentingan, keterlibatan dan peran aktor kebijakan anggaran selain pemerintah pada perilaku oportunistik perumus kebijakan anggaran dalam penyusunan dan pembahasan APBD Provinsi Jawa Timur tahun 2013
1.4 Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian tersebut manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Praktis, hasil kajian ini dapat digunakan sebagai informasi untuk menilai dan memahami baik terkait praktek politik, peran maupun kepentingan perumus kebijakan anggaran dan aktor kebijakan anggaran selain pemerintah dalam pembuatan kebijakan anggaran daerah. Selanjutnya, informasi tersebut dapat menjadi rekomendasi kepada pemerintah untuk melakukan perubahan atau amandemen terbatas terhadap peraturan perundang-undangan terkait penyusunan anggaran daerah. 2. Teoritis, diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi pembanding dan referensi bagi pemerintah, serta sebagai wahana bacaan bagi penelitian berikutnya dengan judul dan topik yang sama.
9