BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang Udang windu merupakan komoditas perikanan laut yang memiliki peluang usaha cukup baik karena sangat digemari konsumen lokal (domestik) dan konsumen luar negeri. Hal ini disebabkan oleh rasa udang windu yang enak dan gurih serta kandungan gizinya yang sangat tinggi. Menurut H. Hasanuddin Atjo, salah satu faktor utama yang menjadi penyebab meningkatnya harga udang tersebut adalah negara-negara penghasil udang utama dunia seperti China, Thailand, Vietnam, dan Meksiko mengalami gagal panen akibat serangan penyakit yang diduga disebabkan oleh sejenis bakteri. (Malaha 2013). Salah satu jenis penyakit bakterial yang akhir-akhir ini sering menimbulkan masalah pada larva udang windu disebut penyakit “bakteri menyala” atau “bakteri pasar malam”. Penyakit ini diduga disebabkan oleh bakteri vibrio. Serangan bakteri ini sering dikaitkan dengan adanya perubahan kondisi lingkungan sehingga larva menjadi stres (Murtidjo 2003). Bakteri ini pada umumnya menyerang larva udang pada stadia zoea, mysis dan awal post larva, sehingga merupakan kendala dalam penyediaan benih udang yang sehat dalam jumlah besar yang diperlukan untuk produksi udang (Widanarni 2000). Selama ini pencegahan terhadap serangan bakteri pada umumnya dilakukan dengan pemberian antibiotik. Namun penggunaan obat, terutama obat antibiotik secara rutin, dapat berdampak negatif, yakni berkembangnya daya resisten bakteri patogen terhadap berbagai jenis antibiotik yang dipergunakan, meskipun antibiotik itu pada awalnya efektif (Murtidjo 2003). Feliatra (2000), melaporkan bahwa beberapa spesies mangrove memiliki sifat antimikroba khususnya terhadap bakteri Vibrio sp. Salah satu jenis mangrove yang telah diteliti sebelumnya oleh Sutjihat et al. (1995) dalam Feliatra (2000) yaitu Rhizophora sp. diidentifikasi memiliki senyawa flavonoid serta tanin. Pada tahun 1997 Soediro et al., juga menemukan senyawa flavonoid dan asam fenolat pada tumbuhan Rhizophora mucronata (Suryati et al. 2007).
1
2
Sebagai alternatif pemecahan masalah adalah dengan memanfaatkan bahan-bahan dari alam, yang salah satunya diketahui mengandung senyawa antibakterial adalah Rhizophora mucronata. Hal ini disebabkan karena tumbuhan mangrove seperti daun Rhizophora mucronata Lamk. banyak menghasilkan senyawa antimikroba, khususnya pada senyawa polar seperti alkaloid, fenolik, tanin dan flavonoid yang turut berperan untuk menghambat penyakit pada udang windu (Penaeus monodon) yang terinfeksi oleh bakteri Vibrio harveyi. Sampel daun Rhizophora mucronata Lamk. diambil dari Kawasan Wisata Alam Mangrove Angke Kapuk, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara.
1.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang dapat diidentifikasi adalah berapa konsentrasi efektif dari ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. yang dapat dimanfaatkan sebagai antibakteri pada udang windu (Penaeus monodon) yang terinfeksi bakteri Vibrio harveyi.
1.3. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. yang paling efektif sebagai antibakteri pada udang windu (Penaeus monodon) yang terinfeksi bakteri Vibrio harveyi.
1.4. Kegunaan Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan membantu pihak pengusaha tambak udang windu mengenai efektivitas ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. yang dapat digunakan sebagai antibakteri alami pada udang windu (Penaeus monodon) yang terinfeksi bakteri Vibrio harveyi.
3
1.5. Kerangka Pemikiran Kematian udang di tambak sebagai akibat serangan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri, merupakan salah satu permasalahan yang timbul dalam usaha budidaya udang windu. Salah satu jenis bakteri yang sering menyebabkan kematian pada udang, khususnya pada tingkat larva, pascalarva dan juvenil adalah Vibrio harveyi (Naiborhu 2002). Umumnya, penyakit ini banyak ditemukan pada musim hujan, yakni ketika salinitas menurun dan terjadi perubahan suhu yang mencolok antara siang dan malam hari. Gejala udang yang terserang penyakit ini adalah tubuhnya tampak menyala pada malam hari, tubuh lemah, tidak aktif berenang, nafsu makan berkurang, dan muncul bercak merah di sekujur tubuhnya (Amri 2003). Akibatnya, bakteri berkembang dengan cepat dan mengakibatkan kematian larva secara massal (Murtidjo 2003). Berbagai cara telah banyak dilakukan untuk mengatasi infeksi bakteri Vibrio harveyi ini. Penggunaan bahan-bahan kimia dan obat-obatan sudah banyak dilakukan, namun belum ada jenis bahan antibakterial yang efektif untuk mengatasi serangan
bakteri tersebut. Penggunaan bahan kimia dapat
menimbulkan resistensi patogen, dampak lingkungan dan bahaya residu bagi konsumen (Naiborhu 2002). Dari beberapa penelitian terhadap tumbuhan mangrove, diketahui bahwa tumbuhan ini merupakan bahan alami yang mengandung senyawa bioaktif seperti: saponin, tanin, flavonoid, diterpenoid, oktakosil alkohol yang aktif sebagai bahan antimikroba. Kemudian dari hasil studi fitokimia diketahui beberapa tumbuhan mangrove mengandung senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada berbagai organ tumbuhan terutama pada daun, akar dan bijinya (Naiborhu 2002). Berdasarkan penelitian Suciati et al., (2003), mengenai efektivitas ekstrak daun Rhizophora mucronata dalam menghambat pertumbuhan Vibrio harveyi, penelitian dilakukan dengan menggunakan tiga jenis pelarut yaitu metanol, etil asetat dan n-heksan. Hal ini didasarkan pada tingkat kepolaran dari masingmasing pelarut, yakni polar, semi polar dan pelarut non polar. Maksud dari penggunaan berbagai pelarut ini adalah untuk memisahkan jenis bahan aktif yang
4
mungkin dimiliki oleh daun Rhizophora mucronata sesuai dengan kepolarannya. Menurut Markham (1988), komponen yang terbawa pada proses ekstraksi adalah komponen yang berpolaritas sesuai dengan pelarutnya, sehingga jenis pelarut yang digunakan dapat mempengaruhi jumlah rendemen yang dihasilkan. Hasil penelitian Suciati et al., (2003) menunjukkan bahwa pengaruh perbedaan jenis pelarut bersifat nyata (P<0,05) terhadap rendemen yang dihasilkan, nilai rendemen tertinggi adalah menggunakan pelarut etil asetat, diikuti metanol dan n-heksan. Penggunaan pelarut etil asetat menghasilkan rendemen ekstrak yang paling banyak yaitu sebanyak 10,8 gram dari jenis daun pucuk. Hal ini dimungkinkan pada pucuk daun masih banyak terdapat senyawa tumbuh baik berupa pigmen maupun zat pertumbuhan lainnya yang terekstrak oleh pelarut. Senyawa etil asetat merupakan pelarut semi polar, sehingga dimungkinkan banyaknya zat aktif daun Rhizophora yang bisa terlarut di dalamnya yang menyebabkan tingginya nilai rendemen yang dihasilkan. Menurut Correl et al. (1955) dalam Suciati et al. (2003), kandungan senyawa dalam daun mangrove adalah golongan fenolik, alkaloid, saponin dan beberapa senyawa lainnya yang terkait dengan industri obat-obatan. Harborne (1987) dalam (Suciati et al., 2003), mengatakan bahwa senyawa etil asetat mampu mengekstrak senyawa fenol dan terpenoid, sedangkan metanol mampu mengekstrak senyawa alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid dan tanin, dan senyawa nonpolar n-heksan dapat mengektrak golongan triterpenoid/steroid. Uji in vitro bertujuan untuk menentukan jenis sampel ekstrak daun mangrove yang paling efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio harveyi secara in vitro. Pengujian ini didahului dengan pengujian sensitivitas bahan aktif terhadap bakteri patogen Vibrio harveyi. Hasil ekstraksi dari tiga bagian daun yaitu daun pucuk (DP), daun tua (DT) dan daun rontok (DR), dengan tiga macam pelarut yaitu n-heksan (H), etil asetat (E) dan metanol (M), sehingga didapatkan sembilan kombinasi perlakuan yang berbeda. Bahan aktif daun Rhizophora mucronata memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio harveyi, terutama pada sampel daun pucuk metanol (DPM), daun
5
tua metanol (DTM), daun rontok etil asetat (DRE), dan daun tua etil asetat (DTE) sedangkan sampel lainnya tidak menunjukkan adanya zona hambat (Suciati et al., 2003). Hasil penelitian Suciati et al. (2003) pada uji in vitro menunjukkan bahwa jenis sampel DPM memiliki diameter zona hambat yang paling besar yaitu sebesar 14,8 mm dengan kategori potensi kuat dibandingkan dengan jenis sampel yang lainnya rata-rata 6 – 8,5 mm dengan kategori potensi lemah. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Feliatra (2000), yang dilakukan terhadap beberapa spesies mangrove memiliki antibakteri terhadap bakteri Vibrio sp. Naiborhu (2002) telah melakukan penelitian terhadap tumbuhan mangrove yakni Sonneratia caseolaris (L), berupa ekstrak kelopak dan buah yang dihasilkan sangat berpotensi sebagai senyawa alami antibakterial terhadap Vibrio harveyi dan mengandung senyawa bioaktif seperti flavonoid, steroid, fenol hidrokuinon dan tanin yang aktif sebagai bahan antibakterial. Tumbuhan ini mampu membunuh dan menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio harveyi pada konsentrasi terendah yaitu 1 ppm. Berdasarkan hasil penelitian Maryani (2003), dapat disimpulkan bahwa ekstrak kelopak dan buah mangrove Sonneratia caseolaris (L) dapat dipergunakan untuk pencegahan dan pengobatan terhadap infeksi bakteri Vibrio harveyi (Johnson and Shunk) pada udang windu (Penaeus monodon Fab.) dengan dosis 100 ppm untuk pencegahan dan 200 ppm untuk pengobatan.
1.6. Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran di atas dapat dirumuskan hipotesis bahwa efektivitas ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. bersifat antibakterial, maka pada uji in vivo konsentrasi 200 ppm akan mampu menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio harveyi. Sehingga dapat digunakan dalam pengendalian penyakit bakterial pada udang windu (Penaeus monodon).